Pertanyaan
Selamat Pagi bang Eka, izin bang mau nanya,
saya Anggota Polri bang, jadi masalahnya begini. Saya baru saja terima surat
keputusan (SK) PTDH dari Kapolda. Dasarnya dari putusan sidang kode etik
terkait masalah rumah tangga yang kemudian diperkuat di tingkat banding
internal. Jujur saya bingung dan mentok bang, putusan banding internal sudah
final, lalu Kapolda terbitkan SK PTDH.
Saya dengar dari rekan-rekan, sebelum gugat
ke PTUN itu ada yang namanya “Banding Administratif”, tapi saya sama sekali
tidak paham bang apa itu. Apa bedanya dengan banding yang sudah saya lalui?
Terus ini yang paling penting bang, di surat keputusan itu tanggalnya 19
September, tapi saya baru terima suratnya dan tanda tangan serah terima itu
tanggal 29 September. Jadi, hitungan waktunya dari tanggal berapa? Katanya ada
batas waktunya ya bang? Mohon penjelasannya, terima kasih.
Jawaban
Selamat pagi. Terima kasih sudah menghubungi
Kantor Hukum kami. Kami memahami betul kebingungan dan kekhawatiran yang Anda
rasakan saat ini. Situasi yang Anda hadapi memang sangat pelik dan penuh
tekanan, dan wajar jika Anda merasa mentok setelah melalui proses internal yang
panjang.
Pertanyaan Anda sangat tepat dan krusial.
Banyak rekan-rekan kita di Kepolisian yang tersandung justru karena
ketidaktahuan mengenai prosedur hukum setelah menerima SK PTDH. Izinkan saya
meluruskan beberapa hal penting berdasarkan pengalaman dan analisis hukum yang
ada, sebelum kita masuk ke panduan yang lebih detail.
Pertama, Anda benar sekali. Ada jalur hukum
lain setelah putusan banding internal. “Banding Administratif” yang Anda dengar
itu adalah mekanisme yang fundamental berbeda dari banding Komisi Kode Etik
yang telah Anda lalui. Banding KKEP adalah proses internal untuk menguji
pelanggaran etika, sedangkan Banding Administratif adalah hak hukum Anda
sebagai warga negara untuk menguji keabsahan keputusan Kapolda dari sudut
pandang hukum administrasi negara. Ini adalah dua arena yang sama sekali
berbeda.
Kedua, mengenai pertanyaan terpenting Anda
soal tenggat waktu, Anda sudah berada di jalur yang benar. Kekhawatiran Anda
sangat beralasan karena batas waktu ini sifatnya fatal. Jawaban singkatnya:
perhitungan waktu dimulai dari tanggal Anda menerima surat keputusan secara
resmi, yaitu 29 September, bukan tanggal surat itu diterbitkan. Tanda terima
yang Anda tandatangani adalah bukti hukum utama Anda.
Untuk memberikan jawaban yang utuh,
sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atas pertanyaan
mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang Anggota Polri yang
dihadapkan pada Surat Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH), kami
telah menyusun sebuah panduan lengkap dalam bentuk artikel hukum.
Artikel ini dirancang untuk mengurai secara komprehensif seluk-beluk Upaya Administratif sebagai jalur hukum yang wajib ditempuh sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Definisi dan Filosofi Upaya Administratif
Apa Itu Upaya Administratif?
Upaya Administratif adalah sebuah
prosedur penyelesaian sengketa yang dilakukan di dalam lingkungan administrasi
pemerintahan itu sendiri sebagai akibat dari dikeluarkannya suatu Keputusan
dan/atau Tindakan yang dianggap merugikan oleh warga negara. Landasan
hukum utamanya adalah Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang
selanjutnya disebut dengan “UU tentang Administrasi Pemerintahan”.
