layananhukum

Begini Aturan Kredit Bank Perkreditan Rakyat yang Wajib Anda Ketahui

Ilustrasi Perbankan. Sumber: Pexels.com/stevepb

Dinamika sektor keuangan yang bergerak secara eksponensial seringkali menempatkan kerangka hukum pada posisi reaktif. Adagium hukum het recht hinkt achter de feiten aan, yang bermakna hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar perubahan zaman, menjadi sangat relevan untuk menggambarkan kondisi ini.

Sebagai respons atas pesatnya perkembangan tersebut, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat mengundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, yang selanjutnya disebut dengan “UU P2SK”.

Regulasi ini tidak dapat dipandang sebagai amandemen parsial, melainkan sebuah reformasi komprehensif dengan metode omnibus law yang secara fundamental menata ulang lanskap hukum sektor jasa keuangan di Indonesia, termasuk di dalamnya institusi perbankan yang melayani segmen usaha mikro, kecil, dan menengah.

Salah satu perubahan paling signifikan dan simbolis dalam UU P2SK adalah transformasi nomenklatur dari “Bank Perkreditan Rakyat” menjadi “Bank Perekonomian Rakyat (BPR). Perubahan ini bukanlah sekadar modifikasi semantik, melainkan merefleksikan pergeseran filosofis yang mendalam. Nama “Bank Perkreditan Rakyat” secara inheren membatasi persepsi publik dan regulator pada fungsi tunggal penyaluran kredit.

Sebaliknya, “Bank Perekonomian Rakyat” mengusung mandat yang lebih luas, yakni sebagai motor penggerak dan akselerator perekonomian di tingkat akar rumput, yang tidak hanya menyalurkan dana tetapi juga berpartisipasi aktif dalam ekosistem ekonomi lokal. Pergeseran ini menandai era baru di mana BPR diharapkan mampu berevolusi menjadi lembaga keuangan yang lebih tangguh, adaptif, dan berdaya saing.

Apa itu Bank Perekonomian Rakyat (BPR)?

Sistem perbankan di Indonesia secara yuridis membagi jenis bank berdasarkan kegiatan usahanya. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, yang selanjutnya disebut dengan “UU Perbankan”, mengklasifikasikan jenis bank menjadi:

1.        Bank dari segi usahanya dibagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu antara lain: Bank UmumBank Perkreditan Rakyat (BPR) (vide Pasal 5 ayat (1) UU tentang Perbankan), Bank Khusus (vide Pasal 5 ayat (2) UU tentang Perbankan);

2.       Bank dari segi kepemilikan yaitu Bank Milik Negara dan Bank Milik Swasta;

3.      Bank dari segi operasional yaitu Bank Devisa dan Bank Non-Devisa.

Sebelum berlakunya UU P2SK, institusi ini dikenal dengan nama “Bank Perkreditan Rakyat”. Namun, UU P2SK secara resmi mengubah nomenklatur tersebut. Definisi formal BPR kini tertuang dalam Pasal 1 Angka 3 UU tentang Perbankan, yang menyatakan:

“Bank Perekonomian Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung.”

Definisi ini kemudian dipertegas dan dioperasionalkan lebih lanjut dalam peraturan pelaksananya. Pasal 1 angka 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2024 tentang Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut dengan “POJK No. 7/2024”, memberikan definisi yang selaras, yaitu:

“Bank Perekonomian Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah bank konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung.”

Kedua definisi tersebut menegaskan batasan operasional utama BPR, yakni tidak terlibat dalam lalu lintas pembayaran giral secara langsung, sekaligus secara formal mengakhiri penggunaan istilah “Bank Perkreditan Rakyat” dalam seluruh tatanan regulasi di Indonesia.

Siapa yang Dapat mendirikan BPR?

Pendirian sebuah Bank Perekonomian Rakyat (BPR) diatur secara ketat untuk menjamin integritas dan stabilitas lembaga. Pasal 3 ayat (1) POJK No. 7/2024, menetapkan bahwa pendiri BPR dapat terdiri dari:

1.        Warga Negara Indonesia (WNI); dan/atau

2.       Badan Hukum Indonesia.

Secara spesifik, BPR hanya dapat didirikan dan menjalankan kegiatan usahanya setelah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan bentuk badan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 POJK No. 7/2024.

Regulasi memberikan perhatian khusus apabila pendiri BPR adalah Badan Hukum Indonesia yang akan bertindak sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP). PSP didefinisikan sebagai badan hukum yang memiliki 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham BPR, atau memiliki kurang dari 25% saham namun terbukti melakukan pengendalian BPR baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk badan hukum yang akan menjadi PSP, Pasal 3 ayat (2) POJK No. 7/2024 mensyaratkan bahwa badan hukum tersebut:

“...harus telah beroperasi dalam jangka waktu sesuai dengan Peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.”

Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan bahwa entitas yang mengendalikan BPR memiliki rekam jejak operasional yang teruji dan memenuhi standar kelayakan dan kepatutan yang ditetapkan OJK. Meskipun demikian, OJK memiliki kewenangan diskresioner untuk menetapkan jangka waktu operasional yang berbeda berdasarkan pertimbangan tertentu, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) POJK No. 7/2024.

Sebagai bagian dari mekanisme pengawasan OJK, setiap BPR wajib mencantumkan klausul spesifik dalam anggaran dasarnya. Pasal 5 POJK No. 7/2024 mengharuskan anggaran dasar memuat pernyataan bahwa beberapa aksi korporasi krusial baru akan berlaku efektif setelah memperoleh persetujuan dari OJK. Aksi korporasi tersebut meliputi:

a.       Penambahan modal disetor dan perubahan kepemilikan saham yang mengakibatkan perubahan PSP;

b.      Pengangkatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; dan

c.       Pengangkatan anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS), bagi BPR Syariah.

Klausul ini berfungsi sebagai gerbang kendali (control gate) bagi OJK untuk memastikan bahwa setiap perubahan strategis dan personel kunci di dalam BPR telah melalui proses seleksi dan persetujuan yang sesuai dengan standar regulasi.

Berapa Modal BPR yang Disetor?

Kekuatan fundamental sebuah lembaga perbankan berakar pada kecukupan modalnya (capital adequacy). Modal tidak hanya berfungsi sebagai penyangga risiko (risk buffer), tetapi juga sebagai fondasi bagi ekspansi usaha dan kepercayaan publik. Menyadari hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerapkan pendekatan berjenjang (tiered approach) dalam menetapkan modal disetor minimum untuk pendirian BPR.

Pendekatan ini didasarkan pada analisis kewilayahan yang membagi Indonesia ke dalam tiga zona ekonomi. Pasal 6 ayat (1) POJK No. 7/2024, menetapkan modal disetor minimum sebagai berikut:

-        Zona 1: Sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);

-        Zona 2: Sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)’

-        Zona 3: Sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).

Kebijakan zonasi ini bukanlah sekadar pembagian administratif, melainkan sebuah instrumen regulasi yang canggih dan berbasis risiko. Logika di baliknya adalah bahwa setiap wilayah memiliki karakteristik ekonomi dan lanskap persaingan yang berbeda.

-         Zona 1, yang umumnya mencakup wilayah metropolitan dengan potensi ekonomi masif dan tingkat persaingan lembaga jasa keuangan yang sangat tinggi, menuntut BPR memiliki modal yang sangat kuat untuk dapat bertahan dan bersaing secara efektif;

-         Sebaliknya, Zona 3, yang mungkin mencakup daerah dengan potensi ekonomi yang masih berkembang, memiliki ambang batas modal yang lebih rendah untuk mendorong inklusi keuangan dan pendirian BPR di wilayah yang kurang terlayani (underserved areas).

Pembagian zona secara rinci tercantum dalam Lampiran Bagian A POJK No. 7/2024, yang menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dari peraturan tersebut.

Berikut pembagian zona-zona sebagaimana yang dimaksud:

Untuk mengantisipasi dinamika ekonomi yang tidak terduga atau tingkat risiko spesifik pada suatu daerah, OJK membekali diri dengan kewenangan diskresioner. Pasal 6 ayat (2) POJK No. 7/2024 memberikan OJK wewenang untuk menetapkan jumlah modal disetor yang lebih tinggi dari standar minimum berdasarkan pertimbangan tertentu.

Lebih lanjut, regulasi ini memastikan bahwa modal yang disetor tidak hanya menjadi angka di atas kertas. Ditegaskan bahwa paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari modal disetor tersebut wajib dialokasikan sebagai modal kerja. Ketentuan ini secara efektif memaksa BPR untuk segera menyalurkan dana yang dihimpun ke sektor riil, menjalankan fungsi intermediasi, dan berkontribusi langsung pada perekonomian masyarakat sejak awal pendiriannya.

Bidang Usaha Bank Perekonomian Rakyat (BPR)

 Transformasi dari “Bank Perkreditan Rakyat” menjadi “Bank Perekonomian Rakyat” tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga diikuti dengan ekspansi kewenangan kegiatan usaha yang signifikan. UU P2SK secara sadar memperluas horizon operasional BPR agar lebih relevan dan mampu menjawab kebutuhan ekonomi modern di tingkat lokal.

