Pengantar
Eka Kurnia Chrislianto dan
Candra Hendi, selaku Advokat dan Konsultan Hukum yang mendampingi Herman dalam
perkara praperadilan di Pengadilan Negeri Mempawah, telah mendengarkan langsung
putusan yang dibacakan oleh Hakim Tunggal, Ibu Novitasari Tri Haryanti, S.H.,
M.H., pada tanggal 9 September 2025 dalam perkara Nomor 5/Pid.Pra/2025/PN Mpw.,
yang pada pokoknya menolak permohonan praperadilan Pemohon.
Tulisan ini saya susun
bukan dalam rangka mendiskreditkan atau mengurangi penghormatan terhadap
putusan tersebut, karena setiap putusan pengadilan—apapun hasilnya—pada
prinsipnya harus dihargai dan diapresiasi oleh semua pihak tanpa kecuali.
Sebaliknya, tulisan ini merupakan bentuk manifestasi dan refleksi pribadi saya
sebagai kuasa hukum Pemohon, untuk menelaah dan memahami putusan tersebut
secara objektif, sekaligus menyajikan sudut pandang akademis dan praktis yang
semoga dapat memberi nilai tambah bagi diskursus hukum acara di Indonesia.
Putusan Praperadilan Nomor
5/Pid.Pra/2025/PN Mpw pada hakikatnya menghadirkan sebuah konfrontasi
fundamental antara dua pilar utama dalam sistem hukum Indonesia. Di satu sisi,
terdapat finalitas dan otoritas putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde), berlandaskan adagium res judicata pro
veritate habetur, yang menegaskan bahwa putusan hakim harus dianggap
benar dan mengikat semua pihak. Di sisi lain, berdiri otonomi prosedural
penyidik Kepolisian yang dalam perkara ini mendapatkan legitimasi melalui
tafsir formalistik terhadap batas kewenangan praperadilan.
Pertemuan kedua pilar ini
menimbulkan pertanyaan mendasar yaitu apakah mungkin seorang warga negara
yang secara final telah ditetapkan sebagai ‘korban’ oleh Mahkamah Agung,
kemudian secara sah ditetapkan sebagai ‘tersangka’ atas peristiwa hukum yang
identik? Pertanyaan ini melampaui kepentingan individu yang sedang
berperkara, karena pada akhirnya ini akan menguji konsistensi, rasionalitas,
dan integritas sistem peradilan pidana kita.
Dengan demikian, putusan
ini bukan hanya berbicara tentang Herman sebagai Pemohon, melainkan juga
tentang bagaimana hukum acara pidana dipahami dan dijalankan, apakah ia
tetap berfungsi untuk mengatur dan membatasi kewenangan penegak hukum, atau
justru berbalik arah menjadi instrumen yang membatasi hak konstitusional warga
negara?
Garis Besaran Putusan
Hakim tunggal Pengadilan
Negeri Mempawah, dalam putusannya, menolak seluruh permohonan praperadilan yang
diajukan oleh Pemohon, Herman. Konsekuensinya, Surat Ketetapan Nomor
S.Tap/04/VII/2025/Reskrim yang menetapkan Herman sebagai tersangka
dinyatakan sah menurut hukum. Putusan ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa Termohon (Penyidik Polres Kubu Raya) telah memenuhi syarat formil
penetapan tersangka, yaitu dengan mengumpulkan minimal dua alat bukti yang
sah sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan,
yang selanjutnya disebut dengan “Perma Nomor 4 Tahun 2016”.
Temuan Kunci
Tulisan ini menyajikan refleksi
mendalam terhadap putusan tersebut dan menghasilkan beberapa temuan kunci,
antara lain:
1)
Prioritas pada Formalisme Prosedural di atas
Keadilan Substantif
Hakim secara konsisten memprioritaskan pemenuhan
syarat-syarat prosedural yang bersifat administratif (seperti keberadaan
dokumen BAP Saksi dan BAP Ahli) dan mengesampingkan substansi perkara
yang secara fundamental problematis, yaitu memproses seorang korban sebagai
pelaku;
2)
Kegagalan Kritis dalam Mengakui Status Hukum yang
Mengikat
Pertimbangan hukum hakim gagal total dalam
mengenali bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 1245 K/PID/2025 (Bukti P-3)
bukan sekadar alat bukti biasa, melainkan sebuah tindakan yudisial
yang menciptakan “fakta hukum” (legal fact) yang final dan mengikat
mengenai status Pemohon sebagai korban;
3)
Aplikasi Paradoksal Perma Nomor 4 Tahun 2016
Putusan ini menyingkap bagaimana Perma Nomor 4
Tahun 2016, yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian prosedur pasca-Putusan
Mahkamah Konstitusi, justru dapat diaplikasikan secara kaku sehingga mengebiri
semangat perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi roh dari Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 itu sendiri;
4)
Pengabaian Cacat Prosedural Fatal dalam Penyidikan
Hakim sepenuhnya mengabaikan sebuah fakta krusial
yang terungkap di persidangan yaitu pengakuan penyidik di bawah sumpah bahwa ia
tidak mengetahui adanya Putusan Mahkamah Agung saat gelar perkara penentuan
tersangka dilaksanakan. Fakta ini seharusnya dinilai sebagai cacat prosedur
yang fatal dalam proses penyidikan, namun sama sekali tidak dipertimbangkan
oleh hakim.