Secara filosofis, mekanisme ini berlandaskan
pada prinsip contrarius actus, yang menyatakan bahwa badan atau
pejabat yang berwenang menerbitkan suatu keputusan pada dasarnya juga memiliki
kewenangan untuk membatalkannya. Dalam sistem peradilan administrasi
di Indonesia, Upaya Administratif diposisikan sebagai primum remedium (upaya
hukum utama) yang bersifat wajib ditempuh terlebih dahulu (conditio sine qua
non) sebelum dapat mengajukan gugatan ke PTUN, sepanjang peraturan dasarnya
menyediakan jalur tersebut.
Apa Saja Bentuk-Bentuk Upaya Administratif?
Berdasarkan Pasal 75 ayat (2) UU
tentang Administrasi Pemerintahan, Upaya Administratif terbagi menjadi
dua bentuk utama, yaitu:
1.
Keberatan (Bezwaarschrift)
Ini adalah upaya yang diajukan langsung kepada badan atau
pejabat pemerintahan yang menetapkan Keputusan. Pada hakikatnya, ini adalah
permohonan agar pejabat tersebut melakukan evaluasi ulang (heroverweging)
atas keputusan yang telah dibuatnya.
2. Banding
Administratif (Administratief Beroep)
Langkah ini hanya dapat ditempuh apabila pihak yang
bersangkutan tidak puas dengan putusan atas keberatannya, atau jika peraturan
perundang-undangan secara khusus mengaturnya demikian. Banding
Administratif diajukan kepada atasan pejabat atau instansi lain yang lebih
tinggi dari yang menetapkan Keputusan.
Objek Sengketa: Memahami Perbedaan “Keputusan” dalam UU PTUN dan UU Administrasi Pemerintahan
Objek utama yang dapat disengketakan adalah “Keputusan”.
Namun, terdapat perbedaan fundamental antara definisi klasik dalam UU tentang
PTUN dan definisi modern yang diperkenalkan oleh UU tentang Administrasi
Pemerintahan.
Apa Itu Keputusan Menurut UU tentang PTUN?
Definisi klasik terdapat dalam Pasal
1 Angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang
PTUN”, menyatakan bahwa:
“suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata;”
Menurut pasal ini, Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang
bersifat konkret, individual, dan final,
serta menimbulkan akibat hukum. Definisi ini bersifat kaku
dan membatasi objek sengketa hanya pada surat keputusan formal.
Apa Itu Keputusan Menurut UU tentang Administrasi Pemerintahan?
UU tentang Administrasi Pemerintahan, yang dipertegas
melalui Pasal 175 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang
selanjutnya disebut dengan “UU Cipta Kerja”, secara signifikan
memperluas makna “Keputusan”. Berdasarkan Pasal 1 Angka 7
jo. Pasal 87 UU tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan
bahwa:
“ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.”
KTUN kini harus dimaknai lebih luas,
mencakup:
1.
Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual (feitelijke
handelingen);
2. Keputusan yang berpotensi menimbulkan
akibat hukum;
3. Keputusan yang
bersifat final dalam arti luas, termasuk yang masih memerlukan persetujuan
instansi lain;
4. Keputusan yang
berlaku bagi Warga Masyarakat, yang memperluas unsur “individual” menjadi
dapat mencakup kelompok orang.
Perluasan ini mentransformasi PTUN dari
sekadar “hakim atas surat keputusan” menjadi “hakim atas tindakan pemerintahan”
(government acts), sehingga memberikan perlindungan hukum yang lebih
komprehensif bagi warga negara.
Meskipun tampak lebih sederhana, UU tentang
Administrasi Pemerintahan melalui Pasal 87 secara fundamental memperluas makna
KTUN dalam UU tentang PTUN, yang kini mencakup pula tindakan faktual (feitelijke
handeling). Dengan demikian, UU tentang Administrasi Pemerintahan tidak
hanya mengatur keputusan tertulis, tetapi juga membuka ruang untuk
mempersoalkan tindakan nyata pejabat yang merugikan, yang sebelumnya hanya
dapat digugat melalui mekanisme perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige
overheidsdaad) di peradilan umum.
