Pengantar
Pertanyaan mengenai apakah seorang anak dapat dikenai tindakan penahanan
merupakan salah satu dilema paling fundamental dalam sistem peradilan pidana
modern. Di satu sisi, negara memiliki kewajiban untuk menegakkan hukum dan
menjaga ketertiban masyarakat. Di sisi lain, negara juga mengemban amanat
konstitusional dan internasional untuk memberikan perlindungan khusus serta
menjamin kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Keseimbangan antara dua kutub ini menjadi episentrum dari seluruh
kerangka hukum yang mengatur tentang Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH)
di Indonesia.
Sistem peradilan pidana anak di Indonesia telah mengalami transformasi
paradigmatik yang signifikan. Sebelumnya, kerangka hukum yang berlaku adalah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang seiring
berjalannya waktu dinilai tidak lagi relevan dengan perkembangan kebutuhan
hukum, baik dari aspek yuridis, filosofis, maupun sosiologis. Undang-undang
tersebut cenderung berorientasi pada pendekatan legalistik-punitif yang
tidak secara komprehensif membedakan penanganan anak dengan orang dewasa.
Lahirnya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, yang selanjutnya disebut dengan “UU SPPA”, menandai sebuah
reorientasi fundamental. UU SPPA secara tegas menggeser paradigma dari
penghukuman (retributive justice) menuju pemulihan (restorative justice). Perubahan ini bukan sekadar modifikasi prosedural, melainkan sebuah
pergeseran filosofis yang mendalam. Hal ini tercermin dari perubahan
nomenklatur itu sendiri.
Istilah “Anak Nakal” yang bersifat stigmatis dan melabeli, telah dihapuskan
dan digantikan dengan istilah yang lebih netral dan humanis, yaitu “Anak
yang Berhadapan dengan Hukum” (ABH). Definisi ABH mencakup anak dalam tiga
kapasitas antara lain: sebagai pelaku tindak pidana (Anak yang Berkonflik
dengan Hukum), sebagai korban, dan sebagai saksi. Perubahan terminologi ini
mengafirmasi bahwa negara tidak lagi memandang anak sebagai objek
penghukuman semata, melainkan sebagai subjek hukum yang utuh, yang
hak-haknya wajib dilindungi dan masa depannya harus diselamatkan.
Dengan berlandaskan pada kerangka filosofis baru ini, artikel ini akan
mengupas secara komprehensif, objektif, dan kritis mengenai ketentuan
penahanan terhadap anak. Tulisan kami kali ini akan didasarkan pada kerangka
hukum positif yang berlaku, termasuk peraturan pelaksana yang relevan, serta
diperkaya dengan studi kasus dari putusan pengadilan. Tujuannya adalah untuk
memberikan pemahaman yang utuh bahwa penahanan terhadap anak bukanlah sebuah
tindakan yang dapat diambil secara serampangan, melainkan sebuah
pengecualian yang diatur dengan pintu yang sangat sempit dan prosedur yang
luar biasa ketat.
Asas Fundamental: Ultimum Remedium dan Diversi sebagai Garda Terdepan
Sebelum melangkah lebih jauh untuk menjawab “apakah anak boleh ditahan?”,
penting untuk memahami dua pilar utama yang menjadi fondasi UU SPPA, yaitu
asas ultimum remedium dan mekanisme Diversi. Kedua pilar ini
berfungsi sebagai garda terdepan yang harus ditempuh oleh aparat penegak
hukum sebelum bahkan mempertimbangkan opsi perampasan kemerdekaan.
Adagium Ultimum Remedium: Hukum Pidana sebagai Upaya Terakhir
Dalam filsafat hukum pidana, dikenal adagium ultimum remedium, yang
secara harfiah berarti “obat terakhir” atau “senjata terakhir”. Adagium ini
menegaskan bahwa hukum pidana, dengan segala instrumen koersifnya termasuk
penangkapan dan penahanan, seharusnya menjadi pilihan terakhir setelah semua
upaya atau sanksi dari cabang hukum lain dianggap tidak efektif.
