Pertanyaan
Selamat Sore Pak,
Izin Pak saya mau bertanya. Saya berencana mengurus perceraian, namun saya
mengerti bahwa sebagai anggota TNI (atau istri anggota TNI), kami tunduk pada
aturan khusus dan tidak bisa serta-merta mendaftarkan gugatan ke Pengadilan
seperti warga sipil biasa.
Saya mendengar ada
kewajiban mendapatkan izin tertulis dari Komandan/Atasan terlebih dahulu dan
harus melalui tahapan mediasi di satuan. Mohon penjelasannya Pak, bagaimana
sebenarnya prosedur dan ketentuan hukum yang benar, mulai dari pengajuan izin
di tingkat kesatuan hingga proses di pengadilan, agar langkah saya sah secara
hukum dan tidak menimbulkan sanksi disiplin di kemudian hari? Terima kasih Pak.
Jawaban
Pengantar
Dalam hukum di
Indonesia, prajurit TNI memiliki posisi yang berbeda dari warga negara pada
umumnya. Sebagai warga negara, mereka tetap memiliki hak-hak pribadi, seperti
hak untuk menikah dan membentuk keluarga.
Namun, karena
mereka juga adalah anggota militer yang sudah mengangkat sumpah untuk setia dan
menjalankan tugas negara, hak-hak tersebut tidak bisa dijalankan secara bebas.
Ada aturan khusus yang membatasi dan mengatur kehidupan mereka, termasuk soal
perkawinan. Akibatnya, aturan perkawinan umum harus berjalan berdampingan
dengan aturan kedinasan dan disiplin militer.
Prajurit TNI tidak
hanya tunduk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019, yang selanjutnya disebut “UU
tentang Perkawinan”. Mereka juga terikat secara ketat pada berbagai
aturan internal TNI yang mengatur tata tertib, etika, serta administrasi
personel.
Pengaturan ini
didasarkan pada pemahaman bahwa kondisi rumah tangga seorang prajurit
berpengaruh langsung terhadap kesiapan bertugas, stabilitas mental, dan moral
perjuangan mereka dalam menjaga pertahanan negara.
Negara menilai
bahwa keluarga prajurit merupakan bagian penting dari sistem pendukung
keberhasilan tugas militer. Rumah tangga yang harmonis dan stabil diyakini
dapat memberikan ketenangan dan fokus bagi prajurit di medan tugas. Sebaliknya,
konflik rumah tangga yang berkepanjangan atau perceraian dipandang sebagai
potensi gangguan serius yang dapat menurunkan disiplin, konsentrasi, dan
profesionalisme.
Atas dasar itu,
institusi TNI menerapkan mekanisme pengawasan yang ketat dan berjenjang
terhadap setiap perubahan status perkawinan anggotanya, termasuk izin untuk
bercerai. Seluruh pengaturan ini dimaksudkan untuk menjaga disiplin, kehormatan
korps, dan ketertiban administrasi personel sesuai mandat berbagai peraturan
internal TNI.
Artikel ini akan
menguraikan secara deskriptif, komprehensif, dan analitis mengenai ketentuan
hukum yang mengatur proses perceraian bagi prajurit TNI. Pembahasan disusun
untuk memberikan gambaran yang utuh, mulai dari landasan yuridis yang menjadi
dasar pengaturannya, mekanisme perizinan berjenjang yang wajib ditempuh, proses
pemeriksaan internal yang menentukan kelayakan permohonan, hingga fungsi dan
relevansi surat izin atasan dalam proses persidangan di pengadilan.
Selain itu,
artikel ini juga akan menjelaskan konsekuensi hukum serta potensi sanksi
administratif, etik, maupun disiplin bagi anggota TNI yang tidak mematuhi
prosedur tersebut. Analisis ini diperkaya dengan contoh kasus berdasarkan
putusan pengadilan yang relevan agar pembaca memperoleh pemahaman faktual
mengenai bagaimana aturan tersebut diterapkan dalam praktik.
Landasan Yuridis dan Kewajiban Izin Atasan
Dalam hierarki
peraturan perundang-undangan di lingkungan TNI, peraturan perundang-undangan
mengenai perkawinan dan perceraian merupakan turunan langsung dari perintah
undang-undang. Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang TNI”,
secara eksplisit menyatakan bahwa perkawinan, perceraian, dan rujuk bagi
setiap prajurit dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya,
pada ayat (2) ditegaskan bahwa pelaksanaannya diatur dengan keputusan
Panglima.