Prosedur, Tenggat Waktu, dan Akibat Hukum Mengabaikan Upaya Administratif
Bagaimana Prosedur dan Tenggat Waktu Upaya Administratif?
Kunci utama dalam menempuh Upaya
Administratif adalah kepatuhan mutlak terhadap prosedur dan tenggat waktu yang
telah ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang.
1.
Tahap Keberatan
Ini adalah langkah
pertama yang diajukan langsung kepada pejabat yang menerbitkan keputusan. Dengan
Dasar Hukumnya sebagaimana ketentuan Pasal 75 ayat (2) huruf a
dan Pasal 77 UU tentang Administrasi Pemerintahan. Dengan Prosedur,
dimana Keberatan diajukan secara tertulis kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang menetapkan Keputusan tersebut. Tenggat Waktu Pengajuan
sebagaimana ketentuan Pasal 77 ayat (1) UU tentang Administrasi
Pemerintahan menyatakan:
“Keputusan dapat diajukan keberatan dalam waktu paling
lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diumumkannya Keputusan tersebut
oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.”
Frasa “sejak diumumkannya” seringkali
menimbulkan kerancuan. Namun, dalam praktik hukum dan yurisprudensi, untuk
keputusan yang bersifat individual (ditujukan kepada orang tertentu), tenggat
waktu dihitung sejak keputusan tersebut diterima secara patut oleh yang
bersangkutan, yang dapat dibuktikan dengan tanda terima. Hal ini sejalan dengan
prinsip keadilan, di mana seseorang baru dapat menggunakan hak hukumnya setelah
ia mengetahui adanya keputusan yang merugikan kepentingannya.
Tenggat Waktu Penyelesaian, Pejabat yang
bersangkutan wajib menyelesaikan keberatan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ada keputusan yang
diambil, maka berdasarkan prinsip fiktif positif, keberatan tersebut dianggap
dikabulkan.
2. Tahap Banding
Administratif
Langkah ini hanya dapat ditempuh apabila pihak yang
bersangkutan tidak puas dengan putusan atas keberatannya. Dasar Hukumnya sebagaimana
ketentuan Pasal 75 ayat (2) huruf b dan Pasal 78 UU tentang
Administrasi Pemerintahan. Dengan Prosedur, Banding diajukan
secara tertulis kepada Atasan Pejabat yang menerbitkan keputusan awal. Dengan Tenggat
Waktu Pengajuan, diajukan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak keputusan atas keberatan diterima, serta Tenggat Waktu Penyelesaian, atasan
Pejabat wajib menyelesaikan permohonan banding dalam waktu paling lama 21
(dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diterima.
Penting untuk dicatat, berdasarkan analisis
terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023, Pasal 175
undang-undang tersebut memang mengubah beberapa ketentuan dalam UU tentang
Administrasi Pemerintahan, namun Pasal 75, 76, 77, dan 78 yang mengatur
mekanisme Upaya Administratif tidak termasuk dalam pasal yang diubah atau
dihapus. Dengan demikian, seluruh prosedur dan tenggat waktu di atas tetap
berlaku sepenuhnya.
Apa Akibatnya Apabila Tidak Dilakukan Upaya Administratif?
Apabila seorang warga negara yang dirugikan
oleh suatu keputusan yang peraturan dasarnya menyediakan mekanisme Upaya
Administratif, namun ia langsung mengajukan gugatan ke PTUN, maka gugatannya
akan dianggap prematur. Akibat hukumnya sangat fatal: gugatan tersebut akan
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke
verklaard) oleh hakim. Putusan ini bersifat formal dan tidak memeriksa
pokok perkara. Hakim bahkan wajib menyatakan gugatan tidak dapat diterima
secara ex officio (karena jabatannya), yang menunjukkan betapa
fundamentalnya kedudukan Upaya Administratif sebagai syarat formil.
Dialektika Aturan Tenggat Waktu Gugatan ke PTUN
Berapa Lama Tenggat Waktu Mengajukan Gugatan ke PTUN?
