layananhukum

Membedah Penalaran Hukum Hakim dalam Putusan Tipikor Paulus Andy Mursalim

 

Pengantar

Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2025/PT PTK, tertanggal 21 Oktober 2025, yang membebaskan Paulus Andy Mursalim dari segala dakwaan tindak pidana korupsi merupakan sebuah anomali yudisial yang signifikan dan memicu diskursus hukum secara luas. Putusan ini tidak hanya membatalkan vonis 10 tahun penjara yang sebelumnya dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Pontianak dalam Putusan Nomor 15/Pid.Sus-TPK/2025/PN Ptk, tertanggal 3 September 2025, tetapi juga secara fundamental menantang demarkasi antara hukum pidana korupsi dan hukum perdata dalam konteks operasional Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Kasus ini, dengan demikian, menjadi episentrum perdebatan yuridis mengenai status “keuangan negara” pada suatu subjek hukum bisnis yang modalnya bersumber dari kekayaan pemerintah daerah yang dipisahkan.

Tesis utama artikel ini adalah bahwa putusan bebas di tingkat banding lahir dari sebuah pergeseran paradigma penalaran hukum (paradigm shift in legal reasoning). Majelis hakim mayoritas secara sadar dan sistematis beralih dari kerangka hukum publik (yang menjadi landasan dakwaan Penuntut Umum dan putusan pengadilan tingkat pertama) ke kerangka hukum privat yang berpusat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Perseroan Terbatas.

Pergeseran ini, meskipun tampak koheren dan logis dalam koridor hukum perdata, menciptakan sebuah celah penalaran (reasoning gap) yang serius dan problematis. Celah tersebut timbul dari pengabaian terhadap yurisprudensi Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (erga omnes), yang seharusnya menjadi batu uji utama dalam menafsirkan konsep keuangan negara.

Dengan menggunakan pendekatan analisis penalaran hukum (legal reasoning analysis), artikel ini akan membedah secara mendalam ratio decidendi (alasan hukum yang mendasari putusan) dari kedua tingkat peradilan, termasuk menganalisis argumentasi dalam dissenting opinion (pendapat berbeda) yang muncul di tingkat banding.

Analisis ini akan diperkaya dengan kerangka teoretis dari filsafat hukum untuk mengidentifikasi model penalaran yang digunakan oleh para hakim, apakah cenderung positivistik atau realis, serta untuk mengevaluasi nilai-nilai hukum (kepastian, kemanfaatan, dan keadilan) yang diprioritaskan dalam masing-masing putusan.   

Identifikasi Inti Masalah Hukum

Latar Belakang Perkara

Proses hukum terhadap Paulus Andy Mursalim dimulai pada 28 Oktober 2024, ketika Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Barat menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan kantor pusat PT Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Barat (selanjutnya disebut PT Bank Kalbar). 

Terdakwa, yang saat itu menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Barat, diduga memainkan peran sentral sebagai penerima kuasa jual dari para pemilik tanah. Dugaan tindak pidana berpusat pada adanya penggelembungan harga (mark-up) yang tidak wajar. Berdasarkan pemberitaan dan fakta persidangan, harga riil tanah dari para pemilik diperkirakan hanya sekitar Rp23 miliar, namun dijual kepada PT Bank Kalbar dengan nilai transaksi mencapai lebih dari Rp89 miliar, sehingga menimbulkan potensi kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp66 miliar.

Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan dari penyidikan yang sebelumnya telah menjerat beberapa pihak internal bank, termasuk mantan direksi. Sejak awal, Terdakwa telah menunjukkan perlawanan hukum dengan mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan status tersangkanya, yang mengindikasikan adanya sengketa interpretasi hukum sejak tahap penyidikan.

Konstruksi Surat Dakwaan Penuntut Umum

Untuk menjerat Terdakwa, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyusun surat dakwaan dengan struktur berlapis (alternatif) guna memaksimalkan peluang pembuktian di persidangan:   

(1)      Dakwaan Primer

Terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut “UU Tipikor”) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Dakwaan ini menitikberatkan pada pembuktian unsur secara melawan hukum dan dapat merugikan keuangan negara dengan tujuan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi.

(2)     Dakwaan Subsider

Terdakwa didakwa melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Fokus dakwaan ini adalah pada unsur ”menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” yang dapat merugikan keuangan negara.

Secara konseptual, JPU membangun argumentasi bahwa tindakan Terdakwa yang secara bersama-sama dengan direksi PT Bank Kalbar merekayasa dan menaikkan harga tanah secara tidak wajar merupakan sebuah perbuatan melawan hukum. Perbuatan tersebut secara langsung mengakibatkan kerugian finansial bagi PT Bank Kalbar, yang dalam konstruksi hukum JPU diposisikan sebagai representasi dari “keuangan negara” atau “keuangan daerah”.

Fakta-Fakta Material yang Terungkap di Persidangan

Berdasarkan rangkuman fakta dalam putusan Pengadilan Tinggi, beberapa fakta material yang menjadi dasar pertimbangan hakim adalah sebagai berikut:   

Peran Terdakwa

Terdakwa Paulus Andy Mursalim bersama dengan Sdr. Ricky Sandy secara sah bertindak sebagai penerima kuasa jual berdasarkan akta notarial dari 15 pemilik bidang tanah yang menjadi objek pengadaan.

Proses Negosiasi dan Harga

Terjadi proses negosiasi harga antara Terdakwa/Ricky Sandy dengan pihak PT Bank Kalbar yang akhirnya disepakati pada nilai total Rp94.004.775.000,-.

Pelampauan Anggaran

Nilai transaksi ini secara signifikan melampaui anggaran awal yang telah ditetapkan dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) sebesar Rp35.000.000.000,00. Untuk menutupi kekurangan tersebut, Direksi PT Bank Kalbar menerapkan kebijakan budget switching, yaitu realokasi anggaran dari pos-pos lain.

