Pertanyaan
Selamat Pagi Pak Eka, izin bertanya pak. Saya adalah
Anggota Polri sudah tidak aktif, saya sudah mendapatkan PTDH dari instansi saya
bekerja, tetapi saat ini saya masih ada kredit di bank dan SK saya, saya
jadikan agunan di bank.
Dulu pembayaran angsuran saya lancar karena langsung
dipotong dari gaji oleh bendahara satuan kerja saya. Waktu pengajuan kredit,
saya ingat menandatangani beberapa dokumen penting, di antaranya Surat Kuasa
Memotong Gaji, Surat Kuasa kepada bank untuk melakukan klaim atas hak-hak saya
di ASABRI, dan yang terpenting, ada juga Surat Pernyataan Kesanggupan dari
bendahara satuan kerja saya.
Dalam surat pernyataan itu, bendahara menyatakan
kesanggupannya untuk memotong gaji dan bahkan berkomitmen untuk memperhitungkan
sisa pinjaman saya dengan hak-hak keuangan lain yang saya terima jika terjadi
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Sekarang setelah saya di-PTDH, tentu gaji saya sudah
berhenti total, dan mekanisme potong gaji tersebut tidak bisa lagi berjalan.
Pertanyaan saya, bagaimana status hukum perjanjian kredit saya dengan bank
sekarang? Apakah perjanjian itu masih berlaku dan mengikat saya secara pribadi?
Selanjutnya, bagaimana kekuatan hukum dari surat-surat
yang pernah saya tandatangani itu? Apakah Surat Kuasa Memotong Gaji itu masih
berlaku? Dan yang lebih penting, bagaimana dengan Surat Pernyataan Kesanggupan
yang ditandatangani oleh bendahara saya dulu, apakah beliau atau instansi masih
memiliki tanggung jawab hukum untuk membantu menyelesaikan sisa kredit saya?
Terakhir, apakah bank berhak untuk langsung menagih
sisa utang saya ke ASABRI menggunakan surat kuasa yang pernah saya berikan?
Sebenarnya, apa saja hak-hak keuangan yang masih bisa saya dapatkan dari ASABRI
setelah di-PTDH? Dan jika dana dari ASABRI tersebut ternyata tidak cukup untuk
melunasi seluruh sisa utang, langkah hukum apa selanjutnya yang secara
realistis bisa ditempuh oleh bank terhadap saya?
Mohon pencerahannya, Pak. Terima kasih.
Jawaban
Pengantar
Dunia perbankan di Indonesia telah mengembangkan
berbagai produk kredit yang menyasar segmen pasar spesifik, salah satunya
adalah kredit bagi aparatur negara, termasuk anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri). Produk ini umumnya menawarkan kemudahan dan plafon yang
menarik dengan mengandalkan kepastian penghasilan debitur berupa gaji bulanan
sebagai sumber pembayaran utama.
Untuk memitigasi risiko, lembaga perbankan membangun
sebuah mekanisme jaminan yang berlapis, tidak hanya bertumpu pada debitur
semata, melainkan juga melibatkan institusi tempat debitur bekerja. Namun,
mekanisme ini diuji ketika terjadi peristiwa hukum yang secara fundamental
mengubah status kepegawaian debitur, seperti penjatuhan sanksi Pemberhentian
Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Sebagaimana pernyataan dan pertanyaan Anda, Anda
adalah seorang anggota Polri yang sebelum di-PTDH mengajukan fasilitas kredit
konsumtif jangka panjang kepada sebuah bank BUMN. Sebagai bagian dari
perjanjian kredit, Anda menandatangani beberapa dokumen yuridis yang bertujuan
untuk menjamin kelancaran pembayaran angsuran, antara lain:
1.