Penilaian Akhir dan Implikasi Preseden
Putusan ini, alih-alih
menjadi contoh kemajuan yurisprudensi praperadilan, justru merupakan sebuah
langkah mundur yang berbahaya. Ia menjadi preseden bagi “jebakan
proseduralisme” (proceduralism trap), di mana formalitas hukum
digunakan untuk melegitimasi suatu tindakan yang secara substantif tidak adil
dan secara logis absurd. Putusan ini mengilustrasikan bagaimana lembaga
praperadilan, jika diinterpretasikan secara sempit dan kaku, dapat gagal berfungsi
sebagai benteng perlindungan terhadap kesewenang-wenangan dan justru menjadi
instrumen validasi bagi proses penegakan hukum yang cacat secara fundamental.
Selektivitas Yudisial dan Penalaran Hukum
Analisis reflektif terhadap
pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Nomor 5/Pid.Pra/2025/PN Mpw menyingkap
adanya perlakuan yang sangat berbeda dan selektif terhadap alat bukti yang
diajukan oleh Pemohon dan Termohon. Hakim membangun sebuah dikotomi yang tegas
yaitu menolak bukti yang bersifat substantif dan final dari Pemohon
dengan dalih “masuk pokok perkara”, sementara pada saat yang sama menerima
tanpa kritik bukti-bukti prosedural dari Termohon, meskipun bukti-bukti
tersebut memiliki kelemahan kualitatif yang fundamental.
Dekonstruksi Pengesampingan Bukti P-2 dan P-3
Landasan utama permohonan
Pemohon adalah dua putusan pengadilan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Mempawah
Nomor 56/Pid.B/2025/PN Mpw (Bukti P-2) dan, yang terpenting, Petikan Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 1245 K/PID/2025 (Bukti P-3). Namun, hakim menolak kedua
alat bukti surat ini dengan satu alasan tunggal dan ringkas yaitu “menurut
Hakim hal tersebut telah masuk dalam pokok perkara sehingga tidak
dipertimbangkan dalam perkara a quo”.
Penalaran ini menunjukkan sebuah
kekeliruan konseptual yang mendalam mengenai status dan fungsi dari sebuah
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hakim telah salah
mengkarakterisasi res judicata sebagai sekadar bukti faktual. Putusan
Mahkamah Agung (P-3) bukanlah semata-mata bukti tentang apa yang terjadi
pada malam tanggal 1 November 2024. Sebaliknya, ia adalah sebuah tindakan
yudisial tertinggi yang menciptakan sebuah fakta hukum yang baru dan
mengikat yaitu status Herman sebagai korban tindak pidana
penganiayaan. Seorang hakim praperadilan memang dilarang untuk mengadili
kembali fakta-fakta peristiwa pidana yang menjadi materi perkara pokok. Akan
tetapi, hakim praperadilan tidak dilarang—bahkan diwajibkan—untuk mengakui dan
menghormati status hukum yang telah ditetapkan secara final oleh
pengadilan yang lebih tinggi, terutama Mahkamah Agung.
Dengan memperlakukan P-3
seolah-olah hanya selembar bukti lain yang nilainya baru akan diuji di
persidangan pokok, hakim telah mengabaikan doktrin fundamental res judicata
pro veritate habetur (putusan hakim yang telah final harus dianggap benar).
Putusan MA tersebut seharusnya berfungsi sebagai legal estoppel,
sebagaimana didalilkan Pemohon, yang menggugurkan nilai pembuktian dari setiap
keterangan atau bukti yang bertentangan dengannya.