Semangat ini diadopsi secara penuh oleh UU SPPA, yang secara eksplisit
menyatakan dalam asas-asasnya bahwa “perampasan kemerdekaan dan pemidanaan
sebagai upaya terakhir”. Prinsip ini selaras dengan berbagai instrumen hukum
internasional, seperti Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, yang dalam Pasal 37 menyatakan
bahwa penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan seorang anak hanya akan
digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang
semestinya (as a measure of last resort and for the shortest appropriate period of
time).
Dengan demikian, kerangka hukum pidana anak di Indonesia secara inheren
menolak pendekatan yang reaktif dan represif. Setiap aparat penegak hukum,
mulai dari penyidik hingga hakim, dibebani kewajiban moral dan yuridis untuk
terlebih dahulu mengeksplorasi alternatif-alternatif lain yang lebih
bersifat mendidik dan memulihkan sebelum mengambil langkah drastis berupa
penahanan.
Diversi: Mekanisme Wajib Pengalihan Perkara
Sebagai manifestasi konkret dari asas ultimum remedium, UU SPPA
memperkenalkan mekanisme Diversi sebagai jalur utama penyelesaian perkara
anak. Pasal 1 Angka 7 UU SPPA mendefinisikan Diversi sebagai:
“pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke
proses di luar peradilan pidana”.
Diversi bukanlah sekadar pilihan, melainkan sebuah kewajiban hukum.
Pasal 7 ayat (1) UU SPPA menegaskan bahwa pada setiap
tingkatan pemeriksaan—mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan
di pengadilan—Diversi wajib diupayakan. Kewajiban ini berlaku untuk
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun
dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (residive). Proses ini
diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, yang selanjutnya disebut dengan “PERMA 4/2014”.
Secara konseptual, terdapat hubungan simbiosis negatif antara proses
Diversi dan tindakan penahanan. Keduanya berada pada spektrum yang
berlawanan. Diversi bertujuan untuk menjauhkan anak dari sistem peradilan
formal dan dampak negatifnya, sementara penahanan justru menempatkan anak
tepat di jantung sistem tersebut. Sebuah analisis mendalam terhadap
PERMA 4/2014 bahkan memberikan interpretasi bahwa “bagi anak
yang terhadapnya dilakukan diversi maka tidak dapat diberlakukan penahanan”.
Logika hukumnya sangat jelas: tidaklah rasional bagi negara untuk di satu sisi memfasilitasi proses musyawarah dan pemulihan di luar pengadilan, namun di sisi lain secara bersamaan merampas kemerdekaan anak yang menjadi subjek dari proses pemulihan tersebut. Oleh karena itu, proses Diversi yang sedang berjalan secara aktif dapat dan seharusnya menjadi argumen yuridis yang sangat kuat bagi penasihat hukum untuk menolak permohonan penahanan terhadap seorang anak.
Setelah memahami bahwa penahanan adalah upaya terakhir, UU SPPA kemudian
mengatur secara limitatif dan ketat mengenai syarat-syarat yang harus
terpenuhi untuk dapat dilakukannya penahanan. Ketentuan ini diatur dalam
Pasal 32 UU SPPA, yang dapat diuraikan menjadi dua bagian utama: syarat
kumulatif yang harus terpenuhi dan kondisi pengecualian yang dapat
menggugurkan kewenangan penahanan.
Syarat Kumulatif Penahanan (Pasal 32 ayat (2) UU SPPA)
Pasal ini menjadi jantung dari pengaturan penahanan anak.
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan secara eksplisit:
“Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai
berikut:
a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan
b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh)
tahun atau lebih.”
Penting untuk menggarisbawahi bahwa kedua syarat ini bersifat
kumulatif, bukan alternatif. Artinya, kedua syarat tersebut harus
terpenuhi secara bersamaan tanpa terkecuali. Jika salah satu saja tidak
terpenuhi, maka penahanan menjadi tidak sah secara hukum.