Surat Kuasa Menerima Pembayaran Klaim ASABRI/TASPEN/JAMSOSTEK,
yang memberikan kuasa penuh kepada bank untuk menagih dan menerima pembayaran
segala hak purna tugas Anda, baik pokok maupun bunga, hingga seluruh utang
dinyatakan lunas;
2. Surat Kuasa Memotong Gaji,
yang ditujukan kepada Bendahara/Juru Bayar di satuan kerja Anda, untuk
melakukan pemotongan gaji setiap bulan sebesar angsuran yang telah ditetapkan;
3. Surat Keterangan Kerja, yang
menegaskan status kepegawaian tetap Anda di instansi Anda; dan
4. Surat Pernyataan Kesanggupan
Bendahara/Juru Bayar, sebuah dokumen krusial di mana Bendahara satuan kerja,
atas nama institusi (dibuktikan dengan stempel dinas), menyatakan
kesanggupannya untuk secara rutin memotong dan menyetorkan angsuran dari gaji
Anda. Lebih jauh, dalam pernyataan tersebut, Bendahara juga berkomitmen bahwa
apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Anda, pihaknya bersedia
untuk terlebih dahulu memperhitungkan sisa pinjaman dengan tunjangan PHK atau
hak-hak lainnya sebagai pelunasan.
Konstruksi jaminan yang berlapis ini menciptakan
hubungan hukum triangular antara bank (kreditur), Anda (debitur), dan
Bendahara/institusi Polri (pihak ketiga yang diberi kuasa dan membuat
pernyataan kesanggupan). Permasalahan hukum yang kritis kemudian timbul,
sebagaimana yang Anda tanyakan “Bagaimana status hukum perjanjian kredit
tersebut dan bagaimana mekanisme penyelesaiannya setelah Anda, akibat suatu
pelanggaran, dijatuhi sanksi PTDH? Penjatuhan sanksi PTDH secara serta
merta menghentikan sumber pembayaran utama (gaji) dan mengubah status
hak-hak purna tugas Anda. Berdasarkan kondisi tersebut, timbul
pertanyaan-pertanyaan hukum fundamental sebagai berikut:
1.
Apakah perjanjian kredit menjadi batal demi hukum atau tetap
berlaku dan mengikat para pihak setelah debitur terkena PTDH?;
2. Bagaimana kekuatan
eksekutorial dari Surat Kuasa Memotong Gaji dan Surat Pernyataan Kesanggupan
Bendahara setelah debitur tidak lagi berstatus sebagai anggota Polri aktif dan
tidak lagi menerima gaji?;
3. Sejauh mana bank sebagai
kreditur dapat mengeksekusi hak-hak purna tugas debitur yang dikelola oleh PT
ASABRI (Persero) sebagai jaminan pelunasan sisa utang pasca-PTDH?
Artikel ini akan mengupas tuntas persoalan-persoalan
tersebut melalui analisis yuridis yang komprehensif, dengan menelaah peraturan
perundang-undangan di bidang perbankan, hukum kepolisian, hukum perdata, serta
mengacu pada praktik dan yurisprudensi yang relevan.
Tinjauan Umum Perjanjian Kredit dalam Perspektif Hukum Perbankan
Untuk memahami akar permasalahan, perlu terlebih
dahulu menelaah konsep dasar perjanjian kredit dalam kerangka hukum perbankan
nasional. Perjanjian kredit merupakan landasan dari seluruh hubungan hukum
antara bank dan nasabah debitur.
Definisi Kredit, Kreditur, dan Debitur
Kerangka hukum perbankan Indonesia secara tegas
mendefinisikan istilah-istilah kunci terkait aktivitas perkreditan. Berdasarkan
Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998, yang selanjutnya disebut “UU
Perbankan”, definisi Kredit adalah:
“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Dari definisi tersebut, dapat diidentifikasi para
pihak dalam perjanjian kredit. Pihak yang menyediakan dana, dalam hal ini
bank, berkedudukan sebagai Kreditur. Istilah kreditur secara umum dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) diartikan sebagai pihak yang
berhak atas suatu prestasi dari pihak lain. Sementara itu, pihak peminjam
dana secara spesifik dalam UU Perbankan disebut sebagai Nasabah Debitur.
Pasal 1 Angka 18 UU Perbankan mendefinisikannya sebagai:
“Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank
dengan nasabah yang bersangkutan”.
Tujuan dan Fungsi Kredit Perbankan
Penyaluran kredit bukan sekadar aktivitas bisnis bagi
perbankan, melainkan juga mengemban fungsi ekonomi yang strategis. Sesuai
amanat Pasal 3 UU Perbankan, fungsi utama perbankan Indonesia
adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Penyaluran dana dalam bentuk kredit ini bertujuan untuk menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan
rakyat banyak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 UU Perbankan.
