layananhukum

Tata Cara Pemohon yang Dihukum Memberikan Mut’ah dan Iddah Sebelum Ikrar Talak: Panduan Hukum Lengkap

 

Pertanyaan

Selamat Pagi Pak Eka Kurnia Chrislianto, Saya Anna. Saya telah bercerai dengan Suami saya yang merupakan Anggota TNI, dalam putusan pengadilan agama menyatakan bahwa “Menghukum Mantan Suami saya untuk membayar Mut’ah dan Iddah kepada saya sebelum ikrar talak diucapkan,” nah... jadi, putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap sebulan yang lalu, Pak. Tapi sampai sekarang mantan suami saya ini belum ada itikad baik untuk membayar.

Dia beralasan jumlah yang ditetapkan hakim terlalu besar dan tidak sesuai dengan kemampuannya sebagai anggota TNI yang gajinya sudah banyak potongan. Dia terus menunda-nunda untuk meminta jadwal sidang ikrar talak ke pengadilan, sepertinya sengaja mengulur waktu sambil berharap saya menyerah dan mengizinkan dia ikrar talak tanpa membayar.

Yang saya khawatirkan, ada batas waktunya tidak sih Pak untuk dia mengucapkan ikrar talak itu? Kalau lewat batas waktu, apakah perceraian kami jadi batal dan saya harus mengulang proses dari awal lagi? Ini membuat status saya jadi tidak jelas.

Lalu, bagaimana sebetulnya tata cara pembayarannya yang benar menurut hukum? Apakah harus tunai di depan hakim saat sidang ikrar talak, atau bisa transfer? Kalau dia transfer, bagaimana saya memastikan itu sah di mata pengadilan? Bagaimana jika saya berhalangan hadir di sidang ikrar talak, apakah uangnya bisa dititipkan di pengadilan?

Dan yang paling penting, bagaimana kalau pada hari H dia tetap tidak mau bayar? Apa yang akan dilakukan oleh hakim? Apakah ikrar talaknya akan ditunda terus? Upaya hukum apa yang bisa saya lakukan untuk memaksa dia memenuhi putusan pengadilan tersebut?

Mohon pencerahannya Pak, karena saya bingung sekali dengan prosedurnya dan khawatir hak saya tidak terpenuhi. Terima kasih banyak.

Jawaban

Selamat pagi, Ibu Anna. Terima kasih atas kepercayaannya. Kami memahami sekali kebingungan dan kekhawatiran yang Ibu hadapi. Kasus yang Ibu alami, di mana mantan suami dihukum untuk membayar mut’ah dan iddah sebelum ikrar talak diucapkan, adalah sebuah mekanisme perlindungan hukum yang memang dirancang untuk menjamin hak-hak perempuan pasca-perceraian.

Untuk menjawab semua pertanyaan Ibu secara lengkap, mulai dari batas waktu ikrar talak, tata cara pembayaran yang sah, hingga upaya hukum yang bisa ditempuh, kami telah menyusun sebuah artikel hukum yang komprehensif. Artikel ini akan menjadi panduan lengkap bagi Ibu.

Pengantar

Perceraian dalam sistem hukum Indonesia, khususnya bagi pemeluk agama Islam, merupakan sebuah proses yudisial yang berada di bawah kewenangan absolut Pengadilan Agama. Secara garis besar, proses ini dapat diinisiasi oleh suami melalui permohonan cerai talak (di mana suami berkedudukan sebagai Pemohon dan istri sebagai Termohon), ataupun oleh istri melalui cerai gugat (di mana istri berkedudukan sebagai Penggugat dan suami sebagai Tergugat).  

Terlepas dari siapa yang mengajukan, putusnya perkawinan ini secara fundamental menimbulkan serangkaian akibat hukum, di antaranya adalah lahirnya kewajiban finansial bagi mantan suami terhadap mantan istrinya. Kewajiban ini tidak hanya berdimensi moral dan religius, tetapi juga berdimensi yuridis yang bertujuan untuk memberikan perlindungan, keadilan, dan jaminan kelangsungan hidup bagi perempuan pasca-perceraian.   

Secara historis, pelaksanaan putusan pengadilan yang menghukum mantan suami untuk membayar kewajiban finansial seperti nafkah mut’ah dan iddah seringkali menghadapi tantangan signifikan.

Tidak jarang, setelah perceraian sah secara hukum negara, mantan suami lalai atau bahkan sengaja mangkir dari tanggung jawabnya. Kondisi ini memaksa pihak perempuan untuk menempuh jalur eksekusi putusan yang prosedurnya cenderung rumit, memakan waktu, dan berbiaya mahal, yang pada akhirnya seringkali tidak efektif dalam menjamin pemenuhan hak-haknya.  

Fenomena ini menjadikan putusan pengadilan yang bersifat condemnatoir (menghukum) menjadi hampa dan tidak memberikan keadilan substansial bagi perempuan sebagai pihak yang rentan secara sosial dan ekonomi pasca-perceraian.   

Menyadari kelemahan tersebut, Mahkamah Agung Republik Indonesia beserta Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) melakukan terobosan hukum acara yang progresif. Meskipun kewajiban finansial ini dapat timbul dalam kedua jenis perceraian, hukum acara telah mengembangkan mekanisme penjaminan yang berbeda untuk masing-masing.

