layananhukum

Bagaimana Cara Kerja Seorang Pengacara?

Ilustrasi Profesi Pengacara

Dalam taraf tertentu, tak harus dapat dipahami saat Anda membaca ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa hukum cocok untuk dikarakterisasi sebagai dunia yang membentuk struktur konseptualnya sendiri.

Bagi Wittgenstein, bahasa bukanlah sebuah sistem penamaan yang terpisah dari realitas, melainkan sebuah aktivitas yang terjalin erat dengan tindakan manusia. Ia memperkenalkan konsep “permainan bahasa” (sprachspiel) untuk menggambarkan bagaimana kata-kata mendapatkan maknanya bukan dari definisi kamus yang kaku, melainkan dari penggunaannya dalam konteks atau “permainan” tertentu. Hukum, dalam kerangka ini, bukanlah sekadar kumpulan aturan, tetapi sebuah “bentuk kehidupan” (form of life) yang lengkap dan otonom.

Daftar “fakta” yang dapat diterima di pengadilan berbeda dari fakta yang biasa kita pikirkan dan/atau dari fakta sains. Penalaran tentang fakta-fakta ini yang kemudian dapat diterima atau sah secara hukum berbeda dari jenis penalaran yang kita terima dalam kehidupan sehari-hari sebagai sesuatu yang kita sebut dengan rasionalitas.

Ruang sidang adalah sebuah pengaturan buatan (an artificial setting), layaknya laboratorium, dan, seperti halnya laboratorium, pelatihan khusus (special training) diperlukan untuk memahami sepenuhnya apa yang terjadi di dalamnya.

Di sinilah kita dapat melihat dari perspektif Foucault, ruang sidang bukanlah laboratorium untuk menemukan kebenaran, melainkan sebuah aparatus kekuasaan yang dirancang untuk memproduksi sebuah “kebenaran” yang spesifik dan disetujui oleh negara.

Melakukan “arkeologi” terhadap ruang sidang berarti menggali lapisan-lapisan makna yang tersembunyi di dalam ritual dan simbol-simbolnya. Setiap elemen, yang seringkali kita anggap sebagai tradisi semata, sebenarnya adalah “teknologi disiplin” yang bekerja pada tubuh dan jiwa.

Jubah hitam yang dikenakan hakim dan advokat berfungsi untuk menghapus identitas personal dan menggantikannya dengan persona institusional. Mimbar hakim yang ditinggikan secara fisik menciptakan jarak dan hierarki, menegaskan siapa yang memegang kuasa untuk berbicara dan menghakimi. Seruan “Semua hadirin dimohon berdiri!” adalah sebuah ritual yang menanamkan kepatuhan dan pengakuan terhadap otoritas pengadilan bahkan sebelum proses dimulai.

Bahasa hukum itu sendiri, dengan struktur kalimatnya yang berbelit-belit (center-embedding) dan terminologi kunonya (witnesseth), berfungsi seperti mantra atau “sihir” (magic spells). Bahasa yang sulit dipahami ini bukanlah sebuah kebetulan atau sisa-sisa masa lalu; ia adalah sebuah strategi diskursif yang disengaja.

Dengan menciptakan penghalang linguistik, hukum menegaskan statusnya sebagai pengetahuan esoteris yang hanya dapat diakses oleh para inisiat (pengacara dan hakim), sekaligus memberikan aura otoritas dan kesakralan pada keputusannya. Ritual-ritual ini, menurut Foucault, bekerja untuk “menangkal kekuatan dan bahaya” dari peristiwa yang acak, dan untuk menyembunyikan fakta bahwa putusan pengadilan bukanlah sebuah kebenaran objektif yang terungkap, melainkan hasil dari sebuah pertarungan kekuasaan yang kontingen. Putusan tersebut menjadi “benar” bukan karena ia sesuai dengan kenyataan, tetapi karena ia diproduksi sesuai dengan prosedur yang sah di dalam diskursus hukum.

Ambil saja contoh, konsep dasar, seperti “pertanggung jawaban” (toereken-baarheid) mirip dengan konsep yang digunakan dalam pengaturan non-hukum, tetapi berbeda dari yang dimaksud dalam ruang pembahasan tertentu, seperti yang sering membuat para pemohon/penggugat/tersangka/terdakwa tidak akan selalu dapat mendapatkan apa yang mereka inginkan bahkan berujung kekecewaan.

Ada keunikan dalam penalaran hukum, pertimbangan hukum, dan koneksitasnya dengan kepalsuan dunia yang diungkapkan oleh mereka yang kemudian itu menjadi bagian dari pengalaman setiap calon pengacara.

Ya, mereka yang tidak bisa belajar untuk berpikir layaknya seorang pengacara tidak akan pernah bisa menjadi pengacara. Tetapi fakta perbedaan antara penalaran hukum dan bentuk-bentuk penalaran lainnya terus-menerus hadir, berkembang bahkan untuk pengacara itu sendiri.

Sebagian besar waktu pengacara digunakan untuk menjelaskan kepada klien mereka bahwa perbedaan antara apa yang, menurut ungkapan klien, adil, adil atau benar dan apa yang adil, adil atau benar di mata hukum tidak selalu seperti apa yang klien pahami dalam ruang berpikirnya sendiri.