Dengan demikian, setiap perjanjian kredit, termasuk
yang diberikan kepada anggota Polri, merupakan bagian dari implementasi fungsi
intermediasi perbankan untuk menggerakkan roda perekonomian.
Asas-Asas Fundamental dalam Perjanjian Kredit
Sebagai suatu perjanjian, perjanjian kredit tunduk
pada asas-asas fundamental dalam hukum perjanjian yang diatur dalam Buku III
KUH Perdata. Asas-asas ini menjadi fondasi yang menentukan keabsahan, kekuatan
mengikat, dan cara pelaksanaan perjanjian.
1.
Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)
Asas ini, yang tersirat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata,
memberikan keleluasaan kepada para pihak (bank dan debitur) untuk membuat
perjanjian dan secara bebas menentukan isinya, termasuk klausul-klausul
mengenai jaminan, suku bunga, dan mekanisme penyelesaian sengketa, sepanjang
tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan;
2. Asas Konsensualisme
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian lahir
dan mengikat sejak tercapainya kata sepakat di antara para pihak mengenai
hal-hal pokok dalam perjanjian tersebut. Dalam konteks kredit, kesepakatan atas
jumlah pinjaman, suku bunga, dan jangka waktu sudah cukup untuk melahirkan perjanjian
kredit yang sah;
3. Asas Pacta Sunt Servanda
(Kepastian Hukum)
Asas ini merupakan pilar utama dalam hukum perjanjian, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan
bahwa “semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Implikasi dari asas ini
sangat krusial dalam kasus PTDH yaitu perjanjian kredit yang telah disepakati
secara sah tetap mengikat debitur sebagai undang-undang bagi dirinya. Perubahan
status kepegawaian, termasuk PTDH, tidak secara otomatis menghapuskan atau
membatalkan kewajiban yang telah lahir dari perjanjian tersebut;
4. Asas Itikad Baik (Good
Faith)
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata mewajibkan setiap
perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini menuntut adanya kejujuran
dan kepatutan dari kedua belah pihak. Dari sisi debitur yang mengalami PTDH,
itikad baik diwujudkan dengan sikap proaktif memberitahukan kondisinya kepada bank
dan bekerja sama mencari solusi penyelesaian. Dari sisi bank, itikad baik
menuntut bank untuk tidak serta-merta mengambil tindakan eksekusi yang
memberatkan, melainkan terlebih dahulu menempuh upaya-upaya persuasif dan
restrukturisasi jika memungkinkan.
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dalam Kerangka Hukum Kepolisian
PTDH adalah sanksi administratif terberat yang dapat
dijatuhkan kepada seorang anggota Polri. Sanksi ini tidak hanya mengakhiri
karier yang bersangkutan, tetapi juga membawa implikasi hukum dan finansial
yang signifikan, termasuk terhadap perjanjian perdata yang sedang berjalan.
Definisi dan Landasan Hukum PTDH
Peraturan internal Polri dan peraturan pemerintah
secara konsisten mendefinisikan PTDH sebagai pengakhiran masa dinas secara
paksa. Pasal 1 Angka 29 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian
Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut “Perpolri
7/2022”, mendefinisikan PTDH sebagai:
“Pengakhiran masa dinas Kepolisian oleh pejabat yang berwenang terhadap
Pejabat Polri karena sebab-sebab tertentu”.
Definisi yang senada juga ditemukan dalam Pasal
1 Angka 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 tentang
Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang
selanjutnya disebut “PP 1/2003”. PTDH merupakan konsekuensi dari
pelanggaran serius yang membuat seorang anggota dianggap tidak layak lagi
menyandang status sebagai abdi negara di lingkungan Polri.