Dalam perkara cerai gugat, jaminan pemenuhan hak istri seringkali dikaitkan dengan penahanan akta cerai suami hingga kewajibannya lunas.  Namun, artikel ini akan memfokuskan analisisnya pada mekanisme khusus yang berlaku dalam perkara cerai talak, yaitu kewajiban pembayaran yang harus ditunaikan sebelum suami mengucapkan ikrar talak di hadapan sidang pengadilan.

Kebijakan ini secara fundamental mengubah paradigma penegakan hukum, dari yang semula bersifat represif (melalui eksekusi) menjadi preventif dan protektif, di mana pengadilan secara aktif memastikan hak-hak perempuan terpenuhi sebagai prasyarat selesainya proses perceraian.

Aspek Filosofi: Maqashid al-Syari’ah dalam Perlindungan Perempuan Pasca-Perceraian

Kewajiban pembayaran mut’ah dan nafkah iddah bukanlah sekadar transaksi finansial semata, melainkan manifestasi dari tujuan luhur syariat Islam (maqashid al-syari’ah) yang berorientasi pada keadilan (al-’adl), kemaslahatan (al-maslahah), dan perlindungan terhadap pihak yang lemah. Filosofi di balik kedua kewajiban ini dapat diuraikan sebagai berikut:

-        Pertama, pemberian nafkah iddah sangat erat kaitannya dengan prinsip pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs), yang merupakan salah satu dari lima tujuan pokok syariat (al-dharuriyyat al-khamsah). Selama masa iddah (masa tunggu), seorang perempuan secara hukum dilarang menikah dengan laki-laki lain dan secara sosial-psikologis berada dalam masa transisi yang rentan. Tanpa adanya jaminan nafkah, ia berpotensi mengalami kesulitan ekonomi yang dapat membahayakan kelangsungan hidupnya dan anak-anak yang berada dalam asuhannya. Oleh karena itu, syariat mewajibkan mantan suami untuk tetap menanggung biaya hidupnya sebagai bentuk tanggung jawab terakhir yang belum sepenuhnya putus hingga masa iddah berakhir.

-        Kedua, pemberian mut’ah merupakan perwujudan dari prinsip melepaskan dengan cara yang baik (tasrihun bi ihsan), sebagaimana dianjurkan dalam ajaran Islam. Perceraian, terutama yang diinisiasi oleh suami, seringkali menimbulkan luka batin, penderitaan, dan rasa terhina bagi pihak istri. Mut’ah berfungsi sebagai pemberian atau sagu hati yang bertujuan untuk menghibur, meringankan beban psikologis, menghilangkan rasa sakit hati akibat perpisahan, dan menjadi bekal awal bagi mantan istri untuk menata kembali kehidupannya. Dengan demikian, mut’ah bukanlah ganti rugi, melainkan sebuah bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap perempuan yang telah mengabdikan sebagian hidupnya dalam ikatan perkawinan.

Pergeseran paradigma dalam hukum acara peradilan agama yang mensyaratkan pembayaran kewajiban ini sebelum ikrar talak merefleksikan pemahaman mendalam atas filosofi tersebut.

Apabila sebelumnya mut’ah dan iddah dipandang sebagai kewajiban moral-religius yang pemenuhannya diserahkan pada kesadaran mantan suami, kini hukum acara memosisikannya sebagai hak fundamental istri yang pemenuhannya harus dijamin oleh negara melalui institusi peradilan.

Mekanisme ini mengubah status kewajiban tersebut dari sekadar “utang pasca-cerai” menjadi “prasyarat finalisasi cerai”. Ini bukan lagi tentang kompensasi pasif, melainkan tentang jaminan kesejahteraan yang proaktif dan preventif, di mana pengadilan memastikan hak istri terpenuhi sebelum perceraian itu sendiri dianggap tuntas secara hukum.

Definisi dan Hakikat Nafkah Mut’ah

Secara etimologis, mutah dapat diartikan ا ثٌ غٍح (nafkah yang sepadan, cukupan), ا سٌاد ا مًٌٍٕ (bekal sedikit) dan dapat juga diartikan dengan متاع dengan jamak امتعح (harta benda atau barang-barang). Apabila dikaitkan dengan kata talak, متعح ا طٌلاق berarti “sesuatu yang diberikan kepada isteri yang dicerai.[1]

Menurut Jumhur al-Fuqaha, mut’ah adalah pemberian yang bertujuan untuk menyenangkan hati istri.[2] Mazhab Syafi’i mengartikan mut’ah sebagai harta yang wajib dibayar oleh suami untuk istrinya yang diceraikan dalam kehidupan dengan perceraian serta apa yang memiliki makna yang sama dengan beberapa persyaratan. Sedangkan, mazhab Maliki mengartikan sebagai kebaikan untuk perempuan yang diceraikan ketika terjadi perceraian dalam kadar sesuai dengan jumlah sedikit dan banyaknya harta si suami.[3]

Kemudian menurut Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyes Hawwas, menyatakan mut’ah dikenal dengan pemberian dari suami terhadap istri yang telah diceraikan. Adapun pemberian mut’ah diberikan sesuai dengan kemampuan.[4] Dalam hukum positif arti mut’ah dijelaskan dalam Buku I Bab I Pasal 1 huruf (j) Kompilasi Hukum Islam, yang selanjutnya disebut “KHI”, yang berbunyi:

“Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada istri yang dijatuhi talak, berupa benda atau uang dan lainnya.”