Sebagai ilustrasi:
1.
Seorang anak berusia 15 tahun (memenuhi syarat a) diduga melakukan tindak
pidana pencurian dengan ancaman pidana 5 tahun penjara (tidak memenuhi
syarat b). Dalam kasus ini, anak tersebut tidak dapat ditahan;
2.
Seorang anak berusia 13 tahun (tidak memenuhi syarat a) diduga melakukan
tindak pidana pembunuhan dengan ancaman pidana 15 tahun penjara (memenuhi
syarat b). Dalam kasus ini, anak tersebut juga
tidak dapat ditahan.
Ketentuan ini secara tegas memberikan perlindungan absolut bagi anak di
bawah usia 14 tahun dari segala bentuk penahanan, terlepas dari beratnya
tindak pidana yang dituduhkan.
Pengecualian Penahanan: Jaminan sebagai Instrumen Hukum (Pasal 32 ayat (1) UU SPPA)
Bahkan ketika kedua syarat kumulatif pada ayat (2) terpenuhi, UU SPPA masih
menyediakan satu “katup pengaman” terakhir yang dapat mencegah dilakukannya
penahanan. Pasal 32 ayat (1) UU SPPA menyatakan:
“Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh
jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan
melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti,
dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.”
Ketentuan ini memiliki implikasi hukum yang sangat signifikan. Ia secara
implisit membalikkan beban pembuktian (omkering van de bewijslast).
Pada praktiknya, bukan lagi keluarga yang harus memohon dan membuktikan
mengapa anaknya tidak layak ditahan, melainkan aparat penegak hukum yang
harus memberikan argumentasi yuridis yang kuat mengapa jaminan yang
diberikan oleh orang tua/wali atau lembaga (seperti sekolah atau lembaga
sosial) tidak dapat diterima.
Penolakan terhadap jaminan tersebut tidak dapat didasarkan pada alasan subjektif atau kekhawatiran yang tidak berdasar. Aparat penegak hukum harus mampu menunjukkan bukti atau indikasi yang kuat bahwa terdapat risiko nyata anak akan melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi perbuatannya. Tanpa adanya justifikasi yang objektif dan terukur, jaminan tersebut seharusnya diterima dan penahanan tidak dilakukan.
Apabila penahanan terpaksa dilakukan setelah semua syarat dan prosedur
terpenuhi, UU SPPA menetapkan koridor prosedural yang sangat ketat, baik
mengenai jangka waktu maupun tempat penahanan. Pelanggaran terhadap koridor
ini dapat berakibat fatal bagi keabsahan proses hukum.
Jangka Waktu Penahanan yang Terbatas: Sebuah Batasan Waktu yang Absolut
Sebagai perwujudan konkret dari prinsip perampasan kemerdekaan untuk jangka
waktu terpendek yang semestinya (for the shortest appropriate period of time), UU SPPA secara rinci dan limitatif mengatur batas waktu penahanan di
setiap jenjang peradilan. Berbeda dengan penahanan orang dewasa yang
memiliki durasi lebih panjang, batasan waktu bagi anak dirancang untuk
memastikan proses hukum berjalan cepat dan efisien, serta meminimalisir
dampak psikologis negatif akibat penahanan.
Koridor waktu ini dimulai sejak tahap penyidikan, di mana berdasarkan
Pasal 33 UU SPPA, seorang penyidik hanya dapat melakukan penahanan paling lama 7 (tujuh)
hari. Jangka waktu ini hanya dapat diperpanjang satu kali atas permintaan
penyidik oleh Penuntut Umum untuk paling lama 8 (delapan) hari, sehingga
total maksimal penahanan di tingkat penyidikan adalah 15 hari. Ketika
perkara dilimpahkan ke tahap penuntutan, kewenangan beralih kepada Penuntut
Umum yang dapat menahan anak paling lama 5 (lima) hari, dan dapat
diperpanjang oleh Hakim Pengadilan Negeri untuk paling lama 5 (lima) hari
berikutnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU SPPA.
