Pengantar
Di era
globalisasi dan teknologi digital, informasi menjadi salah satu aset paling
berharga yang menentukan daya saing dan inovasi. Nilainya tidak hanya terlihat
pada data atau dokumen, tapi juga pada ide, formula, strategi bisnis, dan basis
pelanggan yang sering kali bersifat rahasia.
Karena itu,
hukum berperan penting untuk melindungi informasi dari penyalahgunaan,
pencurian, atau pengungkapan tanpa izin. Prinsip hukum klasik ubi societas,
ibi ius menunjukkan bahwa setiap kegiatan masyarakat yang melibatkan nilai
ekonomi membutuhkan aturan yang memberi kepastian dan perlindungan hukum.
Di
Indonesia, perlindungan terhadap informasi diwujudkan melalui berbagai
peraturan, mulai dari Undang-Undang Rahasia Dagang, Undang-Undang Perlindungan
Data Pribadi, hingga regulasi tentang keamanan siber. Setiap aturan memiliki
tujuan berbeda. Ada yang memberi hak kepemilikan eksklusif kepada pemilik
informasi komersial, ada pula yang berfungsi menjaga kerahasiaan data pribadi
untuk melindungi hak individu dan kepentingan publik. Kerangka hukum ini
berusaha menyeimbangkan antara transparansi, inovasi, privasi, dan keamanan
nasional.
Artikel ini
akan membahas jenis-jenis informasi yang dilindungi oleh hukum di Indonesia dan
bagaimana perlindungan itu diterapkan dalam praktik. Ada empat rezim hukum
utama yang menjadi dasar perlindungan informasi di Indonesia:
1.
Rahasia Dagang, yang melindungi informasi
bisnis bernilai ekonomi agar tidak disalahgunakan oleh pihak lain;
2. Perlindungan
Data Pribadi, yang diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia di era digital;
3. Kerahasiaan
Bank, yang menjamin keamanan informasi keuangan nasabah; dan
4. Keterbukaan
Informasi Publik, yang tetap memberikan batasan untuk melindungi data tertentu
dari akses bebas.
Selain itu,
artikel ini juga akan menjelaskan perbedaan antara perlindungan ide dalam
Rahasia Dagang dan perlindungan ekspresi dalam Hak Cipta. Penjelasan ini
penting untuk memahami batas hukum antara konsep yang bersifat rahasia dan
karya yang bersifat ekspresif.
Melalui
pembahasan yang sistematis, artikel ini memberikan pemetaan yuridis yang jelas
mengenai bagaimana sistem hukum Indonesia mengklasifikasikan, melindungi, dan
menegakkan hak atas informasi penting, baik untuk individu, pelaku usaha,
maupun lembaga publik.
Klasifikasi Yuridis Informasi yang Dilindungi
Sebagaimana
telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, sistem hukum Indonesia memiliki
kerangka perlindungan informasi yang berlapis dan saling melengkapi. Setiap
jenis informasi diatur dalam rezim hukum yang berbeda, dengan dasar filosofis,
ruang lingkup, dan mekanisme penegakan yang khas.
Klasifikasi
ini penting dipahami karena menentukan bentuk perlindungan yang berlaku, hak
dan kewajiban para pihak, serta sanksi hukum jika terjadi pelanggaran.
Berdasarkan uraian tersebut, pilar utama perlindungan informasi di Indonesia
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Informasi Komersial Rahasia (Rahasia Dagang)
Kategori ini mencakup informasi di
bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi karena sifatnya
yang rahasia. Perlindungan utamanya diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Rezim ini
memberikan hak yang bersifat kepemilikan kepada pemilik informasi untuk
mencegah pihak lain menggunakan atau mengungkapkannya secara tidak sah, demi
menjaga keunggulan kompetitif;
2. Informasi
Data Pribadi
Ini adalah informasi yang berkaitan
dengan individu yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi. Perlindungannya
berakar pada pengakuan hak asasi manusia atas privasi dan pelindungan diri
pribadi. Kerangka hukum utamanya adalah Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Perlindungan ini
berfokus pada pengendalian oleh subjek data atas pengumpulan, pengolahan, dan
penyebaran informasi tentang dirinya;
3. Informasi
Keuangan Nasabah (Rahasia Bank)
Kategori ini secara spesifik
melindungi keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Prinsip
kerahasiaan ini merupakan fondasi kepercayaan dalam industri perbankan dan
diatur secara ketat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998. Sifat perlindungannya adalah
kewajiban bagi bank untuk menjaga kerahasiaan, dengan pengecualian yang sangat
terbatas oleh undang-undang;
4. Informasi
yang Dikecualikan dari Akses Publik
Kategori ini memiliki pendekatan yang
unik, di mana perlindungan timbul dari definisi negatif. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
menetapkan bahwa semua informasi yang dikelola badan publik pada dasarnya
bersifat terbuka, kecuali informasi yang secara eksplisit dikecualikan. Dengan
demikian, informasi yang masuk dalam kategori pengecualian, seperti rahasia
jabatan, rahasia pribadi, atau informasi yang dapat membahayakan keamanan
negara, secara de facto mendapatkan perlindungan dari pengungkapan
kepada publik.
Keempat
pilar ini membentuk sebuah ekosistem hukum yang kompleks, di mana setiap jenis
informasi dilindungi berdasarkan justifikasi dan tujuan hukum yang spesifik,
yang akan dianalisis lebih mendalam pada bagian-bagian selanjutnya.
Pemahaman Mengenai Rezim Rahasia Dagang
Rezim
Rahasia Dagang merupakan salah satu pilar sentral dalam sistem Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) yang dirancang untuk melindungi aset informasi yang menjadi
sumber keunggulan kompetitif bagi pelaku usaha. Berbeda dengan HKI lain seperti
paten atau merek yang memerlukan pendaftaran untuk mendapatkan perlindungan
formal, Rahasia Dagang dilindungi secara otomatis selama kriteria-kriteria
yang ditetapkan undang-undang terpenuhi.
Definisi dan Lingkup Perlindungan Rahasia Dagang
Dasar hukum
utama yang mengatur Rahasia Dagang di Indonesia adalah Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, yang
selanjutnya disebut dengan “UU Rahasia Dagang”. Definisi
fundamental dari Rahasia Dagang tercantum dalam Pasal 1 Angka 1 UU
Rahasia Dagang, yang menyatakan:
“Rahasia Dagang adalah informasi yang
tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai
ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh
pemilik Rahasia Dagang.”
