Pengantar
Dalam perkembangan ekonomi kontemporer, terjadi
pergeseran besar dari valuasi berbasis aset berwujud (tangible assets)
menuju dominasi aset tak berwujud (intangible assets). Saat ini,
informasi strategis, inovasi, dan pengetahuan menjadi “mata uang” utama yang
menentukan daya saing serta keberlangsungan subjek bisnis sebagai subjek hukum.
Di antara berbagai bentuk Hak Kekayaan Intelektual, “Rahasia
Dagang” memiliki posisi yang unik. Hal ini sering menjadi fondasi keunggulan
kompetitif perusahaan, tetapi sekaligus merupakan aset yang paling rentan.
Nilai Rahasia Dagang tidak bergantung pada pendaftaran formal, melainkan pada
kemampuannya untuk tetap tersembunyi dari domain publik.
Perlindungan hukum terhadap Rahasia Dagang di
Indonesia tidak hanya melindungi kepentingan pribadi pemiliknya, tetapi juga
berperan penting dalam menjaga keadilan bisnis dan mendorong inovasi. Hukum
Rahasia Dagang memberikan kepastian bagi pelaku usaha bahwa informasi berharga
yang mereka ciptakan (seperti formula, strategi pemasaran, atau daftar
pelanggan) tidak dapat disalahgunakan oleh pihak lain.
Dengan dasar hukum yang jelas, seperti yang diatur
dalam Undang-Undang Rahasia Dagang, perlindungan ini menjadi pondasi penting
dalam menciptakan iklim usaha yang sehat dan kompetitif.
Artikel ini akan membahas secara lengkap pengertian
Rahasia Dagang, unsur-unsur perlindungannya, serta contoh penerapannya dalam
praktik hukum nasional dan internasional.
Informasi Rahasia dan Rahasia Dagang dalam Perspektif Yuridis
Dalam praktik bisnis, istilah “informasi rahasia” dan “Rahasia
Dagang” seringkali digunakan secara bergantian. Namun, dari perspektif yuridis,
keduanya memiliki demarkasi yang jelas dengan implikasi hukum yang berbeda
secara signifikan. Memahami perbedaan ini adalah langkah fundamental bagi
setiap pelaku usaha dalam merancang strategi perlindungan aset intelektualnya.
Definisi Informasi Rahasia (Confidential Information)
Informasi Rahasia atau confidential information
merupakan sebuah genus atau kategori yang lebih luas. Secara umum, ia mencakup
segala bentuk data, pengetahuan, atau kompilasi informasi dalam konteks bisnis
yang tidak dimaksudkan untuk konsumsi publik dan dijaga kerahasiaannya oleh
perusahaan.
Ini bisa meliputi draf rencana bisnis, notulensi rapat
internal, data gaji karyawan, atau informasi lain yang, jika terungkap, dapat
merugikan perusahaan. Perlindungan terhadap informasi rahasia jenis ini pada
umumnya didasarkan pada kewajiban kontraktual, seperti yang tertuang dalam
perjanjian kerja atau perjanjian kerahasiaan (Non-Disclosure Agreement /
NDA). Namun, tidak semua informasi rahasia secara otomatis memenuhi kualifikasi
untuk mendapatkan perlindungan hukum spesifik di bawah rezim Rahasia Dagang.
Definisi Yuridis Rahasia Dagang
Rahasia Dagang merupakan species atau bagian
spesifik dari informasi rahasia yang telah memenuhi kriteria hukum tertentu
sehingga berhak atas perlindungan khusus dari negara. Definisi yuridisnya
secara tegas diatur dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, yang selanjutnya
disebut dengan “UU Rahasia Dagang”, yang menyatakan:
“Rahasia
Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi
dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha,
dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.”
Definisi ini mengandung tiga unsur kumulatif yang
harus dipenuhi agar suatu informasi dapat diklasifikasikan sebagai Rahasia
Dagang yang dilindungi undang-undang. Setiap frasa dalam pasal ini memiliki
makna hukum yang mendalam dan menjadi tolok ukur dalam setiap sengketa.
Sehingga, perbedaan fundamental antara “Informasi
Rahasia” umum dengan “Rahasia Dagang” terletak pada pemenuhan tiga kriteria
kumulatif tersebut. Suatu informasi rahasia baru akan terangkat statusnya
menjadi Rahasia Dagang yang dilindungi oleh UU Rahasia Dagang apabila ia dapat
dibuktikan bersifat rahasia (tidak diketahui umum), memiliki nilai
ekonomi, dan telah dijaga kerahasiaannya melalui upaya yang patut.