Alur Pembayaran

Pembayaran dari PT Bank Kalbar dilakukan dalam dua tahap ke rekening atas nama Terdakwa. Selanjutnya, Terdakwa mendistribusikan sebagian dana tersebut kepada para pemilik tanah dengan nilai yang jauh lebih rendah daripada yang dibayarkan oleh bank, sehingga menyisakan keuntungan yang sangat besar bagi Terdakwa dan Sdr. Ricky Sandy.   

Dugaan Persekongkolan

Terungkap fakta bahwa pembentukan Panitia Pengadaan Tanah di internal PT Bank Kalbar terkesan hanya sebagai formalitas administratif. Selain itu, terdapat arahan kepada Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk melakukan penilaian tanah sebagai satu kesatuan hamparan, bukan per bidang (persil), yang cenderung menghasilkan nilai taksiran yang lebih tinggi. Fakta-fakta ini menjadi adanya dugaan kuat niat jahat (mens rea) dan perencanaan yang sistematis dari pihak internal bank untuk melegitimasi harga yang telah digelembungkan, yang pada akhirnya memperkuat pembuktian unsur penyertaan (deelneming) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Rekonstruksi Alur Penalaran Hakim: Dari Vonis Bersalah ke Putusan Bebas

Perbedaan diametral antara putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi menunjukkan adanya dua model penalaran hukum yang saling bertolak belakang. Analisis secara kritis terhadap kedua putusan ini menyingkap pergeseran fundamental dalam cara hakim memahami dan menerapkan hukum.

Penalaran Hakim Tingkat Pertama (PN Tipikor Pontianak): Paradigma Hukum Publik dan Kepastian Hukum

Meskipun salinan lengkap Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 15/Pid.Sus-TPK/2025/PN Ptk tidak tersedia di Direktori Putusan Mahkamah Agung, amar putusan Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pontianak yang dirangkum dalam putusan banding dan diberitakan oleh media massa secara jelas menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan dijatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa. Dari putusan tersebut, alur penalaran (ratio decidendi) Majelis Hakim PN Tipikor Pontianak dapat direkonstruksi dengan kerangka IRAC (Issue, Rule, Application, Conclusion) sebagai berikut:   

1.        Isu Hukum (Issue)

Apakah perbuatan Terdakwa dalam proses pengadaan tanah PT Bank Kalbar telah memenuhi seluruh unsur delik korupsi sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Primer Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor?

2.       Aturan Hukum (Rule)

Majelis Hakim PN Tipikor Pontianak secara konsisten menerapkan kerangka hukum publik. Aturan yang menjadi landasan utama adalah UU Tipikor itu sendiri, serta definisi luas mengenai keuangan negara yang diatur dalam Pasal 2 huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyatakan: Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi:... g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah.”.   

3.      Penerapan Aturan pada Fakta (Application)

Hakim mengonstruksikan bahwa PT Bank Kalbar adalah BUMD yang seluruh modalnya berasal dari penyertaan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota se-Kalimantan Barat. Berdasarkan definisi dalam UU Keuangan Negara, modal tersebut adalah “kekayaan daerah yang dipisahkan”. Konsekuensi logisnya, setiap kerugian yang diderita oleh PT Bank Kalbar adalah kerugian keuangan negara/daerah. Sehingga tindakan Terdakwa bersama-sama pihak lain yang menaikkan harga tanah secara tidak wajar dinilai sebagai perbuatan melawan hukum yang secara kausalitas menimbulkan kerugian tersebut.

4.       Kesimpulan (Conclusion)

Karena seluruh unsur (melawan hukum, memperkaya diri sendiri/orang lain, dan merugikan keuangan negara) telah terbukti, maka Terdakwa secara sah dan meyakinkan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

Model penalaran yang digunakan oleh hakim tingkat pertama ini merefleksikan paradigma positivisme hukum, di mana hakim berfungsi sebagai “corong undang-undang” (la bouche de la loi). Hakim menerapkan norma hukum positif secara doktrinal-deduktif terhadap fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Prioritas utama diberikan pada nilai kepastian hukum (rechtssicherheit), yakni menegakkan aturan yang tertulis secara tegas dalam UU Tipikor dan UU Keuangan Negara. 

Vonis 10 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp31,47 miliar menunjukkan bahwa hakim menilai perbuatan Terdakwa memiliki tingkat kesalahan dan dampak kerugian yang sangat serius, sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi yang diamanatkan dalam berbagai pedoman pemidanaan Mahkamah Agung.   

Penalaran Hakim Tingkat Banding (PT Pontianak): Pergeseran Paradigma ke Hukum Privat

Di tingkat banding, terjadi perputaran 180 derajat. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Pontianak dalam Putusan Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2025/PT PTK, dengan komposisi suara mayoritas, membatalkan putusan PN Pontianak dan membebaskan Terdakwa. Pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Pontianak ini tertuang secara rinci dari halaman 45 sampai dengan 76 putusan tersebut, yang didasarkan pada sebuah penalaran yang sama sekali berbeda.   

Ratio Decidendi Putusan Bebas (Pendapat Mayoritas Hakim)

1.        Isu Hukum Utama (Issue)

Pertanyaan hukum sentral yang dijawab oleh majelis hakim banding adalah “Apakah kerugian yang timbul dari sebuah transaksi bisnis yang dilakukan oleh BUMD berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dapat dikualifikasikan sebagai “kerugian keuangan negara” dalam konteks hukum pidana korupsi?.” Majelis Hakim Tinggi secara eksplisit menyatakan bahwa fokus utama analisis hukum adalah pada unsur kerugian negara, sebagaimana dinyatakan dalam putusan:

“Menimbang bahwa dalam perkara pidana biasa maupun pidana khusus in casu perkara korupsi agar dakwaan dinyatakan terbukti maka seluruh unsur inti delik (bestandeel delict) harus terpenuhi secara komulatif atas perbuatan Terdakwa, bilamana salah satu inti delik tidak terpenuhi maka Dakwaan harus dinyatakan tidak terbukti dan akibat hukumnya dan konsekwensi hukumnya Terdakwa harus dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan, sehingga oleh karena itu Terdakwa harus dibebaskan atau dakwaan Penuntut Umum terbukti namun tidak masuk ranah pidana akan tetapi merupakan murni perbuatan perdata;”.[1]   

