Pengantar
Pada hakikatnya, inovasi adalah manifestasi puncak
dari daya cipta intelektual manusia, sebuah penjelmaan dari imajinasi yang
diwujudkan menjadi solusi teknis. Dalam lanskap peradaban, kemajuan senantiasa
ditopang oleh kemampuan akal budi untuk memecahkan masalah. Di sinilah paten
menempatkan dirinya, bukan sekadar sebagai instrumen hukum, melainkan sebagai
sebuah kontrak sosial fundamental.
Negara, melalui sistem paten, memberikan hak eksklusif
yang bersifat temporer kepada seorang inventor sebagai penghargaan atas jerih
payahnya. Sebagai imbalannya, sang inventor diwajibkan untuk membuka selubung
kerahasiaan invensinya kepada khalayak, memperkaya khazanah pengetahuan
kolektif yang dapat menjadi fondasi bagi inovasi-inovasi selanjutnya. Ini
adalah sebuah pertukaran yang luhur yaitu monopoli terbatas demi kemajuan
peradaban yang tak terbatas.
Kerangka filosofis ini beresonansi kuat dengan adagium
hukum Ubi Jus Ibi Remedium, yang bermakna di mana ada hak, di situ ada
upaya pemulihannya. Paten adalah remedium atau pemulihan hukum atas
pengorbanan waktu, tenaga, dan kapital yang dicurahkan dalam proses penciptaan.
Namun, hak eksklusif ini bukanlah sebuah absolutisme tanpa batas.
Ia harus senantiasa ditundukkan pada adagium yang
lebih tinggi, Salus Populi Suprema Lex Esto, yang menegaskan bahwa
keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi. Dialektika antara
pelindungan hak individual inventor dan pemenuhan kepentingan publik yang lebih
luas, seperti akses terhadap kesehatan dan teknologi, menjadi jantung dari
setiap diskursus hukum paten.
Pengaturan hukum paten di Indonesia adalah arena yang
dinamis, bukan sebuah monumen yang statis. Kodifikasi modern yang dimulai
melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Paten, yang selanjutnya disebut dengan “UU Paten”, telah
mengalami serangkaian transformasi fundamental. Perubahan ini digulirkan
melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja, yang kemudian ditegaskan kembali melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi
Undang-Undang, dan mencapai puncaknya melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, yang selanjutnya
disebut dengan “UU 65/2024”.
Rangkaian amendemen ini bukanlah sekadar pembaruan
teknis, melainkan cerminan dari pergeseran paradigma dan tarik-menarik
kepentingan politik hukum negara. Di satu sisi, penghapusan kewajiban
implementasi paten di wilayah Indonesia (eks-Pasal 20 UU Paten) melalui UU
Cipta Kerja merefleksikan hasrat untuk menciptakan iklim yang ramah investasi
global.
Namun di sisi lain, UU 65/2024 justru
mengintroduksi kewajiban baru yang menegaskan kedaulatan negara atas kekayaan
hayatinya, yakni kewajiban pengungkapan asal-usul Sumber Daya Genetik dan
Pengetahuan Tradisional. Artikel ini akan membedah secara tuntas anatomi
rezim hukum paten Indonesia, dari fondasi filosofisnya hingga implikasi
praktisnya dalam realitas sosial-ekonomi.
Definisi Yuridis “Paten” dan “Invensi”
Untuk memahami bangunan hukum paten, pembedahan
terhadap dua konsep sentralnya, yakni “Paten” dan “Invensi”, menjadi sebuah
keniscayaan. Pasal 1 Angka 1 UU Paten sebagaimana telah diubah
dengan UU 65/2024, merumuskan definisi Paten sebagai berikut:
“hak
eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas invensinya di bidang
teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut
atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.”
Dari rumusan tersebut, dapat diurai beberapa unsur
esensial. Pertama, “hak eksklusif”, yang menegaskan sifat
monopoli dari hak paten, di mana pemegang paten memiliki hak tunggal untuk
mengeksploitasi invensinya secara komersial dan melarang pihak lain
melakukannya tanpa izin.
Kedua, “diberikan
oleh negara”, yang menggarisbawahi bahwa hak paten tidak timbul secara
otomatis (deklaratif), melainkan harus melalui proses permohonan dan
pemeriksaan hingga akhirnya diberikan oleh negara (konstitutif).