Di sisi lain, hakim juga
menolak keterangan saksi yang diajukan Pemohon, yaitu Saksi Buhari dan Saksi
Hardiansyah. Alasan penolakan ini secara formal benar, yakni karena kedua
saksi memiliki hubungan keluarga (menantu) dengan Pemohon sehingga
keterangannya didengar tanpa disumpah, sesuai dengan ketentuan Pasal 168 dan
Pasal 169 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang selanjutnya disebut
dengan “KUHAP”. Hakim menyatakan bahwa keterangan mereka “dianggap bukan
sebagai alat bukti” namun dapat “dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah
yang lain” jika sesuai dengan keterangan saksi lain yang disumpah.
Meskipun secara teknis
benar, keputusan ini, jika dilihat dalam konteks penolakan bukti P-3, menciptakan
sebuah inkonsistensi. Kenapa demikian? Hakim di sini menerapkan aturan
pembuktian secara ketat terhadap saksi Pemohon, namun gagal menerapkan logika
hukum yang lebih luas terhadap bukti Termohon. Jika keterangan saksi yang tidak
disumpah saja bisa menjadi pelengkap jika ada bukti lain yang menguatkan, maka
sebaliknya, keterangan saksi-saksi Termohon yang secara substansial telah
dinegasikan oleh sebuah Putusan Mahkamah Agung seharusnya dianggap memiliki
nilai pembuktian yang mendekati nol.
Validasi Bukti T-1 hingga T-35 dan Keterangan Penyidik
Berbanding terbalik dengan
perlakuan terhadap bukti Pemohon, hakim menerima seluruh rangkaian bukti yang
diajukan Termohon (T-1 hingga T-35) sebagai dasar yang sah untuk penetapan
tersangka. Hakim secara sistematis merinci dokumen-dokumen administratif penyidikan
(laporan polisi, surat perintah penyidikan, surat perintah tugas, berita acara
penyitaan) dan, yang paling utama, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari sejumlah
saksi (T-16 s/d T-25) serta satu Keterangan Ahli (T-27). Berdasarkan keberadaan
dokumen-dokumen ini, hakim menyimpulkan bahwa syarat “minimal 2 (dua) alat
bukti” telah terpenuhi, yaitu “alat bukti keterangan saksi dan alat
bukti ahli”, sehingga penetapan tersangka menjadi sah.
Pendekatan ini mereduksi
pengujian praperadilan menjadi sekadar audit administratif atau “menghitung
kertas”. Hakim tidak melakukan penilaian kualitatif sedikit pun terhadap
bukti-bukti tersebut, sebuah pendekatan yang justru didalilkan oleh Pemohon
sebagai “kuantitas tanpa kualitas”. Padahal, di dalam persidangan terungkap
sebuah fakta prosedural yang sangat krusial dan fatal. Saksi Termohon, penyidik
pembantu Junaldi Ginting, di bawah sumpah mengakui sebuah fakta yang
mengejutkan yaitu “saksi tidak mengetahui adanya Putusan Mahkamah Agung”
pada saat memimpin gelar perkara kedua pada tanggal 29 Juli 2025 yang menjadi
dasar penetapan tersangka.
Pengakuan ini seharusnya
menjadi titik sentral pertimbangan hakim, namun justru diabaikan sepenuhnya. Ketidaktahuan
penyidik akan adanya Putusan MA bukanlah isu materi pokok perkara, melainkan
sebuah isu prosedural yang fundamental. Gelar perkara adalah
mekanisme internal Polri yang bertujuan untuk memastikan objektivitas dan
akuntabilitas dalam penyidikan, di mana seluruh fakta dan bukti relevan harus
disajikan dan dianalisis. Fakta hukum paling relevan dan superior yang ada setelah
tanggal 10 Juli 2025 adalah Putusan MA yang menyatakan Herman sebagai korban.
Dengan demikian, gelar
perkara pada 29 Juli 2025 (Bukti T-31) yang dilaksanakan tanpa menyajikan fakta
hukum ini adalah sebuah proses yang cacat karena didasarkan pada informasi yang
tidak lengkap dan menyesatkan. Akibatnya, rekomendasi yang dihasilkannya pun
menjadi tidak valid. Hal ini juga secara langsung meruntuhkan validitas
Keterangan Ahli (T-27), karena sang ahli terbukti memberikan pendapatnya di
atas “kanvas yang sengaja disobek pada bagian yang paling vital”, sebagaimana
diungkapkan oleh Pemohon.