Implikasinya dalam hukum bisnis sangatlah krusial.
Jika suatu informasi hanya berstatus sebagai “informasi rahasia” biasa, maka
upaya hukum atas penyalahgunaannya terbatas pada gugatan wanprestasi (jika ada
perjanjian) atau perbuatan melawan hukum.
Sebaliknya, jika informasi tersebut memenuhi
kualifikasi sebagai “Rahasia Dagang”, pemiliknya dapat menggunakan instrumen
hukum yang lebih kuat yang disediakan oleh UU Rahasia Dagang, termasuk tuntutan
pidana dan gugatan ganti rugi spesifik.
Pemahaman atas demarkasi ini menjadi vital bagi
praktisi hukum dan bisnis dalam menyusun perjanjian. Perjanjian kerahasiaan
yang efektif tidak hanya melabeli semua informasi sebagai “rahasia”, tetapi
harus mampu mengidentifikasi dan memberikan perlakuan khusus terhadap informasi
yang berpotensi menjadi “Rahasia Dagang”. Hal ini dikarenakan standar
perlindungan dan konsekuensi hukumnya berbeda, sehingga menuntut adanya
pendekatan perlindungan informasi yang berlapis (tiered approach), yang
disesuaikan dengan nilai dan status hukum dari setiap informasi.
Ratio Legis dan Kedudukan Rahasia Dagang dalam Sistem Hak Kekayaan Intelektual
Setiap peraturan perundang-undangan dilahirkan dengan
dasar pemikiran atau ratio legis tertentu. Demikian pula halnya dengan
UU Rahasia Dagang, yang kehadirannya bukan hanya untuk memberikan hak eksklusif
kepada pemilik, melainkan untuk mencapai keseimbangan kepentingan yang lebih
luas dalam ekosistem ekonomi dan inovasi.
Dasar Pemikiran Perlindungan (Ratio Legis)
Filosofi di balik perlindungan Rahasia Dagang berakar pada beberapa tujuan utama. Pertama, untuk memberikan insentif bagi inovasi dan investasi dalam kegiatan riset dan pengembangan (research and development). Dengan adanya jaminan perlindungan, perusahaan terdorong untuk mengalokasikan sumber daya guna menciptakan metode produksi, formula, atau strategi bisnis baru yang efisien, karena mengetahui hasil jerih payahnya tidak akan mudah dicuri oleh pesaing.
Kedua, perlindungan ini bertujuan untuk mencegah praktik
persaingan usaha tidak sehat, seperti spionase industri, pembajakan karyawan
kunci, dan cara-cara tidak etis lainnya untuk memperoleh keunggulan kompetitif.
Ketiga, UU Rahasia Dagang berfungsi untuk menegakkan etika dan moralitas dalam
praktik bisnis, sejalan dengan amanat internasional untuk melindungi praktik
komersial yang jujur (honest commercial practices), sebagaimana diatur
dalam Persetujuan TRIPs.
Perbandingan Deskriptif dengan Rezim HKI Lainnya
Untuk memahami esensi Rahasia Dagang, penting untuk
membedakannya dengan rezim HKI lainnya. Masing-masing memiliki objek, cara
perolehan, dan jangka waktu perlindungan yang berbeda, sehingga menawarkan
pilihan strategis yang berbeda pula bagi pelaku usaha.
Rahasia Dagang Sangat Kontras dengan Paten
Paten, yang diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, memberikan hak eksklusif
atas suatu invensi di bidang teknologi yang baru, mengandung langkah inventif,
dan dapat diterapkan dalam industri. Syarat utama perlindungan paten adalah pengungkapan
penuh (full disclosure) atas invensi tersebut kepada publik melalui
proses pendaftaran. Sebagai imbalannya, inventor mendapatkan hak monopoli
terbatas, yakni 20 tahun untuk paten biasa dan 10 tahun untuk paten sederhana,
yang tidak dapat diperpanjang.
Sebaliknya, Rahasia Dagang melindungi informasi justru
karena kerahasiaannya. Jangka waktu perlindungannya bisa tidak terbatas, selama
kerahasiaan tersebut dapat dipertahankan. Ini menyajikan pilihan strategis
fundamental bagi inovator: memilih monopoli terbatas dengan pengungkapan publik
(Paten) atau potensi perlindungan abadi dengan risiko kebocoran (Rahasia
Dagang).
