layananhukum

Pengenaan Pajak terhadap Pelaku Usaha Mikro Kecil (PUMK)


Pertanyaan


Selamat malam bang, saya menjalankan satu usaha yang sudah hampir 5 tahun saya menyewa suatu toko kecil yang terbuat dari lapak kayu pinggir jalan. Dimana status tanah tersebut adalah milik negara atau tanah negara yang disewakan oleh intansi dan boleh untuk disewakan. Pertanyaannya apakah saya  sudah terkena wajib pajak? Omset kotor penghasilan usaha saya sekitar -+25 juta perbulan dan pendapatan sekitar 8-12 juta perbulan. Saya juga terkendala izin usaha soalnya pengurusannya agak ribet. Soalnya bangunan didirikan di atas tanah negara. Inti, pertanyaan saya apakah toko saya sudah wajib pajak dengan jumlah omset pendapatan di atas? Seandainya sudah wajib pajak apakah pengurusan pajak tanpa izin usaha itu bisa? Semoga dijawab Terima kasih bang.


Jawaban


    Pengantar

    Perizinan Usaha

    Ada beberapa hal yang masih perlu kami minta klarifikasi walau pun pertanyaan secara garis besarnya dapat kami jawab. Terkait dengan apa jenis usaha yang Anda jalankan serta terkendala dimana izin pengurusannya? Pemerintah telah melakukan reformasi regulasi yang signifikan untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. Landasan hukum utamanya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan “UU Cipta Kerja”. Salah satu perubahan fundamental dari regulasi ini adalah penyederhanaan proses perizinan bagi pelaku usaha melalui sistem elektronik terintegrasi, yang mana dikenal juga dengan istilah One Single Submission (OSS).

    Berbeda dengan proses perizinan sebelumnya, OSS menitikberatkan pula terhadap tingkat risiko yang diberikan oleh masing-masing jenis usaha yang kemudian menjadikan OSS berubah menjadi OSS Risk Based Approached (OSS-RBA), yaitu risiko yang menjadi dasar Perizinan Berusaha diberikan.

    Mekanisme perizinan saat ini diatur secara komprehensif dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang selanjutnya disebut dengan PP 28/2025. Peraturan ini secara tegas mencabut dan menggantikan PP 5/2021.

    Pasal 1 Angka 1 PP 28/2025 mendefinisikan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) sebagai:

    “perizinan berusaha yang menggunakan pendekatan berbasis risiko yang diperoleh dari hasil analisis risiko setiap kegiatan usaha.”

    Sesuai dengan Pasal 128 PP 28/2025, kegiatan usaha ditetapkan berdasarkan tingkat Risiko dan peringkat skala usaha, yang diklasifikasikan menjadi:

    a.       Kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah;

    b.      Kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah (terbagi atas menengah rendah dan menengah tinggi); dan

    c.       Kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi.

    Jenis perizinan berusaha ditentukan oleh tingkat risiko tersebut. Pasal 130 PP 28/2025 menyatakan bahwa untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah, perizinan berusaha yang diperlukan hanya berupa Nomor Induk Berusaha (NIB). Sementara itu, Pasal 131 ayat (1) PP 28/2025 mengatur bahwa untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah rendah, perizinan berusaha terdiri atas NIB dan Sertifikat Standar.

    Apabila Anda masih susah untuk mengurusnya kami dapat memastikan proses izin usaha Anda yang masuk dalam klasifikasi Mikro Kecil dapat berjalan dengan baik. Lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini

    Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil

    Sebelumnya Anda dapat membaca tulisan kami yang berjudul “Pengantar Hukum Pajak” bahwa untuk dapat dikenakan Pajak pada orang perorangan atau badan tentu harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan yang mana pemajakan terjadi apabila terpenuhi 2 (dua) syarat yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Baik syarat subjektif maupun syarat objektif berkaitan erat dengan ketentuan hukum perdata. (Ketentuan ini diatur secara mendasar dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang selanjutnya disebut dengan “UU PPh”.)


    Dalam konteks hal yang Anda tanyakan, kami menilai bahwa Anda masuk dalam klasifikasi Pelaku Usaha Mikro (PUM), yang mana disebutkan bahwa untuk menentukan kriteria Usaha apakah masuk dalam klasifikasi Mikro, Kecil, dan Menengah itu dapat dilihat dari modal usaha, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.

    Kriteria Usaha Mikro secara spesifik diatur dalam Pasal 35 ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang selanjutnya disebut dengan PP 7/2021, yang menyatakan bahwa:

    “Usaha Mikro memiliki kriteria modal usaha sampai dengan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.”

    Kemudian disebutkan bahwa untuk kriteria hasil penjualan tahunan untuk Usaha Mikro memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan paling banyak Rp2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). (vide Pasal 35 ayat (5) huruf a Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah)

    Kami melihat bahwa Anda masuk dalam klasifikasi ini. Mengingat penghasilan bruto Anda kurang lebih dalam 1 (bulan) Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Apabila dalam 1 (satu) tahun sekitar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

    Catatan:

    Untuk orang pribadi yang membuka usaha tetapi tidak melakukan pembukuan harus melakukan pencatatan terhadap penghasilan bruto yang diterima. Selanjutnya, atas penghasilan bruto harus dikalikan norma yang berlaku sehingga diperoleh penghasilan neto.  