Sebab-Sebab Penjatuhan Sanksi PTDH
Penjatuhan sanksi PTDH tidak dilakukan secara
arbitrer, melainkan harus didasarkan pada sebab-sebab yang telah diatur secara
limitatif dalam peraturan perundang-undangan. Secara garis besar, penyebab PTDH
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Melakukan Tindak Pidana
Berdasarkan Pasal 12 PP 1/2003, anggota Polri dapat di-PTDH
apabila dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan berdasarkan
pertimbangan pejabat yang berwenang, yang bersangkutan tidak dapat
dipertahankan lagi untuk tetap berada dalam dinas kepolisian;
2. Pelanggaran Kode Etik
Profesi Polri (KEPP)
Perpolri 7/2022 mengatur berbagai norma etika yang wajib dipatuhi
anggota Polri, yang terbagi dalam etika kenegaraan, kelembagaan, kemasyarakatan,
dan kepribadian. Pelanggaran terhadap KEPP yang dikategorikan berat,
seperti penyalahgunaan narkotika, perzinaan, korupsi, atau perbuatan lain yang
berdampak merusak citra institusi, dapat berujung pada rekomendasi PTDH melalui
Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP);
3. Pelanggaran Disiplin Berat
dan Berulang
Pasal 13 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang selanjutnya disebut “PP 2/2003”, menyatakan bahwa anggota
Polri yang telah dijatuhi hukuman disiplin lebih dari tiga kali dan dinilai
tidak patut lagi dipertahankan statusnya dapat direkomendasikan untuk di-PTDH
melalui Sidang KKEP;
4. Meninggalkan Tugas (Disersi)
Anggota Polri yang meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu
lebih dari 30 hari kerja secara berturut-turut dapat diberhentikan tidak dengan
hormat, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a PP 1/2003.
Akibat Hukum PTDH terhadap Status dan Hak Kepegawaian
PTDH membawa akibat hukum yang bersifat final dan
fundamental terhadap status dan hak-hak seorang anggota Polri. Konsekuensi
utamanya adalah sebagai berikut:
1.
Hilangnya Status Kepegawaian
Dasar hukum utama untuk hilangnya status kepegawaian adalah definisi dari
PTDH itu sendiri. Pasal 1 Angka 5 PP 1/2003 mendefinisikan
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai “pengakhiran masa dinas Kepolisian
oleh pejabat yang berwenang... karena sebab-sebab tertentu”. Definisi
serupa juga terdapat dalam Pasal 1 Angka 29 Perpolri 7/2022.
Frasa “pengakhiran masa dinas” secara yuridis berarti bahwa status hukum
individu tersebut sebagai anggota aktif Kepolisian Negara Republik Indonesia
berakhir, dan yang bersangkutan kembali menjadi warga sipil biasa;
2. Penghentian Penghasilan
Hak atas penghasilan, seperti gaji dan tunjangan, melekat pada status
keanggotaan aktif. Sebagaimana Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Belas atas Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang selanjutnya disebut dengan “PP 7/2024”
mengatur tentang gaji pokok bagi “Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia”. Demikian pula, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 2010 tentang Hak-Hak Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang selanjutnya disebut dengan “PP 42/2010”
mengatur bahwa hak-hak seperti gaji dan tunjangan diberikan kepada “setiap
anggota Polri”. Ketika status sebagai anggota Polri berakhir melalui PTDH,
maka dasar hukum untuk menerima seluruh hak-hak keuangan yang melekat pada
status tersebut (gaji, tunjangan kinerja, tunjangan keluarga, dan lain-lain)
secara otomatis gugur;
3. Hilangnya Hak Pensiun
Dasar hukum yang paling fundamental mengenai hal ini adalah ketentuan
yang mengaitkan hak pensiun dengan pemberhentian secara hormat. Pasal 14
PP 42/2010 menyatakan bahwa “Anggota Polri yang diberhentikan dengan
hormat berhak atas hak pensiun” apabila memenuhi syarat masa kerja.