Aturan baku dalam Pasal 55 UU
tentang PTUN menyatakan bahwa gugatan ke PTUN hanya dapat diajukan
dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung
sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan.
Namun, jika suatu sengketa harus melalui
Upaya Administratif, Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi
Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif, yang selanjutnya
disebut dengan “Perma 6/2018”, menegaskan bahwa tenggat
waktu 90 hari tersebut dihitung sejak keputusan atas upaya
administratif diterima atau diumumkan.
Dinamika Praktik Peradilan: Analisis Komparatif Yurisprudensi Terkini
Praktik peradilan menunjukkan berbagai
dinamika dalam menangani sengketa administrasi, khususnya terkait PTDH anggota
Polri. Analisis komparatif terhadap beberapa putusan penting memberikan
gambaran yang lebih kaya tentang bagaimana hakim menafsirkan dan menerapkan
hukum acara serta hukum materiil.
Keadilan Substantif vs. Kepastian Hukum: Dialektika Tenggat Waktu di Mahkamah Agung
Meskipun aturan formal tampak kaku, Mahkamah
Agung dalam praktiknya menunjukkan fleksibilitas demi keadilan
substantif. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 533
K/TUN/2017, tertanggal 30 November 2017, menjadi yurisprudensi
monumental. Dalam perkara ini, permohonan kasasi yang diajukan oleh Kepala
Kepolisian Daerah Aceh secara faktual telah melewati tenggat waktu formal yang
ditentukan undang-undang.
Namun, dalam sebuah langkah progresif,
Mahkamah Agung memutuskan untuk mengesampingkan kaidah hukum formal tersebut. Pertimbangan
hukum utama Majelis Hakim Kasasi adalah adanya persoalan yang jauh lebih
substantif dan mendesak, sebagaimana dinyatakan dalam putusan:
“Bahwa meskipun tenggang waktu pengajuan permohonan kasasi
oleh Pemohon Kasasi telah lewat waktu 1 (satu) hari, namun oleh karena negara
Indonesia dalam keadaan darurat Narkoba (narkotika dan obat/bahan berbahaya),
maka kaidah hukum formal tentang tenggang waktu pengajuan permohonan kasasi
tersebut dipandang tidak tepat jika kemudian diterapkan secara ketat (strict)
sehingga mengesampingkan persoalan yang lebih substantif bahwa
Penggugat/Termohon Kasasi telah terbukti melakukan penyalahgunaan Narkoba jenis
sabu. Dengan demikian, demi mengutamakan keadilan substantif, maka kaidah
hukum formal tersebut patut dikesampingkan.”
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah
Agung kemudian melanjutkan pemeriksaan pokok perkara dan menjatuhkan amar
putusan:
MENGADILI
1.
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi:
KEPALA KEPOLISIAN DAERAH ACEH tersebut;
2.
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan
Nomor 108/B/2017/PT.TUN-MDN, tanggal 21 Juni 2017, yang membatalkan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor 39/G/2016/PTUN-BNA, tanggal 29
Maret 2017.
MENGADILI SENDIRI
-
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
-
Menghukum Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam
semua tingkat pengadilan, yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar
Rp500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah);
Putusan ini menjadi preseden penting bahwa
hakim tidak hanya menjadi “corong undang-undang” (bouche de la loi),
tetapi juga dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) demi keadilan
substantif.
Sikap progresif Mahkamah Agung ini
berdialektika dengan pandangan Mahkamah Konstitusi yang lebih positivistik.
Dalam beberapa putusannya (misalnya Putusan MK No. 1/PUU-V/2007 dan No.
22/PUU-XVI/2018), Mahkamah Konstitusi cenderung mempertahankan rigiditas Pasal
55 UU tentang PTUN demi tercapainya kepastian hukum.
Yurisprudensi dan aturan tenggat waktu ini
menjadi sangat relevan untuk menjawab pertanyaan spesifik mengenai perbedaan
banding internal dengan gugatan ke PTUN, serta perhitungan waktu. Pertama, “banding”
yang telah dilalui dalam proses internal kepolisian (Sidang Banding KKEP)
adalah bagian dari Upaya Administratif. Ini berbeda dengan gugatan ke PTUN yang
merupakan upaya hukum yudisial di luar lingkungan administrasi pemerintahan.