Dengan demikian, hakikat mut’ah adalah sebuah pemberian sukarela yang ditingkatkan derajatnya menjadi kewajiban hukum sebagai bentuk kompensasi non-materiel untuk meringankan beban psikologis istri akibat perceraian yang dikehendaki oleh suami.

Definisi dan Hakikat Nafkah Iddah

Nafkah iddah merupakan gabungan dari dua kata yaitu nafkah dan iddah, secara bahasa, Nafkah berasal dari bahasa Arab ا ىٌفمح berarti biaya, belanja dan pengeluaran uang.[5] Secara material nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, minuman, pakaian, rumah dan lain-lain.[6]

Sedangkan secara terminologi tidak terlepas dari berbagai pendapat para fuqaha di antaranya:

a.       Sayyid Sabiq mendefenisikan nafkah yaitu sesuatu yang diperlukan oleh istri, yang terdiri dari makanan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, serta biaya untuk pengobatan;[7]

b.      Hasan Ayyub, mendefenisikan nafkah yaitu semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan lain-lain.[8]

Sedangkan, secara etimologis, kata iddah berasal dari kata kerja ‘adda ya’uddu’ yang artinya kurang lebih al-ihshâ`, perhitungan atau sesuatu yang diperhitungkan. Dari segi kata, istilah iddah biasa digunakan untuk menyebut hari-hari haid atau hari libur bagi perempuan. Artinya, perempuan (istri) mencatat siklus haid dan waktu-waktu suci. Iddah adalah jangka waktu yang telah ditentukan yang harus diperhitungkan oleh wanita sejak ia berpisah (bercerai) dari suaminya, baik karena perceraian atau karena suaminya meninggal, dan selama periode itu wanita tidak diperbolehkan menikah dengan pria lain.[9]

Dasar kewajiban ini adalah karena selama masa iddah, seorang perempuan secara hukum masih terikat pada akibat-akibat hukum dari perkawinan sebelumnya dan dilarang untuk menikah lagi.

Tujuannya adalah untuk memastikan ketiadaan kehamilan dari perkawinan sebelumnya (istibra’ al-rahim) dan memberikan ruang bagi kemungkinan rujuk. Karena adanya larangan dan keterikatan hukum inilah, maka ia masih berhak mendapatkan jaminan kelangsungan hidup dari laki-laki yang menceraikannya. Definisi ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 149 huruf (b) KHI, yang menyatakan sebagai berikut:

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a.       memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;

b.       memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;

c.       melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;

d.      memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun”

Kerangka Hukum Kewajiban Pembayaran Mut’ah dan Iddah Sebelum Ikrar Talak

Kewajiban pembayaran mut’ah dan iddah sebelum pengucapan ikrar talak memiliki landasan hukum yang kokoh, yang dibangun secara berlapis mulai dari sumber hukum primer dalam Islam hingga peraturan teknis di lingkungan peradilan agama.

Dasar Hukum Primer: Al-Qur’an dan Hadis

Sumber utama kewajiban mut’ah dan nafkah iddah berasal dari Al-Qur’an dan diperkuat oleh Hadis Nabi Muhammad SAW.

Dasar Hukum Nafkah Mut’ah

Kewajiban memberikan mut’ah secara eksplisit disebutkan dalam firman Allah SWT pada Surat Al-Baqarah ayat 241, yang berbunyi:

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ۝٢

Terjemahannya:

Bagi istri-istri yang diceraikan terdapat hak mut‘ah dengan cara yang patut. Demikian ini adalah ketentuan bagi orang-orang yang bertakwa..”

Frasa حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ atau “haqqan ‘alal muttaqin” (sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa) dalam ayat ini menjadi landasan yuridis-teologis yang kuat bahwa mut’ah bukanlah sekadar anjuran, melainkan sebuah kewajiban yang harus ditunaikan sebagai cerminan ketakwaan.

Dasar Hukum Nafkah Iddah

Perintah untuk memberikan nafkah selama masa iddah, khususnya dalam bentuk tempat tinggal, secara jelas termaktub dalam Surat At-Thalaq ayat 6:

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُۗ لَا يُكَلِّفُ

       اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًاࣖ

Terjemahannya:

Hendaklah orang yang lapang (rezekinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa (harta) yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah kelak akan menganugerahkan kelapangan setelah kesempitan.”

Ayat ini secara langsung memerintahkan penyediaan tempat tinggal (maskan), yang oleh para ahli fikih ditafsirkan juga mencakup kewajiban pemenuhan kebutuhan pokok lainnya seperti makan dan pakaian, karena ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam konsep nafkah.

Dasar Hukum Positif Nasional

Hukum positif Indonesia mengadopsi dan mengonkretkan prinsip-prinsip hukum Islam tersebut ke dalam peraturan perundang-undangan.

(1)      Undang-Undang Perkawinan

Sebagai hukum induk (lex generalis), Pasal 41 huruf (c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang selanjutnya disebut “UU Perkawinan”, memberikan kewenangan kepada hakim untuk membebankan kewajiban finansial kepada mantan suami. Pasal tersebut menyatakan:

Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.”

