layananhukum

Otonomi Semu? Mengungkap “Apartheid Fiskal” dalam Rezim Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia

 

    Pengantar

    Adagium hukum klasik, ubi societas, ibi ius (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum) menegaskan bahwa eksistensi hukum adalah keniscayaan dalam sebuah tatanan sosial. Pajak, sebagai satu di antara instrumen hukum yang paling fundamental, merupakan manifestasi dari kontrak sosial tersebut. Di Indonesia, landasan konstitusional pemungutan pajak tertuang dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut “UUD NRI 1945”, yang menyatakan:

    Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”

    Dalam kerangka amanat tersebut, satu di antara arena pertarungan kebijakan yang paling dinamis adalah rezim Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pemisahan rezim ini menjadi Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, dan Sektor Lainnya (PBB P3/P5L) bukanlah sekadar pembagian administratif.

    Ini adalah sebuah dikotomi yuridis yang mencerminkan benturan dua kutub filosofis dalam tata kelola negara yaitu desentralisasi fiskal yang berorientasi pada akuntabilitas lokal berhadapan dengan sentralisme sumber daya yang berlandaskan pada kedaulatan ekonomi nasional.

    Dualisme Filosofis di Balik Rezim Pajak

    Dualisme rezim PBB menjadi cikal bakal perbedaan kewenangan yang radikal, di mana Pemerintah Daerah (Pemda) diberikan otoritas penuh atas PBB P2, sementara Pemerintah Pusat mempertahankan kendali mutlak atas PBB P3. Dua fondasi pemikiran yang pada prinsipnya saling bertolak belakang.


    Di satu sisi, pengalihan kewenangan pemungutan PBB P2 kepada pemerintah kabupaten/kota adalah buah dari semangat otonomi daerah yang dijamin oleh Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945. Kebijakan ini, yang dilegitimasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut dengan “UU PDRD dan kini disempurnakan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebut dengan “UU HKPD”, didasari oleh filosofi desentralisasi.

    Ratio legis (alasan hukum) di baliknya adalah keyakinan bahwa PBB P2 merupakan pajak yang bersifat sangat lokal (local tax). Objek pajaknya, seperti rumah tinggal, pertokoan, dan tanah di wilayah perkotaan, bersifat imobil atau tidak dapat dipindahkan, sehingga terdapat hubungan kausalitas yang erat antara pembayar pajak (warga lokal) dengan subjek hukum yang menikmati hasil pajak tersebut (pemerintah daerah). Dengan demikian, penyerahan wewenang ini bertujuan memperkuat akuntabilitas, mendorong demokrasi fiskal, dan pada akhirnya meningkatkan kemandirian daerah dengan mengurangi ketergantungan pada dana transfer dari pusat.  

    Di sisi lain, Pemerintah Pusat secara sadar mempertahankan kewenangan penuh atas PBB P3, yang landasan hukumnya tetap mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 yang selanjutnya disebut dengan “UU PBB”. Pilihan ini didasarkan pada filosofi sentralisme yang memandang objek PBB P3 (seperti konsesi pertambangan, hak pengusahaan hutan, dan perkebunan skala besar) sebagai aset strategis nasional.

    Pengelolaannya dianggap berdampak langsung pada stabilitas ekonomi makro dan pendapatan negara, sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”


    Selain itu, kompleksitas teknis dalam penilaian objek PBB P3 serta kebutuhan untuk memberikan kepastian hukum bagi investor besar melalui tarif tunggal nasional menjadi justifikasi utama mengapa kewenangan ini tidak didesentralisasikan.  

    Manifestasi Yuridis dari Dualisme Filosofis

    Pergulatan antara dua filosofi ini tidak berhenti pada level wacana, melainkan terwujud secara konkret dalam arsitektur teknis perpajakan yang berbeda secara fundamental. Perbedaan ini bukanlah sekadar variasi administratif, melainkan cerminan langsung dari tujuan kebijakan yang berlainan.

    Pertama, perbedaan termanifestasi dalam landasan hukum dan fleksibilitasnya. PBB P2 diatur secara detail dalam UU HKPD dan diturunkan lebih lanjut melalui Peraturan Daerah (Perda). Ini memberikan ruang bagi Pemda untuk menyesuaikan kebijakan sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi lokal. Sebaliknya, PBB P3 diatur secara kaku dalam UU PBB dan peraturan pelaksananya berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Hal ini bertujuan menjaga standardisasi dan keseragaman perlakuan di seluruh wilayah Indonesia.  

    Kedua, logika yang sama berlaku pada struktur tarif. Untuk PBB P2, Pasal 41 UU HKPD memberikan diskresi kepada Pemda untuk menetapkan tarif dengan batas maksimal 0,5% (nol koma lima persen). Fleksibilitas ini adalah instrumen otonomi. Sebaliknya, PBB P3 menerapkan tarif tunggal nasional sebesar 0,5% (nol koma lima persen), sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU PBB. Ini adalah alat untuk memberikan kepastian dan prediktabilitas bagi investor di sektor-sektor strategis.  