Selanjutnya Majelis juga dalam pertimbangannya menyatakan sebagai berikut:

“Menimbang bahwa dalam membuktikan unsur-unsur delik dalam suatu pasal yang didakwakan terhadap Terdakwa tidak ada aturan harus dilakukan secara berurutan, hal itu tergantung daripada unsur delik mana yang paling penting atau fundamental untuk dilakukan analisa hukum untuk menentukan apakah unsur itu terpenuhi atas perbuatan Terdakwa, sehingga dengan demikian Majelis Hakim Tinggi dalam perkara a quo berpendapat bahwa oleh karena unsur yang sangat essensil dan mendasar/fundamental ada tidaknya perbuatan atau tindak pidana korupsi adalah harus ada kerugian keuangan negara atau perekonomian negara secara factual dan nyata berdasarkan hasil audit/perhitungan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan R.I yang secara konstitusional sebagai lembaga satusatunya yang berwenang untuk mendiclare ada tidaknya atau terjadinya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam setiap adanya dugaan tindak pidana korupsi, oleh karena itu Majelis Hakim di Tingkat Banding akan terlebih dahulu membuktikan apakah unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara factual ada atau terjadi dalam perbuatan hukum Terdakwa Paulus Andy Mursalim dan Ricky Sandy (Tersangka dalam berkas terpisah) selaku Kuasa Jual notarial dari para pemilik tanah sebagai PIHAK PENJUAL dihadapan Notaris/PPAT Widiyansyah, S.H Notarisnya PT Bank Kalbar dengan Pihak PT. Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Barat (PT Bank Kalbar) selaku PIHAK PEMBELI yang dilakukan oleh Direksinya saat itu yaitu yang terdiri dari Saksi Drs. SUDIRMAN HMY, M.M.,selaku Direktur Utama (Terdakwa dalam berkas terpisah), Saksi Drs.SAMSIR ISMAIL, M.M selaku Direktur Umum (Terdakwa dalam berkas terpisah) dan Saksi M.FARIDHAN, S.E., M.M selaku Kepala Devisi Umum (Terdakwa dalam berkas terpisah);”[2]

2.       Aturan Hukum yang Digunakan (Rule)

Majelis hakim mayoritas secara sadar mengesampingkan UU Tipikor dan UU Keuangan Negara sebagai kerangka analisis utama. Sebaliknya, mereka mendasarkan seluruh pertimbangan hukumnya pada:

a.       Hukum Perdata

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengenai empat syarat sahnya suatu perjanjian (sepakat, cakap, suatu hal tertentu, sebab yang halal) dan Pasal 1338 KUHPerdata mengenai asas kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikat perjanjian (pacta sunt servanda).[3]

b.       Hukum Korporasi

Prinsip fundamental badan hukum perseroan, yaitu adanya pemisahan kekayaan yang tegas antara perseroan dengan para pemegang sahamnya (separate legal entity). Dalam konstruksi ini, PT Bank Kalbar diposisikan sebagai subjek hukum privat yang mandiri dan terpisah dari Pemerintah Daerah selaku pemegang saham, dengan pertimbangan sebagai berikut:

“Menimbang bahwa demikian juga dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan binding (mengikat) Nomor 62/PUU-XI/2013 tanggal 18 September 2014 dan Putusan Mahkama Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 tanggal 18 September 2014 menegaskan bahwa penyertaan modal negara yang telah dipisahkan ke dalam BUMN/BUMD menjadi kekayaan perseroan yang tunduk pada hukum privat yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan oleh karena itu kerugian yang dialami oleh BUMN/BUMD tidak otomatis dianggap kerugian negara, yang mana pendirian Mahkamah Konstitusi tersebut bersesuaian dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I dalam berbagai putusannya diantaranya Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor 2239 K/Pid.Sus/2012 dalam perkara Adhi Karya yang kaedah hukumnya menyatakan kerugian BUMN berbentuk Perseroan Terbatas, kecuali ada bukti kuat bahwa negara secara langsung dirugikan juncto Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor 21 K/Pid.Sus/2009 dalam perkara PLN yang kaedah hukumnya menyatakan bahwa kerugian PLN (Persero) bukan kerugian negara karena modal sudah dipisahkan meskipun pemegang saham mayoritas adalah negara.”[4]

3.      Penerapan dan Argumentasi (Application)

Transaksi jual beli tanah antara PT Bank Kalbar (sebagai pembeli) dan Terdakwa (sebagai kuasa jual) dipandang sebagai hubungan keperdataan murni yang telah memenuhi syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Hal ini ditegaskan dalam pertimbangan berikut:

“Menimbang bahwa ………… adalah murni ranah perdata sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 juncto 1338 KUHPerdata juncto Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan tugas dan kewenangan pengelolaan usaha perbankan oleh Direksi PT Bank Kalbar saat itu untuk melaksanakan pengadaan tanah untuk membangun Kantor Pusat PT Bank Kalbar sesuai dengan keinginan para pemegang saham dan tujuan perseroan yang telah ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham yang mana anggarannya telah lama disediakan sejak tahun 2013, tahun 2014 dan tahun 2015 kira-kira sebesar Rp35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah) dan untuk memenuhi biaya yang dibutuhkan sebanyak Rp94.004.775.000,00 (Sembilan puluh empat miliar empat juta tuju ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) ditambah biaya lainnya berupa Biaya Perolehan Hak Tanah dan Bangunan oleh PT Bank Kalbar Rp4.655.238.750,00 (empat miliar enam rfatus lima puluh lima juta dua ratus tiga puluh delapan ribu tujuhratus lima puluh rupiah) dan Biaya Notaris/PPAT Widiyansyah, S.H Notarisnya PT Bank Kalbar Rp513.000.000,00 (lima ratus tiga belas juta rupiah) sehingga berjumlah Rp99.173.013.750,00 (sembilan puluh sembilan miliar seratus tujuh puluh tiga juta tiga belas ribu tujuh ratus lima puluh rupiah), Direksi PT Bank Kalbar pada waktu itu mengambil kebijakan dengan melakukan budget switching yang diperbolehkan dan bukan revisi anggaran yang membutuhkan persetujuan dari Rapat Umum Pemeganga Saham (RUPS);”.[5]