(2)     Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Sebagai lex specialis bagi umat Islam, KHI merinci lebih lanjut kewajiban tersebut dalam Pasal 149 huruf (a) dan huruf (b) KHI, yang menyatakan:

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a.   memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;

b.   memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;”

Terobosan Hukum Melalui Kebijakan Mahkamah Agung dan Badilag

Meskipun dasar hukum materiil telah ada, hukum acara yang memastikan eksekusinya secara efektif baru terbentuk melalui kebijakan-kebijakan progresif dari Mahkamah Agung dan Badilag.

1.       Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, yang selanjutnya disebut “PERMA 3/2017”, menjadi landasan filosofis bagi hakim untuk bersikap lebih aktif (ex officio) dalam melindungi hak-hak perempuan, termasuk dalam perkara perceraian;

2.       Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, yang selanjutnya disebut “SEMA 3/2018”, khususnya rumusan Kamar Agama, menjadi titik krusial. Rumusan ini secara eksplisit mengaitkan pembayaran kewajiban suami dengan momen pengucapan ikrar talak, sebagai jaminan perlindungan hak perempuan pasca-perceraian;

3.       Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 1669/DJA/HK.00/5/2021 tentang Jaminan Pemenuhan Hak-Hak Perempuan dan Anak Pascaperceraian, yang selanjutnya disebut “SE Dirjen Badilag 1669/2021”, memberikan petunjuk teknis yang lebih konkret. Surat edaran ini menginstruksikan pengadilan untuk memastikan pemenuhan hak-hak tersebut, salah satunya dengan mencantumkan amar yang menghukum suami membayar kewajibannya sebelum ikrar talak, dan bahkan memerintahkan Panitera untuk menahan Akta Cerai sebagai instrumen jaminan tambahan.

Batas Waktu Pembayaran dan Kaitannya dengan Batas Waktu Ikrar Talak

Proses cerai talak tidak serta-merta selesai setelah putusan pengadilan yang mengizinkan talak berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Tahap selanjutnya yang bersifat final adalah pengucapan ikrar talak oleh Pemohon di hadapan sidang Pengadilan Agama. Hukum acara memberikan tenggat waktu yang jelas untuk pelaksanaan tahap ini.

Pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, mengatur bahwa:

Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri atau mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah dan patut maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama.”

Ketentuan ini secara implisit menjadi batas waktu bagi Pemohon untuk memenuhi kewajiban pembayaran mut’ah dan iddah yang telah ditetapkan dalam putusan. Amar putusan yang mengharuskan pembayaran “sebelum ikrar talak diucapkan” berarti bahwa selama kewajiban tersebut belum dipenuhi, Majelis Hakim tidak akan menyelenggarakan atau akan menunda sidang penyaksian ikrar talak. Apabila Pemohon terus-menerus lalai hingga melampaui batas waktu 6 bulan tersebut, maka haknya untuk mengikrarkan talak menjadi gugur, dan ikatan perkawinan secara hukum tetap utuh.

Pentingnya Pemenuhan Kewajiban Sebelum Ikrar Talak

Mekanisme pembayaran kewajiban sebelum ikrar talak memiliki urgensi dan signifikansi yang fundamental dalam sistem peradilan agama, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1.        Jaminan Kepastian Hukum dan Efektivitas Putusan

Kebijakan ini memastikan bahwa putusan hakim yang bersifat condemnatoir (menghukum) tidak menjadi sekadar formalitas di atas kertas (a paper tiger). Dengan menjadikan pemenuhan kewajiban sebagai prasyarat, pengadilan menjamin bahwa putusan tersebut memiliki daya paksa yang efektif dan memberikan kepastian hukum bagi Termohon atas hak-hak yang telah ditetapkan;

2.       Perlindungan Hukum Preventif

Mekanisme ini berfungsi sebagai instrumen perlindungan hukum yang bersifat preventif. Ia mencegah potensi kelalaian atau itikad buruk dari pihak suami untuk mangkir dari tanggung jawabnya setelah perceraian resmi terjadi. Posisi tawar mantan istri menjadi lebih kuat, karena ia tidak lagi harus menempuh jalur eksekusi yang rumit dan seringkali tidak berhasil untuk menuntut haknya;

3.      Mewujudkan Keadilan Prosedural dan Substansial

Dengan mengintegrasikan pemenuhan hak dan kewajiban dalam satu rangkaian proses finalisasi perceraian, pengadilan mewujudkan keadilan prosedural yang berujung pada keadilan substansial. Ikrar talak tidak lagi dipandang hanya sebagai hak prerogatif suami, melainkan sebagai momen penutup di mana seluruh akibat hukum perceraian diselesaikan secara tuntas dan berkeadilan di hadapan pengadilan.

Secara konseptual, kebijakan ini telah merekonfigurasi makna ikrar talak dalam hukum acara. Apabila secara tradisional ikrar talak dipandang sebagai hak yang nyaris absolut bagi suami setelah memperoleh izin pengadilan, kini ia bertransformasi menjadi hak bersyarat (conditional right).