Sebagai
implementasi dari amanat tersebut, Panglima TNI menerbitkan Peraturan
Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor 50 Tahun 2014 tentang Tata Cara
Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Prajurit, yang selanjutnya
disebut dengan “Perpang TNI Nomor 50 Tahun 2014”. Peraturan
ini menjadi lex specialis yang mengatur tata cara
administratif dan persyaratan substantif yang harus dipenuhi oleh setiap
prajurit TNI—baik Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), maupun Angkatan
Udara (AU)—sebelum mereka dapat melangkah ke gerbang pengadilan agama atau
pengadilan negeri untuk memutus ikatan perkawinan.
Kewajiban Memperoleh Izin Tertulis: Sebuah Imperatif Mutlak
Inti dari
mekanisme pengendalian perceraian di lingkungan TNI terletak pada kewajiban
memperoleh izin. Pasal 13 ayat (1) Perpang TNI Nomor 50 Tahun 2014
menegaskan secara lugas:
“Prajurit yang akan melaksanakan perceraian
harus mendapat izin tertulis terlebih dahulu dari Komandan/Atasan yang
bersangkutan”.
Penggunaan frasa “harus”
dan “terlebih dahulu” menunjukkan sifat imperatif dari ketentuan ini.
Artinya, tidak ada ruang diskresi bagi prajurit untuk mengajukan gugatan
cerai ke pengadilan tanpa mengantongi lembaran surat izin yang sah dari
komandannya. Tindakan mendaftarkan perkara perceraian tanpa izin atasan
dikategorikan sebagai tindakan indisipliner dan pembangkangan terhadap
peraturan kedinasan.
Kewajiban ini
tidak hanya berlaku bagi prajurit yang berinisiatif mengajukan perceraian (baik
sebagai Penggugat atau Pemohon), tetapi juga bagi prajurit yang berada dalam
posisi digugat cerai oleh pasangannya (sebagai Tergugat atau Termohon). Pasal
14 ayat (1) Perpang TNI Nomor 50 Tahun 2014 mengatur bahwa gugatan
perceraian terhadap Prajurit oleh suami/istri harus terlebih dahulu mendapat
Surat Izin Cerai dari Komandan/Atasan yang bersangkutan.
Logika hukum di
balik ketentuan ini adalah bahwa institusi TNI memiliki kepentingan langsung
terhadap status hukum anggotanya. Komandan satuan perlu mengetahui permasalahan
yang dihadapi anak buahnya agar dapat memberikan bantuan, pembinaan, atau
mediasi sebelum masalah tersebut bergulir menjadi sengketa hukum di pengadilan.
Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa prajurit mendapatkan
perlindungan hukum dan hak-haknya terjaga selama proses perceraian
berlangsung.
Pentingnya izin
tertulis ini diperkuat oleh Pasal 7 Perpang TNI Nomor 50 Tahun 2014
yang mewajibkan pasangan suami/istri yang hendak bercerai untuk mengajukan
permohonan izin cerai kepada Komandan/Atasan di Satuannya. Kewajiban
ini bersifat administratif namun memiliki implikasi yuridis yang mendalam.
Tanpa adanya surat izin, Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri akan
menghadapi kendala prosedural dalam memproses perkara tersebut, sebagaimana
akan dibahas lebih lanjut pada bagian mengenai Surat Edaran Mahkamah
Agung.
Persyaratan Substantif Pemberian Izin
Pemberian izin
cerai oleh pejabat yang berwenang bukanlah proses otomatis atau sekadar
formalitas stempel. Izin tersebut merupakan hasil dari sebuah proses
pertimbangan yang matang, yang didasarkan pada parameter hukum dan agama. Pasal
13 ayat (2) Perpang TNI Nomor 50 Tahun 2014 menetapkan syarat
limitatif bahwa izin cerai hanya diberikan apabila perceraian yang akan
dilakukan itu tidak bertentangan dengan hukum agama dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini mensyaratkan adanya
harmonisasi antara hukum positif negara, hukum agama yang dianut prajurit, dan
kepentingan kedinasan.