Keuntungan yang diperoleh Terdakwa sebesar Rp28.751.536.250,00 (menurut perhitungan hakim banding) dikualifikasikan sebagai laba bisnis yang sah (legitimate business profit) yang timbul dari kesepakatan para pihak dalam sebuah transaksi komersial. Keuntungan tersebut bukanlah hasil dari tindak pidana korupsi. Hakim menyatakan:

“Menimbang bahwa menurut Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Pontianak, bahwa keuntungan yang diperoleh Terdakwa Paulus Andy Mursalim, S.E., M.M dan Ricky Sandy (Tersangka dalam berkas terpisah) sebagai Kuasa Jual yang sah secara notarial dari pemilik tanah sebesar Rp28.751.536.250,00 (dua puluh delapan miliar tujuh ratus lima puluh satu juta lima ratus tiga puluh enam ribu dua ratus lima puluh rupiah) dari usaha swasta perorangan adalah sah dan tidak merupakan pelanggaran hukum oleh karena dilakukan dengan kesepakatankesepakatan diantara para pihak yang membuat perjanjian dan pihak PT Bank Kalbar tidak dirugikan karena membeli tanah dengan harga yang wajar dibawah harga penilaian dua appraisal independen, sehingga dengan demikian perbuatan Terdakwa Paulus Andy Mursalim, S.E., M.M dan Ricky Sandy (Tersangka dalam berkas terpisah) sebagai Kuasa Jual yang sah secara notarial dari pemilik tanah dalam transaksi jual beli tanah dengan Direksi PT Bank Kalbar yaitu Saksi Drs. SUDIRMAN HMY, M.M., Direktur Utama saat itu (Terdakwa dalam berkas terpisah), Saksi Drs.SAMSIR ISMAIL, M.M selaku Direktur Umum saat itu (Terdakwa dalam berkas terpisah) dan Saksi M.FARIDHAN, S.E., M.M selaku Kepala Devisi Umum yang secara ex officio menjadi Ketua Tim Pengadaan Tanah saat itu (Terdakwa dalam berkas terpisah) sesuai dengan Akta Jual Beli Nomor 776 sampai dengan Nomor 790 tanggal 11 November 2015 dihadapan Notaris/PPAT Widiyansyah, S.H Notarisnya PT Bank Kalbar di Pontianak bukanlah termasuk keuangan negara dan merupakan kerugian keuangan negara sehingga merupakan tindak pidana korupsi karena tidak ditemukan adanya kerugian keuangan negara/daerah in casu Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota sewilayah Kalimantan Barat selaku pemegang saham pada BUMD PT Bank Kalbar sebagaimana dakwaan Primer dan Subsider Penuntut Umum, akan tetapi murni perbuatan perdata sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHperdata juncto 1338 KUHPerdata juncto Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan tugas dan kewenangan pengelolaan usaha perbankan oleh Direksi PT Bank Kalbar saat itu untuk melaksanakan pengadaan tanah untuk kebutuhan membangun Kantor Pusat PT Bank Kalbar sesuai dengan keinginan para pemegang saham dan tujuan perseroan yang telah ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham yang mana anggarannya telah lama disediakan sejak tahun 2013, tahun 2014 dan tahun 2015 yang telah dipertanggung jawabkan dalam Laporan Keuangan Tahun Buku 2015 dalam Rapat Umum Pemegang Saham PT Bank Pembangunan Daerak Kalimantan Barat;”.[6]   

Konsekuensinya, majelis hakim mayoritas berpendapat tidak terdapat kerugian keuangan negara/daerah. Alasannya, dana yang digunakan untuk transaksi adalah aset milik korporasi (PT Bank Kalbar), bukan dana APBD secara langsung. Setiap kerugian finansial yang mungkin timbul dari transaksi ini harus dipandang sebagai risiko bisnis (business loss) yang melekat pada kegiatan usaha perseroan, bukan kerugian negara yang dapat dipidana. 

4.       Kesimpulan (Conclusion)

Karena unsur esensial “merugikan keuangan negara” tidak terbukti, maka Terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan (zuivere vrijspraak). Putusan menyimpulkan:   

-            Menimbang bahwa oleh karena perbuatan Terdakwa Paulus Andy Mursalim, S.E., M.M dan Ricky Sandy (Tersangka dalam berkas terpisah) sebagai Kuasa Jual yang sah secara notarial dari pemilik tanah dalam transaksi jual beli tanah dengan Direksi PT Bank Kalbar yaitu Saksi Drs. SUDIRMAN HMY, M.M., Direktur Utama saat itu (Terdakwa dalam berkas terpisah), Saksi Drs.SAMSIR ISMAIL, M.M selaku Direktur Umum saat itu (Terdakwa dalam berkas terpisah) dan Saksi M.FARIDHAN, S.E., M.M selaku Kepala Devisi Umum yang secara ex officio menjadi Ketua Tim Pengadaan Tanah saat itu (Terdakwa dalam berkas terpisah) sesuai dengan Akta Jal Beli Nomor 776 sampai dengan Nomor 790 tanggal 11 November 2015 dihadapan Notaris/PPAT Widiyansyah, S.H Notarisnya PT Bank Kalbar di Pontianak bukanlah merupakan tindak pidana korupsi karena tidak ditemukan adanya unsur delik adanya kerugian keuangan negara/daerah in casu Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota sewilayah Kalimantan Barat selaku pemegang saham pada BUMD PT Bank Kalbar sebagaimana dakwaan Primer dan Subsider Penuntut Umum, akan tetapi murni perbuatan perdata sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHperdata juncto 1338 KUHPerdata juncto Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan tugas dan kewenangan pengelolaan usaha perbankan oleh Direksi PT Bank Kalbar saat itu, maka Majelis Hakim Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Tinggi Pontianak berkesimpulan bahwa Terdakwa Paulus Andy Mursalim, S.E., M.M tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut Umum, sehingga oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (1`) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), demi keadilan Terdakwa Paulus Andy Mursalim, S.E., M.M harus dibebaskan dari segala dakwaan Penuntut Umum (zuivere vrijspraak);