Kegiatan usaha BPR yang baru kini diatur secara komprehensif dalam Pasal 13 ayat (1) UU Perbankan. Lingkup kegiatannya meliputi:

a.     Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan berupa Tabungan dan Deposito berjangka;

b.     Menyalurkan dana dalam bentuk Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah;

c.     Melakukan kegiatan transfer dana, baik untuk kepentingan sendiri maupun nasabah;

d.     Menempatkan dana pada Bank lain, meminjam dana dari Bank lain, atau meminjamkan dana kepada Bank lain (kegiatan pasar uang antar bank);

e.     Melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing (money changer);

f.      Melakukan penyertaan modal pada lembaga penunjang BPR;

g.     Melakukan kerja sama dengan lembaga jasa keuangan (LJK) lain maupun non-LJK untuk pemberian layanan jasa keuangan (termasuk keagenan dan pemasaran produk asuransi/bancassurance);

h.     Melakukan kegiatan pengalihan piutang (anjak piutang); dan/atau

i.      Melakukan kegiatan lain setelah memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Untuk menjaga fokus BPR pada segmen usaha mikro, kecil, dan menengah serta memitigasi risiko sistemik, UU Perbankan juga menetapkan batasan-batasan yang tegas. Pasal 14 UU Perbankan secara eksplisit melarang BPR untuk:

a.       Menerima Simpanan berupa Giro (ini adalah pembeda utama dengan Bank Umum);

b.      Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali sebatas kegiatan penukaran valuta asing yang telah diizinkan;

c.       Melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga penunjang BPR sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f;

d.      Membeli Surat Berharga, kecuali yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah Pusat, atau Pemerintah Daerah;

e.       Melakukan usaha perasuransian, kecuali sebatas memasarkan produk asuransi dalam skema kerja sama; dan

f.        Melakukan usaha lain di luar kegiatan yang telah diatur.

Larangan-larangan ini secara kolektif membentuk “DNA” BPR sebagai lembaga keuangan yang lincah, fokus pada komunitas lokal, dan memiliki profil risiko yang lebih terkelola dibandingkan Bank Umum.

Seiring dengan perkembangan teknologi, BPR tidak lagi terbatas pada layanan di kantor fisik. OJK secara aktif mendorong digitalisasi BPR untuk meningkatkan efisiensi dan jangkauan layanan. Ketentuan mengenai layanan berbasis teknologi, yang sebelumnya tersebar dalam berbagai peraturan sebagaimana dalam Pasal 1 Angka 6 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat atau yang kita sebut dengan PBI Nomor 8/26/PBI 2006, yang mengatur terkait dengan Kegiatan Kas di Luar Kantor yaitu kegiatan pelayanan kas kepada masyarakat, antara lainnya BPR dapat menyelenggarakan layanan seperti Anjungan Tunai Mandiri (ATM), cash deposit machine (CDM), payment point, hingga layanan perbankan digital lainnya setelah memperoleh persetujuan dari OJK. Hal ini memungkinkan BPR untuk bersaing dan menyediakan kemudahan transaksi bagi nasabahnya, sejalan dengan mandatnya sebagai pilar perekonomian rakyat di era digital.

Produk dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Berdasarkan lingkup kegiatan usahanya, BPR memiliki tiga produk fundamental yang menjadi pilar utama dalam menjalankan fungsi intermediasinya di tengah masyarakat. Produk-produk ini secara langsung merefleksikan mandat BPR untuk menghimpun dan menyalurkan dana dari dan untuk perekonomian rakyat. Produk tersebut adalah:

1.        Tabungan;

2.       Deposito; dan

3.      Kredit.

Definisi secara hukum untuk produk penghimpunan dana BPR bersumber langsung dari undang-undang induk perbankan. Misalnya, tabungan didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 9 UU Perbankan, sebagai:

“simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.”

Deposita didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 7 UU Perbankan sebagai:

“simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank.”

Definisi “Kredit” sebagai produk utama penyaluran dana BPR diatur secara berjenjang, mulai dari definisi umum dalam undang-undang hingga definisi teknis dalam peraturan pelaksananya. Definisi Umum (Menurut UU Perbankan) Dasar dari semua definisi kredit perbankan di Indonesia tertuang dalam Pasal 1 Angka 11 UU Perbankan, yang menyatakan bahwa Kredit adalah:

“penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Definisi yang berlaku saat ini secara spesifik untuk BPR tertuang dalam Pasal 1 angka 1 POJK No. 1/2024. Pasal tersebut mendefinisikan Kredit sebagai:

“penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara BPR dan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga termasuk pengalihan piutang.”