Definisi
ini mengandung beberapa elemen kunci yang harus dipahami secara komprehensif. Pertama,
objek yang dilindungi adalah “informasi”, sebuah konsep yang luas dan
tidak terbatas pada bentuk tertulis. Ini bisa berupa formula, pola, kompilasi
data, program, perangkat, metode, teknik, atau proses.
Kedua, informasi
tersebut harus “tidak diketahui oleh umum”, yang berarti tidak dapat
diakses secara mudah oleh publik atau kompetitor dalam lingkaran bisnis yang
relevan.
Ketiga,
informasi tersebut harus berada di “bidang teknologi dan/atau bisnis”,
menunjukkan cakupan yang luas dari inovasi teknis hingga strategi komersial.
Keempat,
informasi tersebut wajib “mempunyai nilai ekonomi” karena kegunaannya
dalam kegiatan usaha, yang berarti kerahasiaannya memberikan keuntungan atau
keunggulan kompetitif.
Kelima, dan
yang paling krusial, informasi tersebut harus secara aktif “dijaga
kerahasiaannya” oleh pemiliknya.
Lingkup
perlindungan ini dipertegas lebih lanjut dalam Pasal 2 UU Rahasia Dagang,
yang menyebutkan bahwa perlindungan mencakup:
“...metode produksi, metode pengolahan,
metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang
memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.”
Ketentuan
ini menunjukkan fleksibilitas UU Rahasia Dagang dalam
mengakomodasi berbagai jenis inovasi dan pengetahuan bisnis, baik yang bersifat
teknis (seperti proses manufaktur yang efisien) maupun yang bersifat komersial
(seperti strategi pemasaran yang unik atau model penetapan harga).
Tiga Pilar Kumulatif Perlindungan Rahasia Dagang
Untuk
mendapatkan status sebagai Rahasia Dagang yang dilindungi oleh hukum, sebuah
informasi harus memenuhi tiga pilar atau kriteria yang bersifat kumulatif,
sebagaimana diatur secara rinci dalam Pasal 3 UU Rahasia Dagang.
Ketiga pilar ini adalah bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi,
dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya yang semestinya.
Kegagalan
dalam memenuhi salah satu dari ketiga pilar ini akan menyebabkan informasi
tersebut kehilangan perlindungan hukumnya sebagai Rahasia Dagang.
1.
Bersifat Rahasia
Pasal 3 ayat (2) UU Rahasia Dagang menyatakan
bahwa, “Informasi dianggap bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya
diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat.”
Kriteria ini tidak menuntut
kerahasiaan absolut. Sebuah informasi masih dapat dianggap rahasia meskipun
diketahui oleh sejumlah kecil pihak, seperti karyawan kunci, mitra bisnis, atau
konsultan, selama akses terhadap informasi tersebut terbatas dan terkendali.
Inti dari kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tersebut tidak berada dalam
domain publik dan tidak mudah diperoleh atau direkayasa ulang oleh pihak lain
melalui cara-cara yang sah;
2. Mempunyai
Nilai Ekonomi
Menurut Pasal 3 ayat (3) UU
Rahasia Dagang, menyatakan bahwa “Informasi dianggap memiliki nilai
ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk
menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan
keuntungan secara ekonomi.”
Nilai ekonomi ini dapat bersifat
aktual maupun potensial. Artinya, informasi tersebut harus memberikan
keunggulan kompetitif yang nyata bagi pemiliknya. Keunggulan ini bisa berupa
efisiensi biaya produksi, kualitas produk yang lebih unggul, strategi pemasaran
yang lebih efektif, atau kemampuan untuk menarik dan mempertahankan pelanggan.
Jika pengungkapan informasi tersebut kepada kompetitor akan menghilangkan
keunggulan tersebut atau menyebabkan kerugian finansial, maka informasi itu
jelas memiliki nilai ekonomi;
3. Dijaga
Kerahasiaannya Melalui Upaya Sebagaimana Mestinya
Pilar ketiga ini, yang diatur dalam Pasal
3 ayat (4) UU Rahasia Dagang, adalah yang paling menuntut tindakan
proaktif dari pemilik informasi. Pasal ini menyatakan, “Informasi dianggap
dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah
melakukan langkah-langkah yang layak dan patut.”
Penjelasan atas Pasal 3 ayat
(1) UU Rahasia Dagang lebih lanjut menguraikan bahwa “upaya-upaya
sebagaimana mestinya” adalah semua langkah yang memuat ukuran kewajaran,
kelayakan, dan kepatutan.
Ini
menunjukkan bahwa perlindungan hukum atas Rahasia Dagang tidaklah pasif. Hak
tersebut tidak melekat secara inheren pada informasi semata, melainkan harus
terus-menerus “diciptakan” dan dipertahankan melalui tindakan nyata dari
pemiliknya.
Apabila pemilik
lalai dalam menjaga kerahasiaan informasinya, misalnya, dengan tidak
menggunakan perjanjian kerahasiaan (Non-Disclosure Agreement atau NDA),
tidak menerapkan kebijakan keamanan internal, atau membiarkan akses yang tidak
terbatas terhadap informasi tersebut, maka pengadilan dapat memutuskan
bahwa informasi itu telah kehilangan statusnya sebagai Rahasia Dagang.
Kewajiban
proaktif ini menjadi pembeda fundamental antara Rahasia Dagang dan bentuk HKI
lainnya seperti Hak Cipta, di mana perlindungan tetap ada bahkan setelah karya
dipublikasikan secara luas. Dengan demikian, keberlangsungan perlindungan
Rahasia Dagang sangat bergantung pada tata kelola dan kebijakan internal yang
diterapkan oleh pemiliknya untuk secara konsisten dan dapat dibuktikan menjaga
benteng kerahasiaan di sekitar aset informasinya.
Justifikasi Perlindungan Informasi Bisnis Spesifik
Dengan
berlandaskan pada ketiga pilar kumulatif yang diatur dalam Pasal 3 UU
Rahasia Dagang, dapat diuraikan justifikasi hukum mengapa berbagai
jenis informasi bisnis spesifik layak dan wajib mendapatkan perlindungan
sebagai Rahasia Dagang.