-            Menimbang bahwa oleh karena tidak terbukti adanya unsur kerugian keuangan negara sebagai unsur inti delik yang fundamental dalam tindak pidana korupsi yang diancam dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka Dakwaan Subsider tidak ada urgensinya untuk dibahas lagi dan oleh karena itu unsur delik kerugian keuangan negara juga tidak terpenuhi dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga Terdakwa harus dinyatakan juga bebas dari dakwaan subsider tersebut;

-            Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut diatas, maka Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Tinggi Pontianak berkesimpulan dan menyatakan bahwa permintaan banding dari Terdakwa/Penasehat hukumnya adalah beralasan hukum sehingga dapat dikabulkan sedangkan permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat tidaklah beralasan dan berdasar hukum sehingga haruslah dikesampingkan;

-            Menimbang bahwa oleh karena Terdakwa Paulus Andy Mursalim, S.E., M.M dinyatakan bebas dari segala dakwaan, maka sesuai ketentuan Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka nama baik Terdakwa harus direhabilitasi dengan memulihkan haknya, dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya kepada keadaan semula;

-            Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut diatas, maka putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 15/Pid.Sus-TPK/2025/PN Ptk tanggal 3 September 2025 yang dimintakan banding tersebut tidak dapat dipertahankan lagi dan oleh karena itu harus dibatalkan dengan mengadili sendiri perkara ini sebagaimana amar tersebut dibawah ini;

-            Menimbang bahwa selama proses peradilan di tingkat pertama dan banding Terdakwa Paulus Andy Mursalim, S.E., M.M berada dalam tahanan, dan oleh karena Terdakwa dinyatakan bebas dari segala dakwaan maka sesuai ketentuan Pasal 191 ayat (3) memerintahkan Penuntut Umum untuk membebaskan Terdakwa dari tanahan seketika putusan ini dibacakan.[7]

Analisis Kritis Dissenting Opinion (Hakim Anggota II Dwi Jaka Susanta, S.H., M.H.)

Sangat penting untuk dicatat bahwa putusan bebas ini tidak diambil secara bulat. Hakim Anggota II, Dwi Jaka Susanta, S.H., M.H., mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Ia tetap meyakini bahwa perbuatan Terdakwa merupakan tindak pidana korupsi dan telah menimbulkan kerugian keuangan negara.   

Dengan Argumen Kunci yang mana antara lain:

-        Sependapat dengan Pertimbangan Hukum Majelis Tingkat Pertama

“Menimbang bahwa setelah Hakim Anggota II membaca dan mempelajari dengan teliti dan seksama berkas perkara beserta salinan resmi putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 15/Pid.Sus-TPK/2025/PN Ptk tanggal 3 September 2025 serta surat-surat lainnya yang berhubungan dengan perkara ini, dan telah pula memperhatikan memori banding yang diajukan oleh Penuntut Umum, Memori Banding yang diajukan Terdakwa/Penasehat Hukum serta Kontra Memori Banding yang diajukan Terdakwa/Penasehat Hukum atas Memori Banding Penuntut Umum maka Hakim Anggota II Dwi Jaka Susanta, SH,MH dalam Majelis Hakim Pengadilan Tinggi pada prinsipnya berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan dari Majelis Hakim Tingkat Pertama sudah tepat dan benar serta telah sesuai menurut hukum, yang pertimbangan hukumnya dibuat berdasarkan fakta-fakta hukum, berdasarkan keterangan Saksi- Saksi, keterangan Ahli dan keterangan Terdakwa PAULUS ANDY MURSALIM, S.E., M.M yang ternyata mempunyai hubungan persesuaian satu dengan lainnya serta diperkuat dengan barang bukti yang diajukan di persidangan. sehingga perbuatan Terdakwa PAULUS ANDY MURSALIM, S.E., M.M dinyatakan terbukti memenuhi dakwaan Primair Penuntut Umum yakni Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Oleh karena itu, pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama tersebut diambil alih dan dianggap telah dimuat disini dan dijadikan sebagai pertimbangan sendiri bagi Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara ini, namun Hakim Anggota Dwi Jaka Susanta, S.H., M.H tidak sependapat mengenai pemidanaan dan Pidana Tambahan berupa pembayaran uang pengganti kerugian keuangan negara, yang pertimbangannya diuraikan dibawah ini serta pidana yang dijatuhkan dan besarnya pembayaran Ganti kerugian keuangan negara sebagaimana dalam amar putusan.[8]

-        Perbedaan pendapatnya tidak terletak pada ada atau tidaknya tindak pidana, melainkan pada kuantifikasi atau besaran kerugian negara. Hakim Anggota II berpendapat bahwa tidak seluruh nilai kerugian yang dihitung oleh auditor (BPKP) dapat diatribusikan sebagai kerugian dalam ranah hukum pidana. Ia mencoba melakukan pemilahan antara kerugian yang murni diakibatkan oleh tindak pidana dengan komponen lain yang mungkin berada di luar lingkup pidana. Sebagaimana tertulis dalam putusan:

“Menimbang bahwa menurut pendapat Hakim Anggota II Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H. tidak sependapat dengan besarnya kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh perbuatan Terdakwa. Kerugian keuangan negara sebagaimana laporan BPKP tersebut Tidaklah semuanya masuk dalam ranah Hukum Pidana (Tipikor). Pada laporan BPKP pada poin Nomor 1 termasuk pada ranah Pidana Korupsi, sedang pada poin Nomor 2 termasuk dalam ranah Hukum Perdata (Hukum Perjanjian) Perbuatan Terdakwa yang termasuk dalam delik korupsi berakhir dengan pembayaran dari Terdakwa (selaku Perantara) kepada pemilik tanah secara 100 %, yakni sebagaimana pada laporan hasil audit BPKP point 1, yaitu pembayaran oleh Terdakwa (setelah menerima transfer dari Bank BPD Kalbar) kepada pemilik tanah terdapat selisih pembayaran lebih rendah kepada pemilik tanah sebesar Rp10.255.938.750,00 ( sepuluh milyar dua ratus lima puluh lima juta Sembilan ratus tiga puluh delapan ribu tujuh ratus lima puluh rupiah). Kelebihan pembayaran inilah yang termasuk dalam ranah kerugian keuangan negara yang dinikmati oleh Terdakwa untuk kepentingan pribadi sehingga perbuatan Terdakwa tersebut merupakan perbuatan melawan hukum dan termasuk dalam ranah pada pengaturan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan perbuatan Terdakwa yang meminta Kembali uang pembayaran dari pemilik setelah selesai pembayaran dari Bank Pembangunan Daerah melalui Terdakwa sebesar Rp29.610.440.000,00 (dua puluh sembilan milyar enam ratus sepuluh juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) adalah termasuk dalam ranah Hukum Perjanjian (Hukum Perdata) antara Terdakwa sebagai perantara dan pemilik tanah, oleh karena itu sudah bukan lagi merupakan keuangan negara;”[9]

-        Rujukan Hukum

Dalam pertimbangannya, ia merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan dan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2024 tentang Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2024 sebagai pedoman dalam memutus perkara. 

Signifikansi Dissenting Opinion

Pendapat berbeda ini sangat krusial karena menolak simplifikasi biner “pidana versus perdata” yang dianut oleh mayoritas hakim. Ia menawarkan jalan tengah yang lebih canggih yaitu tetap mengakui adanya konteks bisnis dan business judgment rule dalam pengelolaan BUMD, namun tidak serta-merta menghilangkan tanggung jawab pidana ketika terjadi perbuatan melawan hukum yang secara nyata merugikan entitas tersebut. Pendekatan ini lebih mampu mengakomodasi kompleksitas BUMD sebagai entitas hibrida (publik-privat) dan berpotensi menjadi dasar argumentasi yang kuat bagi JPU dalam upaya hukum kasasi.

Identifikasi Celah Penalaran (Reasoning Gaps) dan Potensi Kesesatan Logika

Celah penalaran paling fundamental dan fatal dalam putusan mayoritas hakim banding adalah pengabaian total terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013, keduanya diputus pada tanggal 18 September 2014. Kedua putusan ini, yang bersifat final dan mengikat secara erga omnes, secara tegas telah menafsirkan konstitusi dan menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN/BUMD tetap merupakan bagian dari rezim keuangan negara.

Putusan-putusan tersebut meruntuhkan argumen bahwa privatisasi atau perubahan bentuk hukum menjadi Perseroan Terbatas secara otomatis mengubah status keuangan negara menjadi keuangan privat yang lepas dari pengawasan negara. Kegagalan majelis hakim banding untuk merujuk, mempertimbangkan, atau bahkan membantah argumentasi dalam putusan MK ini merupakan bentuk kesalahan penerapan hukum (error in objecto) yang sangat serius.   

Argumentasi mayoritas juga berpotensi mengandung kesesatan logika (logical fallacy), khususnya kesesatan pembagian (fallacy of division). Majelis hakim secara keliru mengasumsikan bahwa karena PT Bank Kalbar secara keseluruhan berstatus sebagai badan hukum privat, maka setiap komponen di dalamnya (termasuk modal yang bersumber dari kekayaan daerah) secara otomatis juga bersifat privat dan terlepas dari rezim hukum publik.

Konsistensi dengan Norma, Asas Hukum, dan Yurisprudensi

Konflik Norma (Antinomi Hukum)

Kasus ini secara gamblang mengekspos adanya konflik norma laten (antinomi) antara dua rezim hukum yang berbeda dalam sistem hukum Indonesia:   

-        Rezim Hukum Publik

Terdiri dari UU Tipikor, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Rezim ini secara kolektif mendefinisikan keuangan negara secara luas dan ekspansif, mencakup kekayaan yang dipisahkan.   

-        Rezim Hukum Privat

Terdiri dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Rezim ini menekankan pada otonomi korporasi, business judgment rule, dan prinsip pemisahan kekayaan (separate legal entity).   

Majelis Hakim PN Tipikor Pontianak secara jelas memprioritaskan penerapan rezim hukum publik, sesuai dengan sifat perkara yang diadili (tindak pidana korupsi). Sebaliknya, Majelis Hakim PT Pontianak justru memprioritaskan rezim hukum privat, yang mengakibatkan dekriminalisasi perbuatan Terdakwa.

Deviasi dari Yurisprudensi Konstitusional

Seperti telah diuraikan, penalaran mayoritas hakim banding tidak hanya berbeda, tetapi secara diametral bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013. Putusan MK telah menegaskan bahwa meskipun dikelola dengan prinsip korporasi (business judgment rule), modal BUMN/BUMD yang berasal dari APBN/APBD tidak kehilangan statusnya sebagai keuangan negara yang dapat diawasi oleh BPK dan tunduk pada hukum keuangan negara.

Perilaku hakim banding ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai kepatuhan yudisial (judicial compliance) terhadap putusan MK. Ini bukan sekadar perbedaan interpretasi, melainkan dapat dipandang sebagai bentuk pembangkangan yudisial (judicial disobedience) terhadap norma konstitusional yang telah ditafsirkan secara final oleh lembaga yang berwenang.