Pelaksanaan hak untuk mengikrarkan talak kini bergantung pada pemenuhan kewajiban hukum lain yang telah ditetapkan oleh pengadilan, yakni pembayaran mut’ah dan nafkah iddah. Hak tersebut tidak lagi dapat dieksekusi secara mandiri, melainkan terikat secara prosedural dengan kewajiban timbal balik.

Pergeseran ini merupakan langkah fundamental dari konsep hak absolut menuju hak yang berlandaskan pada keseimbangan dan keadilan bagi kedua belah pihak.

Tata Cara Pembayaran Nafkah di Pengadilan Agama (SOP Badilag)

Pelaksanaan pembayaran mut’ah dan nafkah iddah yang dihukumkan untuk dibayar sebelum ikrar talak memiliki prosedur yang jelas dan terstandarisasi di lingkungan Peradilan Agama. Prosedur ini dirancang untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak.

Prosedur Umum pada Hari Sidang Ikrar Talak

Pada hari sidang penyaksian ikrar talak yang telah ditetapkan, setelah putusan berkekuatan hukum tetap, Majelis Hakim akan menjalankan prosedur sebagai berikut:

1.       Majelis Hakim Membuka Sidang dan Memeriksa Kehadiran Para Pihak

Ini adalah prosedur standar dalam hukum acara yang berlaku di semua persidangan, termasuk sidang ikrar talak. Sidang harus dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum (kecuali untuk perkara tertentu). Kewajiban untuk memanggil para pihak (Pemohon dan Termohon) untuk menghadiri sidang ikrar talak secara spesifik diatur dalam Pasal 70 ayat (3) UU Peradilan Agama, yang menyatakan: “Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.” dan ditegaskan kembali dalam Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 1465/DJA/HK.05/SK/IX/2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Perkara di Lingkungan Peradilan Agama secara Elektronik (Kepdirjen Badilag 1465/2023) pada Bab V, Bagian C, Angka 3 tentang “Panggilan Sidang Ikrar”. Dengan adanya panggilan, maka pemeriksaan kehadiran menjadi langkah logis pertama yang dilakukan hakim;

2.       Hakim Ketua Menanyakan Kembali Kesiapan dan Kesungguhan Pemohon untuk Mengucapkan Ikrar Talak

Langkah ini merupakan bagian dari peran aktif hakim (judicial activism) untuk memastikan kehendak para pihak. Meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam satu pasal, praktik ini sangat penting untuk memastikan bahwa Pemohon (suami) benar-benar sadar akan akibat hukum dari ikrar yang akan diucapkannya dan tidak berada di bawah tekanan. Praktik ini sejalan dengan semangat upaya perdamaian yang harus diusahakan hakim hingga tahap akhir. Dalam berbagai berita acara sidang, langkah ini selalu tercatat, di mana hakim akan menanyakan kembali keputusan Pemohon sebelum melanjutkan proses;

3.       Hakim Ketua Memverifikasi Pelaksanaan Kewajiban Pemohon untuk Membayar Mut’ah dan Nafkah Iddah sesuai Amar Putusan

Ini adalah inti dari terobosan hukum untuk melindungi hak-hak perempuan. Dasarnya adalah:

-        Amar Putusan itu Sendiri

Kewenangan hakim untuk memverifikasi pembayaran ini bersumber langsung dari amar (diktum) putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang secara tegas menyatakan “Menghukum Pemohon untuk membayar... sebelum ikrar talak diucapkan”.

-        Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)

Kewenangan hakim untuk mencantumkan amar bersyarat tersebut dilegitimasi oleh SEMA Nomor 3 Tahun 2018. Rumusan Kamar Agama dalam SEMA tersebut secara eksplisit memberikan pedoman agar pembayaran kewajiban suami dapat dikaitkan dengan momen sebelum pengucapan ikrar talak untuk menjamin hak-hak Perempuan;

-        Praktik Peradilan

Dalam praktiknya, hakim akan secara lisan menanyakan kepada Pemohon, “Apakah Saudara telah siap memenuhi kewajiban pembayaran kepada Termohon sebagaimana diperintahkan dalam putusan?”. Pertanyaan ini adalah bentuk verifikasi awal. Apabila Pemohon menyatakan siap, maka proses dilanjutkan dengan pembuktian pembayaran (tunai, bukti transfer, atau konsinyasi).  

4.       Ikrar Talak Baru akan Dilaksanakan setelah Majelis Hakim Meyakini Bahwa Kewajiban tersebut Telah Lunas

-        Dasar Hukum dan Konsekuensi

Ini adalah mekanisme eksekusi riil dan konsekuensi logis dari amar putusan bersyarat. Jika pembayaran adalah syarat (prerequisite), maka ikrar talak tidak dapat dilaksanakan sebelum syarat itu terpenuhi;

-     Konsekuensi Penundaan

Apabila Pemohon belum membayar, Majelis Hakim akan menunda sidang ikrar talak. Praktik penundaan ini adalah bentuk “paksaan” yuridis agar Pemohon mematuhi putusan;

-        Batas Waktu 6 Bulan

Penundaan ini tidak bisa berlangsung selamanya. Ia terikat pada tenggat waktu 6 (enam) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (6) UU Peradilan Agama. Apabila dalam waktu 6 bulan sejak hari sidang ikrar talak ditetapkan Pemohon tidak juga mengucapkan ikrar (termasuk karena tidak memenuhi kewajiban pembayaran), maka haknya untuk mengikrarkan talak gugur demi hukum, dan perkawinan dianggap tetap utuh.