Ketiga,
objek pelindungannya adalah “invensi di bidang teknologi”, yang
membatasi lingkup paten hanya pada solusi-solusi teknis. Keempat,
pelindungan tersebut bersifat terbatas, yakni “untuk jangka waktu tertentu”.
Selanjutnya, Pasal 1 Angka 2 UU Paten sebagaimana
telah diubah dengan UU 65/2024, mendefinisikan Invensi sebagai:
“ide
inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang
spesifik di bidang teknologi berupa produk dan/atau proses, penyempurnaan,
dan/atau pengembangan produk dan/atau proses, serta sistem, metode, dan
penggunaan.”
Frasa kunci dalam definisi ini adalah “pemecahan
masalah yang spesifik di bidang teknologi”. Inilah yang menjadi garis
demarkasi antara sebuah invensi yang dapat dipatenkan dengan sebuah penemuan (discovery)
ilmiah semata. Sebuah penemuan hanya mengungkap fenomena yang sudah ada di
alam, sedangkan sebuah invensi menggunakan pengetahuan tersebut untuk
menciptakan suatu alat atau proses baru yang memecahkan masalah teknis.
Perubahan definisi dalam UU 65/2024 yang
secara eksplisit menambahkan “sistem, metode, dan penggunaan” memperluas
cakupan invensi untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi modern. Namun,
perluasan ini juga membawa konsekuensi, terutama terkait pengaburan batas
antara invensi dan penemuan. Penghapusan larangan paten untuk
“penggunaan baru untuk produk yang sudah ada” (eks-Pasal 4 huruf f UU
Paten) secara radikal mengadopsi praktik yang membuka pintu bagi evergreening
patents, di mana masa monopoli sebuah zat obat dapat diperpanjang dengan
mematenkan penggunaan-penggunaan barunya, yang berpotensi menunda ketersediaan
obat generik yang lebih terjangkau.
Paten dalam Sistem Hukum Kebendaan
Dalam konstelasi hukum perdata Indonesia, hak paten
tidak mengawang di ruang hampa. Ia memiliki kedudukan yang jelas sebagai bagian
dari hukum kebendaan. Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yang selanjutnya disebut dengan “KUHPerdata”, meletakkan fondasinya dengan
menyatakan:
“Menurut
paham undang-undang, yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan
tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.”.
Hak paten,
sebagai “hak” yang dapat dikuasai, secara inheren masuk dalam kategori
kebendaan.
Penegasan ini diperkuat secara eksplisit oleh Pasal
59 ayat (3) UU Paten, yang menyatakan bahwa
“Hak
atas Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan benda
bergerak tidak berwujud.”
Klasifikasi ini memiliki implikasi hukum yang sangat
signifikan. Sebagai benda bergerak tidak berwujud (imaterieel
vermogensrecht), hak paten dapat menjadi objek transaksi dan jaminan.
Ia dapat dialihkan melalui mekanisme hukum perdata seperti pewarisan, hibah,
wasiat, atau perjanjian tertulis (jual beli). Lebih lanjut, hak paten dapat
dijadikan objek jaminan fidusia, di mana hak kepemilikan atas paten
tersebut dialihkan sebagai agunan untuk memperoleh pembiayaan. Ketentuan
mengenai mekanisme pengalihan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara
Pencatatan Pengalihan Paten.
Evolusi Regulasi Paten Nasional
Perjalanan hukum paten di Indonesia adalah sebuah
narasi panjang tentang pencarian kedaulatan dan adaptasi terhadap tatanan
global. Akarnya dapat dilacak hingga era kolonial Belanda, di mana permohonan
paten dapat diajukan di Batavia, namun pemeriksaannya harus dilakukan di Octrooiraad
di Belanda, sebuah cerminan dari sentralisme hukum kolonial.
Setelah kemerdekaan, langkah awal menuju kedaulatan
hukum di bidang ini ditandai dengan Pengumuman Menteri Kehakiman pada tahun
1953, yang menjadi perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur paten.
Namun, tonggak sejarah yang sesungguhnya adalah
lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1989 tentang
Paten. Undang-undang ini merupakan kodifikasi modern pertama yang
secara komprehensif mengatur sistem paten nasional, menandai berakhirnya
ketergantungan pada warisan hukum kolonial dan dimulainya era kedaulatan
legislatif Indonesia di bidang kekayaan intelektual. Sejak saat itu,
hukum paten Indonesia terus berevolusi secara dinamis. Rangkaian revisi melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1989 tentang Paten, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, hingga UU Paten
tahun 2016 beserta serangkaian perubahannya, menunjukkan upaya
berkelanjutan untuk merespons perkembangan teknologi, kebutuhan ekonomi
nasional, dan yang terpenting, kewajiban-kewajiban yang timbul dari keanggotaan
Indonesia dalam komunitas internasional.