Yurisprudensi Mahkamah Agung

Ada kemungkinan bahwa hakim banding merujuk pada yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang berkembang, yang cenderung membedakan antara kerugian bisnis korporasi dan kerugian negara. Tren ini dapat dilihat dari beberapa lini argumentasi yurisprudensial:

-        Kewenangan Auditor

Dalam banyak persidangan korupsi, pihak terdakwa sering mendalilkan bahwa Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak berwenang untuk menyatakan atau men-declare adanya kerugian negara. Argumentasi ini diperkuat oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa instansi yang berwenang secara konstitusional untuk menyatakan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sementara instansi lain seperti BPKP hanya berwenang melakukan pemeriksaan dan audit. Jika hakim banding terpengaruh oleh pandangan ini, maka Laporan Hasil Audit dari BPKP yang menjadi dasar perhitungan kerugian negara oleh JPU (dan disinggung dalam dissenting opinion) dapat dianggap tidak memiliki kekuatan pembuktian yang final untuk menyatakan adanya kerugian negara;

-        Business Judgment Rule (BJR)

Yurisprudensi MA yang lebih baru menunjukkan kecenderungan kuat untuk menerapkan doktrin Business Judgment Rule (BJR) dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan direksi BUMN/BUMD. Doktrin ini memberikan perlindungan hukum bagi direksi atas keputusan bisnis yang, meskipun menimbulkan kerugian, diambil dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan tanpa adanya benturan kepentingan atau perbuatan melawan hukum. Contoh paling menonjol adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 121 K/Pid.Sus/2020., tertanggal 9 Maret 2020, yang melepaskan mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, dari segala tuntutan hukum, dengan pertimbangan bahwa perbuatannya merupakan ranah BJR dan bukan tindak pidana. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim Kasasi yang diketuai oleh Dr. H. Suhadi, S.H., M.H., memutuskan untuk melepaskan Terdakwa Karen Agustiawan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). Amar ini membatalkan putusan pengadilan di tingkat sebelumnya yang menghukum Terdakwa dengan pidana penjara. Ratio Decidendi  atau Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Agung adalah bahwa perbuatan Terdakwa terkait investasi akuisisi Blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia, meskipun pada akhirnya merugikan PT Pertamina, tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Mahkamah Agung secara eksplisit menyatakan:

Apa yang dilakukan oleh Terdakwa dan jajaran Direksi PT Pertamina lainnya semata-mata dalam rangka mengembangkan PT Pertamina yakni berupaya menambah cadangan migas sehingga langkah-langkah yang dilakukan oleh Terdakwa selaku Direktur Utama PT Pertamina dan Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi tidak keluar dari ranah Business Judgement Rule...”[10]

Majelis Hakim Agung berpendapat bahwa tindakan tersebut merupakan keputusan bisnis yang wajar, yang dilandasi oleh tujuan korporasi untuk menambah cadangan migas. Kerugian yang timbul adalah murni risiko bisnis, bukan akibat dari perbuatan melawan hukum yang disertai niat jahat (mens rea) untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Menurut MA, tidak ditemukan adanya unsur fraud, benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan melawan hukum dalam proses pengambilan keputusan tersebut.

Relevansi dan Perbedaan dengan Kasus Paulus Andy Mursalim

Apabila terkait adanya Relevansinya, Penalaran dalam putusan Karen Agustiawan ini sangat paralel dengan logika yang digunakan oleh mayoritas hakim Pengadilan Tinggi Pontianak dalam kasus Paulus Andy Mursalim. Keduanya sama-sama menarik garis demarkasi yang tegas antara ranah bisnis (perdata/korporasi) dengan ranah pidana korupsi. Dalam kasus Karen Agustiawan, kerugian akibat keputusan investasi BUMN dipandang sebagai risiko bisnis yang dilindungi BJR. Dalam kasus Paulus Andy Mursalim, keuntungan besar yang diperoleh dari transaksi dengan BUMD dipandang sebagai laba bisnis yang sah dari sebuah hubungan keperdataan murni. Keduanya sama-sama menolak untuk mengkriminalisasi sebuah transaksi atau keputusan bisnis hanya karena adanya kerugian (bagi BUMN) atau keuntungan besar (bagi pihak ketiga). Ini menunjukkan adanya tren yurisprudensial di tingkat peradilan yang lebih tinggi untuk tidak serta-merta menerapkan UU Tipikor pada setiap transaksi BUMN/BUMD yang merugi.

Perbedaan Kontekstual yang Mendasar

Meskipun penalarannya paralel, terdapat perbedaan fundamental yang membuat penerapan logika BJR dalam kasus Paulus Andy Mursalim menjadi problematis:

(1)      Posisi Subjek Hukum

Karen Agustiawan adalah organ perseroan (Direktur Utama) yang mengambil keputusan internal untuk kepentingan perusahaannya. Doktrin BJR secara spesifik dirancang untuk melindungi direksi dalam posisi seperti ini. Sebaliknya, Paulus Andy Mursalim adalah pihak eksternal yang bertransaksi dengan BUMD. Ia bukan pengurus PT Bank Kalbar yang sedang mengambil keputusan bisnis, melainkan pihak ketiga (penjual) yang bernegosiasi untuk mendapatkan harga setinggi mungkin. Doktrin BJR tidak dapat dan tidak seharusnya diterapkan untuk melindungi pihak ketiga dalam sebuah transaksi.

(2)   Fokus Perbuatan

Kasus Karen Agustiawan berfokus pada proses pengambilan keputusan internal yang berisiko. Kasus Paulus Andy Mursalim berfokus pada hasil transaksi eksternal yang diduga mengandung unsur penggelembungan harga (mark-up) melalui persekongkolan. Dengan demikian, meskipun putusan Karen Agustiawan sangat relevan untuk memahami tren pemikiran hakim yang memisahkan risiko bisnis dari tindak pidana, putusan tersebut tidak dapat dijadikan justifikasi langsung untuk membebaskan Paulus Andy Mursalim.

Keberanian hakim Pengadilan Tinggi Pontianak justru terletak pada bagaimana mereka mengadopsi spirit atau logika dari yurisprudensi BJR dan menerapkannya pada konteks yang sama sekali berbeda, yaitu dengan merekarakterisasi seluruh peristiwa dari dugaan korupsi menjadi transaksi perdata murni.

Langkah ini, sekali lagi, menempatkan putusan bebas tersebut pada posisi yang sangat rentan secara hukum karena bertentangan langsung dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat erga omnes.