Kedua, dan ini yang paling penting, mengenai perhitungan waktu, Pasal 55
UU tentang PTUN secara tegas menyatakan tenggat waktu 90 hari dihitung
sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan. Dengan demikian,
jika surat keputusan PTDH tertanggal 19 September namun baru diterima secara
sah (dengan tanda tangan serah terima) pada tanggal 29 September, maka hitungan
90 hari untuk mengajukan gugatan ke PTUN dimulai sejak 29 September, bukan
tanggal surat diterbitkan.
Pengecualian Upaya Administratif Berdasarkan SEMA 10/2020
Dalam sengketa kepegawaian, terdapat
pengecualian penting. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung Tahun 2020 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan,
yang selanjutnya disebut dengan “SEMA 10/2020”, secara
eksplisit menyatakan dalam Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara:
“Pemberhentian Tidak dengan Hormat yang didasarkan pada
putusan pengadilan pidana atau Komisi Etik. Untuk perkara-perkara tersebut
di atas tidak perlu diajukan upaya administratif lagi”.
Logika di baliknya adalah apabila PTDH
tersebut merupakan tindak lanjut dari putusan lembaga lain yang juga berwenang
mengadili, maka proses Upaya Administratif menjadi tidak efisien. Pedoman
ini diterapkan secara konsisten, salah satunya dalam Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang Nomor 26/G/2021/PTUN.PLG,
tertanggal 1 Juli 2021. Dalam kasus ini, objek sengketa adalah Keputusan
Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Nomor: Kep/29/I/2021 tanggal 14
Januari 2021 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Dari Dinas Polri,
yang diterbitkan berdasarkan rekomendasi dari Putusan Sidang Komisi Kode Etik
Profesi Polri (KEPP).
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim
secara tegas merujuk pada SEMA 10/2020 untuk menegaskan
kewenangannya mengadili perkara secara langsung tanpa mengharuskan Penggugat
menempuh Upaya Administratif terlebih dahulu. Hakim mengadopsi argumentasi
bahwa:
“...berdasarakan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10
Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung
Tahun 2020 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, menetapkan secara
eksplisit Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang mengadili perkara-perkara yang
berkaitan dengan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat yang didasarkan pada
Putusan Pengadilan pidana atau Komisi Etik dan tidak perlu diajukan upaya
administratif lagi” (vide Halaman 5 Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Palembang Nomor 26/G/2021/PTUN.PLG, tertanggal 1 Juli 2021).
Dengan demikian, pengadilan menyatakan
gugatan Penggugat secara formal telah memenuhi syarat dan berwenang untuk
langsung memeriksa pokok perkaranya.
Pengujian Substansi dan Prosedur Internal oleh Pengadilan
Setelah melewati isu prosedural awal seperti
kewajiban Upaya Administratif dan tenggat waktu, PTUN akan masuk ke jantung
perkara. Analisis terhadap beberapa putusan menunjukkan bahwa pengadilan tidak
hanya bertindak sebagai “stempel” atas keputusan pejabat, melainkan melakukan
pengujian mendalam dari berbagai aspek.