Rahasia Dagang Sangat Kontras dengan Hak Cipta
Hak Cipta, yang diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, melindungi
bentuk ekspresi dari sebuah ide, bukan idenya itu sendiri. Misalnya, Hak Cipta
melindungi kode sumber (source code) suatu program komputer sebagai
karya tulis, tetapi tidak melindungi algoritma atau konsep di baliknya.
Perlindungan Hak Cipta timbul secara otomatis (automatical protection)
sejak suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata, tanpa perlu pendaftaran.
Sebaliknya, Rahasia Dagang melindungi substansi ide
atau informasi itu sendiri (misalnya, algoritma rahasia di balik program
tersebut), dan perlindungannya tidak otomatis, melainkan bergantung pada upaya
aktif pemilik untuk menjaga kerahasiaan.
Rahasia Dagang Sangat Kontras dengan Merek
Merek, yang diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis,
berfungsi sebagai tanda pembeda yang digunakan pada barang atau jasa untuk
mengidentifikasi asal-usul komersialnya. Perlindungan Merek diperoleh melalui
pendaftaran dengan menganut prinsip first-to-file (siapa yang pertama
mendaftar, dia yang berhak). Fungsi Merek bersifat eksternal, yaitu sebagai
alat komunikasi dengan konsumen.
Sebaliknya, fungsi Rahasia Dagang bersifat internal,
yaitu sebagai keunggulan kompetitif yang tidak diketahui oleh publik maupun
pesaing.
Rezim HKI yang beragam ini sejatinya tidak bersifat
saling meniadakan (mutually exclusive), melainkan dapat digunakan secara
komplementer dalam sebuah strategi perlindungan yang holistik. Sebuah produk
inovatif dapat dilindungi oleh beberapa rezim HKI secara bersamaan.
Sebagai contoh, sebuah telepon pintar baru dapat
memiliki: aspek teknologi layarnya yang dipatenkan; antarmuka perangkat
lunaknya yang dilindungi Hak Cipta; nama dan logonya yang dilindungi Merek;
serta daftar pemasok komponen kunci dan metode kalibrasi produksinya yang
dijaga sebagai Rahasia Dagang. Penggunaan strategi berlapis ini menunjukkan
bahwa pemahaman hukum HKI harus bersifat terintegrasi untuk dapat memproteksi
aset intelektual secara maksimal.
Unsur-Unsur Esensial dan Momentum Perlindungan Hukum Rahasia Dagang
Perlindungan hukum terhadap suatu informasi sebagai Rahasia Dagang tidak diberikan secara cuma-cuma. UU Rahasia Dagang menetapkan tiga unsur esensial yang bersifat kumulatif, artinya ketiga-tiganya harus terpenuhi secara bersamaan. Kegagalan membuktikan salah satu unsur saja akan menggugurkan status perlindungan hukumnya.
Pasal 3 ayat (1) UU Rahasia Dagang menyatakan:
“Rahasia
Dagang mendapat perlindungan apabila informasi tersebut bersifat rahasia,
mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana
mestinya.”.
Berikut adalah analisis mendalam terhadap
masing-masing unsur:
1.
Bersifat Rahasia
Unsur
ini dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (2) UU Rahasia Dagang,
di mana informasi dianggap rahasia apabila “informasi tersebut hanya
diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat.”.
Konsep ini tidak menuntut kerahasiaan absolut di mana hanya satu orang yang
mengetahuinya. Dalam praktik, dikenal adanya konsep “kerahasiaan relatif”, di
mana informasi tersebut mungkin diketahui oleh sejumlah karyawan, mitra bisnis,
atau konsultan. Namun, selama akses terhadap informasi tersebut terbatas pada
lingkaran internal yang berkepentingan (need-to-know basis) dan belum
menjadi pengetahuan umum (public knowledge) di kalangan industri
terkait, maka unsur kerahasiaan ini tetap terpenuhi;
2.