Rangkuman Kritis Traktat Hukum Paten
Keterikatan Indonesia pada arsitektur hukum paten
global diformalkan melalui ratifikasi sejumlah traktat internasional yang
fundamental. Setiap traktat membawa implikasi yang membentuk wajah hukum paten
nasional hingga hari ini.
-
Paris
Convention for the Protection of Industrial Property
Konvensi ini merupakan pilar utama sistem kekayaan
industri internasional. Indonesia meratifikasinya melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1979 tentang Pengesahan “Paris
Convention For The Protection Of Industrial Property” Tanggal 20 Maret
1883 Sebagaimana Beberapa Kali Diubah Terakhir Tanggal 14 Juli 1967 Di
Stockholm, yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 24
Tahun 1979 Tentang Pengesahan Paris Convention For The Protection Of
Industrial Property Dan Convention Establishing The World Intellectual Property
Organization. Dua prinsip utama yang diadopsi dari konvensi ini
adalah National Treatment, yang mewajibkan Indonesia untuk memberikan
perlakuan yang sama kepada warga negara anggota konvensi lainnya seperti kepada
warga negaranya sendiri, dan Right of Priority, yang memberikan hak
kepada pemohon untuk mengklaim tanggal pengajuan pertama di negara asal sebagai
tanggal prioritas untuk pengajuan di negara anggota lain dalam jangka waktu 12
bulan;
-
Agreement
on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS Agreement)
Sebagai bagian tak terpisahkan dari keanggotaan
Indonesia dalam World Trade Organization (WTO), yang diratifikasi
melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization,
Perjanjian TRIPS secara fundamental mengubah lanskap hukum paten di negara
berkembang. Perjanjian ini menetapkan standar minimum pelindungan HKI yang
harus dipatuhi oleh semua negara anggota. Dampaknya sangat signifikan, antara
lain kewajiban untuk memberikan pelindungan paten selama 20 tahun terhitung
sejak tanggal pengajuan dan memperluas objek yang dapat dipatenkan, termasuk
produk farmasi, yang sebelumnya menjadi subjek perdebatan sengit. Sejarah
legislasi paten Indonesia pasca-1994 tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk
mengharmonisasikan hukum nasional dengan mandat-mandat yang terkandung dalam
Perjanjian TRIPS;
-
Patent
Cooperation Treaty (PCT)
Sistem ini, yang diratifikasi Indonesia melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang Pengesahan Patent
Cooperation Treaty (PCT) And Regulations Under The PCT, bukanlah sistem
pemberian paten global, melainkan sebuah sistem yang memfasilitasi dan
menyederhanakan prosedur pengajuan permohonan paten di banyak negara secara
simultan. Dengan mengajukan satu “permohonan internasional”, seorang pemohon
dapat mengamankan tanggal pengajuan di semua negara anggota PCT yang ditunjuk,
sebelum kemudian memasuki “fase nasional” di masing-masing negara untuk proses
pemeriksaan dan pemberian paten. Bagi Indonesia, sistem PCT menjadi gerbang
utama bagi masuknya permohonan paten dari luar negeri.
Syarat-Syarat Mutlak Sebuah Invensi
Agar sebuah invensi dapat dianugerahi hak paten, ia
harus berdiri kokoh di atas tiga pilar substantif yang bersifat kumulatif.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Paten, “Paten
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan untuk Invensi yang baru,
mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri.”
Kegagalan memenuhi salah satu dari tiga syarat ini
akan menggugurkan kelayakan invensi untuk mendapatkan pelindungan.
Unsur Kebaruan (Novelty)
Pilar pertama adalah kebaruan. Pasal 5 ayat (1)
UU Paten merumuskan syarat ini dengan lugas:
“Invensi
dianggap baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) jika pada Tanggal
Penerimaan, Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan
sebelumnya.”