Penambahan frasa “termasuk pengalihan piutang” dalam POJK No. 1/2024 merupakan penegasan penting yang menyelaraskan definisi teknis kredit dengan perluasan kegiatan usaha BPR yang kini diizinkan untuk melakukan anjak piutang, sebagaimana diatur dalam UU Perbankan yang baru. Definisi ini menjadi rujukan utama bagi BPR dalam mengelola dan melaporkan portofolio aset produktifnya.

Jenis-Jenis Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Fungsi utama Bank Perekonomian Rakyat (BPR) adalah sebagai lembaga intermediasi yang menyalurkan dana kepada masyarakat melalui produk kredit. Secara umum dan praktik perbankan, kredit yang disalurkan oleh BPR dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan penggunaannya menjadi tiga kategori utama:

1.        Kredit Modal Kerja;

2.       Kredit Investasi;

3.      Kredit Konsumtif.

Meskipun klasifikasi ini tidak lagi secara eksplisit diatur dalam satu pasal definitif pada peraturan OJK terbaru, pembedaan ini tetap relevan secara praktis dan esensial dalam analisis bisnis serta manajemen risiko perbankan. Setiap jenis kredit memiliki karakteristik, jangka waktu, dan sumber pengembalian yang berbeda, yang memengaruhi bagaimana BPR menilai kelayakan dan mengelola risikonya.

 Kredit Modal Kerja

Kredit Modal Kerja adalah fasilitas kredit yang diberikan kepada pelaku usaha (baik perorangan maupun badan usaha) untuk membiayai kebutuhan operasional sehari-hari yang habis dalam satu siklus usaha. Tujuannya adalah untuk menjaga kelancaran arus kas (cash flow) dan aktivitas bisnis, bukan untuk pembelian aset jangka panjang.

a.       Contoh Penggunaan: Pembelian bahan baku, pembayaran gaji karyawan, pelunasan utang dagang, dan biaya operasional lainnya.

b.      Karakteristik Utama:

-         Jangka Waktu: Umumnya pendek (kurang dari 1 tahun), disesuaikan dengan siklus perputaran usaha debitur.

-         Sumber Pengembalian: Berasal dari hasil penjualan atau pendapatan operasional usaha debitur.

-         Sifat: Revolving (dapat ditarik dan dilunasi berulang kali sesuai plafon) atau non-revolving.

Kredit Investasi

Kredit Investasi adalah fasilitas kredit jangka menengah hingga panjang yang ditujukan untuk membiayai pengadaan barang modal atau aset tetap dalam rangka ekspansi, modernisasi, atau pendirian usaha baru.

a.       Contoh Penggunaan: Pembelian mesin produksi, pembangunan pabrik atau gudang, pengadaan kendaraan operasional, atau renovasi tempat usaha.

b.      Karakteristik Utama:

-         Jangka Waktu: Menengah hingga panjang (biasanya di atas 1 tahun), disesuaikan dengan usia ekonomis aset yang dibiayai.

-         Sumber Pengembalian: Berasal dari keuntungan atau laba usaha yang dihasilkan dari penggunaan aset investasi tersebut di masa depan.

-         Pencairan: Biasanya dilakukan sekaligus di awal (lump sum) atau bertahap sesuai progres realisasi investasi.

Kredit Konsumtif

Kredit Konsumtif adalah fasilitas kredit yang diberikan kepada perorangan untuk membiayai kebutuhan konsumsi pribadi yang tidak bersifat produktif atau tidak menghasilkan keuntungan. Tujuannya adalah untuk pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, atau tersier.

a.       Contoh Penggunaan: Pembelian rumah (KPR), pembelian kendaraan bermotor (KKB), biaya pendidikan, biaya pengobatan, renovasi rumah, atau pembelian perabot rumah tangga;

b.      Karakteristik Utama:

-         Jangka Waktu: Bervariasi dari pendek hingga panjang, tergantung jenis kebutuhan yang dibiayai.

-         Sumber Pengembalian: Berasal dari pendapatan atau gaji tetap debitur, bukan dari hasil usaha.

-         Sifat: Merupakan porsi kredit yang paling umum diakses oleh individu untuk meningkatkan kualitas hidup.

Prinsip Kehati-hatian dalam Penyaluran Kredit

Terlepas dari jenis kredit yang disalurkan, BPR diwajibkan untuk beroperasi di bawah payung prinsip kehati-hatian (prudential principle). Kewajiban ini merupakan amanat fundamental dalam industri perbankan untuk melindungi dana masyarakat dan menjaga stabilitas lembaga. Pasal 2 ayat (1) POJK No. 1/2024, secara tegas menyatakan:

“BPR wajib mengelola Aset berdasarkan prinsip kehati-hatian.”