Mempunyai Nilai
Ekonomi
Berdasarkan
Pasal 3 ayat (3) UU Rahasia Dagang, nilai ekonomi timbul apabila
sifat kerahasiaan informasi tersebut “dapat digunakan untuk menjalankan
kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan
secara ekonomi.”. Nilai ekonomi tidak selalu harus dapat diukur secara
pasti dalam nominal rupiah, namun lebih kepada kemampuannya memberikan
keunggulan kompetitif (competitive edge). Contohnya meliputi formula
produk, metode produksi yang lebih efisien, strategi pemasaran yang unik,
daftar pelanggan yang telah terkurasi dengan baik, hingga data riset pasar
negatif (misalnya, informasi tentang formula yang gagal) yang dapat menghemat
biaya riset di masa depan.
3.
Dijaga
Kerahasiaannya
Ini
adalah unsur yang paling menuntut tindakan proaktif dari pemilik. Pasal 3
ayat (4) UU Rahasia Dagang mensyaratkan bahwa pemilik atau para pihak
yang menguasainya telah melakukan “langkah-langkah yang layak dan patut”
untuk menjaga kerahasiaan informasinya. Langkah-langkah ini menjadi bukti
keseriusan pemilik dalam memperlakukan informasi tersebut sebagai aset
berharga. Secara umum, langkah-langkah ini dapat dikategorikan menjadi tiga
jenis:
-
Langkah Yuridis,
yaitu mengimplementasikan Perjanjian Kerahasiaan (NDA) dengan karyawan, vendor,
konsultan, dan mitra bisnis; mencantumkan klausul kerahasiaan yang tegas dalam
perjanjian kerja; serta membuat kebijakan internal perusahaan mengenai
penanganan informasi rahasia;
-
Langkah Fisik yaitu
membatasi akses ke area-area sensitif seperti laboratorium atau ruang server;
menggunakan lemari arsip yang terkunci untuk dokumen fisik; dan menerapkan
kebijakan meja bersih (clean desk policy);
-
Langkah Digital,
yaitu menggunakan enkripsi untuk data sensitif; menerapkan sistem kata sandi
yang kuat dan otentikasi multi-faktor; membatasi akses ke data digital
berdasarkan peran dan wewenang (role-based access control); serta
memonitor lalu lintas jaringan untuk mendeteksi aktivitas yang mencurigakan.
Momentum Timbulnya Perlindungan (Sistem Deklaratif)
Berbeda dengan Paten atau Merek yang menganut sistem
konstitutif (perlindungan timbul setelah didaftarkan), perlindungan Rahasia
Dagang di Indonesia menganut sistem deklaratif. Artinya, perlindungan hukum
timbul secara otomatis sejak ketiga unsur esensial di atas terpenuhi secara
kumulatif. Tidak ada kewajiban untuk mendaftarkan atau mencatatkan Rahasia
Dagang ke instansi pemerintah manapun untuk mendapatkan perlindungan.
Sifat perlindungan yang otomatis ini dapat diibaratkan
sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan keuntungan berupa
perlindungan instan tanpa birokrasi dan biaya pendaftaran. Namun di sisi lain,
ia memindahkan seluruh beban pembuktian mengenai eksistensi, kepemilikan, dan
pemenuhan ketiga unsur Rahasia Dagang kepada pemilik pada saat terjadi
sengketa.
Tanpa adanya dokumentasi yang sistematis dan
komprehensif mengenai “langkah-langkah yang layak dan patut” yang telah
diambil, sebuah gugatan pelanggaran Rahasia Dagang dapat dengan mudah
dimentahkan oleh pihak lawan. Dengan demikian, upaya menjaga kerahasiaan bukan
hanya menjadi syarat untuk memperoleh perlindungan, tetapi juga merupakan
proses pengumpulan bukti yang paling vital untuk memenangkan litigasi di
kemudian hari.
Pelanggaran dan Penggunaan Tanpa Hak: Batasan dan Konsekuensi
UU Rahasia Dagang secara spesifik mengatur
perbuatan-perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai pelanggaran, sekaligus
memberikan pengecualian terhadap tindakan tertentu. Selain itu, UU ini juga
mengatur mekanisme komersialisasi Rahasia Dagang melalui pengalihan hak dan
lisensi, yang memiliki konsekuensi hukum tersendiri.
Bentuk-Bentuk Pelanggaran
Pelanggaran terhadap Rahasia Dagang dapat dilakukan
baik oleh pihak internal yang memiliki hubungan kepercayaan maupun oleh pihak
eksternal yang bertindak secara melawan hukum.