Ketentuan ini secara implisit menegaskan bahwa anggota yang diberhentikan tidak
dengan hormat (PTDH) tidak berhak atas pensiun. Hal ini dipertegas dalam Pasal
36 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2015
tentang Asuransi Sosial Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Aparatur Sipil Negara di Lingkungan
Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mana
terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54
Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2015 tentang
Asuransi Sosial Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan Pegawai Aparatur Sipil Negara Di Lingkungan Kementerian
Pertahanan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia selanjutnya disebut
“PP 102/2015”, yang menyatakan bahwa Nilai Tunai Iuran Pensiun
diberikan kepada peserta yang “diberhentikan dengan hormat maupun tidak
dengan hormat tanpa hak pensiun”. Ini secara eksplisit mengonfirmasi
bahwa PTDH mengakibatkan hilangnya hak pensiun bulanan;
4. Hak Purna Tugas yang Tersisa
Meskipun kehilangan hak pensiun, anggota yang di-PTDH tetap memiliki hak
atas pengembalian iuran yang telah dibayarkannya selama masa dinas. Dasar
hukumnya adalah sebagai berikut:
-
Nilai Tunai Iuran Pensiun (NTIP), sebagaimana disebutkan di
atas, Pasal 36 ayat (1) PP 102/2015 secara tegas menyatakan bahwa
NTIP diberikan kepada peserta yang diberhentikan dengan hormat maupun tidak
dengan hormat tanpa hak pensiun. Ini adalah pengembalian seluruh akumulasi
iuran pensiun (sebesar 4,75% dari penghasilan) yang dipotong dari gaji anggota
selama masa dinasnya;
-
Nilai Tunai Tabungan Asuransi (NTTA), sebagaimana ketentuan Pasal
7 ayat (1) PP 102/2015 menyatakan bahwa “Nilai tunai tabungan
asuransi... diberikan kepada peserta yang diberhentikan tanpa hak pensiun atau
tunjangan bersifat pensiun”. Karena PTDH adalah pemberhentian tanpa hak
pensiun, maka yang bersangkutan berhak atas NTTA, yang merupakan pengembalian
akumulasi iuran Tabungan Hari Tua (sebesar 3,25% dari penghasilan). Hak ini
juga dikonfirmasi secara eksplisit dalam laman informasi resmi PT ASABRI
(Persero).
Perubahan status hukum ini adalah peristiwa pemicu (triggering
event) yang mengaktifkan risiko gagal bayar dalam perjanjian kredit.
Kemampuan debitur untuk membayar angsuran dari sumber pendapatan utamanya telah
hilang, sehingga mekanisme jaminan alternatif yang telah diperjanjikan menjadi
satu-satunya tumpuan bagi bank.
Bagaimana Status Kredit dan Kewajiban Debitur Pasca-PTDH?
Ketika seorang debitur anggota Polri mengalami PTDH, status
perjanjian kreditnya tidak serta merta menjadi kabur. Hukum perdata
menyediakan kerangka yang jelas untuk menentukan hak dan kewajiban para pihak
dalam kondisi ini.
PTDH sebagai Pemicu Wanprestasi (Default)
Wanprestasi atau cedera janji terjadi ketika salah
satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan prestasi atau kewajiban yang
telah disepakati. Dalam konteks perjanjian kredit, prestasi utama debitur
adalah membayar angsuran secara tepat waktu dan tepat jumlah. PTDH
menyebabkan hilangnya sumber pendapatan utama debitur (gaji), yang secara
faktual membuatnya tidak mampu lagi memenuhi kewajiban pembayaran angsuran.
Keadaan ini, menurut Pasal 1243 KUH Perdata, secara hukum menempatkan
debitur dalam posisi wanprestasi.
Penting untuk membedakan kondisi ini dari keadaan
kahar (force majeure atau overmacht). Force majeure adalah
suatu peristiwa yang terjadi di luar kehendak para pihak, tidak dapat
diprediksi, dan menyebabkan salah satu pihak tidak mungkin melaksanakan
prestasinya. PTDH, meskipun berdampak besar, bukanlah force majeure.
Sanksi ini dijatuhkan sebagai akibat dari perbuatan atau pelanggaran yang
dilakukan oleh debitur sendiri, sehingga unsur “di luar kehendak” tidak
terpenuhi. Oleh karena itu, debitur tidak dapat berlindung di balik dalih
keadaan kahar untuk menghapuskan kewajibannya.
Kewajiban Hukum Debitur Tetap Melekat (Pacta Sunt Servanda)
Sebagaimana telah diuraikan, asas pacta sunt
servanda yang termaktub dalam Pasal 1338 KUH Perdata
menegaskan bahwa perjanjian yang sah adalah undang-undang bagi para pembuatnya.
PTDH adalah peristiwa yang berkaitan dengan hubungan administratif-kepegawaian
antara debitur dengan institusi Polri. Peristiwa ini tidak secara langsung
membatalkan atau menghapuskan hubungan hukum perdata antara debitur dengan bank
yang lahir dari perjanjian kredit.