Perlindungan
ini bukan diberikan secara arbitrer atau sewenang-wenang, melainkan karena
informasi-informasi tersebut secara inheren memenuhi kriteria kerahasiaan,
nilai ekonomi, dan upaya penjagaan, antara lain sebagai berikut:
-
Daftar Pelanggan, Penelitian Pasar, dan
Penelitian Teknis
Informasi
seperti daftar pelanggan yang terkurasi, hasil riset pasar yang mendalam, atau
data penelitian teknis yang belum dipublikasikan secara fundamental memenuhi
ketiga pilar perlindungan. Informasi ini bersifat rahasia karena
merupakan hasil dari investasi waktu, sumber daya, dan keahlian yang tidak
tersedia untuk umum. Daftar pelanggan, misalnya, bukan sekadar kumpulan nama,
melainkan data intelijen bisnis yang mencakup riwayat pembelian, preferensi,
dan kontak strategis. Informasi ini memiliki nilai ekonomi yang sangat
tinggi karena memungkinkan perusahaan untuk menargetkan pemasaran secara
efektif, mempertahankan loyalitas pelanggan, dan mengidentifikasi peluang
bisnis baru, sebuah keunggulan yang tidak dimiliki kompetitor. Upaya menjaga
kerahasiaan dilakukan melalui pembatasan akses data hanya kepada tim penjualan
atau pemasaran terkait, penggunaan sistem manajemen hubungan pelanggan (CRM)
yang aman, dan klausul kerahasiaan dalam kontrak kerja karyawan;
-
Resep Masakan atau Formula Kimia
Resep atau
formula adalah contoh klasik dari Rahasia Dagang. Sebuah resep masakan rahasia
dari restoran ternama atau formula kimia untuk produk industri bersifat
rahasia karena komposisi dan proses pembuatannya tidak diungkapkan kepada
publik. Kerahasiaan ini secara langsung menciptakan nilai ekonomi yang luar
biasa, menjadi dasar dari identitas merek dan keunikan produk yang
membedakannya dari pesaing. Upaya menjaga kerahasiaan biasanya sangat ketat,
melibatkan perjanjian kerahasiaan dengan karyawan dan pemasok, pembatasan akses
ke fasilitas produksi, dan sering kali memecah formula menjadi beberapa bagian
yang hanya diketahui oleh individu yang berbeda;
-
Ide dan Konsep Kampanye Pemasaran atau
Pengiklanan
Meskipun
ide yang masih abstrak tidak dapat dilindungi, sebuah konsep kampanye pemasaran
yang telah dikembangkan secara detail—mencakup strategi, target audiens, pesan
kunci, dan rencana peluncuran—dapat dilindungi sebagai Rahasia Dagang sebelum
diumumkan kepada publik. Sifat rahasia dari strategi ini sebelum
peluncuran adalah krusial. Nilai ekonominya terletak pada elemen kejutan
dan keuntungan sebagai penggerak pertama (first-mover advantage) di
pasar. Pengungkapan dini akan memungkinkan kompetitor untuk meniru atau
mengantisipasi kampanye tersebut, sehingga menghilangkan dampaknya. Upaya menjaga
kerahasiaan dilakukan melalui NDA dengan agensi periklanan, pembatasan
diskusi hanya pada tim inti, dan kontrol ketat atas materi kampanye;
-
Informasi Keuangan, Daftar Harga, dan Margin
Laba
Informasi
internal seperti struktur biaya, daftar harga yang belum dipublikasikan, margin
laba per produk, dan proyeksi keuangan adalah informasi yang sangat sensitif. Informasi
ini jelas bersifat rahasia dan hanya diketahui oleh manajemen senior atau
departemen keuangan. Nilai ekonominya sangat strategis; jika diketahui oleh
kompetitor, informasi ini dapat digunakan untuk merusak posisi pasar perusahaan
melalui perang harga atau strategi penawaran yang lebih kompetitif. Upaya menjaga
kerahasiaan diwujudkan melalui kebijakan kontrol akses yang ketat, enkripsi
data keuangan, dan kewajiban kerahasiaan yang mengikat bagi semua personel yang
memiliki akses;
-
Metode dan Proses Produksi Strategis,
Teknis, dan Taktis
Cara atau
metode untuk mengubah, menghasilkan, atau menciptakan suatu produk, baik
melalui mesin, proses kimia, atau bahkan algoritma Kecerdasan Buatan (AI), yang
merupakan aset intelektual yang vital. Proses ini, jika unik dan tidak umum
diketahui dalam industri, memenuhi kriteria bersifat rahasia. Nilai ekonominya
berasal dari efisiensi, kualitas, atau fitur unik yang dihasilkannya, yang
memberikan keunggulan kompetitif yang signifikan. Upaya menjaga kerahasiaan
dilakukan melalui pelatihan khusus bagi operator, dokumentasi proses yang
terbatas, kontrol akses fisik ke area produksi, dan perlindungan kode sumber
untuk proses yang berbasis perangkat lunak atau AI.
Secara
esensial, UU Rahasia Dagang melindungi substansi dari informasi, konsep, atau
ide itu sendiri, bukan wujud fisiknya. Sebuah formula tidak harus tertulis
untuk dilindungi; pengetahuan yang ada di benak seorang ahli kimia pun dapat
menjadi Rahasia Dagang selama ketiga pilar tersebut terpenuhi.
Pelanggaran Rahasia Dagang dan Penegakan Hukum dalam Praktik
Pelanggaran
terhadap Rahasia Dagang dapat terjadi melalui berbagai cara, yang secara garis
besar dikategorikan oleh UU Rahasia Dagang menjadi dua bentuk utama. Pasal
13 UU Rahasia Dagang mendefinisikan pelanggaran yang timbul dari
hubungan kepercayaan, yang menyatakan:
“Pelanggaran Rahasia Dagang juga terjadi
apabila seseorang dengan sengaja mengungkapkan Rahasia Dagang, mengingkari
kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk
menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan.”
Pasal ini
menargetkan tindakan pengkhianatan kepercayaan, seperti seorang mantan karyawan
yang membocorkan informasi rahasia perusahaan kepada pesaing, atau mitra bisnis
yang menyalahgunakan informasi yang dibagikan dalam kerangka kerja sama.
Bentuk
pelanggaran kedua diatur dalam Pasal 14 UU Rahasia Dagang, yang
berfokus pada perolehan informasi dengan cara yang tidak patut:
“Seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang
pihak lain apabila ia memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan
cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Ini
mencakup tindakan seperti spionase industri, peretasan sistem komputer,
pencurian dokumen, atau penyuapan terhadap karyawan untuk mendapatkan informasi
rahasia.
Meskipun
kerangka hukum mengenai pelanggaran tampak jelas, implementasinya dalam praktik
peradilan menunjukkan adanya nuansa dan pertimbangan yang lebih kompleks.