(1) Pelanggaran oleh Pihak yang Memiliki Kewajiban Menjaga
Kerahasiaan
Sebagaimana ketentuan Pasal 13 UU Rahasia Dagang
menyatakan bahwa pelanggaran terjadi apabila seseorang “dengan sengaja
mengungkapkan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari
kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang
bersangkutan.”. Ketentuan ini secara primer menyasar pelanggaran yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang memperoleh akses sah terhadap Rahasia Dagang,
seperti karyawan, mantan karyawan, direksi, atau mitra bisnis yang terikat oleh
perjanjian kerahasiaan. “Kewajiban tidak tertulis” dapat timbul dari hubungan
fidusia atau hubungan kepercayaan, misalnya antara direktur dengan
perusahaannya;
(2) Pelanggaran oleh Pihak yang Memperoleh Secara Melawan
Hukum
Pasal 14 UU Rahasia Dagang
mengatur bahwa pelanggaran juga terjadi apabila seseorang “memperoleh
atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”. Pasal ini menargetkan
pihak ketiga atau pihak eksternal yang tidak memiliki hubungan kontraktual,
yang melakukan tindakan-tindakan seperti pencurian, peretasan sistem komputer,
penyadapan, atau bentuk spionase industri lainnya.
Pengecualian Pelanggaran
Tidak semua tindakan pengungkapan atau penggunaan
informasi yang berstatus Rahasia Dagang dianggap sebagai pelanggaran. Pasal
15 UU Rahasia Dagang memberikan dua pengecualian utama:
a.
Tindakan
pengungkapan atau penggunaan Rahasia Dagang yang didasarkan pada kepentingan
pertahanan keamanan, kesehatan, atau keselamatan masyarakat. Pengecualian
ini bertujuan untuk menyeimbangkan hak privat pemilik Rahasia Dagang dengan
kepentingan publik yang lebih besar;
b.
Tindakan rekayasa
ulang (reverse engineering) atas produk yang dihasilkan dari
penggunaan Rahasia Dagang milik orang lain, yang dilakukan semata-mata untuk
kepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan. Rekayasa ulang
adalah proses membongkar dan menganalisis suatu produk untuk memahami cara
kerjanya. Selama proses ini dilakukan terhadap produk yang telah beredar secara
sah di pasar dan tujuannya adalah untuk inovasi lebih lanjut, maka hal tersebut
tidak dianggap sebagai pelanggaran.
Pengalihan Hak dan Lisensi
Sebagai aset ekonomi, Hak Rahasia Dagang dapat
dikomersialisasikan.
1.
Pengalihan Hak, sesuai
Pasal 5 UU Rahasia Dagang, Hak Rahasia Dagang dapat beralih atau
dialihkan kepemilikannya melalui cara-cara seperti pewarisan, hibah, wasiat,
atau perjanjian tertulis. Hal yang krusial untuk diperhatikan adalah Pasal
5 ayat (3) UU Rahasia Dagang yang mewajibkan agar setiap bentuk
pengalihan hak dicatatkan pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).
Pengalihan yang tidak dicatatkan tidak akan memiliki akibat hukum terhadap
pihak ketiga.
2.
Lisensi, di mana
pemilik Hak Rahasia Dagang juga dapat memberikan izin atau lisensi kepada pihak
lain untuk menggunakan Rahasia Dagang tersebut tanpa mengalihkan
kepemilikannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal
9 UU Rahasia Dagang. Perjanjian lisensi ini juga wajib dicatatkan pada
DJKI. Ketentuan teknis mengenai pencatatan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian
Lisensi Kekayaan Intelektual, yang selanjutnya disebut dengan “PP
36/2018”. PP 36/2018 mengatur prosedur, syarat, serta
larangan dalam perjanjian lisensi, termasuk larangan memuat ketentuan yang
dapat merugikan perekonomian Indonesia atau menimbulkan persaingan usaha tidak
sehat.
Kewajiban pencatatan pengalihan hak dan lisensi ini
menciptakan suatu dinamika yang menarik. Di satu sisi, esensi perlindungan
Rahasia Dagang terletak pada sifatnya yang tidak terdaftar dan rahasia. Di sisi
lain, untuk mengkomersialkannya secara formal agar memiliki kekuatan hukum
eksternal terhadap pihak ketiga, suatu bentuk pencatatan administratif (yang
ditegaskan tidak mencakup substansi rahasia dagangnya) pada lembaga pemerintah
menjadi suatu keharusan. Hal ini menunjukkan adanya tegangan antara prinsip
kerahasiaan absolut dengan kebutuhan akan kepastian hukum dalam lalu lintas
transaksi komersial.