Prinsip kebaruan yang dianut bersifat absolut dan
universal. Artinya, sebuah invensi dianggap tidak baru jika sebelumnya telah
diungkapkan kepada publik di mana pun di dunia, melalui media apa pun (tulisan,
lisan, peragaan), yang memungkinkan seorang ahli di bidangnya untuk
melaksanakannya.
Namun, doktrin kebaruan absolut ini dimitigasi oleh
adanya grace period atau masa tenggang. Pasal 6 UU Paten
sebagaimana diubah oleh UU 65/2024, memberikan pengecualian
penting. Sebuah invensi tidak dianggap telah diumumkan jika pengungkapan
tersebut dilakukan oleh inventor sendiri dalam jangka waktu paling lama 12
bulan sebelum tanggal penerimaan permohonan, baik melalui pameran resmi, untuk
tujuan percobaan, maupun dalam forum ilmiah.
Perpanjangan masa tenggang dari 6 bulan menjadi 12
bulan dalam UU 65/2024 merupakan langkah signifikan yang ditujukan untuk
mengakomodasi para peneliti dan akademisi yang seringkali memiliki budaya “publikasi
dulu, patenkan kemudian”.
Meskipun bertujuan positif, perpanjangan ini
menciptakan periode ketidakpastian hukum yang lebih panjang bagi industri yang
mungkin telah mulai berinvestasi berdasarkan teknologi yang dipublikasikan
tersebut.
Mengandung Langkah Inventif (Inventive Step)
Pilar kedua adalah langkah inventif, yang seringkali
menjadi syarat paling sulit untuk dibuktikan dan paling sering menjadi objek
sengketa. Pasal 7 ayat (1) UU Paten mendefinisikannya sebagai berikut:
“Invensi
mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai
keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga
sebelumnya.”.
Syarat ini menuntut adanya lompatan kreativitas atau spark
of genius. Sebuah invensi tidak cukup hanya berbeda dari teknologi yang
ada, tetapi perbedaan tersebut haruslah bersifat non-obvious atau tidak
dapat diduga oleh seorang person skilled in the art (seseorang dengan
keahlian rata-rata di bidang teknis terkait). Penilaian ini bersifat kualitatif
dan sangat bergantung pada interpretasi pemeriksa paten terhadap tingkat
kemajuan teknis yang ditawarkan oleh invensi tersebut dibandingkan dengan state
of the art yang ada.
Dapat Diterapkan dalam Industri (Industrial Applicability)
Pilar ketiga dan terakhir adalah penerapan industri. Pasal
8 UU Paten menyatakan bahwa
“Invensi
dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam
industri sebagaimana diuraikan dalam Permohonan.”
Ini adalah syarat utilitas praktis. Syarat ini
memastikan bahwa paten tidak diberikan untuk ide-ide yang bersifat abstrak,
spekulatif, atau teoretis semata. Invensi tersebut harus dapat diproduksi
secara massal atau digunakan secara berulang dalam suatu jenis industri,
sehingga memberikan manfaat nyata dan bukan sekadar konsep di atas kertas.
Batasan dan Pengecualian dalam Rezim Paten
Sistem paten, meskipun memberikan hak eksklusif yang
kuat, juga dilengkapi dengan berbagai batasan dan pengecualian untuk menjaga
keseimbangan dengan kepentingan publik dan prinsip keadilan.
Hak Istimewa Pemakai Terdahulu (Prior User Rights)
Salah satu instrumen keadilan yang paling penting
adalah doktrin pemakai terdahulu, yang diatur secara komprehensif dalam Pasal
14 sampai dengan Pasal 18 UU Paten.
Pasal 14 ayat (1) UU Paten menyatakan:
“Pihak
yang melaksanakan Invensi pada saat Invensi yang sama diajukan Permohonan,
tetap berhak melaksanakan Invensinya walaupun terhadap Invensi yang sama
tersebut kemudian diberi Paten.”
Ketentuan ini melindungi pihak yang secara independen,
beritikad baik, dan telah melaksanakan suatu invensi di wilayah Indonesia
sebelum tanggal pengajuan permohonan paten untuk invensi yang sama oleh pihak
lain. Pihak tersebut diakui sebagai “pemakai terdahulu” dan diberikan
hak imunitas untuk terus melanjutkan pelaksanaan invensinya dalam skala yang
sama, meskipun ia tidak dapat melisensikan atau mengalihkan hak tersebut kepada
pihak lain, kecuali karena pewarisan. Doktrin ini mencegah situasi di mana
seorang inovator lokal yang jujur tiba-tiba menjadi pelanggar paten hanya
karena pihak lain lebih dahulu mengajukan permohonan.