Dengan mengabaikan
pengakuan yudisial ini, hakim telah melewatkan kesempatan untuk mengoreksi
sebuah cacat prosedur yang nyata dalam proses penyidikan. Sebaliknya, hakim
hanya melihat bahwa dokumen “Laporan Hasil Gelar Perkara” (T-31) itu ada, tanpa
peduli bahwa proses di baliknya telah terbukti di persidangan sebagai proses
yang tidak profesional dan mengabaikan fakta hukum tertinggi. Ini adalah
manifestasi paling jelas dari pendekatan di mana keberadaan “dokumen” disamakan
dengan keabsahan “proses”.
Menafsirkan Perma Nomor 4 Tahun 2016 dalam Bayang-Bayang Konstitusi
Pusat dari penalaran hukum
hakim adalah interpretasi dan penerapan Perma Nomor 4 Tahun 2016. Secara
spesifik, hakim berpegang teguh pada Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 4 Tahun
2016, yang menyatakan:
“Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan
tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil
yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak
memasuki materi perkara”.
Namun, penerapan yang kaku
dan literal terhadap pasal ini, tanpa mempertimbangkan konteks dan semangat
yang melatarbelakangi perluasan kewenangan praperadilan, telah menciptakan
sebuah paradoks doktrinal yang serius.
Penerapan “Aspek Formil” dan Interpretasi atas Kata “Sah”
Dalam putusan ini, hakim
menafsirkan frasa “hanya menilai aspek formil” dengan cara yang paling sempit. “Aspek
formil” direduksi menjadi sebuah daftar periksa (checklist)
administratif:
1.
Apakah ada dokumen berjudul “Berita Acara Pemeriksaan Saksi”? Ada.
2.
Apakah ada dokumen berjudul “Berita Acara Pemeriksaan Ahli”? Ada.
3.
Apakah jumlah jenis dokumen tersebut minimal dua? Ya.
4.
Apakah ada dokumen berjudul “Laporan Hasil Gelar Perkara”? Ada.
Dengan terpenuhinya keempat
poin ini, hakim menyimpulkan bahwa syarat formil telah terpenuhi dan penetapan
tersangka adalah sah. Pendekatan ini adalah contoh klasik dari positivisme
hukum yang ketat, di mana hukum disamakan dengan teks peraturan semata, dan
peran hakim adalah sebagai corong undang-undang (bouche de la loi) yang
menerapkannya secara mekanis. Tidak ada ruang bagi interpretasi teleologis
(berdasarkan tujuan hukum) atau pertimbangan atas akibat hukum yang
ditimbulkan, sekalipun akibat tersebut adalah sebuah absurditas yuridis.
Lebih krusial lagi adalah
bagaimana hakim menafsirkan kata “sah” dalam frasa “alat bukti yang sah”. Dalam
putusan ini, “sah” diartikan sebatas pemenuhan syarat formalitas
administratif—bahwa dokumen BAP Saksi dan Keterangan Ahli itu ada secara fisik
dan dibuat sesuai prosedur. Namun, interpretasi ini mengabaikan dimensi
kualitatif dari keabsahan bukti. Sejumlah doktrin hukum berpendapat bahwa “bukti
permulaan yang cukup” tidak hanya didasarkan pada aspek kuantitas (jumlah),
tetapi juga kualitas dari alat bukti tersebut. Sebuah alat bukti tidak dapat
dianggap “sah” jika nilai pembuktiannya (evidentiary value) telah gugur
atau cacat secara fundamental. Dalam kasus ini, keterangan saksi-saksi Termohon
yang merupakan “narasi daur ulang” yang telah ditolak oleh Putusan Mahkamah
Agung, serta keterangan ahli yang didasarkan pada premis yang tidak lengkap,
secara substantif tidak lagi “sah” untuk dijadikan dasar penetapan tersangka
terhadap pihak yang telah dinyatakan sebagai korban. Dengan demikian, hakim
telah memilih interpretasi paling minimalis atas kata “sah”, yang hanya
berfokus pada eksistensi dokumen ketimbang validitas isinya.
Semangat dan Tujuan Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014
Penting untuk kembali pada
alasan mengapa Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014
memperluas objek praperadilan hingga mencakup penetapan tersangka. Putusan
Mahkamah Konstitusi ini lahir dari semangat untuk menegakkan, melindungi, dan menghormati
Hak Asasi Manusia (HAM). MK menyadari bahwa penetapan status tersangka bukanlah
sekadar tindakan administratif, melainkan sebuah “perampasan terhadap hak asasi
manusia” yang membawa konsekuensi serius bagi kebebasan, kehormatan, dan
martabat seseorang. Oleh karena itu, perluasan kewenangan praperadilan
dimaksudkan untuk memberikan mekanisme kontrol yudisial yang efektif guna
melindungi warga negara dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum.