Dalam konteks ini,
alasan perceraian yang diajukan prajurit haruslah alasan yang memiliki landasan
hukum yang kuat (legal reasoning) sesuai dengan Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang selanjutnya
disebut dengan “PP tentang Pelaksanaan UU Perkawinan”, serta Pasal
116 Kompilasi Hukum Islam yang selanjutnya disebut “KHI” bagi
yang beragama Islam. Alasan-alasan seperti pertengkaran terus-menerus (syiqaq),
zina, mabuk, madat, judi, meninggalkan pasangan, dihukum penjara, atau
kekejaman, harus dapat dibuktikan secara internal sebelum izin diterbitkan.
Lebih lanjut, Pasal
13 ayat (3) Perpang TNI Nomor 50 Tahun 2014 memberikan panduan
filosofis bahwa izin cerai pada prinsipnya diberikan kepada prajurit apabila
perkawinan yang telah dilakukannya tidak memberikan manfaat ketenteraman jiwa
dan kebahagiaan hidup sebagai suami istri. Frasa ini menggarisbawahi
bahwa perceraian dipandang sebagai jalan keluar terakhir (ultimum remedium)
ketika tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah,
wa rahmah sudah tidak mungkin lagi tercapai, dan mempertahankan
perkawinan justru akan mendatangkan mudarat yang lebih besar bagi kedua belah
pihak maupun bagi kedinasan.
Untuk memastikan
objektivitas penilaian, Pasal 13 ayat (4) Perpang TNI Nomor 50 Tahun 2014
mewajibkan bahwa izin cerai harus mendapatkan pernyataan tertulis dari Pejabat
Agama. Pejabat Agama di lingkungan TNI (Perwira Rohani/Paroh) memiliki
peran vital sebagai ahli yang memberikan tinjauan dari perspektif spiritual.
Mereka bertugas melakukan konseling, memeriksa dalil-dalil agama yang
digunakan, dan memberikan rekomendasi apakah perceraian tersebut dapat
dibenarkan secara syar’i atau teologis. Pendapat tertulis ini menjadi
salah satu dokumen wajib yang harus dilampirkan dalam berkas permohonan izin
kepada komandan.
Mekanisme Pemeriksaan Internal dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
Proses pengajuan
izin cerai di TNI melibatkan prosedur birokrasi yang ketat dan sistematis. Hal
ini diatur untuk mencegah perceraian yang impulsif dan memastikan bahwa setiap
keputusan didasarkan pada fakta yang terverifikasi.
Penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
Sebagaimana diatur
dalam Pasal 15 ayat (1) Perpang TNI Nomor 50 Tahun 2014,
permohonan izin cerai dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
bagi suami dan/atau istri. BAP ini disusun oleh staf personel atau pejabat
hukum/intelijen di satuan. Proses penyusunan BAP ini mirip dengan proses
penyidikan dalam perkara pidana atau disiplin, di mana prajurit dan pasangannya
akan dimintai keterangan secara terpisah maupun dikonfrontir jika
diperlukan.
Dalam BAP
tersebut, pemeriksa akan menggali secara mendalam mengenai:
1.
Kronologi Permasalahan yaitu kapan
pertengkaran dimulai, apa pemicunya, dan seberapa sering terjadi;
2.
Upaya Perdamaian yaitu langkah apa
saja yang sudah ditempuh oleh kedua belah pihak untuk memperbaiki hubungan;
3.
Kondisi Faktual Rumah Tangga yaitu apakah
masih tinggal serumah, bagaimana pemenuhan nafkah, dan bagaimana kondisi
anak-anak;
4.
Alasan Perceraian yaitu verifikasi
terhadap alasan yang diajukan, apakah sesuai dengan fakta atau hanya rekayasa;
dan
5.
Kesepakatan Dampak Perceraian, ini
terkait dengan rencana pembagian harta bersama dan pengasuhan anak.
Pemeriksaan ini
juga mencakup aspek kepribadian prajurit. Pejabat pemeriksa akan menilai apakah
prajurit tersebut memiliki masalah perilaku lain yang berkontribusi terhadap
keretakan rumah tangga, seperti pelanggaran disiplin, gaya hidup boros, atau
pelanggaran asusila. Hasil dari pemeriksaan ini akan menjadi dasar pertimbangan
bagi Komandan dalam memberikan keputusan.