Invensi yang Dikecualikan dari Pelindungan Paten
Tidak semua hasil pemikiran teknis dapat memperoleh
pelindungan paten. Undang-undang secara tegas menetapkan kategori-kategori
invensi yang dikecualikan dari lingkup patenabilitas, baik karena alasan etika,
ketertiban umum, maupun karena sifatnya yang non-teknis. Pasal 9 UU Paten
sebagaimana telah diubah oleh UU 65/2024, memuat daftar
invensi yang tidak dapat diberi paten, yang meliputi:
a.
Proses, produk,
metode, sistem, dan penggunaan yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau
kesusilaan;
b.
Metode
pemeriksaan, perawatan, pengobatan, dan/atau pembedahan yang diterapkan
terhadap manusia dan/atau hewan;
c.
Teori dan metode
di bidang ilmu pengetahuan dan matematika.
Selain itu, Pasal 4 UU Paten sebagaimana
diubah oleh UU 65/2024, juga mengklarifikasi hal-hal yang tidak
dianggap sebagai invensi. Perubahan yang paling signifikan dalam UU
65/2024 adalah terkait program komputer. Ketentuan baru ini menegaskan
bahwa program komputer semata-mata tidak dianggap sebagai invensi dan
dilindungi oleh rezim hak cipta. Namun, pengecualian diberikan untuk “invensi
yang diimplementasikan komputer” yang memiliki “karakter dan efek teknik”.
Klarifikasi ini, meskipun dimaksudkan untuk memberikan
kepastian, justru membuka ruang interpretasi yang sangat luas mengenai apa yang
dimaksud dengan “karakter dan efek teknik”. Ambiguitas ini berpotensi
menjadi sumber sengketa baru, terutama bagi ekosistem startup teknologi digital
di Indonesia, dan dapat dieksploitasi oleh entitas yang dikenal sebagai patent
troll.
Arah Baru Hukum Paten Pasca-UU Nomor 65 Tahun 2024
Pengundangan UU 65/2024 pada 28 Oktober 2024
menandai babak baru dalam hukum paten Indonesia, membawa sejumlah perubahan
substantif yang merefleksikan pergeseran prioritas kebijakan nasional dan
penyesuaian terhadap praktik internasional.
Pengakuan Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan Tradisional (GRTK)
Salah satu perubahan paling progresif adalah penguatan
pelindungan terhadap Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan Tradisional (GRTK). Pasal
26 UU Paten sebagaimana telah diubah oleh UU 65/2024,
kini secara tegas mewajibkan pemohon paten untuk menyebutkan dengan jelas dan
benar informasi asal-usul GRTK jika invensinya berkaitan dengan atau berasal
dari sumber daya tersebut. Kewajiban pengungkapan ini merupakan langkah
afirmatif untuk memerangi praktik biopirasi (pencurian sumber daya hayati) dan
sejalan dengan semangat traktat internasional yang baru diadopsi, seperti WIPO
Treaty on Genetic Resources and Associated Traditional Knowledge. Tujuannya
adalah untuk memastikan adanya mekanisme pembagian keuntungan yang adil dan
merata (access and benefit sharing) antara inventor dan komunitas atau
negara pemilik sumber daya tersebut.
Fleksibilitas Baru dan Penyesuaian Prosedural
UU 65/2024 juga mengintroduksi beberapa mekanisme baru yang memberikan
fleksibilitas lebih besar, baik bagi pemohon maupun bagi kepentingan publik. Di
antaranya adalah mekanisme pemeriksaan substantif kembali (re-examination),
yang memungkinkan permohonan yang telah ditolak untuk ditinjau ulang
berdasarkan argumen atau bukti baru.
Yang tidak kalah penting adalah penguatan
fleksibilitas di sektor farmasi. Pasal 167 UU Paten sebagaimana
diubah oleh UU 65/2024, secara eksplisit memberikan pengecualian
dari tuntutan pidana dan gugatan perdata untuk dua hal krusial:
1.
Impor
Paralel
Impor
produk farmasi yang dilindungi paten di Indonesia, yang telah dipasarkan secara
sah di negara lain. Ketentuan ini bertujuan untuk mengendalikan harga obat
dengan memungkinkan masuknya produk asli dari pasar global yang harganya lebih
kompetitif.