Sebuah studi kasus yang relevan adalah Putusan Pengadilan Negeri Manado
Nomor 112/Pid.Sus/2019/PN.Mnd., tertanggal 29 Mei 2019, yang mana dalam
Dakwaan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Manado sebagai berikut:
“Bahwa terdakwa SULTAN baik
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan NATALIA WALEAN, NICO
REWAH, MELKI KARINDA dan ASWAR ANAS SARANANI (dilakukan penuntutan
dalam berkas terpisah), pada sekitar bulan Desember tahun 2016 yang
hari dan tanggalnya sudah tidak dingat lagi, bulan Mei 2017
atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2016 dan tahun 2017,
bertempat di PT. OTO MULTIARTHA Cabang Manado atau setidak-tidaknya pada suatu
tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Manado yang
berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya, yang melakukan atau
turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada
hubungannya demikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan
berlanjut dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Rahasia Dagang pihak lain
atau melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 “Pelanggaran
Rahasia Dagang juga terjadi apabila seseorang dengan sengaja mengungkapkan
Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis
atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan” atau Pasal
14 “Seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang pihak lain apabila ia
memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, perbuatan
tersebut terdakwa lakukan dengan cara dan uraian kejadian sebagai berikut :
-
Bahwa awalnya pada pertengahan bulan
Desember 2016 yang tanggalnya terdakwa telah lupa, bertempat di Kantor PT. OTO
Multiartha Cab. Manado, terdakwa diberikan secara sembunyi-sembunyi data
konsumen PT. OTO MULTIARTHA Cab. Manado an. NOVRI TAMI OROH oleh NATALIA WALEAN
(CSO PT. OTO MULTIARTHA Cab. Manado) untuk di take over ke BFI Finance
karena NATALIA WALEAN mengatakan jika sudah ada pencairan dari BFI
Finance, NATALIA WALEAN meminta uang sebesar Rp. 3.000.000,-(tiga juta rupiah)
untuk membeli kursi/sofa, kemudian terdakwa juga diberikan Data realease
sebanyak 3 (tiga) exempelar dari NICO REWAH (Bagian Pengambilan BPKB PT.
OTO MULTIARTHA Cab. Manado) masing-masing pada bulan Mei 2017, Juni 2017, Juli
2017 selanjutnya terdakwa langsung menghubungi MELKI KARINDAi via telepon
untuk memberikan data / berkas tersebut kepada MELKI KARINDA (Karyawan BFI
Finance) di kantor PT. OTO MULTIARTHA Cab. Manado untuk diproses pinjam dana
dan setelah berkas tersebut di proses dan dicairkan BFI Finace, terdakwa
memperoleh / mendapat fee 3% dari total pencairan pada saat itu sebesar Rp.
169.000.000,-(seratus enam puluh Sembilan juta rupiah) yaitu sebesar Rp.
4.800.000,- (empat juta delapan ratus ribu rupiah) selanjutnya terdakwa berikan
Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) kepada NATALIA WALEAN sesuai
permintaanya, dan sisanya yaitu sebesar Rp. Rp. 1.800.000,-(satu juta delapan
ratus ribu rupiah) untuk terdakwa sendiri. Kemudian untuk data realease
bulan mei 2017, juni 2017, juli 2017 konsumen PT. OTO Multiarta Cab. Manado yang
terdakwa dapat dari NICO REWAH, terdakwa berikan nomor telepon
konsumen-konsumen tersebut kepada MELKI KARINDA (Karyawan BFI) untuk
membujuk mereka menjadi nasabah/konsumen BFI Finance, namun tidak ada
satu konsumen yang bersedia dengan alasan bahwa bunga di BFI Finance lebih
besar dari PT. OTO MULTIARTHA. Bahwa terdakwa juga pernah memberikan kontak
person konsumen PT. OTO Multiara Cab. Manado atas nama SENGLY TUMEMBOW yang
sebelumnya sudah terdakwa hubungi terlebih dahulu yang didaptkan terdakwa
dari meja filing di lantai 2 (dua) kantor PT. OTO Multiartha Cab. Manado
kemudian terdakwa hubungi via telepon konsumen tersebut untuk menawarkan
mengajukan pinjam dana cepat di PT. SMART Multi Finance Bitung dan setelah
konsumen PT. OTO Multiartha atas nama. SENGLY TUMEMBOUW terdakwa hubungi, pada
bulan Juli 2017, terdakwa memberikan via SMS kontak person (No. Telepon)
konsumen PT. OTO Multiartha atas nama SENGLY TUMEMBOW kepada. ASWAR ANAS
SARANANI (PT. SMART Multi Finance) dimana terdakwa mengenal ASWAR ANAS
SARANANI lewat akun Facebook miliknya yang pada saat itu membuat status; “Butuh
pinjaman dana hubungi saya dinomor hp saya”, kemudian terdakwa menghubungi
lk. ASWAR ANAS SARANANI melalui chat di aplikasi WhatsApps, dan menawarkan
konsumen kepada lk. ASWAR ANAS SARANANI dan menanyakan apa yang akan terdakwa
peroleh jika terdakwa memberikan konsumen yang mau pinjam dana pada PT. SMART
Finance Cab. Manado dan diproses sampai terjadi pencairan, kemudian ASWAR ANAS
SARANANI mengatakan bahwa ada komisi berupa uang sebesar 2,5% dari total
pencairansetelah terdakwa melihat berkas konsumen tersebut telah ditolak untuk
melakukan pijam dana kembali pada PT. OTO Multiartha Cab. Manado di meja filing
PT. OTO Multiartha Cab. Manado. Dan terdakwa mendapat keuntungan komisi dari
PT. SMART Multi Finance berupa uang 2,5% dari total pencairan konsumen atas
nama SENGLY TUMEMBOUW dengan pencairan sekitar Rp. 50.000.000,- yaitu sebesar
Rp. 1.250.000 dan terdakwa melakukan semua perbuatan diatas tanpa
perintah/petunjuk atau seijin pimpinan perusahaan dalam hal ini PT. OTO
Multiartha Cab. Manado karena perbuatan tersebut dilarang dalam aturan perusahaan
dan tidak ada Perjanjian (MOU) dengan perusahaan pembiayaan lain untuk
pengalihan konsumen sebagaimana di jelaskan oleh Ahli BABY MARIATY, SH. MH dari
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan HAM Republik
Indonesia yang menerangkan pada pokoknya yaitu:
-
Bahwa perbuatan NICO REWAH merupakan