Saat perkara memasuki persidangan, batasan waktu menjadi semakin krusial.
Di tingkat Pengadilan Negeri, Pasal 35 UU SPPA memberikan
kewenangan kepada Hakim untuk menahan selama 10 (sepuluh) hari, yang dapat
diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama 15 (lima belas) hari.
Prosedur serupa berlaku pada tingkat banding, di mana Hakim Banding dapat
menahan selama 10 (sepuluh) hari dengan perpanjangan oleh Ketua Pengadilan
Tinggi paling lama 15 (lima belas) hari, sesuai
Pasal 37 UU SPPA.
Pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, kewenangan penahanan berada di
tangan Hakim Kasasi untuk paling lama 15 (lima belas) hari, dan dapat
diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama 20 (dua puluh)
hari, berdasarkan Pasal 38 UU SPPA.
Konsekuensi hukum dari berakhirnya setiap jangka waktu penahanan ini
bersifat absolut dan tidak dapat ditawar. Pasal-pasal terkait (misalnya,
Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (3), dan seterusnya) secara seragam dan
tegas menyatakan bahwa apabila jangka waktu tersebut telah berakhir,
Anak wajib dikeluarkan demi hukum. Frasa “demi hukum” (van rechtswege) memiliki makna bahwa perintah pembebasan tersebut berlaku secara otomatis
tanpa memerlukan penetapan atau putusan baru. Ini adalah mekanisme
perlindungan hukum yang sangat kuat untuk mencegah penahanan yang
berlarut-larut dan memastikan hak anak atas kebebasan tidak dilanggar.
Tempat Penahanan yang Khusus
Untuk melindungi anak dari dampak psikologis negatif dan potensi kekerasan,
UU SPPA secara tegas melarang penahanan anak di tempat yang sama dengan
orang dewasa. Pasal 33 ayat (4) UU SPPA menetapkan bahwa:
“Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS.”
LPAS adalah singkatan dari Lembaga Penempatan Anak Sementara, yaitu
tempat khusus bagi anak selama proses peradilan berlangsung. Dalam hal LPAS
tidak tersedia di suatu wilayah,
Pasal 33 ayat (5) UU SPPA memberikan alternatif penempatan di
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) setempat. Selama
ditahan, negara juga wajib memastikan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial
anak tetap terpenuhi. Menempatkan anak di ruang tahanan kepolisian, rumah
tahanan (rutan), atau lembaga pemasyarakatan (lapas) yang diperuntukkan bagi
orang dewasa merupakan pelanggaran serius terhadap mandat UU SPPA.
Konsekuensi Yuridis Pelanggaran Prosedur: Penahanan yang Batal Demi Hukum
UU SPPA tidak hanya menetapkan serangkaian hak dan prosedur, tetapi juga
memberikan sanksi yang sangat tegas apabila hak-hak fundamental anak
dilanggar. Salah satu ketentuan paling krusial dalam hal ini adalah Pasal 40
UU SPPA, yang mengatur mengenai hak atas bantuan hukum.
Pasal 40 ayat (1) UU SPPA
mewajibkan pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan untuk
memberitahukan kepada Anak dan orang tua/Walinya mengenai hak untuk
memperoleh bantuan hukum. Kewajiban ini bukanlah sekadar formalitas
administratif, melainkan sebuah prasyarat fundamental bagi keabsahan seluruh
proses.
Hal ini karena hak atas bantuan hukum dapat dipandang sebagai
gateway right atau “hak gerbang”. Tanpa didampingi oleh penasihat
hukum yang kompeten, seorang anak yang berada dalam tekanan psikologis tidak
mungkin dapat memahami dan memperjuangkan hak-hak lainnya yang dijamin oleh
undang-undang, seperti hak untuk tidak ditahan, hak untuk mengajukan
Diversi, atau hak untuk diperlakukan secara manusiawi.