Harmonisasi Hukum Rahasia Dagang Indonesia dengan TRIPs Agreement
Lahirnya UU Rahasia Dagang di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari konteks kewajiban internasional negara. Kehadiran undang-undang
ini merupakan manifestasi dari komitmen Indonesia untuk menyelaraskan sistem
hukum kekayaan intelektualnya dengan standar minimum yang berlaku secara
global.
Kewajiban Internasional Indonesia
Latar belakang utama pembentukan UU Rahasia Dagang adalah ratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994. Persetujuan ini mencakup berbagai lampiran, salah satunya adalah Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang dari Hak Kekayaan Intelektual), atau yang lebih dikenal sebagai Persetujuan TRIPs. Sebagai anggota WTO, Indonesia terikat untuk mengadopsi dan mengimplementasikan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan TRIPs ke dalam hukum nasionalnya.
Ketentuan yang secara spesifik mengatur mengenai
Rahasia Dagang dalam Persetujuan TRIPs terdapat pada Pasal 39. Pasal
39 ayat (2) TRIPs Agreement mewajibkan negara-negara anggota untuk
memberikan kemungkinan bagi subjek hukum untuk mencegah informasi yang secara
sah berada dalam kendali mereka diungkapkan, diperoleh, atau digunakan oleh
pihak lain tanpa persetujuan mereka dengan cara yang bertentangan dengan
praktik komersial yang jujur (contrary to honest commercial practices).
Lebih lanjut, pasal tersebut menetapkan tiga kriteria
bagi suatu informasi agar dapat memperoleh perlindungan sebagai undisclosed
information (informasi yang tidak diungkapkan), yaitu informasi tersebut
harus:
a.
Bersifat rahasia
(is secret), dalam arti tidak diketahui secara umum atau tidak mudah
diakses oleh orang-orang yang biasa berurusan dengan jenis informasi tersebut;
b.
Memiliki nilai
komersial (has commercial value) karena sifat kerahasiaannya; dan
c.
Telah menjadi
subjek dari langkah-langkah yang wajar (reasonable steps) oleh orang
yang secara sah mengendalikannya, untuk menjaga kerahasiaannya.
Jika diperhatikan secara saksama, ketiga kriteria yang
diamanatkan oleh Persetujuan TRIPs ini diadopsi secara hampir identik ke dalam
tiga unsur kumulatif yang diatur dalam Pasal 3 UU Rahasia Dagang.
Hal ini menunjukkan bahwa kerangka hukum Rahasia Dagang di Indonesia telah
selaras dengan standar minimum internasional.
Harmonisasi hukum ini membawa implikasi yang
signifikan. Dengan memiliki standar perlindungan Rahasia Dagang yang setara
dengan standar internasional, Indonesia memberikan sinyal positif kepada
komunitas bisnis global. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan investor asing
untuk menanamkan modal dan melakukan transfer teknologi, karena mereka merasa
aset intelektual mereka yang paling berharga akan mendapatkan perlindungan
hukum yang memadai di Indonesia. Selain itu, harmonisasi ini juga memfasilitasi
pelaku usaha nasional untuk dapat bersaing di pasar global dengan landasan
hukum yang dapat saling dipahami dan diakui.
Kasus Sengketa Rahasia Dagang
Teori dan norma hukum akan menjadi lebih hidup ketika
diuji dalam praktik peradilan. Analisis terhadap putusan-putusan pengadilan (yurisprudensi)
memberikan pemahaman yang lebih konkret mengenai bagaimana hakim menafsirkan
dan menerapkan undang-undang dalam menghadapi sengketa Rahasia Dagang.
Penegakan hukum Rahasia Dagang di Indonesia telah
berjalan di ranah perdata maupun pidana, meskipun jumlah kasus yang sampai ke
tingkat Mahkamah Agung masih relatif terbatas.
a. Kasus Pidana - Racikan Kopi
Salah
satu preseden penting dalam ranah pidana adalah Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 332 K/Pid.Sus/2013, tertanggal 16 Juni 2015.