perbuatan melanggar Hukum karena dengan sadar mengambil dan
memberikan/membocorkan Data realease PT. OTO Multiartha Cab. Manado yang
merupakan rahasia perusahaan kepada SULTAN (dengan maksud memberikan kepada perusahaan
lain untuk memperoleh keuntungan) yang diambil dari Sistem Perusahaan (NICO
REWAH memiliki akses masuk karena jabatannya pada perusahaan) tanpa ijin dari
pimpinan perusahaan serta melanggar Peraturan Perusahaan 2015-2017 Pasal 48
ayat (2) ; “Karyawan wajib menjaga kerahasiaan perusahaan serta menaati
etika bisnis yang berlaku” dan Etika bisnis perusahaan Nomor I angka
(1): “Saya berjanji tidak membocorkan atau menyampaikan dengan cara
apapun semua informasi yang saya ketahui mengenai PT. OTO Multiartha maupun
pelanggannya kepada pihak ke-3”, dengan perbuatan tersebut NICO REWAH dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melanggar Pasal 13 UURI No. 30 tahun 2000
tentang Rahasia dagang;
-
Bahwa perbuatan NATALIA WALEAN merupakan
perbuatan melanggar Hukum karena dengan sadar dan dengan maksud memperoleh
sejumlah uang/komisi, mengambil dan memberikan/ membocorkan Data konsumen
berupa berkas konsumen PT. OTO Multiartha Cab. Manado An. NOVRY TAMMY OROH yang
merupakan rahasia perusahaan kepada SULTAN (dengan maksud memberikan
kepada perusahaan lain untuk memperoleh keuntungan) yang diambil dari Sistem
Perusahaan ( NATALIA WALEAN memiliki akses masuk karena jabatannya pada
perusahaan) tanpa ijin dari pimpinan perusahaan serta melanggar Peraturan
Perusahaan 2015-2017 Pasal 48 ayat (2) ; “Karyawan wajib menjaga
kerahasiaan perusahaan serta menaati etika bisnis yang berlaku” dan
Etika bisnis perusahaan Nomor I angka (1): “Saya berjanji tidak
membocorkan atau menyampaikan dengan cara apapun semua informasi yang saya
ketahui mengenai PT. OTO Multiartha maupun pelanggannya kepada pihak ke-3”,
dengan perbuatan tersebut NATALIA WALEAN dapat dikategorikan sebagai perbuatan
melanggar Pasal 13 UURI No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia dagang;
-
Bahwa perbuatan SULTAN merupakan
perbuatan melanggar Hukum karena dengan sadar memberikan/membocorkan Data
realease dan berkas konsumen PT. OTO Multiartha Cab. Manado yang merupakan
rahasia perusahaan kepada MELKI KARINDA dari BFI Finance dan ASWAR
ANAS dari SMART Finance (dengan maksud memberikan kepada perusahaan lain untuk
memperoleh keuntungan) yang diperoleh dari NICO REWAH dan NATALIA
WALEAN yang memiliki akses masuk karena jabatannya pada perusahaan tanpa ijin
dari pimpinan perusahaan serta melanggar Peraturan Perusahaan 2015-2017 Pasal
48 ayat (2) ; “Karyawan wajib menjaga kerahasiaan perusahaan serta
menaati etika bisnis yang berlaku” dan Etika bisnis perusahaan Nomor I
angka (1): “Saya berjanji tidak membocorkan atau menyampaikan dengan
cara apapun semua informasi yang saya ketahui mengenai PT. OTO Multiartha
maupun pelanggannya kepada pihak ke-3”, dengan perbuatan tersebut SULTAN
dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar Pasal 13 UURI No. 30 tahun 2000
tentang Rahasia dagang;
-
Bahwa berdasarkan Pasal 14 perbuatan
tersebut dianggap melanggar UU. Rahasia Dagang, karena MELKI KARINDA dari
BFI Finance dan ASWAR ANAS SMART Finance memperoleh data tersebut dengan cara
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu pada pasal
5 UU. No. 30 tahun 2000 tentang pengalihan hak rahasia dagang karena dalam
pengalihan hak harus dilakukan oleh pihak yang berhak dari perusahaan dan
disertai dokumen pengalihan hak, pada perkara ini yang memberikan data
realease/ data konsumen PT. OTO Multiartha kepada MELKI KARINDA (BFI Finance)
dan ASWAR ANAS (SMART Finance) merupakan pihak/oknum yang tidak berhak
untuk menyerahkan data tersebut.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000
tentang Rahasia Dagang Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHP
Dalam
perkara ini, majelis hakim mengakui bahwa terdakwa secara teknis terbukti
melakukan perbuatan yang didakwakan, yaitu mengungkapkan data perusahaan yang
bersifat rahasia. Namun, putusan akhir yang dijatuhkan adalah membebaskan
terdakwa dari segala tuntutan hukum. Dengan amar putusan sebagai berikut:
M E N G A D I L I
1.
Menyatakan terdakwa Sultan terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, tetapi
bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran;
2. Melepaskan
terdakwa karena itu dari segala tuntutan hukum;
3. Memulihkan
hak-hak terdakwa dalam kedudukan, kemampuan serta harkat dan martabatnya;
4. Membebankan
biaya perkara kepada Negara.
Pertimbangan
utama di balik putusan ini adalah ketiadaan bukti adanya kerugian (kerugian)
finansial yang nyata dan terukur yang diderita oleh perusahaan pelapor.
Majelis hakim berpendapat bahwa kerugian yang dialami perusahaan hanya sebatas “kehilangan
potensi” yang tidak pernah benar-benar terjadi. Dengan demikian, meskipun
unsur perbuatan (actus reus) dalam pelanggaran Rahasia Dagang telah
terpenuhi, dampaknya dianggap nihil.
Hakim
tampaknya mengimpor prinsip dari hukum perdata, bahwa tidak ada tuntutan atas
perbuatan melawan hukum tanpa adanya kerugian, ke dalam pertimbangan perkara
pidana. Tindak pidana Rahasia Dagang merupakan delik aduan (delik aduan)
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UU Rahasia Dagang,
yang memberikan ruang bagi pertimbangan-pertimbangan semacam ini.
Walau Penuntut
Umum akhirnya melakukan Kasasi terhadap Putusan PN Manado tersebut, hasil
Kasasinya “menolak kasasi dari Penuntut Umum” sebagaimana Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3459 K/Pid.Sus/2019, tertanggal
18 November 2019, yang mana amar putusannya menyatakan:
M E N G A D I L I
1.