Dengan demikian, meskipun debitur telah kehilangan
pekerjaannya, utang pokok beserta bunga, denda, dan biaya-biaya lain yang
timbul berdasarkan perjanjian kredit tetap menjadi kewajiban hukum yang melekat
pada pribadinya. Prinsip ini diperkuat oleh Pasal 1131 KUH Perdata,
yang menganut asas jaminan umum (paritas creditorum), yang menyatakan:
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Artinya, tanggung jawab debitur tidak terbatas pada
gaji atau hak-hak kepegawaiannya saja. Seluruh aset pribadi yang dimilikinya,
baik saat ini maupun di masa depan, secara hukum menjadi jaminan umum bagi
pelunasan utangnya kepada bank.
Mekanisme Jaminan dan Upaya Penyelesaian Kredit
Dengan berpegang pada prinsip bahwa utang debitur
tetap ada, analisis selanjutnya difokuskan pada efektivitas
instrumen-instrumen jaminan yang telah diperjanjikan untuk mengeksekusi
pelunasan sisa kredit.
Kekuatan Hukum Surat Kuasa Memotong Gaji dan Peran Bendahara Pasca-PTDH
Setelah PTDH, Surat Kuasa Memotong Gaji secara yuridis
menjadi tidak efektif. Sebuah surat kuasa memerlukan adanya objek kuasa. Dalam
hal ini, objeknya adalah gaji debitur. Ketika gaji berhenti dibayarkan, maka
objek kuasa tersebut hilang, dan surat kuasa menjadi gugur karena tidak
dapat lagi dilaksanakan.
Namun, analisis tidak berhenti di situ. Dokumen Surat
Pernyataan Kesanggupan Bendahara memiliki bobot hukum yang berbeda. Dokumen ini
bukan sekadar pemberian kuasa dari debitur, melainkan sebuah pernyataan sepihak
yang bersifat mengikat dari pejabat Bendahara yang bertindak dalam jabatannya (ex
officio), yang diperkuat dengan stempel resmi instansi. Poin 8 dalam surat yang
Anda lampirkan dalam sesi konsultasi hukum Anda menjadi sangat relevan dengan
situasi Anda saat ini:
“Apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pegawai yang
bersangkutan, maka atas tunjangan PHKnya termasuk namun tidak terbatas pada
uang pesangon, uang jasa, uang ganti kerugian maupun penerimaan lainnya... kami
bersedia untuk terlebih dahulu memperhitungkan dengan sisa pinjaman pegawai
yang bersangkutan kepada BRI sebagai pembayaran/pelunasan maju dan sekaligus
lunas”
Meskipun istilah yang digunakan adalah “PHK”, dalam
konteks hukum administrasi negara, PTDH adalah bentuk pemutusan hubungan kerja.
Pernyataan ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk komitmen institusional, atau
setidaknya penjaminan prosedural, untuk mendahulukan kepentingan bank atas
hak-hak finansial terakhir yang akan diterima oleh anggota yang diberhentikan.
Meskipun mungkin tidak dapat digugat sebagai
perjanjian penanggungan (borgtocht) dalam arti KUH Perdata, surat ini
memberikan dasar hukum yang kuat bagi bank untuk menuntut Bendahara agar
memprioritaskan pembayaran sisa utang dari setiap dana yang masih akan
dibayarkan kepada mantan anggota tersebut, seperti sisa gaji, rapel, atau
tunjangan lain yang belum terbayar saat PTDH terjadi.
Eksekusi Hak atas Manfaat ASABRI sebagai Jaminan Pelunasan
Instrumen jaminan yang paling vital dan efektif bagi
bank setelah PTDH pada Anggota Polri adalah Surat Kuasa Menerima Pembayaran
Klaim ASABRI. Ini adalah jaminan aksesori yang dirancang khusus untuk
mengantisipasi berakhirnya masa dinas debitur, baik secara normal maupun tidak
normal. Kuasa ini memberikan hak substitusi kepada bank untuk bertindak atas
nama debitur dalam menagih hak-haknya dari PT ASABRI (Persero).
Pertanyaan kuncinya adalah, hak apa saja yang
diterima anggota Polri yang di-PTDH? Berdasarkan informasi resmi dari PT
ASABRI (Persero) dan regulasi yang mendasarinya, seperti Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2015 tentang Asuransi Sosial
Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan Pegawai Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Kementerian
Pertahanan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya
disebut “PP 102/2015”, anggota yang diberhentikan tidak dengan
hormat (PTDH) tetap berhak atas dua manfaat utama:
1.