MK secara eksplisit
menafsirkan frasa “bukti permulaan yang cukup” sebagai “minimal 2 (dua) alat
bukti” untuk memberikan standar yang lebih objektif dan dapat diuji,
sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Semangatnya adalah untuk memastikan
bahwa penetapan tersangka didasarkan pada fondasi pembuktian yang riil dan
memadai, bukan sekadar dugaan subjektif penyidik. Ini mengindikasikan bahwa
pengujian di praperadilan seharusnya tidak hanya berhenti pada eksistensi
kuantitas alat bukti, tetapi juga menyentuh—setidaknya secara minimal—validitas
dan kualitas dari bukti tersebut. Praperadilan diharapkan tidak lagi terjebak
pada masalah formalitas belaka, melainkan dapat melakukan pengujian yang lebih
substantif untuk mencegah pelanggaran HAM.
Ketegangan Doktrinal dan Paradoks yang Dihasilkan
Ketika penerapan kaku Perma
Nomor 4 Tahun 2016 oleh hakim dalam putusan ini dihadapkan pada semangat
Putusan MK, sebuah ketegangan doktrinal yang tajam muncul. Perma Nomor 4 Tahun
2016, yang seharusnya menjadi aturan pelaksana teknis dari Putusan MK, dalam
praktiknya justru berpotensi menyubversi tujuan konstitusional dari putusan
tersebut.
Putusan ini menjadi studi
kasus sempurna dari paradoks tersebut. Sebuah mekanisme (praperadilan yang
diperluas) yang dirancang oleh MK untuk meningkatkan perlindungan HAM,
melalui interpretasi sempit Perma Nomor 4 Tahun 2016, justru digunakan untuk melegitimasi
sebuah proses yang secara nyata melanggar prinsip kepastian hukum dan keadilan.
Hakim, dengan berlindung di balik frasa “hanya menilai aspek formil”, menolak
untuk memeriksa validitas kualitatif dari alat bukti Termohon—yaitu keterangan
saksi yang telah dinegasikan oleh Putusan MA dan keterangan ahli yang
didasarkan pada informasi yang tidak lengkap.
Hasilnya adalah sebuah
putusan yang secara prosedural dianggap “benar” namun secara substantif salah
total. Ini mengkhianati semangat Putusan MK yang menginginkan adanya pengawasan
yudisial yang bermakna (meaningful judicial review). Jika praperadilan
hanya berfungsi sebagai “mesin stempel” administratif yang menghitung jumlah
dokumen tanpa boleh mempertanyakan validitasnya, maka perlindungan terhadap
hak-hak tersangka yang diperjuangkan melalui Putusan MK menjadi ilusi. Kasus
ini menunjukkan bagaimana sebuah peraturan teknis, jika ditafsirkan tanpa jiwa,
dapat mengosongkan makna dari sebuah putusan konstitusional yang progresif.
Mandat Filosofis Praperadilan: Benteng Melawan Kesewenang-wenangan?
Lembaga praperadilan tidak
lahir dalam ruang hampa. Ia merupakan manifestasi dari prinsip negara hukum (Rechtsstaat)
yang menghendaki adanya mekanisme pengawasan (kontrol) terhadap penggunaan
kekuasaan oleh negara, khususnya dalam ranah penegakan hukum pidana yang paling
rentan terhadap pelanggaran hak asasi. Sebagaimana didalilkan oleh Pemohon,
praperadilan adalah garis demarkasi antara Rechtsstaat dan negara
kekuasaan (Machtsstaat). Ia berfungsi sebagai “benteng perlindungan”
atau pengawas horizontal untuk memastikan bahwa tindakan upaya paksa oleh
aparat penegak hukum dilakukan sesuai dengan koridor hukum (due process of
law) dan tidak bersifat sewenang-wenang.
Praperadilan sebagai “Benteng Perlindungan”
Secara filosofis, mandat
utama praperadilan adalah untuk menempatkan warga negara (tersangka) dan negara
(aparat penegak hukum) dalam posisi yang lebih seimbang di hadapan hukum pada
tahap pra-ajudikasi. Sebelum adanya praperadilan, proses penyidikan cenderung
bersifat inquisitorial, di mana tersangka menjadi objek pemeriksaan
semata. Praperadilan memperkenalkan elemen accusatorial, di mana
tindakan penyidik dapat diuji keabsahannya di hadapan hakim yang independen.