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Manado tersebut;
2. Membebankan
biaya perkara pada seluruh tingkat peradilan dan pada tingkat kasasi dibebankan
kepada Negara
Yang mana
dalam pertimbangan hukum Majelis Kasasi:
-
Bahwa alasan kasasi Penuntut Umum tidak
dapat dibenarkan karena putusan judex facti yang menyatakan perbuatan Terdakwa
terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana dan oleh
karena itu melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum, telah tepat dan
tidak salah menerapkan hukum. Putusan judex facti telah mempertimbangkan fakta
hukum yang relevan secara yuridis dengan tepat dan benar sesuai fakta hukum
yang terungkap dimuka sidang;
-
Bahwa berdasarkan fakta hukum yang relevan
secara yuridis, meskipun saksi Nico Rewah pada saat itu sebagai Asset Admin PT.
Otto Multiartha Cabang Manado pernah memberikan data realise 3 (tiga) orang
nasabah/konsumen PT. Otto Multiartha Cabang lunas leasingnya kepada Terdakwa
sebagai OB PT. Otto Multiartha Cabang Manado, tetapi data 3 (tiga) orang
nasabah/konsumen tersebut semua leasingnya telah lunas. Namun maksud Saksi Nico
Rewah memberikan data nasabah/konsumen kepada Terdakwa tersebut ialah hanya
untuk menawarkan lagi kepada nasabah/konsumen leasing kepada perusahaan lain,
itupun kalau nasabah/konsumennya bersedia pindah ke perusahaan lain,
biasanya untuk konsumen baru Terdakwa mendapatkan fee atau keuntungan sekitar
2,5% (dua koma lima persen);
-
Bahwa selain itu, perpindahan nasabah
atau konsumen dari suatu perusahaan ke perusahaan leasing lainnya tidak akan
merugikan suatu perusahaan, karena banyaknya konsumen/nasabah pada suatu
perusahaan di tengah suasana persaingan sangat kompetitif, lebih tergantung
pada perusahaan tersebut dalam memberikan pelayanan dengan segala kemudahan
yang memuaskan konsumen/nasabah;
-
Bahwa berdasarkan pertimbangan dan fakta
hukum yang relevan tersebut, judex facti telah tepat mempertimbangkan dan
memutuskan dengan menyatakan perbuatan Terdakwa sedemikian rupa itu bukanlah
merupakan tindak pidana dan oleh karenanya melepaskan Terdakwa dari segala
tuntutan hukum;
-
Bahwa selain itu, alasan kasasi Penuntut
Umum tidak dapat dibenarkan karena berkenaan dengan penilaian hasil pembuktian
yang bersifat penghargaan tentang sesuatu kenyataan. Hal tersebut tidak
dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi, karena pemeriksaan
tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkannya suatu peraturan hukum
atau peraturan hukum diterapkan tidak sebagaimana mestinya, atau apakah cara
mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, serta apakah
pengadilan telah melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 253 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981;
Kasus ini
menyingkap sebuah realitas dalam penegakan hukum Rahasia Dagang di Indonesia
yaitu pembuktian adanya pelanggaran secara normatif mungkin tidak cukup
untuk menjamin penghukuman. Praktisi hukum dan pemilik Rahasia Dagang
harus menyadari bahwa pengadilan dapat memberikan bobot yang signifikan pada
pembuktian dampak ekonomi negatif yang konkret.
Kegagalan
untuk menunjukkan kerugian yang jelas dan dapat dikuantifikasi melemahkan
posisi penuntut, bahkan jika semua elemen pelanggaran menurut undang-undang
telah terbukti. Hal ini menggarisbawahi pentingnya strategi litigasi yang
tidak hanya berfokus pada tindakan pelanggaran itu sendiri, tetapi juga pada
pengumpulan bukti yang kuat mengenai kerugian finansial yang diakibatkannya.
Perlindungan Informasi di Luar Rezim Rahasia Dagang
Selain
rezim Rahasia Dagang yang berfokus pada informasi komersial, sistem hukum
Indonesia juga menyediakan perlindungan yang kuat untuk jenis-jenis informasi
lain yang fundamental bagi hak-hak individu, kepercayaan publik, dan tata
kelola pemerintahan yang baik. Rezim-rezim ini mencakup Data Pribadi, Rahasia
Bank, dan Informasi yang Dikecualikan dari Keterbukaan Publik.
Perlindungan Data Pribadi: Hak Asasi dalam Era Digital
Pengesahan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, yang
selanjutnya disebut dengan “UU PDP”, menandai sebuah tonggak
sejarah dalam pengakuan dan perlindungan hak privasi sebagai hak asasi manusia
di Indonesia. UU PDP memberikan landasan hukum yang komprehensif untuk mengatur
pemrosesan data pribadi, yang didefinisikan sebagai setiap data tentang
seseorang baik yang teridentifikasi dan/atau dapat diidentifikasi secara
tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya.
Salah satu
aspek terpenting dari UU PDP adalah klasifikasi data pribadi ke dalam dua
kategori, yang menentukan tingkat perlindungan yang diberikan.
1.
Data Pribadi Bersifat Umum
Kategori ini mencakup data yang
secara umum dapat mengidentifikasi seseorang, seperti nama lengkap, jenis
kelamin, kewarganegaraan, agama, dan status perkawinan. Meskipun bersifat umum,
pemrosesan data ini tetap harus didasarkan pada persetujuan yang sah dari
subjek data atau dasar hukum lain yang diatur dalam UU PDP.
2. Data
Pribadi Bersifat Spesifik
Kategori ini mendapatkan tingkat
perlindungan yang lebih tinggi karena sifatnya yang sangat sensitif dan
potensinya untuk menimbulkan dampak diskriminatif atau kerugian yang lebih
besar jika disalahgunakan. Sesuai dengan UU PDP, data pribadi yang bersifat
spesifik meliputi:
-
Data dan informasi kesehatan;
-
Data biometrik (misalnya, sidik jari,
pemindaian retina);
-
Data genetika;
-
Catatan kejahatan;
-
Data anak;
-
Data keuangan pribadi; dan/atau
-
Data lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pemrosesan
data pribadi yang bersifat spesifik memerlukan dasar hukum yang lebih ketat,
sering kali menuntut persetujuan eksplisit yang jelas dari subjek data dan
penerapan langkah-langkah keamanan teknis dan organisasional yang lebih kuat
oleh pengendali data.