Hal ini menjawab pertanyaan Anda mengenai
perbedaan antara “banding” internal dengan gugatan ke PTUN. Banding internal
adalah proses hierarkis di dalam institusi itu sendiri, sedangkan gugatan ke
PTUN adalah proses uji eksternal oleh lembaga yudisial yang independen, yang
memeriksa tidak hanya prosedur tetapi juga substansi dan kepatuhan terhadap
hukum yang lebih luas, sebagaimana diilustrasikan dalam kasus-kasus berikut:
(1)
Pengujian Substansi Keputusan
Sebagaimana Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda
Aceh Nomor 7/G/2021/PTUN.BNA, tertanggal 27 Juli 2021), putusan ini menjadi
contoh konkret bagaimana pengadilan menguji materi keputusan. Majelis hakim
membatalkan SK PTDH seorang anggota Polri dengan pertimbangan utama adanya “kesalahan
substansi dalam penerbitan KTUN Objek Sengketa disebabkan ketidaksesuaian
antara alasan PTDH yang ditetapkan dalam Objek sengketa dengan fakta hukum yang
sebenarnya”. Putusan ini menegaskan bahwa PTUN tidak hanya menjadi
“hakim prosedur”, tetapi juga “hakim kebenaran materiil” yang memastikan bahwa
keputusan yang dikeluarkan pejabat berlandaskan pada fakta yang akurat. Amar
putusan dalam perkara ini adalah
MENGADILI
DALAM PENUNDAAAN:
-
Menolak permohohnan penundaan Penggugat
DALAM POKOK SENGKETA:
1.
menolak Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2.
menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul
dalam perkara ini sebesar Rp. 242.000,- (dua ratus empat puluh dua ribu
rupiah)
(2)
Pengujian Pelanggaran AUPB
Sebagaimana Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Pontianak Nomor 20/G/2023/PTUN.PTK, tertanggal 17 Oktober 2023 mengilustrasikan
pengujian terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Dalam kasus
PTDH anggota Polri karena positif narkotika, Penggugat mendalilkan bahwa
tindakan Tergugat tidak proporsional dan melanggar asas kepastian hukum karena
tidak sejalan dengan arahan internal Kapolri (Telegram Nomor:
STR/616/VIII/HUK.12.10./2022) yang mengindikasikan penyelesaian melalui sidang
disiplin untuk pelanggaran pertama kali.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Tergugat
telah melanggar Asas Kecermatan dan Asas Kepastian Hukum karena tidak mematuhi
petunjuk dan arahan dari atasannya sendiri (vide Halaman 143-145
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Pontianak Nomor 20/G/2023/PTUN.PTK,
tertanggal 17 Oktober 2023). Amar putusannya adalah
MENGADILI
1.
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2.
Menyatakan batal Keputusan Kepala Kepolisian Daerah
Kalimantan Barat Nomor: Kep/115/III/2023 tanggal 15 Maret 2023 tentang Pemberhentian
Tidak Dengan Hormat dari Dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya
sepanjang atas nama Brigadir Teguh Prabowo, S.H.
3.
Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Kepala
Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Nomor: Kep/115/III/2023 tanggal 15 Maret
2023 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat dari Dinas Kepolisian Negara
Republik Indonesia hanya sepanjang atas nama Brigadir Teguh Prabowo, S.H.
4.
Mewajibkan Tergugat untuk memulihkan harkat, martabat, dan kedudukan
Penggugat pada posisi semula sebagai anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
5.