Fungsi ini menjadi krusial karena tindakan seperti penangkapan, penahanan, dan
penetapan tersangka merupakan bentuk perampasan kemerdekaan dan hak asasi yang
paling fundamental, yang hanya dapat dibenarkan jika dilakukan berdasarkan
prosedur dan substansi yang sah.
Dengan demikian, peran
hakim praperadilan bukanlah sekadar sebagai administrator yang memeriksa
kelengkapan dokumen. Peran sejatinya adalah sebagai garda terdepan perlindungan
HAM, yang harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang statusnya
diturunkan menjadi “tersangka” kecuali berdasarkan bukti-bukti yang secara
minimal memenuhi standar kelayakan hukum.
Evaluasi Putusan terhadap Mandat Filosofis
Jika diukur dengan mandat
filosofis ini, Putusan Nomor 5/Pid.Pra/2025/PN Mpw telah gagal secara
fundamental. Alih-alih berfungsi sebagai benteng, lembaga praperadilan dalam
kasus ini justru bertindak layaknya gerbang tol yang terbuka, yang hanya
memeriksa “tiket” formalitas tanpa peduli dengan “muatan” yang dibawanya,
sekalipun muatan tersebut adalah sebuah kontradiksi hukum yang nyata.
Kegagalan ini
termanifestasi dalam beberapa hal:
1.
Abdikasi Fungsi Kontrol Yudisial
Dengan menolak untuk mempertimbangkan implikasi
hukum dari Putusan Mahkamah Agung, hakim praperadilan secara efektif telah
melepaskan tanggung jawabnya untuk mengawasi dan mengoreksi tindakan penyidik.
Tindakan penyidik yang menetapkan seorang korban sebagai tersangka, dengan
mengabaikan putusan peradilan tertinggi, adalah definisi dari tindakan yang
melampaui batas kewajaran dan berpotensi sewenang-wenang. Hakim memiliki
kesempatan dan kewenangan untuk menghentikan kesewenang-wenangan ini, namun
memilih untuk tidak melakukannya dengan berlindung di balik tameng formalisme;
2.
Menguatkan Ketidakseimbangan Kekuasaan
Putusan ini mengirimkan sinyal berbahaya bahwa
selama penyidik dapat memproduksi jumlah dokumen yang cukup, keputusan mereka
kebal dari pengujian substantif di praperadilan. Ini mengembalikan
ketidakseimbangan kekuasaan antara penyidik dan warga negara, di mana penyidik
diberi keleluasaan yang nyaris tanpa batas untuk menetapkan status tersangka,
bahkan dengan menggunakan bukti-bukti yang secara hukum telah didiskreditkan;
3.
Mengabaikan Keadilan sebagai Tujuan Hukum
Dengan memprioritaskan prosedur di atas segalanya,
putusan ini melupakan bahwa prosedur hanyalah sarana untuk mencapai tujuan
hukum yang lebih tinggi, yaitu keadilan (gerechtigkeit). Ketika
penerapan sebuah prosedur justru menghasilkan ketidakadilan yang
manifes—seperti yang terjadi dalam kasus ini—maka hakim seharusnya memiliki
kearifan untuk melakukan interpretasi yang lebih progresif demi menegakkan
keadilan.
Pada akhirnya, putusan ini menunjukkan sebuah lembaga praperadilan yang kehilangan jiwa dan mandat filosofisnya. Ia tidak lagi menjadi benteng perlindungan bagi warga negara, melainkan menjadi instrumen legitimasi bagi tindakan aparatur negara, sekalipun tindakan tersebut berdiri di atas fondasi yang rapuh dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara hukum.
Dengan menganalisis secara
komprehensif pertimbangan hukum dalam putusan ini utamanya bagi akademisi, praktisi, dan masyarakat, sebuah profil yang jelas
mengenai gaya berpikir dan filosofi hukum yang dianut oleh hakim dapat
disintesis. Profil ini tidak hanya menjelaskan mengapa putusan tersebut
diambil, tetapi juga menyoroti kekuatan dan kelemahan yang melekat pada
pendekatan yudisial tersebut.
Positivisme Hukum yang Ketat
Penalaran hakim dalam
putusan ini secara konsisten mencerminkan aliran filsafat hukum positivisme
yang sangat ketat (juga dikenal sebagai legisme atau strict legal positivism).
Ciri utamanya adalah identifikasi hukum dengan peraturan perundang-undangan
yang tertulis semata. Bagi hakim penganut aliran ini, tugas yudisial bukanlah
untuk mencari keadilan substantif atau menimbang prinsip-prinsip hukum yang
saling bersaing, melainkan untuk menerapkan teks hukum (black-letter law)
secara literal dan mekanis pada fakta yang ada di hadapannya.