Nilai Tunai Tabungan Asuransi (NTTA)
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) PP 102/2015, ini adalah
pengembalian seluruh akumulasi iuran Tabungan Hari Tua (THT) yang dipotong
sebesar 3,25% dari penghasilan bulanan debitur selama masa dinasnya, beserta
hasil pengembangannya, yang diberikan kepada peserta yang diberhentikan tanpa
hak pensiun;
2. Nilai Tunai Iuran Pensiun
(NTIP)
Ini adalah pengembalian seluruh akumulasi iuran pensiun yang dipotong
sebesar 4,75% dari penghasilan bulanan debitur selama masa dinasnya. Pasal
36 ayat (1) PP 102/2015 secara eksplisit menyatakan bahwa NTIP
diberikan kepada peserta yang “diberhentikan dengan hormat maupun tidak dengan
hormat” tanpa hak pensiun.
Dengan demikian, bank memiliki landasan yuridis yang
sangat kokoh untuk menggunakan Surat Kuasa guna mengajukan klaim dan menerima
pembayaran NTTA dan NTIP secara langsung dari PT ASABRI (Persero) untuk
diperhitungkan sebagai pelunasan sisa utang debitur.
Hierarki dan Alternatif Penyelesaian Utang
Berdasarkan hal-hal yang sudah kami jelaskan di atas,
bank sebagai kreditur memiliki hierarki langkah penyelesaian yang dapat
ditempuh terhadap Anda sebagai debiturnya dengan logika hukum sebagai berikut:
1.
MemberikanPemberitahuan dan Penagihan kepada Bendahara
Segera setelah menerima informasi mengenai PTDH debitur, bank harus
secara resmi memberitahukan Bendahara satuan kerja dan menagih pelaksanaan
komitmen berdasarkan Surat Pernyataan Kesanggupan untuk menyisihkan setiap
pembayaran hak-hak terakhir debitur;
2. Eksekusi Klaim ASABRI
Langkah ini merupakan prioritas utama. Bank segera menggunakan Surat
Kuasa untuk mengajukan klaim NTTA dan NTIP kepada PT ASABRI (Persero). Proses
ini umumnya bersifat administratif dan tidak memerlukan proses pengadilan;
3. Restrukturisasi Kredit
Apabila total NTTA dan NTIP tidak mencukupi untuk melunasi seluruh sisa
utang (pokok, bunga, dan denda), bank dapat menawarkan opsi restrukturisasi
kredit kepada debitur. Opsi ini bisa berupa penjadwalan kembali (rescheduling)
atau persyaratan kembali (reconditioning), dengan asumsi debitur
bersikap kooperatif dan memiliki sumber penghasilan baru;
4. Upaya Hukum Gugatan Perdata
Apabila debitur tidak kooperatif atau restrukturisasi gagal, bank
memiliki hak untuk menempuh upaya hukum sebagai langkah terakhir. Bank dapat
mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan negeri yang berwenang untuk
menuntut pelunasan sisa utang. Apabila gugatan dikabulkan, putusan pengadilan
dapat menjadi dasar untuk melakukan eksekusi (penyitaan dan pelelangan)
terhadap aset-aset pribadi milik debitur lainnya, sesuai dengan prinsip jaminan
umum dalam Pasal 1131 KUH Perdata.
Apakah Ada Yurisprudensi dan Praktik Penyelesaian Sengketa di Pengadilan?
Setelah dilakukan penelusuran pada direktori putusan
pengadilan, kami belum ditemukan yurisprudensi yang secara spesifik dan identik
membahas sengketa wanprestasi perjanjian kredit antara bank dengan mantan
anggota Polri yang diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH).
Kasus-kasus yang melibatkan PTDH umumnya berada dalam
ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), di mana objek sengketanya adalah
keabsahan surat keputusan pemberhentian itu sendiri, bukan sengketa perdata
terkait utang-piutang.
Meskipun demikian, ketiadaan yurisprudensi yang
identik tidak menciptakan kekosongan hukum. Praktik peradilan dalam
menyelesaikan sengketa wanprestasi secara umum dapat dijadikan rujukan untuk
memprediksi bagaimana pengadilan akan memutus perkara semacam ini.
Prinsip hukum yang secara konsisten ditegakkan oleh pengadilan dalam sengketa
utang-piutang adalah asas pacta sunt servanda.