Metode Pembayaran dan Verifikasinya

Praktik di Pengadilan Agama, yang sejalan dengan arahan Badilag, mengenal beberapa metode pembayaran yang sah, yaitu:

1.       Pembayaran Tunai di Muka Sidang

-        Prosedurnya, Pemohon menyerahkan sejumlah uang tunai sesuai amar putusan secara langsung kepada Termohon di hadapan Majelis Hakim. Proses ini bersifat seremonial namun memiliki kekuatan pembuktian yang sangat tinggi;

-        Kemudian, Majelis Hakim dan Panitera Sidang menyaksikan secara langsung serah terima tersebut. Hakim akan meminta konfirmasi lisan dari Termohon bahwa ia telah menerima pembayaran secara penuh. Seluruh proses ini, termasuk jumlah yang diserahkan dan pernyataan penerimaan oleh Termohon, dicatat secara detail dalam Berita Acara Sidang (BAS) sebagai bukti otentik bahwa pembayaran telah lunas.

2.       Pembayaran Melalui Transfer Bank

-        Proseudrnya, Pemohon dapat melakukan transfer dana ke rekening bank milik Termohon sebelum hari sidang ikrar talak;

-        Kemudian, pada saat sidang, Pemohon wajib menunjukkan bukti transfer yang valid (misalnya, slip transfer asli, tangkapan layar mobile banking, atau notifikasi transfer yang sah) kepada Majelis Hakim. Hakim kemudian akan melakukan konfirmasi langsung kepada Termohon (apabila hadir) apakah dana tersebut benar telah diterima di rekeningnya. Apabila Termohon membenarkan, atau apabila bukti transfer dianggap sah dan meyakinkan oleh hakim, pembayaran dianggap lunas dan dicatat dalam BAS.

3.       Konsinyasi (Penitipan) di Kepaniteraan Pengadilan

-        Bahwa metode ini diterapkan apabila Termohon tidak hadir dalam sidang ikrar talak meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, atau dalam kasus yang jarang terjadi, Termohon hadir namun menolak untuk menerima pembayaran;

-        Selanjutna, Majelis Hakim akan memerintahkan Pemohon untuk menitipkan (konsinyasi) sejumlah uang kewajibannya melalui kasir Pengadilan Agama. Pemohon akan menyetorkan uang tersebut dan menerima tanda bukti setor/kuitansi resmi dari pengadilan;

-        Kemudian, Pemohon menunjukkan tanda bukti setor konsinyasi tersebut kepada Majelis Hakim di persidangan. Setelah bukti tersebut diverifikasi, kewajiban Pemohon dianggap telah terpenuhi. Majelis Hakim kemudian akan mempersilakan Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak. Selanjutnya, Pengadilan Agama akan memberitahukan kepada Termohon bahwa haknya dapat diambil di kepaniteraan pengadilan.

Pencatatan dalam Administrasi Keuangan Perkara

Setiap transaksi keuangan yang melalui pengadilan, termasuk pembayaran melalui mekanisme konsinyasi, harus dicatat secara akuntabel. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1465/DJA/HK.05/SK/IX/2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Perkara di Lingkungan Peradilan Agama secara Elektronik, yang selanjutnya disebut “Kepdirjen Badilag 1465/2023”, pembayaran yang dititipkan melalui pengadilan akan dicatat dalam sistem administrasi keuangan perkara (e-Keuangan). Secara spesifik, dana tersebut akan dibukukan pada Buku Bantu Biaya Akibat Perceraian atau Buku Bantu Uang Konsinyasi, untuk memastikan transparansi dan kemudahan dalam penyerahannya kepada pihak yang berhak di kemudian hari.1

Akibat Hukum dan Upaya Hukum Apabila Pemohon Wanprestasi

Mekanisme pembayaran sebelum ikrar talak dirancang dengan konsekuensi hukum yang tegas untuk memastikan kepatuhan Pemohon. Namun, apabila Pemohon tetap lalai atau wanprestasi, terdapat akibat hukum yang jelas dan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Termohon.

Apabila Mantan Suami Tidak Membayar

1.        Penundaan Sidang Ikrar Talak

Konsekuensi hukum yang paling utama dan langsung adalah Majelis Hakim akan menunda pelaksanaan sidang ikrar talak. Hakim tidak akan memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrarnya sampai kewajiban pembayaran yang tertera dalam amar putusan dipenuhi secara lunas dan terverifikasi. Penundaan ini dapat dilakukan berulang kali selama masih dalam tenggang waktu yang diizinkan oleh undang-undang;

2.       Gugurnya Kekuatan Hukum Putusan

Apabila Pemohon secara terus-menerus tidak memenuhi kewajiban pembayarannya dan akibatnya tidak mengucapkan ikrar talak dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan hari sidang ikrar talak, maka kekuatan hukum putusan yang memberikan izin talak tersebut menjadi gugur demi hukum. Akibatnya, ikatan perkawinan antara Pemohon dan Termohon tetap utuh dan belum putus secara hukum negara. Pemohon juga tidak dapat lagi mengajukan permohonan cerai talak dengan mendasarkan pada alasan hukum yang sama.