Hal ini terlihat jelas dari
cara hakim berulang kali merujuk pada teks Perma No. 4 Tahun 2016 sebagai
satu-satunya pedoman yang absolut dan tidak dapat ditawar. Tidak ada upaya sama
sekali untuk melakukan interpretasi teleologis (mencari tujuan di balik perumusan
norma) atau interpretasi sistematis (menghubungkan norma tersebut dengan norma
konstitusional yang lebih tinggi, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014). Hukum adalah apa yang tertulis dalam Perma, dan tugas hakim
hanyalah mengeksekusinya.
Kekuatan Putusan (dari Perspektif Positivis)
Meskipun secara substantif
sangat problematis, jika dilihat dari kacamata positivisme murni, putusan ini
memiliki beberapa “kekuatan” atau kelebihan, yaitu:
-
Putusan ini menawarkan standar pemeriksaan praperadilan yang sangat
jelas, sederhana, dan mudah diprediksi. Standarnya adalah “hitung jumlah
dokumen”. Pendekatan ini menghindari kompleksitas, subjektivitas, dan potensi
ultra vires (pelampauan kewenangan) yang mungkin timbul jika hakim diizinkan
melakukan pengujian yang lebih substantif terhadap materi perkara;
-
Hakim menunjukkan kepatuhan yang tinggi pada peraturan yang dikeluarkan
oleh lembaga di atasnya, yaitu Mahkamah Agung (melalui Perma). Dalam logika
positivis, ini adalah bentuk disiplin yudisial yang patut dihargai, di mana
hakim pengadilan tingkat pertama tidak mencoba “menciptakan hukum” baru,
melainkan hanya menerapkan instruksi yang ada.
Area Pertimbangan yang Lebih Dalam (Hal-hal yang Diabaikan Hakim)
Namun, kekuatan dari
perspektif positivis ini sekaligus menjadi kelemahan fatal jika dilihat dari
perspektif negara hukum yang lebih luas. Ada beberapa prinsip fundamental yang
seharusnya dipertimbangkan lebih dalam oleh hakim, namun terbukti diabaikan:
-
Prinsip Kepastian Hukum (Rechtszekerheid)
Ironisnya, fokus hakim pada
kepastian prosedur justru merusak prinsip kepastian hukum yang
lebih agung. Putusan ini menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang ekstrem
bagi seorang warga negara, di mana ia secara simultan menyandang status sebagai
“korban” yang diakui oleh Mahkamah Agung dan “tersangka” di mata Kepolisian.
Ini adalah bentuk dualisme hukum yang tidak dapat diterima dalam sebuah sistem
hukum yang koheren.
-
Prinsip Pencegahan Absurditas Hukum
Salah satu asas
interpretasi hukum yang universal adalah bahwa hakim harus menghindari
penafsiran yang menghasilkan kesimpulan yang secara logika absurd atau saling
meniadakan (contradictio in terminis). Putusan hakim dalam kasus ini
secara langsung menciptakan absurditas tersebut: melegitimasi proses hukum
terhadap seseorang atas dasar peristiwa di mana ia telah secara final
dinyatakan sebagai korban.
-
Implikasi Pembuktian dari Pengakuan Penyidik
Ini adalah pengabaian
paling signifikan dalam seluruh putusan. Hakim gagal memahami bahwa pengakuan
penyidik Junaldi Ginting tentang ketidaktahuannya akan Putusan MA bukanlah isu
materi perkara, melainkan bukti adanya cacat prosedur yang fatal dalam
pelaksanaan gelar perkara. Gelar perkara yang tidak didasari oleh informasi
hukum yang paling krusial adalah prosedur yang tidak sah. Seandainya hakim jeli
melihat ini, hakim dapat membatalkan penetapan tersangka atas dasar cacat
prosedur formil, tanpa perlu menyentuh materi pokok perkara sama sekali.
Kegagalan mengidentifikasi isu prosedural ini menunjukkan kurangnya kedalaman
analisis dari hakim.
Secara keseluruhan, gaya
berpikir hakim adalah gaya berpikir seorang teknokrat hukum yang
memprioritaskan keteraturan prosedural di atas segalanya. Namun, dengan
melakukannya, ia telah mengorbankan esensi dari hukum itu sendiri: keadilan,
kepastian, dan rasionalitas.
Preseden untuk Kemajuan atau Langkah Menuju Regresi?