Oleh karena itu, UU SPPA memberikan sanksi terberat atas pelanggaran
terhadap “hak gerbang” ini.
Pasal 40 ayat (2) UU SPPA menyatakan:
“Dalam hal pejabat tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), penangkapan atau penahanan terhadap Anak
batal demi hukum.”
Frasa “batal demi hukum” (van rechtswege nietig) memiliki makna
bahwa tindakan penahanan tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak
memiliki akibat hukum sejak awal. Konsekuensinya, anak harus segera
dibebaskan tanpa syarat. Ketentuan ini menjadi senjata yuridis yang sangat
kuat bagi pembela untuk memastikan bahwa hak paling mendasar dari seorang
anak, yaitu hak untuk didampingi dan dibela, tidak diabaikan oleh aparat
penegak hukum.
Untuk memahami bagaimana norma-norma hukum di atas diimplementasikan dalam
praktik, analisis terhadap putusan-putusan pengadilan menjadi sangat
relevan. Berikut adalah empat contoh kasus yang merefleksikan berbagai aspek
penanganan penahanan anak.
Kasus 1: Penahanan Dibenarkan pada Tindak Pidana Berat
Sebagaimana dalam
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2024/PN Mdn,
tertanggal 7 Maret 2024
, anak pelaku didakwa melakukan tindak pidana pengeroyokan yang
mengakibatkan kematian, sebagaimana diatur dalam
Pasal 170 ayat (2) ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam kasus ini, hakim memutuskan untuk melakukan penahanan terhadap anak
tersebut. Pertimbangan utamanya adalah terpenuhinya syarat kumulatif dalam
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan anak pelaku telah berusia
di atas 14 tahun dan tindak pidana yang didakwakan memiliki ancaman pidana
penjara di atas 7 tahun. Beratnya perbuatan dan dampaknya yang fatal bagi
korban dan masyarakat menjadi dasar pertimbangan hakim bahwa penahanan
diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan, sekaligus menegaskan bahwa dalam
situasi tertentu yang memenuhi syarat, penahanan tetap menjadi opsi yang sah
menurut hukum.
Kasus 2: Penahanan Dihentikan karena Kesalahan Prosedural Fundamental
Sebuah contoh menarik datang dari putusan di tingkat banding yang
mengoreksi kesalahan fatal dalam
Putusan Pengadilan Negeri Mamuju Nomor Pid.Sus/2017/PN Mam, tertanggal 20
November 2017. Dalam kasus tersebut, seorang anak diadili menggunakan mekanisme
peradilan untuk orang dewasa. Penasihat hukum anak mengajukan eksepsi atas
kesalahan prosedur ini. Pengadilan Tinggi menerima eksepsi tersebut dan
menyatakan bahwa proses peradilan dewasa tidak dapat diterima. Sebagai
konsekuensi logis dari pembatalan proses tersebut, amar putusan
memerintahkan untuk
“Menghentikan penahanan atas diri Terdakwa... dan dikeluarkan dari
tahanan.”
Putusan ini menjadi preseden penting yang menunjukkan bahwa pelanggaran
terhadap prosedur fundamental—dalam hal ini, mengadili anak di luar sistem
peradilan pidana anak—secara langsung berimplikasi pada tidak sahnya
penahanan yang dilakukan.
Kasus 3: Keberhasilan Diversi Menggugurkan Penahanan
Putusan Pengadilan Negeri Majene Nomor 25/Pid.Sus/2014/PN.Mjn, tertanggal
8 September 2014, adalah contoh ideal bagaimana asas ultimum remedium bekerja dalam
praktik. Dalam perkara ini, proses musyawarah Diversi yang diupayakan oleh
hakim berhasil mencapai kesepakatan damai antara anak pelaku dan pihak
korban. Sebagai hasilnya, hakim mengeluarkan penetapan yang amarnya antara
lain berbunyi:
“Menyatakan musyawarah Diversi telah berhasil;... Memerintahkan Penuntut
Umum untuk mengeluarkan Terdakwa dari tahanan.”