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 260.000
(Dua ratus enam puluh ribu rupiah)
Kemudian, gugatan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara Banjarmasin dengan Putusan Nomor 86/B/2023/PT.TUN.BJM,
tertanggal 9 Januari 2024 dan Putusan Banding tersebut dikuatkan oleh Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 340 K/TUN/2024, yang amar
putusannya adalah Menolak permohonan kasasi. Dengan pertimbangan,
bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex Facti
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Banjarmasin sudah benar dan tidak terdapat
kesalahan dalam penerapan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
-
Bahwa secara prosedur penerbitan objek sengketa berdasarkan
ketentuan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara
Republik Indonesia, maupun dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian
Negara Republik Indonesia, tidak jauh berbeda sehingga ketentuan manapun yang
digunakan di antara kedua ketentuan tersebut tidak akan mempengaruhi substansi
penerbitan objek sengketa;
-
Bahwa secara substansi Pemohon Kasasi telah terbukti
mengkonsumsi serta membawa/menguasai narkotika jenis sabu yang berakibat
menurunkan citra dan wibawa institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sehingga dengan demikian penerbitan objek sengketa telah tepat sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang
baik (AAUPB);
-
Menimbang, bahwa di samping itu alasan-alasan tersebut pada
hakikatnya mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan
tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan
pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan
dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum,
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
(3)
Pengujian Cacat Prosedur Internal
Berbeda dengan kasus sebelumnya, Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Pontianak Nomor 17/G/2023/PTUN.PTK, tertanggal 24 Agustus
2023 2023 menunjukkan pentingnya pemenuhan prosedur oleh penggugat
sendiri. Dalam perkara PTDH karena desersi, Penggugat mendalilkan adanya
cacat prosedur dalam pelaksanaan Sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri (KKEP),
seperti tidak dilakukannya Pemeriksaan Pendahuluan. Namun, Majelis
Hakim dalam pertimbangannya menemukan bahwa Penggugat tidak menempuh Upaya
Administratif berupa keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan,
melainkan langsung mengajukan gugatan ke PTUN setelah upaya banding internalnya
ditolak (vide Halaman 31-32 Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Pontianak Nomor 17/G/2023/PTUN.PTK, tertanggal 24 Agustus
2023). Akibatnya, amar putusannya adalah:
MENGADILI
DALAM PENUNDAAN:
Menolak Permohonan Penundaan Pelaksanaan
objek sengketa;
DALAM POKOK SENGKETA:
1.
Menyatakan Gugatan Penggugat tidak diterima;
2. Menghukum Penggugat
untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 300.000,- ( Tiga Ratus Ribu Rupiah);
Secara komparatif, putusan-putusan ini
menunjukkan multi-peran PTUN. Di satu sisi (kasus MA 533/2017), pengadilan
dapat menerobos formalitas demi keadilan substantif.
Di sisi lain (kasus PTUN Palembang dan Banda
Aceh), pengadilan secara aktif menguji apakah keputusan pejabat didasarkan
pada prosedur yang benar (SEMA 10/2020) dan substansi yang akurat.
Lebih jauh lagi (kasus PTUN Pontianak
20/2023), pengadilan juga mengawasi kepatuhan pejabat terhadap AUPB dan
kebijakan internalnya sendiri, yang menegaskan prinsip negara hukum modern.
Upaya Administratif adalah pilar esensial
dalam arsitektur hukum administrasi Indonesia. Ia berfungsi sebagai
mekanisme check and balances internal pemerintah sekaligus
sebagai syarat formil absolut yang harus dipenuhi sebelum seorang warga negara
dapat mencari keadilan di Peradilan Tata Usaha Negara.
Analisis dalam artikel ini menunjukkan bahwa
lanskap hukum terkait Upaya Administratif bersifat dinamis dan kompleks. Telah
terjadi perluasan makna objek sengketa secara signifikan melalui UU tentang
Administrasi Pemerintahan yang dipertegas oleh UU Cipta Kerja, yang
mentransformasi peran PTUN.
Di sisi lain, terdapat dialektika yang terus
berlangsung antara prinsip kepastian hukum yang diwujudkan dalam tenggat waktu
gugatan yang rigid dan dorongan untuk mencapai keadilan substantif yang
melahirkan yurisprudensi-yurisprudensi progresif. Selain itu, praktik
peradilan, yang dipandu oleh Surat Edaran Mahkamah Agung, telah menciptakan
pengecualian-pengecualian prosedural yang penting, khususnya dalam sengketa
kepegawaian, demi efisiensi dan efektivitas peradilan.
Bagi Anggota Polri atau warga negara lainnya yang menghadapi keputusan pejabat yang merugikan, pemahaman mendalam terhadap kewajiban, prosedur, tenggat waktu, serta dinamika yurisprudensi dalam Upaya Administratif adalah kunci utama untuk dapat memperjuangkan hak-hak hukum secara efektif dan memastikan akses terhadap keadilan tidak tertutup karena kesalahan prosedural.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