Dalam berbagai putusan terkait wanprestasi akibat
debitur kehilangan pekerjaan (baik karena PHK sebagai karyawan swasta maupun
pemberhentian sebagai PNS), pengadilan pada umumnya akan memutuskan bahwa
perjanjian kredit tetap berlaku dan debitur tetap wajib melunasi sisa utangnya.
Hilangnya pekerjaan tidak dianggap sebagai alasan penghapus utang. Pengadilan
akan berpegang pada fakta bahwa perjanjian kredit telah dibuat secara sah dan
mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak.
Namun yang jadi catatan pentingnya adalah dalam
konteks eksekusi jaminan, praktik peradilan memang secara umum cenderung
melindungi hak kreditur untuk mengeksekusi jaminan yang telah diperjanjikan
secara sah. Apabila bank menghadapi kendala dalam mengeksekusi klaim ASABRI
(misalnya, karena ada penolakan dari debitur atau pihak ketiga), bank dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui pengadilan untuk memaksa pelaksanaan
surat kuasa yang telah diberikan. Selama perjanjian kredit dan dokumen-dokumen
jaminannya dibuat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, hak kreditur
untuk menuntut pelunasan akan dilindungi oleh hukum.
Hanya apakah itu cukup atau tidak yang membutuhkan
pembuktian lebih.
Kesimpulan
Berdasarkan pandangan yuridis yang telah diuraikan,
dapat ditarik beberapa kesimpulan fundamental terkait ketentuan hukum kredit
bank bagi anggota Polri yang terkena sanksi PTDH.
Pertama, penjatuhan sanksi PTDH terhadap seorang anggota
Polri tidak secara otomatis membatalkan atau menghapuskan perjanjian kredit
yang telah dibuatnya dengan pihak bank. Berlandaskan asas fundamental pacta
sunt servanda dalam hukum perdata, perjanjian kredit tersebut tetap sah,
berlaku, dan mengikat para pihak. Kewajiban untuk melunasi seluruh sisa utang,
termasuk pokok, bunga, dan denda, tetap melekat pada pribadi debitur.
Kedua, PTDH secara faktual menyebabkan debitur berada dalam
keadaan wanprestasi (cedera janji) karena hilangnya sumber pendapatan utama
(gaji) untuk membayar angsuran. Namun, kondisi ini tidak dapat diklasifikasikan
sebagai keadaan kahar (force majeure) yang dapat membebaskan debitur
dari kewajibannya, karena PTDH merupakan konsekuensi dari tindakan atau
pelanggaran yang dilakukan oleh debitur sendiri.
Ketiga, bank sebagai kreditur memiliki serangkaian mekanisme hukum
yang dapat ditempuh untuk menuntut pelunasan. Meskipun Surat Kuasa Memotong
Gaji menjadi tidak efektif, instrumen jaminan lain tetap memiliki kekuatan
eksekutorial. Instrumen yang paling krusial dan efektif pasca-PTDH adalah Surat
Kuasa Menerima Pembayaran Klaim ASABRI. Berdasarkan kuasa ini, bank berhak
untuk menagih dan menerima pembayaran Nilai Tunai Tabungan Asuransi (NTTA) dan
Nilai Tunai Iuran Pensiun (NTIP) secara langsung dari PT ASABRI (Persero) untuk
melunasi sisa utang debitur. Selain itu, Surat Pernyataan Kesanggupan Bendahara
memberikan dasar bagi bank untuk menuntut prioritas pelunasan dari sisa hak-hak
finansial debitur yang mungkin masih ada di instansi lamanya.
Sebagai rekomendasi, apabila pelunasan dari hak-hak
ASABRI tidak mencukupi, langkah terbaik bagi bank adalah menempuh jalur
restrukturisasi kredit dengan debitur. Jika upaya ini gagal, bank memiliki hak
penuh untuk mengajukan gugatan perdata guna menuntut pelunasan dari aset
pribadi debitur lainnya.
Di sisi lain, bagi debitur yang mengalami PTDH, sikap
kooperatif dan itikad baik untuk bernegosiasi dengan bank merupakan langkah
yang paling bijaksana untuk mencari solusi penyelesaian utang dan menghindari
proses hukum yang dapat berujung pada penyitaan aset pribadi.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.