Implementasi prinsip ini dalam penyaluran kredit mencakup, namun tidak terbatas pada, penerapan analisis 5C (Character, Capacity, Capital, Condition, Collateral), manajemen risiko yang efektif, penyusunan perjanjian kredit yang jelas dan mengikat secara hukum, serta pemantauan berkelanjutan terhadap kondisi keuangan debitur.

Penggolongan Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Manajemen kualitas aset, khususnya kredit, adalah jantung dari prinsip kehati-hatian perbankan. Ini adalah mekanisme vital bagi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) untuk mengukur risiko, melindungi modal, dan memastikan keberlangsungan usahanya. Kerangka hukum yang mengatur pilar ini telah diperbarui secara komprehensif melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Kualitas Aset Bank Perekonomian Rakyat, yang selanjutnya disebut dengan POJK No. 1/2024. Peraturan ini secara resmi mencabut dan menggantikan POJK No. 33/POJK.03/2018.

Berdasarkan Pasal 9 POJK No. 1/2024, kualitas kredit wajib digolongkan ke dalam 5 (lima) kategori kolektibilitas, yaitu:

1.        Lancar;

2.       Dalam Perhatian Khusus (DPK);

3.      Kurang Lancar;

4.       Diragukan;

5.       Macet.

POJK No. 1/2024 mempertahankan pendekatan dua pilar (two-pillar approach) dalam menilai kualitas kredit, yang didasarkan pada besaran plafon kredit yang diterima oleh satu debitur.

1.        Penilaian Berdasarkan Ketepatan Pembayaran (Untuk Kredit ≤ Rp2 Miliar) Untuk kredit dengan jumlah sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), penilaian kualitasnya didasarkan pada satu faktor utama: ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga. Pendekatan ini lebih sederhana dan ditujukan untuk portofolio kredit mikro dan kecil yang volumenya besar.

2.       Penilaian Berdasarkan Tiga Pilar (Untuk Kredit > Rp2 Miliar) Untuk kredit dengan jumlah lebih dari Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), BPR wajib melakukan analisis yang lebih mendalam berdasarkan tiga pilar penilaian, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) POJK No. 1/2024:

-         Prospek Usaha: Menganalisis potensi pertumbuhan, kondisi pasar, kualitas manajemen, dan dukungan dari grup usaha.

-         Kinerja Debitur: Menilai perolehan laba, kondisi permodalan, dan arus kas debitur.

-         Kemampuan Membayar: Mengevaluasi ketepatan pembayaran, kelengkapan dokumentasi kredit, kepatuhan terhadap perjanjian, dan kewajaran sumber pembayaran.

Prinsip Kualitas Tunggal (One-Obligor Concept)

Untuk memastikan penilaian risiko yang konservatif, POJK No. 1/2024 menerapkan prinsip kualitas tunggal. Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa jika seorang debitur memiliki beberapa rekening kredit, maka BPR wajib menetapkan kualitas yang sama untuk seluruh kredit tersebut.

Jika dalam penilaian ditemukan kualitas yang berbeda, maka BPR wajib mengikuti kualitas kredit yang paling rendah. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (2) POJK No. 1/2024:

“Dalam hal terdapat perbedaan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR wajib menetapkan kualitas masing-masing Kredit mengikuti kualitas Kredit yang paling rendah.”

Contoh Praktis: BPR B memberikan fasilitas Kredit Investasi dan Kredit Modal Kerja kepada Debitur A. Setelah dianalisis, hasilnya adalah:

1.        Kredit Investasi: Lancar

2.       Kredit Modal Kerja: Kurang Lancar

Berdasarkan prinsip di atas, maka BPR B wajib menetapkan kualitas kedua kredit tersebut sebagai Kurang Lancar. Ini mencegah BPR menyembunyikan risiko dengan hanya melihat kredit yang performanya baik.

Implikasi Finansial: Penyisihan Penghapusan Aset (PPA)

Setiap penurunan kualitas kredit memiliki konsekuensi finansial langsung bagi BPR. BPR wajib membentuk dana cadangan yang disebut Penyisihan Penghapusan Aset (PPA). Pasal 14 POJK No. 1/2024 mengatur pembentukan PPA, yang terdiri dari PPA Umum dan PPA Khusus.

1.        PPA Umum: Ditetapkan paling sedikit 0,5% (nol koma lima persen) dari seluruh kredit dengan kualitas Lancar;

2.       PPA Khusus: Ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari kredit non-lancar (Non-Performing Loan) setelah dikurangi nilai agunan yang dapat diperhitungkan. Persentase minimumnya adalah:

-       3% dari kredit berkualitas Dalam Perhatian Khusus (DPK).

-       10% dari kredit berkualitas Kurang Lancar.

-       50% dari kredit berkualitas Diragukan.