Kasus ini melibatkan seorang mantan manajer pemasaran dari CV Bintang Harapan
yang pindah ke perusahaan kompetitor (CV Tiga Berlian) dan kemudian menggunakan
informasi mengenai formula atau racikan kopi milik perusahaan lamanya. Mahkamah
Agung menguatkan putusan pengadilan di bawahnya yang menyatakan terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan
sengaja dan tanpa hak menggunakan Rahasia Dagang pihak lain”. Putusan ini
menjadi yurisprudensi penting yang menegaskan bahwa formula produk yang dijaga
kerahasiaannya adalah objek Rahasia Dagang dan penggunaannya oleh mantan
karyawan di perusahaan baru dapat dijerat sanksi pidana;
b. Kasus Perdata - Pembajakan Informasi Teknis
Dalam
ranah perdata, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1713
K/Pdt/2010 menjadi rujukan yang signifikan. Sengketa ini terjadi antara
PT Basuki Pratama Engineering (PT BPE) sebagai Penggugat melawan PT Hitachi
Construction Machinery Indonesia (PT HCMI) dan beberapa mantan karyawan PT BPE
sebagai Tergugat. Para mantan karyawan dituduh membawa informasi teknis dan
data pelanggan milik PT BPE untuk digunakan bagi kepentingan PT HCMI. Mahkamah
Agung dalam putusannya menegaskan bahwa Rahasia Dagang merupakan objek
perlindungan hukum yang dapat digugat secara perdata melalui Pengadilan Negeri.
Putusan ini memperkuat kedudukan hukum pemilik Rahasia Dagang untuk menuntut
ganti rugi atas kerugian yang diderita akibat pelanggaran yang dilakukan oleh
pihak lain;
c. Kasus di Pengadilan Tingkat Pertama
Untuk
melihat penerapan di tingkat judex facti, Putusan Pengadilan
Negeri Manado Nomor 112/Pid.Sus/2019/PN.Mnd, tertanggal 29 Mei 2019
dapat menjadi contoh. Kasus ini melibatkan seorang karyawan perusahaan
distributor yang menyalin data-data perusahaan ke dalam flash disk untuk
kepentingan pribadi. Meskipun kasus ini menunjukkan adanya proses penegakan
hukum di tingkat pertama, ia juga merefleksikan tantangan dalam pembuktian,
terutama dalam menguantifikasi kerugian dan membuktikan niat jahat (mens rea)
dari terdakwa.
Perspektif Komparatif Internasional
Melihat praktik di yurisdiksi lain dapat memberikan
wawasan berharga mengenai tren dan evolusi hukum Rahasia Dagang.
-
Australia (Batas “Kualitas
Kerahasiaan”), dalam kasus Native Extracts Pty Ltd v Plants Extracts Pty Ltd
(No2) FCA 106, pengadilan Australia memberikan pelajaran penting tentang
batas perlindungan. Pengadilan memutuskan bahwa informasi mengenai sebuah mesin
ekstraksi, termasuk merek, model, dan manual penggunaannya, tidak lagi memiliki
“kualitas kerahasiaan yang diperlukan” (necessary quality of confidence)
untuk dilindungi. Alasannya, mesin tersebut tersedia secara komersial di pasar
dan manualnya dapat diakses oleh siapa saja yang memasuki gudang. Kasus ini
menegaskan bahwa informasi yang sudah berada di domain publik atau mudah
diakses tidak dapat diklaim sebagai Rahasia Dagang, sekalipun ada perjanjian
kerahasiaan.
-
Singapura
(Evolusi Beban Pembuktian), kasus I-Admin (Singapore) Pte Ltd v Hong Ying
Ting merevolusi hukum breach of confidence di Singapura. Pengadilan
Banding memodifikasi Coco test yang telah lama berlaku. Pendekatan baru
ini menyatakan bahwa sekali penggugat berhasil membuktikan bahwa (1) informasi
tersebut bersifat rahasia dan (2) informasi itu diberikan dalam situasi yang
menimbulkan kewajiban kerahasiaan, maka pelanggaran dianggap telah terjadi (prima
facie). Beban pembuktian kemudian beralih kepada terdakwa untuk membuktikan
bahwa “nurani”-nya tidak terpengaruh (misalnya, ia tidak tahu informasi itu
rahasia atau menemukannya secara tidak sengaja). Pendekatan ini secara
signifikan meringankan beban pembuktian bagi pemilik Rahasia Dagang;
-
Amerika Serikat
(Valuasi Ekonomi Tinggi), di Amerika Serikat, pemberlakuan Defend Trade
Secrets Act (DTSA) of 2016 menciptakan landasan gugatan federal yang kuat.