Kasus ini secara gamblang mengilustrasikan hubungan simbiosis negatif
antara Diversi dan penahanan. Ketika jalur restoratif berhasil ditempuh dan
kesepakatan pemulihan tercapai, maka dasar hukum dan urgensi untuk
melanjutkan perampasan kemerdekaan anak secara otomatis menjadi gugur.
Kasus 4: Kesenjangan antara Putusan dan Eksekusi di Lapangan
Analisis terhadap penanganan
Putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2022/PN Srg
mengungkapkan sebuah tantangan krusial dalam implementasi UU SPPA. Dalam
kasus ini, putusan hakim telah benar dengan memerintahkan agar anak
menjalani pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Namun, dalam
tahap eksekusi, ditemukan fakta bahwa anak tersebut justru dititipkan atau
ditahan di Rumah Tahanan Polsek setempat, bersama dengan tahanan dewasa.
Kasus ini menyoroti adanya kesenjangan yang signifikan antara idealisme
hukum (das sollen) dan realitas di lapangan (das sein).
Keterbatasan infrastruktur, seperti ketiadaan atau jarak LPAS/LPKA yang
jauh, seringkali menjadi kendala praktis yang menyebabkan eksekusi putusan
tidak sesuai dengan mandat undang-undang. Ini menjadi pengingat bahwa
kepastian dan perlindungan hukum tidak berhenti pada amar putusan, tetapi
harus terwujud hingga tahap eksekusi yang benar dan manusiawi.
Meneguhkan Komitmen Perlindungan Anak
Berdasarkan analisis komprehensif di atas, jawaban atas pertanyaan
“Bolehkah Anak Ditahan?” dapat dirumuskan sebagai berikut:
Boleh, tetapi hanya sebagai sebuah anomali dalam sistem yang mengutamakan
pemulihan, yang hanya dapat dilakukan dalam kondisi yang sangat terbatas,
melalui pintu yuridis yang sangat sempit, dan dengan koridor prosedural
yang luar biasa ketat.
Penahanan bukanlah norma, melainkan pengecualian absolut. UU SPPA telah
meletakkan fondasi filosofis dan yuridis yang kokoh untuk melindungi anak
dari dampak buruk perampasan kemerdekaan. Prinsip ultimum remedium,
kewajiban Diversi, syarat penahanan yang kumulatif dan limitatif, batas
waktu yang singkat, serta tempat penahanan yang khusus, semuanya dirancang
untuk satu tujuan utama: menjamin kepentingan terbaik bagi anak.
Namun demikian, tantangan terbesar terletak pada tataran implementasi. Data
penelitian dan studi kasus di lapangan masih menunjukkan adanya jurang
antara idealisme hukum dan realitas praktik. Kesenjangan ini seringkali
disebabkan oleh kurangnya pemahaman aparat penegak hukum mengenai filosofi
keadilan restoratif, serta keterbatasan infrastruktur pendukung seperti LPAS
yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan komitmen berkelanjutan dari seluruh pemangku
kepentingan. Penguatan kapasitas dan perubahan pola pikir aparat penegak
hukum harus terus dilakukan. Pemerintah perlu memprioritaskan alokasi
anggaran untuk pembangunan sarana dan prasarana peradilan anak yang memadai.
Lebih dari itu, edukasi kepada masyarakat mengenai semangat UU SPPA harus
digalakkan agar tercipta dukungan sosial bagi penyelesaian perkara anak di
luar jalur pengadilan.
Pada akhirnya, setiap keputusan untuk menahan seorang anak adalah keputusan
yang berpotensi mengubah lintasan hidupnya secara permanen. Keputusan
tersebut harus diambil dengan tingkat kehati-hatian tertinggi, bukan sebagai
respons otomatis terhadap suatu tindak pidana, melainkan sebagai upaya
terakhir yang benar-benar tidak dapat dihindari, dengan selalu menempatkan
perlindungan dan masa depan anak sebagai pertimbangan utama.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.