Upaya Hukum yang Dapat Ditempuh Istri

Meskipun sistem ini sudah dirancang untuk melindungi istri, ia tetap memiliki hak untuk melakukan upaya hukum aktif.

1.        Meminta Penundaan Sidang Ikrar Talak

Apabila Pemohon hadir di sidang ikrar talak namun belum atau menolak membayar, Termohon (istri) berhak secara lisan meminta kepada Majelis Hakim untuk tidak melanjutkan agenda pengucapan ikrar talak sampai pembayaran dilunasi. Permintaan ini akan menjadi dasar bagi hakim untuk secara resmi menunda persidangan.

2.       Mengajukan Permohonan Eksekusi (Eksekusi)

Mekanisme pembayaran sebelum ikrar talak sejatinya adalah bentuk eksekusi riil yang disederhanakan untuk menghindari prosedur eksekusi formal. Namun, dalam skenario di mana suami berjanji akan membayar setelah ikrar (dengan persetujuan istri di muka sidang) lalu kemudian ingkar janji, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut tetap dapat dieksekusi. Termohon berhak mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama yang memutus perkara. Prosedur eksekusi akan berjalan sesuai hukum acara perdata yang berlaku (HIR/RBg), yang dapat berujung pada penyitaan dan pelelangan aset milik mantan suami untuk melunasi kewajibannya.

Instrumen Jaminan Tambahan: Penahanan Akta Cerai

Sebagai lapis pengaman tambahan, khususnya dalam perkara cerai gugat namun relevan juga sebagai prinsip dalam cerai talak, SE Dirjen Badilag 1669/2021 menginstruksikan pengadilan untuk dapat menggunakan mekanisme penahanan Akta Cerai sebagai jaminan.

Dalam konteks cerai talak, apabila terdapat kewajiban lain yang pembayarannya bersifat angsuran (misalnya nafkah anak) atau ada kewajiban yang disepakati untuk dibayar setelah ikrar, Majelis Hakim dapat mencantumkan amar yang memerintahkan Panitera untuk menahan penyerahan Akta Cerai kepada Pemohon sampai seluruh kewajibannya lunas.

Tanpa Akta Cerai, Pemohon akan menghadapi kesulitan administratif, misalnya untuk mengubah status kependudukan atau untuk menikah lagi secara resmi. Mekanisme ini memberikan daya paksa yang efektif untuk menjamin kepatuhan Pemohon.

Yurisprudensi Terkait

Praktik penghukuman pembayaran mut’ah dan iddah sebelum ikrar talak telah menjadi bagian dari yurisprudensi tetap di lingkungan Peradilan Agama, yang menunjukkan konsistensi dalam penerapan prinsip perlindungan hukum bagi perempuan.

Analisis Putusan Pengadilan Agama Pontianak

Beberapa putusan dari Pengadilan Agama Pontianak memberikan gambaran empiris mengenai implementasi kebijakan ini dalam berbagai konteks perkara:

(1)     Putusan Pengadilan Agama Pontianak Nomor 491/Pdt.G/2023/PA.Ptk, tertanggal 22 Juni 2023

Dalam perkara ini, proses mediasi berhasil sebagian, di mana para pihak menyepakati jumlah mut’ah (sehelai baju gamis), nafkah iddah (Rp1.500.000), dan nafkah madhiyah (Rp1.000.000). Kesepakatan tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa pembayaran akan “diberikan oleh Pemohon sebelum ikrar talak dijatuhkan”. Majelis Hakim kemudian mengadopsi kesepakatan ini ke dalam amar putusannya, dengan ratio decidendi bahwa hal tersebut merupakan perwujudan keadilan dan didasarkan pada kehendak para pihak sendiri. Putusan ini menunjukkan bagaimana pengadilan mengakomodasi kesepakatan para pihak ke dalam kerangka hukum acara yang berlaku.

(2)     Putusan Pengadilan Agama Pontianak Nomor 528/Pdt.G/2023/PA.Ptk, tertanggal 5 Juni 2023

Putusan ini dijatuhkan secara verstek karena Termohon tidak pernah hadir di persidangan. Meskipun demikian, Majelis Hakim secara ex officio (karena jabatannya) menghukum Pemohon untuk membayar mut’ah sebesar Rp500.000 dan nafkah iddah sebesar Rp1.500.000 “sesaat sebelum ikrar talak diucapkan”. Ratio decidendi putusan ini adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada Termohon meskipun ia tidak hadir, dengan mendasarkan jumlah kewajiban pada pernyataan kesanggupan Pemohon di muka sidang. Kasus ini menegaskan peran aktif hakim dalam melindungi hak-hak perempuan sesuai amanat PERMA 3/2017.