Ada kesulitan dengan karakterisasi hukum sebagai “dunia” yang terpisah. Dimana lingkup penalaran hukum tidak sepenuhnya dipisahkan dari “dunia” yang ditempati oleh orang-orang biasa. Banyak dari apa yang dilakukan pengacara di ruang sidang adalah menerjemahkan klaim orang tentang tindakan mereka dibingkai dalam bahasa biasa ke dalam bahasa hukum.

Novel Albert Camus, L'Étranger (Orang Asing), berfungsi sebagai alegori sastra yang kuat untuk memahami pengalaman klien di hadapan sistem hukum. Tokoh utamanya, Meursault, pada akhirnya dihukum mati bukan karena tindakan pembunuhan yang dilakukannya di bawah terik matahari yang menyilaukan, tetapi karena kegagalannya untuk “bermain peran” sesuai dengan ekspektasi masyarakat.

Ia tidak menangis di pemakaman ibunya, ia pergi berkencan keesokan harinya, dan ia tidak menunjukkan penyesalan yang diharapkan oleh pengadilan. Pengadilan, yang berpura-pura mencari keadilan dan empirisme, pada kenyataannya menghakimi jiwanya, bukan perbuatannya. Inilah inti dari filsafat Absurd Camus yaitu bentrokan yang tak terdamaikan antara hasrat manusia akan makna dan rasionalitas dengan “keheningan dunia yang tidak masuk akal” (the unreasonable silence of the world).

Dunia klien modern seringkali mencerminkan absurditas Meursault. Kasus mereka tidak hanya diadili berdasarkan “fakta,” tetapi juga berdasarkan kemampuan mereka untuk menampilkan narasi yang koheren dan meyakinkan. Mereka dinilai berdasarkan penampilan mereka, kemampuan mereka untuk membangkitkan simpati, dan kesesuaian perilaku mereka dengan arketipe “korban yang pantas” atau “terdakwa yang menyesal.”

Sistem hukum, dalam keheningannya yang agung, menuntut sebuah pertunjukan. Advokat, dalam konteks ini, menjadi seorang sutradara teater. Tugas mereka adalah melatih klien mereka untuk memainkan peran, untuk menavigasi jurang antara realitas otentik mereka yang seringkali kacau dan tidak simpatik, dengan tuntutan performatif dari panggung pengadilan. Mereka harus mengelola bentrokan antara kebenaran personal klien dengan ketidakpedulian sistem yang dingin, sebuah tugas yang absurd dan seringkali tragis.

J.L.Austin membuat poin ini dalam sebuah makalah terkenal A Plea for Excuses, dengan mengutip pernyataan Pengacara Finney, tentang seorang petugas di rumah sakit jiwa yang telah melepuhkan seorang pasien sampai mati dan diadili karena pembunuhan pada Perkara pada Tahun 1874.

Adapun kutipannya sebagai berikut:

“Saya memandikan Watkins dan membiarkannya masuk ke dalam bak mandi. Saya bermaksud untuk memandikannya dengan bersih (intended putting in a clean bath) dan bertanya kepada Watkins apakah dia akan keluar setelah selesai? Namun kala itu, perhatian saya tertuju (my attention was drawn) pada tempat permandian lainnya oleh petugas baru, yang bertanya pada saya sebuah pertanyaan; oleh karenanya perhatian saya teralihkan dari bak mandi tempat (my attention was taken from the bath where) Watkins berada. Saya meletakkan tangan saya untuk menyalakan air di bak mandi tempat Thomas Watkins berada. Saya tidak bermaksud untuk menyalakan air panas (I did not intend to turn the hot water), dan saya melakukan kesalahan dalam menyalakan kerannya (I made a mistake in the tap). Saya tidak tahu apa yang telah saya lakukan sampai (I did not know what I had done until) saya mendengar Thomas Watkins berteriak kencang, dan saya tidak menemukan kesalahan saya sampai saya melihat uap dari dalam air. Anda tidak bisa mendapatkan air di pemandian ini ketika yang lainnya mengambil air di pemandian lain, walau pun kadang-kadang keran akan tetap mengeluarkan air (lancar) ketika pemandian lain digunakan…. (Terbukti bahwa orang gila itu memiliki kemampuan sedemikian rupa sehingga memungkinkan dia untuk memahami apa yang dikatakan kepadanya, dan untuk segera keluar dari bak mandi jika selesai.)” ([1961] 1970:196)

Cara kerja Pengacara Finney bahwa ia mengatakan sebagai berikut (dengan idiom hukum alasan yang ditetapkan yang saya cetak dengan huruf miring):

“Kematian akibat kecelakaan (the death resulted from accident) oleh karenanya berlaku tidak ada kelalaian yang dapat disalahkan (culpable negligence) -unsur pemaaf- dari pihak terdakwa yang akan mendukung perlawaan dakwaan (indictment) ini terhadapnya. Suatu kesalahan yang dapat dipersalahkan (culpable mistake), atau suatu tingkat kelalaian yang dapat disalahkan (culpable negligence), yang menyebabkan kematian, tidak akan mendukung tuduhan Jaksa terhadap perkara pembunuhan; kecuali jika kelalaiannya begitu kasar dan besar sehingga menjadikan perbuatannya sembrono yang mengakibatkan seseorang mati,” (R.v.Noakes, dikutip di Austin [1961] 1970:196)

Apakah Anda sudah sedikit memahami apa artinya itu? Serta bagaimana cara kerjanya? 

Kurang lebihnya penjelasannya demikian dulu. Terima Kasih.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.