    Ketiga, bahkan dalam mekanisme penghitungannya, cerminan filosofi ini terlihat jelas. Rumus PBB P2 dibuat lebih sederhana, yakni Tarif dikalikan dengan selisih antara Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).


    Sebaliknya, PBB P3 menggunakan formula yang lebih kompleks dengan menambahkan komponen Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), yaitu persentase tertentu dari NJOP yang bertujuan mengenakan pajak efektif yang lebih tinggi pada objek bernilai masif.  

    Terakhir, batas nilai bebas pajak (NJOPTKP) juga menunjukkan perbedaan pendekatan. Pasal 40 UU HKPD menetapkan NJOPTKP untuk PBB P2 paling rendah Rp10 juta, namun memberikan kewenangan kepada Pemda untuk meningkatkannya melalui Perda sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat berpenghasilan rendah di wilayahnya. Sementara itu, NJOPTKP untuk PBB P3 ditetapkan secara nasional sebesar Rp12 juta, mencerminkan standar minimum yang seragam.  

    Paradoks Otonomi dan Dampak Sistemiknya

    Pemberian kewenangan perpajakan kepada daerah, meski bertujuan menciptakan kemandirian, dalam praktiknya justru melahirkan sebuah paradoks dengan dampak sistemik yang seringkali kontra-produktif terhadap tujuan pembangunan nasional.

    Secara teoretis, pengalihan PBB P2 memang berhasil memperkuat local taxing power dan menjadi tulang punggung Pendapatan Asli Daerah (PAD) di banyak wilayah. Namun, data nasional menunjukkan gambaran yang berbeda. Berdasarkan postur APBD agregat tahun 2024, kontribusi PAD hanya mencapai 28,7% (dua puluh delapan koma tujuh persen) dari total pendapatan daerah, sementara 65,7% (enam puluh lima koma tujuh persen) sisanya masih ditopang oleh dana transfer dari Pemerintah Pusat. Angka ini menegaskan bahwa kemandirian fiskal sejati masih jauh dari realita, dan banyak daerah masih berada dalam posisi ketergantungan yang tinggi.


    Lebih mengkhawatirkan lagi adalah dampak otonomi perpajakan terhadap iklim investasi. Diberi kewenangan untuk menetapkan tarif, banyak Pemda, dalam upaya memaksimalkan PAD, cenderung menerapkan tarif pajak pada batas atas yang diizinkan undang-undang. Praktik ini seringkali tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat yang justru memberikan insentif fiskal untuk menarik investasi. Akibatnya, terciptalah ekonomi biaya tinggi (high-cost economy), tumpang tindih pungutan, dan ketidakpastian hukum yang menjadi disinsentif serius bagi pelaku usaha. Sebuah kajian oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) bahkan menemukan bahwa 67% (enam puluh tujuh persen) dari Perda bermasalah yang menghambat investasi adalah terkait dengan pajak dan retribusi.

    Arsitektur kebijakan ini juga secara inheren mengandung "bias perkotaan" (urban bias). Pengalihan PBB P2 secara alami lebih menguntungkan daerah-daerah perkotaan yang memiliki basis properti komersial bernilai tinggi. Sebaliknya, daerah yang ekonominya berbasis sumber daya alam—di mana objek utamanya masuk dalam kategori PBB P3 yang dikelola pusat—tidak mendapatkan manfaat langsung. Alih-alih mendorong pemerataan, kebijakan ini berpotensi memperlebar jurang ketimpangan fiskal antar-daerah.  

    Pernyataan Kritis Konklusif

    Pemisahan rezim PBB di Indonesia, yang lahir dari sebuah kompromi yuridis-politis antara idealisme otonomi daerah dan pragmatisme kontrol sumber daya nasional, secara fundamental telah menciptakan sebuah “apartheid fiskal”. Kebijakan ini melimpahkan objek pajak berisiko rendah dan berdampak lokal (PBB P2) kepada Pemerintah Daerah sebagai simbol formal desentralisasi fiskal, sambil mempertahankan kontrol teknokratis-sentralistik atas aset sumber daya alam bernilai tinggi (PBB P3).


    Ironisnya, 'otonomi' yang diberikan melalui PBB P2 dan pajak daerah lainnya justru melahirkan paradoks: alih-alih mendorong kemandirian, ia seringkali memicu kebijakan ekstraksi pendapatan jangka pendek yang merusak iklim investasi nasional dan memperlebar ketimpangan antar-daerah. Hal ini membuktikan bahwa pelimpahan wewenang tanpa transfer kapasitas, pengawasan yang efektif, dan perubahan paradigma fundamental hanya akan memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya. Dualisme ini, pada akhirnya, menjadi cerminan dari ketegangan yang belum usai dalam mendefinisikan makna sejati dari otonomi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Informasi dan Konsultasi Lanjutan

    Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.