(3)     Putusan Pengadilan Agama Pontianak Nomor 613/Pdt.G/2023/PA.Ptk, tertanggal 5 Juli 2023

Serupa dengan kasus sebelumnya, putusan ini juga dijatuhkan secara verstek. Majelis Hakim kembali secara ex officio menghukum Pemohon untuk membayar mut’ah (Rp2.500.000) dan nafkah iddah (Rp6.000.000) “sebelum ikrar talak diucapkan”. Pertimbangan hukumnya pun sama, yaitu didasarkan pada kesanggupan Pemohon dan demi keadilan bagi Termohon.1

Kaidah Hukum dari Yurisprudensi Mahkamah Agung

Praktik ini bukanlah inovasi baru, melainkan penegasan dari prinsip yang telah lama berkembang dalam yurisprudensi Mahkamah Agung. Salah satu putusan yang menjadi tonggak penting adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 278 K/AG/1997, tertanggal 14 Agustus 1997. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung membentuk kaidah hukum sebagai berikut:

“Setiap perceraian yang terjadi dan istri tidak terbukti nusyuz yang menimbulkan rumah tangga cekcok terus menerus, maka suami dibebani kewajiban untuk membayar nafkah iddah, maskan, kiswah, dan mut’ah kepada istri yang dibayarkan sebelum sidang pengucapan ikrar talak, serta biaya hadhonah untuk anak.”

Yurisprudensi ini menjadi salah satu pilar utama yang melegitimasi praktik penghukuman pembayaran sebelum ikrar talak di pengadilan tingkat pertama. Putusan ini menunjukkan bahwa gagasan untuk menjadikan pemenuhan kewajiban sebagai prasyarat ikrar talak telah menjadi bagian dari penalaran hukum para hakim agung jauh sebelum diformalkan dalam berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung yang terbit belakangan. Hal ini mengukuhkan bahwa mekanisme tersebut bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan sebuah prinsip hukum yang telah teruji dan diakui di tingkat peradilan tertinggi.

Simpulan

Tata cara pembayaran mut’ah dan nafkah iddah yang dihukumkan kepada Pemohon untuk dilaksanakan sebelum pengucapan ikrar talak merupakan sebuah mekanisme hukum acara yang progresif dan fundamental dalam sistem Peradilan Agama di Indonesia.

Mekanisme ini lahir dari ijtihad yudisial yang didasarkan pada kebutuhan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan efektif terhadap hak-hak perempuan pasca-perceraian. Landasan hukumnya kokoh, berakar dari prinsip filosofis-syariah, diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional, dan dikonkretkan melalui kebijakan Mahkamah Agung serta standar operasional prosedur teknis dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.

Prosedur pelaksanaannya dirancang untuk bersifat fleksibel namun tetap tegas dalam substansinya. Pembayaran dapat dilakukan secara tunai di muka sidang, melalui transfer bank yang terverifikasi, atau melalui konsinyasi di kepaniteraan pengadilan.

Apapun metodenya, syarat utamanya adalah pembayaran tersebut harus terbukti lunas sebelum Majelis Hakim mempersilakan Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak. Kegagalan Pemohon untuk memenuhi kewajiban ini dalam batas waktu 6 (enam) bulan akan berakibat pada gugurnya kekuatan hukum putusan izin cerai, yang menegaskan bahwa hak untuk mengikrarkan talak telah bertransformasi menjadi hak bersyarat.

Rekomendasi

Untuk mengoptimalkan efektivitas dan keadilan dari mekanisme ini, beberapa langkah perlu terus didorong:

1.        Sosialisasi Berkelanjutan

Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, melalui unit layanan informasi dan Pos Bantuan Hukum (Posbakum), perlu secara proaktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat pencari keadilan mengenai hak dan kewajiban finansial pasca-perceraian serta mekanisme pemenuhannya. Hal ini akan memberdayakan para pihak, khususnya perempuan, untuk dapat merumuskan tuntutannya secara jelas dan benar dalam surat gugatan atau jawaban rekonvensi;

2.       Konsistensi Penerapan oleh Hakim

Para hakim diharapkan untuk secara konsisten menerapkan mekanisme ini dalam setiap perkara cerai talak, termasuk dalam putusan verstek, dengan menggunakan kewenangan ex officio-nya untuk menetapkan kewajiban-kewajiban tersebut. Konsistensi ini akan membangun yurisprudensi yang kuat dan menciptakan persepsi publik bahwa pengadilan adalah garda terdepan dalam melindungi hak-hak Perempuan;

3.      Penguatan Sistem Administrasi

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama perlu terus menyempurnakan sistem administrasi perkara secara elektronik, khususnya dalam modul keuangan (e-Keuangan), untuk memfasilitasi proses konsinyasi dan pelaporan pembayaran secara transparan dan akuntabel, sehingga memudahkan pengawasan dan eksekusi.

Dengan demikian, sinergi antara penegakan aturan yang tegas, pemahaman filosofis yang mendalam, dan dukungan sistem administrasi yang andal akan semakin mengukuhkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan yang modern, efektif, dan berkeadilan gender.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1984), 1401.

[2] Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1990), 551.

[3] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 9 (Jakarta: Gema Insani, 2011), 285.

[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyes Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak (Jakarta: Amzah, 2011), 207.

[5] Munawwir, Kamus al-Munawwir, 1449.

[6] Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), 383.

[7] Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, alih bahasa Mahyuddin Syaf (Jakarta: Dar Al-Fikri, 1983), cet. 1, 147.

[8] Ayyub, Fikih Keluarga, 400.

[9] Abdul Moqsith Ghazali, “Iddah dan Ihdad dalam Islam: Pertimbangan Legal Formal dan Etik Moral,” dalam Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda (2015), 43.