Kerahasiaan Bank: Fondasi Kepercayaan Sektor Finansial
Prinsip
kerahasiaan bank adalah salah satu pilar utama yang menopang kepercayaan publik
terhadap industri perbankan. Kewajiban untuk menjaga kerahasiaan ini diatur
secara tegas dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, yang selanjutnya disebut dengan “UU Perbankan”,
yang menyatakan:
“Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai
Nasabah Penyimpan dan simpanannya...”
Penting
untuk dicatat bahwa lingkup perlindungan ini bersifat terbatas dan spesifik.
Kewajiban kerahasiaan hanya berlaku untuk “nasabah penyimpan” dan “simpanannya”.
Ini berarti informasi mengenai nasabah debitur (peminjam) dan fasilitas
kreditnya secara teknis tidak termasuk dalam lingkup rahasia bank menurut
definisi ini.
Namun,
perlindungan ini tidak bersifat absolut. UU Perbankan secara
cermat menyeimbangkan antara kebutuhan untuk melindungi privasi nasabah dan
kepentingan publik yang lebih luas, seperti penegakan hukum dan penerimaan
negara. Oleh karena itu, undang-undang ini menyediakan serangkaian pengecualian
yang diatur secara limitatif, di mana bank dapat atau wajib membuka rahasia
bank. Pengecualian tersebut antara lain untuk:
-
Kepentingan perpajakan, atas permintaan
tertulis dari Menteri Keuangan (vide Pasal 41 UU Perbankan);
-
Penyelesaian piutang bank yang telah
diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang
Negara (vide Pasal 41A UU Perbankan);
-
Kepentingan peradilan dalam perkara pidana,
atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, atau Ketua
Mahkamah Agung (vide Pasal 42 UU Perbankan);
-
Perkara perdata antara bank dengan
nasabahnya (vide Pasal 43 UU Perbankan);
-
Tukar-menukar informasi antar bank (vide Pasal
44 UU Perbankan);
-
Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa
tertulis dari nasabah penyimpan itu sendiri atau ahli warisnya yang sah (vide
Pasal 44A UU Perbankan).
Adanya
daftar pengecualian yang jelas ini menunjukkan bahwa kerahasiaan bank di
Indonesia menganut prinsip nisbi atau relatif, bukan absolut.
Perlindungan Melalui Pengecualian: Paradoks Keterbukaan Informasi Publik
Paradigma
perlindungan informasi yang berbeda ditawarkan oleh Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,
yang selanjutnya disebut dengan “UU KIP”. Alih-alih
mendefinisikan informasi apa yang harus dilindungi, UU KIP berangkat dari asas
bahwa setiap informasi publik pada dasarnya bersifat terbuka dan dapat diakses
oleh setiap orang. Perlindungan justru timbul melalui mekanisme pengecualian.
Pasal 17 UU
KIP menjadi ketentuan sentral yang menguraikan kategori-kategori
informasi yang dikecualikan dari akses publik. Pengecualian ini bersifat ketat
dan terbatas, dan harus didasarkan pada pengujian konsekuensi, yaitu pembuktian
bahwa pengungkapan informasi tersebut akan menimbulkan kerugian yang lebih
besar daripada manfaatnya. Beberapa kategori informasi yang dikecualikan yang
relevan dengan konteks perlindungan informasi bisnis dan pribadi meliputi:
-
Informasi yang apabila dibuka dapat menghambat
proses penegakan hukum (huruf a);
-
Informasi yang berkaitan dengan kepentingan
perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat (huruf b);
-
Informasi yang berkaitan dengan pertahanan
dan keamanan negara (huruf c);
-
Informasi yang apabila dibuka dapat mengungkap
rahasia pribadi, seperti riwayat dan kondisi anggota keluarga, kondisi
keuangan, atau aset pribadi (huruf h);
-
Memorandum atau surat-surat antar Badan
Publik yang menurut sifatnya dirahasiakan (huruf i);
-
Informasi yang tidak boleh diungkapkan
berdasarkan Undang-Undang lain (huruf j).
Ketentuan
pada huruf b dan j menciptakan sebuah interkoneksi yang penting antara rezim
hukum. Misalnya, sebuah informasi yang memenuhi kriteria sebagai Rahasia Dagang
menurut UU Rahasia Dagang, jika berada dalam penguasaan sebuah badan publik
(misalnya, diserahkan untuk keperluan perizinan), akan dilindungi dari
permintaan informasi publik dengan dasar Pasal 17 huruf b UU KIP.
Demikian
pula, data pribadi yang dikelola oleh badan publik akan dikecualikan
berdasarkan Pasal 17 huruf h UU KIP dan diperkuat oleh Pasal 17 huruf
j yang merujuk pada kewajiban perlindungan dalam UU PDP.
Dengan
demikian, UU KIP tidak hanya menciptakan kategorinya sendiri, tetapi juga
berfungsi sebagai lapisan pelindung tambahan yang mengakui dan memperkuat
kewajiban kerahasiaan yang diatur dalam undang-undang sektoral lainnya,
menciptakan sebuah jaring pengaman hukum yang saling menguatkan.
Demarkasi Konseptual: Rahasia Dagang vis-Ã -vis Hak Cipta
Untuk
memahami secara utuh lanskap perlindungan informasi, penting untuk melakukan
demarkasi yang jelas antara rezim Rahasia Dagang dan rezim Hak Kekayaan
Intelektual lainnya, terutama Hak Cipta. Meskipun keduanya sering kali
bersinggungan dalam melindungi aset intelektual, dasar filosofis, objek, sifat,
dan durasi perlindungannya secara fundamental berbeda. Perbedaan ini diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta, yang selanjutnya disebut dengan “UU Hak Cipta”.
Perbedaan
paling mendasar terletak pada objek perlindungan. Rahasia Dagang
melindungi substansi dari sebuah ide atau informasi itu
sendiri. Objek yang dilindungi adalah pengetahuan, konsep, atau
formula yang memberikan nilai ekonomi karena kerahasiaannya. Contohnya,
ide di balik algoritma pencarian Google, formula rahasia Coca-Cola, atau metode
bisnis “just-in-time” milik Toyota. Nilai dari Rahasia Dagang terletak pada
fakta bahwa informasi tersebut tidak diketahui oleh pihak lain.
Sebaliknya,
Hak Cipta secara eksplisit tidak melindungi ide. Hak Cipta melindungi ekspresi
atau perwujudan nyata dari sebuah ide. UU Hak Cipta melindungi cara
sebuah ide diekspresikan dalam bentuk yang nyata dan orisinal, seperti dalam
sebuah buku, lukisan, komposisi musik, atau kode sumber perangkat lunak.