Kerugian Anak Perusahaan BUMN/BUMD

Mahkamah Agung, melalui SEMA Nomor 10 Tahun 2020, juga telah merumuskan kaidah bahwa kerugian yang timbul pada anak perusahaan BUMN/BUMD tidak termasuk kerugian negara, dengan syarat modalnya bukan berasal dari APBN/APBD atau penyertaan modal BUMN/BUMD induk, dan tidak menggunakan fasilitas negara. Namun, argumen ini sangat lemah jika diterapkan pada kasus ini. Pertama, PT Bank Kalbar adalah BUMD induk, bukan anak perusahaan. Kedua, modalnya secara jelas dan tak terbantahkan berasal dari penyertaan modal pemerintah daerah.

Meskipun demikian, apabila terdapat pertentangan antara yurisprudensi MA dengan putusan MK mengenai penafsiran konstitusi, maka putusan MK-lah yang harus diutamakan karena kedudukannya sebagai penafsir tunggal konstitusi (the sole interpreter of the constitution). Oleh karena itu, keberanian hakim banding untuk mengadopsi penalaran yang sejalan dengan tren yurisprudensi MA namun bertentangan dengan putusan MK yang final dan mengikat, menempatkan putusan bebas ini pada posisi hukum yang sangat rentan untuk dibatalkan di tingkat kasasi.

Implikasi terhadap Pemberantasan Korupsi

Putusan bebas ini berpotensi menjadi yurisprudensi negatif (negative precedent) yang sangat berbahaya. Ia dapat menciptakan “zona imunitas” hukum bagi pengurus dan mitra bisnis BUMN/BUMD yang berbentuk Perseroan Terbatas. Setiap kerugian yang timbul dari transaksi yang berindikasi koruptif dapat dengan mudah diklaim sebagai risiko bisnis, sehingga mempersulit pembuktian unsur “merugikan keuangan negara”. Hal ini secara langsung mengancam efektivitas upaya pemberantasan korupsi di sektor korporasi negara, yang notabene merupakan salah satu sektor paling rentan terhadap praktik korupsi.

Keadilan Substantif versus Formalisme Hukum

Jika dianalisis dari perspektif nilai-nilai hukum, putusan ini menyingkapkan ketegangan antara keadilan substantif dan formalisme hukum.

a.       Dari sudut pandang keadilan substantif, putusan ini gagal menangkap esensi perbuatan, yaitu adanya penggelembungan harga yang tidak wajar dengan menggunakan dana yang bersumber dari publik (melalui BUMD) yang secara nyata telah menguntungkan segelintir individu secara tidak sah.

b.       Dari sudut pandang formalisme hukum, putusan mayoritas hakim banding justru dapat dilihat sebagai bentuk penerapan formalisme hukum privat yang kaku. Hakim secara mekanis menerapkan doktrin hukum perseroan tanpa mempertimbangkan konteks, tujuan, dan semangat hukum pemberantasan korupsi. Ini adalah bentuk formalisme yang pada akhirnya mengabaikan rasa keadilan publik. Sebaliknya, putusan PN Pontianak, meskipun juga dapat dianggap formalistik dalam menerapkan hukum positif, lebih sejalan dengan tujuan substantif dari UU Tipikor.   

Simpulan Argumentatif

Berdasarkan analisis mendalam terhadap alur penalaran dan dasar hukum yang digunakan, Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2025/PT PTK yang membebaskan Terdakwa Paulus Andy Mursalim secara fundamental keliru dalam penerapan hukum (dwaling in het recht). Penalaran mayoritas hakim dibangun di atas pergeseran paradigma dari hukum publik ke hukum privat yang tidak dapat dibenarkan secara yuridis, yang berpuncak pada pengabaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Putusan ini lebih mencerminkan penerapan formalisme hukum perdata yang sempit daripada upaya pencarian keadilan substantif dalam kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sikap Penuntut Umum dan Proyeksi Kasasi

Menyikapi putusan bebas ini, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat menyatakan akan mempelajari putusan tersebut untuk menentukan langkah hukum selanjutnya, yakni mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Langkah ini sangat tepat dan diperlukan untuk meluruskan penerapan hukum dan menjaga kepastian hukum.   

Rekomendasi argumen utama untuk memori kasasi JPU adalah sebagai berikut: JPU harus memfokuskan memori kasasi pada dalil ”kesalahan penerapan hukum” atau ”melampaui batas wewenang” oleh judex facti (hakim tingkat banding). Poin krusial yang harus diangkat adalah kegagalan hakim banding dalam menerapkan norma hukum yang seharusnya berlaku (UU Keuangan Negara sebagaimana telah ditafsirkan secara final oleh Mahkamah Konstitusi) dan sebaliknya, menerapkan norma hukum yang tidak relevan (KUHPerdata) untuk mengadili sebuah delik korupsi. Argumentasi hukum yang solid dalam dissenting opinion harus dikutip dan dielaborasi sebagai bukti bahwa di internal majelis hakim itu sendiri terdapat cara pandang lain yang lebih tepat dan sejalan dengan hukum yang berlaku.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


[1] vide Halaman 46 Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2025/PT PTK, tertanggal 21 Oktober 2025.

[2] vide Halaman 46-47 Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2025/PT PTK, tertanggal 21 Oktober 2025.

[3] vide Halaman 56 Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2025/PT PTK, tertanggal 21 Oktober 2025.

[4] vide Halaman 53 Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2025/PT PTK, tertanggal 21 Oktober 2025.

[5] vide Halaman 56 Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2025/PT PTK, tertanggal 21 Oktober 2025.

[6] vide Halaman 62 Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2025/PT PTK, tertanggal 21 Oktober 2025.

[7] vide Halaman 63-65 Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2025/PT PTK, tertanggal 21 Oktober 2025.

[8] vide Halaman 68 Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2025/PT PTK, tertanggal 21 Oktober 2025.

[9] vide Halaman 71 Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2025/PT PTK, tertanggal 21 Oktober 2025.

[10] vide Halaman 38 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 121 K/Pid.Sus/2020., tertanggal 9 Maret 2020.