-       100% dari kredit berkualitas Macet.

Kewajiban membentuk PPA ini adalah instrumen krusial yang memaksa BPR untuk secara realistis mencadangkan potensi kerugian dari kredit bermasalah, sehingga modal BPR tidak tergerus secara tiba-tiba saat terjadi gagal bayar.

Jaminan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Dalam setiap perjanjian kredit, jaminan atau agunan memegang peranan esensial sebagai instrumen mitigasi risiko bagi kreditur. Jaminan memberikan secondary way out atau jalur pelunasan sekunder bagi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) apabila debitur mengalami wanprestasi. Secara umum, hukum jaminan di Indonesia mengenal dua kategori utama:

1.        Jaminan Perorangan (Personal Guarantee)

Jaminan ini lahir dari perikatan di mana seorang pihak ketiga (guarantor atau penjamin) setuju untuk menanggung pembayaran utang debitur jika debitur gagal memenuhinya. Dasar hukumnya terletak pada prinsip umum perikatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata yang mengatur bahwa seluruh harta kekayaan seseorang menjadi tanggungan bagi utang-utangnya;

2.       Jaminan Kebendaan (Security Rights over Assets)

Jaminan ini memberikan hak preferen (hak didahulukan) kepada kreditur atas suatu benda tertentu milik debitur. Karakteristik utamanya adalah droit de suite (hak yang mengikuti bendanya di tangan siapa pun benda itu berada). Jenis jaminan kebendaan yang paling umum digunakan dalam praktik BPR meliputi:

-         Hak Tanggungan: Untuk jaminan berupa tanah dan/atau bangunan, diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah;

-         Jaminan Fidusia: Untuk jaminan berupa benda bergerak (baik berwujud maupun tidak berwujud), seperti kendaraan atau piutang, diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Mekanisme Penyelesaian Kredit Macet: Agunan yang Diambil Alih (AYDA)

Ketika seorang debitur dinyatakan macet dan upaya restrukturisasi tidak berhasil, BPR dapat melakukan eksekusi terhadap jaminan. Salah satu mekanisme penyelesaiannya adalah melalui pengambilalihan agunan, atau yang dikenal sebagai Agunan yang Diambil Alih (AYDA).

Ketentuan mengenai AYDA kini diatur secara spesifik dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Kualitas Aset Bank Perekonomian Rakyat, yang selanjutnya disebut dengan “POJK No. 1/2024”.

Menurut Pasal 1 Angka 11 POJK No. 1/2024, AYDA didefinisikan sebagai:

“aset yang diperoleh BPR untuk penyelesaian Kredit, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasarkan surat kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik Agunan dalam hal Debitur telah dinyatakan wanprestasi.”

Penting untuk dipahami bahwa kepemilikan BPR atas AYDA bersifat sementara. BPR wajib melakukan penjualan AYDA sesegera mungkin untuk memulihkan kerugian kredit.

Prosedur Penilaian dan Pengelolaan AYDA

POJK No. 1/2024 mengatur prosedur penilaian AYDA secara ketat untuk menjamin objektivitas dan kewajaran. Pada saat pengambilalihan, BPR wajib melakukan penilaian untuk menetapkan nilai realisasi bersih. Prosedur penilaiannya diatur secara berjenjang:

-         Untuk AYDA dengan nilai sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), penilaian dapat dilakukan oleh penilai internal BPR.

-         Untuk AYDA dengan nilai lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), penilaian wajib dilakukan oleh penilai independen.

Selanjutnya, BPR juga diwajibkan melakukan penilaian kembali secara berkala. Aturan akuntansinya sangat konservatif:

1.        Jika nilai AYDA mengalami penurunan, BPR wajib mengakuinya sebagai kerugian.

2.       Jika nilai AYDA mengalami peningkatan, BPR dilarang mengakuinya sebagai pendapatan hingga aset tersebut benar-benar terjual.

Prinsip ini dirancang untuk mencegah BPR melebih-lebihkan nilai asetnya dan memastikan bahwa laporan keuangan BPR mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya dan berlandaskan prinsip kehati-hatian.

Penanganan Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang Macet

Ketika seorang debitur mulai menunjukkan kesulitan dalam memenuhi kewajibannya, BPR tidak serta-merta melakukan eksekusi jaminan. Langkah pertama yang diamanatkan oleh prinsip kehati-hatian adalah melakukan upaya penyelamatan melalui Restrukturisasi Kredit. Tujuannya adalah untuk membantu debitur yang masih memiliki itikad baik dan prospek usaha yang layak agar dapat pulih dan kembali memenuhi kewajibannya.