Setiap putusan pengadilan,
terutama dalam ranah hukum acara yang dinamis seperti praperadilan, tidak hanya
berdampak pada para pihak yang berperkara, tetapi juga berpotensi menjadi
yurisprudensi yang membentuk arah perkembangan hukum di masa depan. Oleh karena
itu, evaluasi akhir terhadap Putusan Nomor 5/Pid.Pra/2025/PN Mpw harus
dilakukan secara objektif berdasarkan tiga tujuan universal hukum: keadilan (gerechtigkeit),
kepastian hukum (rechtssicherheit), dan kemanfaatan (zweckmäßigkeit).
Evaluasi terhadap Tiga Pilar Hukum
1.
Keadilan (Keadilan)
Dari pilar keadilan, putusan ini secara telak
gagal. Ia melegitimasi sebuah proses yang secara inheren tidak adil, yaitu
melanjutkan penuntutan pidana terhadap seseorang yang statusnya sebagai korban
dalam peristiwa yang sama telah dikukuhkan oleh lembaga peradilan tertinggi.
Putusan ini mengabaikan rasa keadilan masyarakat (sense of justice) yang
paling mendasar, di mana seorang korban seharusnya dilindungi, bukan justru
dikriminalisasi. Keadilan substantif telah dikorbankan di atas altar formalisme
prosedural yang kaku.
2.
Kepastian Hukum (Kepastian Hukum)
Putusan ini secara serius mencederai asas kepastian
hukum. Ia menciptakan preseden yang mengkhawatirkan bahwa sebuah putusan
Mahkamah Agung yang telah inkracht van gewijsde—puncak dari hierarki
peradilan—dapat secara efektif diabaikan oleh aparat penegak hukum di tingkat
penyidikan. Hal ini meruntuhkan tatanan dan hierarki sistem peradilan,
menciptakan lanskap hukum yang kacau, tidak dapat diprediksi, dan penuh dengan
kontradiksi. Jika putusan MA tidak lagi menjadi jaminan kepastian hukum, lantas
putusan mana lagi yang bisa dipegang?
3.
Kemanfaatan (Kemanfaatan)
Dari segi kemanfaatan, putusan ini juga bernilai
rendah. Ia memaksa negara untuk mengalokasikan sumber daya (waktu, tenaga, dan
biaya) untuk melanjutkan penyidikan dan potensi penuntutan terhadap sebuah
kasus yang dibangun di atas premis yang secara fundamental cacat dan
kontradiktif. Di sisi lain, ia memaksa seorang warga negara untuk menanggung
beban psikologis, sosial, dan finansial dari sebuah proses pidana yang sejak
awal tidak adil. Tidak ada kemanfaatan publik yang dapat diraih dari penegakan
hukum yang irasional.
Sebuah Preseden untuk Regresi
Berdasarkan seluruh
dasar refeltif yang telah diuraikan oleh Penulis, Putusan Nomor 5/Pid.Pra/2025/PN Mpw harus
disimpulkan bukan sebagai sebuah model penalaran yudisial yang patut dicontoh,
melainkan sebagai sebuah preseden yang berbahaya dan merupakan langkah mundur
(regresi) bagi institusi praperadilan di Indonesia.
Putusan ini adalah
manifestasi dari bagaimana praperadilan, yang oleh Mahkamah Konstitusi
dirancang sebagai instrumen progresif untuk melindungi HAM melalui Putusan
Nomor 21/PUU-XII/2014, dapat dikebiri dan dikosongkan maknanya melalui
interpretasi yang hiper-formalistik. Dengan menjadikan prosedur sebagai tujuan
akhir, bukan sebagai sarana untuk mencapai keadilan, putusan ini telah mengubah
fungsi praperadilan. Dari yang seharusnya menjadi benteng pengawasan yudisial
yang bermakna, ia berubah menjadi sekadar mekanisme stempel karet
administratif.
Oleh karena itu, putusan
ini dapat menjadi studi kasus penting yang menunjukkan bahaya dari formalisme
hukum yang berlebihan. Ia menjadi pengingat bahwa hukum tanpa keadilan adalah
tirani, dan prosedur tanpa substansi adalah ritual kosong. Jika putusan semacam
ini menjadi tren, maka kemajuan hukum praperadilan yang telah diperjuangkan
melalui Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 akan terancam mengalami kemunduran
serius, mengembalikan lembaga ini ke era di mana ia hanya menjadi macan kertas
yang tidak mampu melindungi warga negara dari potensi kesewenang-wenangan.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.