2.
Bolar
Provision
Produksi
produk farmasi yang dilindungi paten sebelum masa pelindungan paten berakhir,
dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan perizinan edar. Hal ini memungkinkan
perusahaan obat generik untuk segera memasarkan produknya begitu paten
berakhir, tanpa harus menunggu proses perizinan yang memakan waktu.
Refleksi Kritis atas Warisan UU Cipta Kerja
Perubahan-perubahan dalam UU 65/2024
tidak dapat dilihat secara terpisah dari dampak yang ditinggalkan oleh UU Cipta
Kerja. Salah satu perubahan paling kontroversial dalam UU Cipta Kerja adalah
penghapusan Pasal 20 UU Paten lama, yang mewajibkan pemegang
paten untuk membuat produk atau menggunakan prosesnya di Indonesia (local
working requirement). Penghapusan ini, yang didasari oleh semangat
deregulasi dan kemudahan investasi, dikritik karena berpotensi merugikan
kepentingan nasional. Tanpa kewajiban tersebut, tidak ada lagi instrumen hukum
yang memaksa adanya transfer teknologi, penyerapan investasi, atau penciptaan
lapangan kerja sebagai imbalan atas monopoli pasar yang diberikan melalui
paten. Akibatnya, pemegang paten asing dapat sepenuhnya menguasai pasar
Indonesia hanya melalui kegiatan impor.
Dalam konteks ini, penguatan Bolar Provision
dan impor paralel dalam UU 65/2024 dapat dibaca sebagai sebuah
manuver kebijakan yang pragmatis. Setelah “pintu” kewajiban manufaktur lokal
ditutup oleh UU Cipta Kerja, legislator membuka “jendela” fleksibilitas TRIPS
sebagai katup pengaman untuk mengendalikan harga dan memastikan ketersediaan
obat bagi masyarakat. Ini adalah upaya untuk menambal potensi kerugian
kepentingan publik yang timbul dari kebijakan sebelumnya, meskipun tidak
sepenuhnya mengembalikan manfaat ekonomi yang hilang dari kewajiban manufaktur
lokal.
Refleksi Kritis dan Proyeksi Masa Depan
Hukum paten Indonesia, dalam perjalanannya, adalah
sebuah panggung dialektika yang merefleksikan pertarungan konstan antara dua
kekuatan besar: tuntutan globalisasi yang mendorong harmonisasi dan kemudahan
investasi, dengan hasrat kedaulatan nasional yang berupaya melindungi aset
strategis dan kepentingan publik. Dari penghapusan kewajiban implementasi lokal
hingga penguatan pelindungan GRTK, setiap amendemen adalah cerminan dari titik
keseimbangan baru yang dicapai dalam pertarungan tersebut.
Perdebatan filosofis antara hak eksklusif inventor dan
kepentingan masyarakat luas tidak akan pernah berakhir; ia hanya akan terus
mencari bentuk-bentuk baru seiring dengan laju zaman. UU 65/2024, dengan segala
kemajuan yang dibawanya, bukanlah titik akhir dari evolusi ini. Sebagaimana
adagium Het recht hinkt achter de feiten aan (hukum selalu
tertatih-tatih mengejar fakta) hukum paten akan terus berjuang untuk
beradaptasi dengan realitas teknologi yang selalu selangkah di depan.
Ke depan, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan.
Penegakan hukum yang efektif masih menjadi pekerjaan rumah yang besar, di mana
pelanggaran masih marak dan kesadaran hukum masyarakat, termasuk di kalangan
aparat penegak hukum, masih perlu ditingkatkan. Rendahnya literasi dan akses
terhadap sistem HKI di kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga
menjadi kendala serius yang menghambat potensi inovasi dari akar rumput.
Di horison, teknologi-teknologi disruptif seperti
kecerdasan buatan (artificial intelligence) telah mulai menggugat
definisi fundamental tentang siapa atau apa yang dapat dianggap sebagai “inventor”
dan apa yang dapat dikualifikasikan sebagai “invensi”. Oleh karena
itu, sistem paten nasional tidak boleh berhenti berbenah. Diperlukan penegakan
hukum yang tegas, adaptasi regulasi yang berkelanjutan, dan edukasi yang masif
agar paten dapat benar-benar menjalankan fungsinya sebagai katalisator
kemajuan, bukan sebagai belenggu bagi inovasi.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.