Kerangka hukum untuk restrukturisasi kredit BPR kini diatur secara komprehensif dalam Bab IV Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Kualitas Aset Bank Perekonomian Rakyat, yang selanjutnya disebut dengan “POJK No. 1/2024”.

Berdasarkan Pasal 19 ayat (2) POJK No. 1/2024, BPR dapat melakukan Restrukturisasi Kredit terhadap debitur yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.       Debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga Kredit; dan

b.      Debitur memiliki prospek usaha yang baik dan dinilai mampu memenuhi kewajiban setelah Kredit direstrukturisasi.

Upaya restrukturisasi ini dapat dilakukan melalui tiga skema utama, yang dapat diimplementasikan secara terpisah maupun gabungan.

1.       Penjadwalan Kembali (Rescheduling)

Rescheduling adalah skema restrukturisasi yang paling sederhana. Fokus utamanya adalah memberikan kelonggaran waktu kepada debitur tanpa mengubah persyaratan kredit lainnya secara signifikan. Menurut Penjelasan Pasal 19 ayat (3) huruf a POJK No. 1/2024, rescheduling dilakukan dengan cara:

“berupa perubahan jadwal pembayaran kewajiban Debitur dan/atau perubahan jangka waktu.”

Contoh Praktis: Jangka waktu kredit seorang debitur diperpanjang dari 3 tahun menjadi 5 tahun. Hal ini akan memperkecil jumlah angsuran bulanan, sehingga diharapkan menjadi lebih terjangkau bagi debitur yang sedang mengalami kesulitan arus kas sementara.

2.       Persyaratan Kembali (Reconditioning)

Reconditioning melibatkan intervensi yang lebih dalam terhadap syarat-syarat kredit. Tujuannya adalah untuk meringankan beban finansial debitur secara langsung. Berdasarkan Penjelasan Pasal 19 ayat (3) huruf b POJK No. 1/2024, reconditioning adalah:

“berupa perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Kredit.”

Perubahan ini bisa mencakup, antara lain:

-       Penurunan suku bunga kredit.

-       Pembebasan atau keringanan bunga berjalan.

-       Perubahan jumlah angsuran.

Contoh Praktis: Suku bunga kredit debitur diturunkan dari 18% per tahun menjadi 12% per tahun untuk periode tertentu, guna membantu debitur memulihkan kondisi keuangannya.

3.       Penataan Kembali (Restructuring)

Restructuring adalah skema restrukturisasi yang paling komprehensif dan seringkali melibatkan intervensi pada struktur permodalan kredit itu sendiri. Menurut Penjelasan Pasal 19 ayat (3) huruf c POJK No. 1/2024, restructuring dilakukan melalui:

“penambahan dana, konversi tunggakan menjadi pokok Kredit baru, dan/atau konversi Kredit menjadi penyertaan modal sementara pada Debitur.”

Skema ini dapat diuraikan menjadi:

-       Penambahan Fasilitas Kredit: Memberikan suntikan dana baru kepada debitur untuk memperkuat modal kerjanya.

-       Konversi Tunggakan: Mengubah tunggakan bunga atau denda menjadi bagian dari pokok kredit baru, yang kemudian diangsur kembali.

-       Konversi Menjadi Penyertaan Modal: Skema paling kompleks di mana BPR mengubah piutangnya menjadi kepemilikan saham sementara pada perusahaan debitur (hanya berlaku untuk debitur berbentuk Perseroan Terbatas).

Implementasi yang tepat dari ketiga skema ini memungkinkan BPR untuk tidak hanya menyelamatkan aset kreditnya, tetapi juga menjalankan perannya sebagai mitra finansial yang mendukung keberlangsungan usaha nasabahnya di masa-masa sulit.

Penyelesaian Kredit Macet Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Ketika upaya restrukturisasi telah mencapai jalan buntu dan debitur tetap tidak dapat memenuhi kewajibannya (wanprestasi), BPR akan memasuki tahap akhir, yaitu penyelesaian kredit melalui eksekusi jaminan atau jalur hukum lainnya. Tahap ini merupakan langkah ultimum remedium (upaya terakhir) untuk memulihkan dana yang telah disalurkan.

1.       Eksekusi Agunan Melalui Lelang (KPKNL)

Jalur utama dan yang paling umum untuk penyelesaian kredit macet dengan jaminan kebendaan (Hak Tanggungan atau Fidusia) adalah melalui lelang eksekusi. Proses ini dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), yang beroperasi di bawah Kementerian Keuangan. Dasar hukum pelaksanaannya adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Secara historis, terdapat perbedaan perlakuan hukum antara Bank Umum dan BPR terkait pembelian agunan dalam proses lelang. Namun, ketidaksetaraan ini telah dikoreksi melalui sebuah putusan yudisial yang transformatif. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 102/PUU-XVIII/2020 mengabulkan uji materiil terhadap Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan. Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa “Bank Umum” dalam pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup “Bank Perekonomian Rakyat”. Dengan demikian, bunyi pasal tersebut yang berlaku saat ini adalah:

“Bank Umum dan Bank Perekonomian Rakyat dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.”