Dalam lingkungan
TNI Angkatan Darat, Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat Nomor
Kep/496/VII/2015 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Perkawinan, Perceraian dan
Rujuk Bagi Prajurit TNI AD, yang selanjutnya disebut dengan “Kep
Kasad Nomor Kep/496/VII/2015”, memberikan panduan teknis yang lebih
rinci. Keputusan ini mensyaratkan adanya Surat Keterangan Personalia yang
memuat rekam jejak prajurit, serta kewajiban pemeriksaan mental rohani sebagai
prasyarat administratif. Dokumen-dokumen ini, beserta pendapat
Pejabat Agama, disatukan dalam satu berkas usulan izin cerai yang diajukan
secara hierarkis.
Kewenangan Berjenjang dalam Pemberian Izin
TNI menerapkan
prinsip komando yang tegak lurus, termasuk dalam hal kewenangan administratif
pemberian izin cerai. Tidak sembarang komandan dapat menandatangani surat izin
cerai; kewenangan ini didistribusikan secara berjenjang sesuai dengan pangkat
dan jabatan prajurit yang bersangkutan. Pasal 20 Perpang TNI Nomor 50
Tahun 2014 mengatur stratifikasi kewenangan ini sebagai berikut:
1.
Presiden Republik Indonesia
Memegang kewenangan tertinggi untuk
memberikan izin cerai bagi Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan. Hal ini
mencerminkan status pejabat tinggi negara yang melekat pada pimpinan puncak TNI;
2.
Panglima TNI
Berwenang memberikan izin bagi
Perwira Tinggi (Pati) di lingkungan Mabes TNI dan Angkatan;
3.
Kepala Staf Angkatan
Berwenang memberikan izin bagi
Perwira Menengah (Pamen) berpangkat Kolonel di lingkungan Angkatan
masing-masing;
4.
Asisten Personel (Aspers) Panglima
TNI/Angkatan, Pangkotama, Danjen, Gubernur Akmil, Danrem
Berwenang memberikan izin bagi Pamen
berpangkat Letnan Kolonel dan Mayor, serta Perwira Pertama (Pama) ke bawah di
lingkungan masing-masing;
5.
Komandan/Kepala Satuan Kerja
(Dan/Kasatker)
Bagi Bintara dan Tamtama, kewenangan
pemberian izin cerai didelegasikan kepada Komandan atau Kepala Satuan Kerja
yang memiliki kewenangan sebagai Perwira Penyerah Perkara (Papera) atau Atasan
yang Berhak Menghukum (Ankum) dengan kewenangan penuh.
Pembagian
kewenangan ini bertujuan untuk memastikan bahwa keputusan perceraian yang
melibatkan perwira menengah dan tinggi mendapatkan atensi dari pimpinan level
strategis, mengingat dampaknya yang mungkin lebih luas terhadap citra
institusi. Sedangkan untuk level Bintara dan Tamtama, kewenangan diberikan
kepada komando taktis untuk efisiensi dan efektivitas pembinaan personel di
lapangan.
Mediasi Komando: Kewajiban Mendamaikan
Sebelum proses
administrasi izin cerai bergulir ke meja pejabat yang berwenang, Komandan atau
Atasan Langsung memiliki kewajiban moral dan hukum untuk melakukan upaya
perdamaian. Pasal 14 ayat (2) Perpang TNI Nomor 50 Tahun 2014
mengamanatkan bahwa Komandan/Atasan yang bersangkutan setelah menerima
laporan gugatan perceraian segera mengadakan usaha-usaha untuk mendamaikan
kedua pihak. Proses ini sering disebut sebagai “Mediasi Komando”.
Dalam praktiknya,
Komandan Satuan akan memanggil prajurit dan istri/suaminya untuk duduk bersama
dalam forum tertutup. Komandan akan bertindak sebagai mediator, mendengarkan
keluhan dari kedua belah pihak, dan memberikan nasihat-nasihat yang bersifat
kebapakan serta mengingatkan kembali tentang Sumpah Prajurit dan dampak negatif
perceraian bagi karier dan anak-anak. Upaya ini harus dilakukan secara
sungguh-sungguh dan tercatat.