Apabila
seseorang menulis buku yang menjelaskan metode bisnis “just-in-time”,
Hak Cipta akan melindungi teks dan susunan kata dalam buku tersebut, tetapi
tidak melindungi konsep atau metode bisnis itu sendiri. Pihak lain bebas untuk
menerapkan metode bisnis tersebut, selama mereka tidak menjiplak ekspresi
tulisan dari buku tersebut.
Perbedaan
kedua terletak pada cara timbulnya perlindungan. Keduanya memang
timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif tanpa perlu pendaftaran.
Namun, terdapat perbedaan krusial. Perlindungan Hak Cipta timbul seketika saat
sebuah ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata, dan perlindungan ini tetap melekat
terlepas dari apakah ciptaan tersebut dipublikasikan atau dijaga
kerahasiaannya.
Sebaliknya,
seperti telah dianalisis sebelumnya, perlindungan Rahasia Dagang bersifat
kondisional. Ia hanya timbul dan terus ada selama pemiliknya secara aktif dan
terus-menerus melakukan “upaya yang layak dan patut” untuk menjaga kerahasiaan
informasi tersebut, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 3 UU Rahasia
Dagang. Kelalaian dalam menjaga kerahasiaan akan secara otomatis
menghilangkan perlindungan hukumnya.
Ketiga, jangka
waktu perlindungan antara keduanya sangat kontras. Perlindungan Hak Cipta
memiliki batas waktu yang pasti, yang menurut Pasal 58 UU Hak Cipta,
pada umumnya berlaku selama hidup pencipta ditambah 70 (tujuh puluh) tahun
setelah pencipta meninggal dunia. Setelah jangka waktu tersebut berakhir,
ciptaan akan masuk ke dalam domain publik dan dapat digunakan secara bebas oleh
siapa pun.
Di sisi
lain, perlindungan Rahasia Dagang berpotensi berlaku selamanya (perpetual).
Selama informasi tersebut tetap memenuhi tiga pilar kumulatif—rahasia, bernilai
ekonomi, dan dijaga kerahasiaannya—maka perlindungan hukumnya akan terus
berlaku tanpa batas waktu.
Terakhir, sifat
hak yang diberikan juga berbeda. Hak Cipta memberikan serangkaian hak
eksklusif yang positif, yaitu hak moral (hak untuk diakui sebagai pencipta) dan
hak ekonomi (hak untuk mengumumkan, memperbanyak, dan mendistribusikan
ciptaan).
Sementara
itu, hak yang diberikan oleh Rahasia Dagang lebih bersifat negatif, yaitu hak
untuk melarang pihak lain memperoleh atau menggunakan informasi rahasia
tersebut melalui cara-cara yang tidak patut atau melalui pelanggaran
kepercayaan. Fokusnya adalah pada pencegahan penyalahgunaan (misappropriation),
bukan pada hak eksploitasi positif seperti pada Hak Cipta.
Proyeksi Masa Depan Perlindungan Informasi
Dalam
tulisan artikel ini telah diuraikan dengan menunjukkan bahwa sistem hukum
Indonesia telah membangun sebuah konstruksi perlindungan informasi yang
multi-dimensi dan berlapis. Kerangka hukum ini tidak tunggal, melainkan
merupakan sebuah ekosistem yang terdiri dari berbagai rezim yang saling
melengkapi dan terkadang beririsan, masing-masing didasarkan pada justifikasi
filosofis yang berbeda. Dari perlindungan hak kepemilikan atas informasi
komersial dalam Rahasia Dagang, pengakuan hak asasi atas Data Pribadi,
penegakan kepercayaan publik melalui Rahasia Bank, hingga penyeimbangan antara
transparansi dan kerahasiaan dalam Keterbukaan Informasi Publik, hukum
Indonesia secara komprehensif berupaya untuk mengatur dan melindungi aset
informasi dalam berbagai manifestasinya.
Sintesis
dari pembahasan ini menegaskan beberapa temuan kunci. Pertama, perlindungan
informasi di Indonesia beroperasi dalam sebuah spektrum, mulai dari hak ekonomi
yang dapat dieksploitasi hingga perisai defensif yang melindungi privasi dan
kepentingan strategis.
Kedua,
setiap rezim hukum mencerminkan adanya upaya penyeimbangan kepentingan yang
cermat, antara inovasi dan persaingan, antara privasi individu dan kebutuhan
penegakan hukum, serta antara hak publik untuk tahu dan kewajiban negara untuk
melindungi informasi sensitif.
Ketiga,
demarkasi konseptual yang jelas, terutama antara Rahasia Dagang dan Hak Cipta,
sangat krusial untuk memahami bahwa hukum tidak melindungi ide dalam ruang
hampa, melainkan melindungi nilai yang melekat pada kerahasiaan ide tersebut
atau pada ekspresi konkretnya.
Dalam
konteks Rahasia Dagang, peran sentral dari perjanjian menjadi sangat vital.
Adagium pacta sunt servanda (yang berarti perjanjian mengikat para pihak
yang membuatnya) menjadi landasan spiritual bagi efektivitas perlindungan
informasi komersial.
Perjanjian
kerahasiaan (Non-Disclosure Agreement) bukan sekadar dokumen
administratif, melainkan instrumen hukum utama yang menjadi bukti konkret dari “upaya
yang layak dan patut” untuk menjaga kerahasiaan, sebagaimana disyaratkan oleh
undang-undang. Tanpa adanya ikatan kontraktual yang jelas,
perlindungan terhadap Rahasia Dagang menjadi rapuh dan sulit untuk ditegakkan
di muka pengadilan.
Ke depan,
tantangan dalam perlindungan informasi akan semakin kompleks. Perkembangan
teknologi seperti Kecerdasan Buatan (AI), analisis data besar (big data),
dan komputasi kuantum akan menciptakan bentuk-bentuk informasi baru yang
bernilai strategis, sekaligus membuka celah-celah baru bagi penyalahgunaan dan
ancaman siber. Kerangka hukum yang ada harus terus diinterpretasikan secara
dinamis dan, jika perlu, diperbarui untuk tetap relevan dan adaptif. Kemampuan
sistem hukum untuk berevolusi dalam menghadapi disrupsi teknologi akan menjadi
penentu efektivitasnya dalam melindungi inovasi, menjaga kepercayaan pada
institusi finansial dan pemerintah, serta menjamin martabat dan hak-hak
fundamental individu di era informasi yang terus berubah.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila
Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda
dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang
tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau
menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di
sini.