Putusan ini adalah sebuah tonggak sejarah yang memberikan kedudukan hukum yang setara (level playing field) bagi BPR, memungkinkan BPR untuk membeli agunannya sendiri dalam lelang (sebagai pembeli terakhir) untuk kemudian dijual kembali. Ini memberikan fleksibilitas dan alat pemulihan kerugian yang sebelumnya hanya dimiliki oleh Bank Umum.

2.       Penyelesaian Melalui Jalur Litigasi (Pengadilan)

Apabila terdapat sengketa atau permasalahan hukum yang menghalangi eksekusi langsung, BPR dapat menempuh jalur litigasi melalui pengadilan, antara lain:

-         Gugatan Wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum: Diajukan ke Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memperoleh putusan yang menghukum debitur membayar utangnya, yang kemudian dapat menjadi dasar untuk penyitaan dan lelang aset. Dasar hukumnya adalah Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) untuk wanprestasi atau Pasal 1365 KUHPerdata untuk perbuatan melawan hukum;

-         Permohonan Pailit: Jika debitur memiliki lebih dari satu kreditur dan tidak mampu membayar utangnya, BPR dapat mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

3.       Penyelesaian Melalui Jalur Non-Litigasi (Arbitrase)

Jika dalam perjanjian kredit disepakati adanya klausul arbitrase, maka penyelesaian sengketa kredit macet harus dilakukan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding). Jalur ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Contoh Kasus Hukum dalam Praktik

Untuk memberikan gambaran konkret mengenai implementasi hukum dalam sengketa kredit BPR, berikut adalah dua contoh putusan pengadilan yang relevan:

1.        Kasus Wanprestasi Sederhana Dalam Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Magelang di Mungkid Nomor 19/Pdt.G.S/2019/PN Mkd, tertanggal 16 Desember 2019, PT. Bank Perkreditan Rakyat Danarakyat Sentosa Magelang (Penggugat) mengajukan gugatan sederhana terhadap nasabahnya (Tergugat) yang telah lalai membayar angsuran kredit. Majelis Hakim mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan Tergugat telah melakukan wanprestasi serta menghukum Tergugat untuk melunasi seluruh sisa utangnya kepada BPR. Putusan ini menunjukkan efektivitas jalur gugatan sederhana untuk kredit dengan nilai sengketa yang relatif kecil, memberikan kepastian hukum bagi BPR untuk menagih piutangnya.

2.       Kasus Gugatan Terkait Agunan Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 951 K/Pdt/2023, tertanggal 10 April 2023, sengketa berawal dari lelang eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh sebuah BPR terhadap agunan milik debitur yang kreditnya macet. Pemenang lelang (Penggugat) kemudian menggugat debitur (Tergugat) untuk mengosongkan agunan. Mahkamah Agung dalam putusannya menguatkan putusan pengadilan di tingkat sebelumnya yang menyatakan bahwa lelang yang dilakukan sesuai prosedur hukum adalah sah, dan pemenang lelang adalah pemilik yang sah atas objek sengketa. Putusan ini menegaskan kekuatan eksekutorial dari Hak Tanggungan dan memberikan perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang memenangkan lelang aset BPR.

Regulasi mengenai kredit Bank Perekonomian Rakyat telah mengalami evolusi signifikan, terutama pasca lahirnya UU P2SK dan serangkaian peraturan pelaksana dari OJK. Perubahan ini tidak hanya bersifat nomenklatur, tetapi juga memperluas kegiatan usaha, memperjelas struktur permodalan, dan memodernisasi kerangka manajemen risiko, mulai dari penyaluran, pengawasan kualitas aset, restrukturisasi, hingga penyelesaian kredit macet.

Bagi masyarakat, pemahaman yang komprehensif terhadap aturan main ini adalah kunci untuk dapat memanfaatkan produk BPR secara optimal sekaligus melindungi hak dan kewajiban hukumnya. Bagi BPR itu sendiri, ketaatan pada prinsip kehati-hatian dan kerangka hukum yang berlaku adalah fondasi utama untuk tumbuh secara berkelanjutan dan menjalankan mandatnya sebagai motor penggerak perekonomian di tingkat akar rumput. Dengan kerangka hukum yang semakin kokoh dan setara, BPR kini memiliki landasan yang kuat untuk menjadi lembaga keuangan yang tangguh, adaptif, dan berdaya saing tinggi.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.