Yurisprudensi di sana menunjukkan pengakuan nilai ekonomi yang sangat tinggi
terhadap Rahasia Dagang. Sebagai contoh, dalam kasus Zest Labs, Inc. v.
Walmart Inc., juri memberikan ganti rugi lebih dari 100 juta Dolar AS, dan
dalam kasus Propel Fuels, Inc. v. Phillips 66 Co., ganti rugi mencapai
lebih dari 800 juta Dolar AS termasuk ganti rugi punitif. Putusan-putusan ini
mengilustrasikan betapa seriusnya pelanggaran Rahasia Dagang dipandang dan
tingginya valuasi yang diberikan hukum terhadap aset tak berwujud ini.
Analisis komparatif ini menunjukkan bahwa meskipun
kerangka hukum dasar Rahasia Dagang di Indonesia sudah selaras dengan standar
internasional, masih terdapat ruang untuk pengembangan dalam penegakan
hukumnya. Kesulitan pembuktian yang sering dihadapi oleh penggugat di Indonesia
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para hakim untuk mengadopsi pendekatan
progresif, seperti pergeseran beban pembuktian yang diterapkan di Singapura.
Yurisprudensi internasional ini dapat berfungsi sebagai argumen persuasif (persuasive
precedent) untuk memperkuat perlindungan bagi korban pelanggaran Rahasia
Dagang di Indonesia.
Refleksi dan Proyeksi Perlindungan Rahasia Dagang di Indonesia
Sebagai rangkuman, kerangka hukum Rahasia Dagang di
Indonesia, yang berlandaskan pada UU Rahasia Dagang, memberikan fondasi
perlindungan yang komprehensif terhadap salah satu aset bisnis paling krusial
di era informasi. Perlindungan ini timbul secara otomatis dan deklaratif saat
tiga unsur esensial (sifat rahasia, nilai ekonomi, dan upaya penjagaan
kerahasiaan) terpenuhi secara kumulatif. UU ini juga menyediakan mekanisme
penegakan hukum yang mencakup ranah perdata dan pidana, serta mengatur
komersialisasi melalui pengalihan hak dan lisensi yang sejalan dengan standar
internasional yang diamanatkan oleh Persetujuan TRIPs.
Implikasi praktis yang paling fundamental bagi para
pelaku usaha adalah kesadaran bahwa perlindungan hukum Rahasia Dagang bukanlah
sebuah hak yang pasif. Ia adalah buah dari upaya yang proaktif, konsisten, dan
terdokumentasi dengan baik. Perusahaan tidak bisa sekadar mengklaim memiliki
Rahasia Dagang saat terjadi sengketa; mereka harus mampu membuktikan rekam
jejak upaya perlindungan yang “layak dan patut”. Oleh karena itu, integrasi
kebijakan perlindungan informasi rahasia ke dalam setiap aspek operasional
bisnis—mulai dari manajemen sumber daya manusia, hubungan dengan vendor, hingga
keamanan siber—bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan strategis.
Ke depan, penegakan hukum Rahasia Dagang di Indonesia
akan terus dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks, terutama di era
digital di mana data dapat disalin dan disebarkan ke seluruh dunia dalam
hitungan detik. Tantangan ini menuntut adanya peningkatan kapasitas
berkelanjutan bagi para hakim, jaksa, dan penegak hukum lainnya dalam memahami
seluk-beluk sengketa HKI yang bersifat teknis. Selain itu, dengan berkaca pada
perkembangan yurisprudensi di negara lain, sistem peradilan di Indonesia memiliki
peluang untuk mengembangkan hukum melalui interpretasi yang lebih progresif,
khususnya dalam mengatasi isu-isu pembuktian yang seringkali menjadi batu
sandungan bagi pemilik Rahasia Dagang dalam memperjuangkan hak-haknya. Dengan
demikian, perlindungan Rahasia Dagang tidak hanya akan kuat di atas kertas,
tetapi juga efektif dalam praktiknya, demi menopang ekosistem inovasi dan
persaingan usaha yang adil di Indonesia.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin
dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang
tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau
menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di
sini.