    Dalam kasus Anda, kami berasumsi bahwa penghasilan neto yang Anda dapatkan dalam satu bulannya adalah kurang lebih Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Apabila dalam 1 (satu) tahun maka penghasilan Anda atau hasil keuntungan yang Anda dapatkan adalah Rp. 144.000.000,- (seratus empat puluh empat juta rupiah)

    Perlu diketahui sejak tanggal 7 Oktober 2021, DPR resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menjadi Undang-Undang. Aturan tersebut memuat berbagai peraturan, mulai dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Ketentuan Umum, hingga pengenalan Pajak Karbon sebagai upaya pemerintah melakukan reformasi perpajakan. Sebagai bentuk dukungan serta upaya menciptakan keadilan antara pelaku usaha, melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pemerintah memberikan insentif bagi para pelaku UMKM orang pribadi.

    Dasar hukum pengenaan PPh Final bagi UMKM saat ini adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut PP 55/2022. Peraturan ini mencabut PP 23/2018. Melalui UU HPP dan ditegaskan kembali dalam PP 55/2022, Pemerintah memberikan fasilitas khusus bagi Wajib Pajak orang pribadi, yaitu pembebasan pengenaan PPh atas bagian peredaran bruto (omzet) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam satu tahun pajak.


    Berikut merupakan ilustrasi penghitungan PPh sebelum dan sesudah berlakunya UU HPP.


    Dapat dilihat bahwa dengan adanya “Penghasilan Tidak Kena Pajak” (PTKP) sebesar Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dalam satu tahun, Wajib Pajak dapat menghemat beban pajak yang harus dikeluarkan sampai dengan Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus rupiah). Dengan demikian, bagi pengusaha orang pribadi UMKM dengan omzet kurang dari Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dalam satu tahun, tidak akan dikenakan pajak.

    Ketentuan fundamental mengenai fasilitas ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 60 ayat (1) PP 55/2022, yang menyatakan:

    “Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), atas bagian peredaran bruto dari usaha sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan.”

    Dengan demikian, kewajiban menyetorkan PPh Final sebesar 0,5% baru timbul pada bulan di mana omzet kumulatif Anda telah melampaui batas Rp500.000.000,00. Sepanjang memenuhi ketentuan yang diatur, PPh final bagi pelaku UMKM sebesar 0,5% baru mulai dibayarkan pada bulan saat omzetnya sudah melampaui Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Sementara itu, dasar pengenaan pajak (DPP)-nya dihitung dari selisih omzet yang diterima kemudian dikurangi Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

    Sederhananya, apabila wajib pajak orang pribadi belum memiliki penghasilan mencapai Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) maka belum ada kewajiban menyetorkan PPh final UMKM 0,5%. Kewajiban pembayaran pajak final hanya apabila penghasilan sudah melebihi Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Untuk memberikan pemahaman yang lebih konkret, Bagian Penjelasan Pasal 60 ayat (5) PP 55/2022 memberikan ilustrasi mengenai penghitungan PPh Final terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi sebagai berikut:

    “Tuan R merupakan wajib pajak orang pribadi yang baru terdaftar pada Januari 2022. Tuan R memiliki usaha toko elektronik dan memenuhi ketentuan untuk dapat dikenakan ppH bersifat final berdasarkan ketentuan PP 55/2022.”

    Begini, kira-kira secara konvensional menghitungnya:

    Omzet per bulan Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) , maka Rp100.000.000,- x 12 bulan = Rp1.200.000.000,-, (satu miliyar dua ratus juta rupiah), angka Rp1.200.000.000,- (satu miliyar dua ratus juta rupiah) sudah melebihi Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)  sehingga dikenakan Pajak UMKM sebesar 0,5%. Dengan rincian bulan 1-5 belum dikenakan pajak karena belum melebihi Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) , dan baru di bulan 6-12 (7 bulan) dikenakan pajak UMKM 0,5% sehingga perhitungannya: 0,5% x 700 jt = Rp3.500.000,- (tiga juta lima ratus).

    Kewajiban Membuat Nomor Pokok Wajib Pajak dan Membuat SPT

    Meski pun demikian, Anda harus memahami bahwa tetap betapa pentingnya melakukan Pendaftaran Diri untuk membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kemudian menghitung pajak terutang kemudian membayar pajak terutang tersebut melaporkan seluruh kegiatan usaha Anda dalam SPT Tahunan.

    Saran kami segera urus juga izin usaha Anda, karena dengan adanya integrasi sistem izin yang Anda dapatkan dan kewajiban Anda sebagai Wajib Pajak untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha Anda dalam SPT Tahunan itu akan meningkatkan iklim usaha serta menjamin keberlangsungan usaha yang Anda jalani.

    Informasi dan Konsultasi Lanjutan

    Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.

    Artikel ini telah di-update 16 September 2025