Apabila upaya
damai berhasil, maka dibuatkan surat pernyataan rujuk dan proses perceraian
dihentikan. Namun, apabila mediasi gagal dan kedua belah pihak tetap bersikeras
untuk bercerai, Komandan wajib membuat surat keterangan yang menyatakan
bahwa upaya perdamaian telah dilakukan namun tidak berhasil.
Surat keterangan
ini menjadi salah satu syarat mutlak dalam kelengkapan berkas pengajuan izin
cerai. Hal ini sejalan dengan prinsip yang dianut dalam Pasal 16
Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2017 tentang
Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian
Pertahanan, yang selanjutnya disebut dengan “Permenhan Nomor 31
Tahun 2017”, yang juga menekankan kewajiban pejabat kepegawaian
untuk melakukan mediasi sebelum mengambil keputusan.
Implikasi Hukum Surat Izin dalam Proses Peradilan
Keberadaan surat
izin cerai dari atasan bukan hanya persyaratan administratif internal TNI,
melainkan telah menjadi syarat formil yang diadopsi oleh lembaga peradilan di
Indonesia. Hal ini menunjukkan sinergi antara hukum disiplin militer dan hukum
acara peradilan agama/perdata.
SEMA Nomor 10 Tahun 2020: Penghambat atau Pengaman?
Mahkamah Agung
Republik Indonesia melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung Tahun 2020 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan,
yang selanjutnya disebut dengan “SEMA Nomor 10 Tahun 2020”,
memberikan penegasan hukum yang sangat krusial. Dalam Rumusan Hukum Kamar
Agama Angka 1 huruf c dan Rumusan Hukum Kamar Perdata Angka 5,
dinyatakan secara eksplisit bahwa permohonan atau gugatan perceraian dari
anggota TNI/Polri maupun pasangannya harus melampirkan surat
izin/pemberitahuan perceraian dari pejabat yang berwenang.
Ketentuan dalam
SEMA ini memiliki implikasi hukum acara yang signifikan dan mengikat para
hakim:
1.
Penundaan Persidangan
Apabila pada saat pendaftaran perkara
atau pada sidang pertama surat izin cerai belum dilampirkan, Majelis
Hakim wajib menunda persidangan selama 6 (enam) bulan. Penundaan
ini bukan sekadar penundaan biasa, melainkan penundaan yang diperintahkan
secara spesifik untuk memberikan waktu bagi prajurit mengurus izin tersebut.
2.
Pemberitahuan kepada Atasan
Selama masa penundaan tersebut,
pengadilan wajib memberitahukan secara resmi kepada atasan langsung
Pemohon/Penggugat/Termohon/Tergugat mengenai adanya gugatan perceraian
tersebut. Hal ini memastikan bahwa satuan militer mengetahui adanya proses
hukum yang melibatkan anggotanya.
3.
Konsekuensi Ketiadaan Izin
Apabila setelah masa penundaan
6 bulan berakhir surat izin belum juga diperoleh, barulah pengadilan dapat
melanjutkan pemeriksaan perkara. Namun, hakim akan mencatat ketiadaan izin ini
sebagai fakta persidangan yang dapat mempengaruhi pertimbangan hakim, terutama
terkait iktikad baik para pihak.
Ketentuan ini
secara efektif menutup celah bagi prajurit untuk melakukan “jalan pintas”
dengan mengajukan cerai secara diam-diam tanpa sepengetahuan komandan. Prajurit
yang mencoba melanggar prosedur ini akan menghadapi hambatan prosedural di
pengadilan yang menyebabkan proses perceraian menjadi berlarut-larut (stagnan)
selama setengah tahun. Selain itu, tindakan tersebut akan terungkap ketika
pengadilan mengirimkan surat pemberitahuan kepada atasan, yang pada gilirannya
akan memicu proses hukum disiplin di satuan.
Putusan Pengadilan: Studi Kasus PA Probolinggo
Untuk memahami
bagaimana ketentuan ini diterapkan secara riil di ruang sidang, kita dapat
merujuk pada Putusan Pengadilan Agama Probolinggo Nomor
58/Pdt.G/2024/PA.Prob tertanggal 1 April 2024. Dalam perkara ini,
seorang Perwira Pertama TNI AD berpangkat Letnan Dua (Letda) mengajukan
permohonan cerai talak terhadap istrinya.
Putusan ini
mengungkapkan beberapa poin penting mengenai penerapan hukum perceraian bagi
anggota TNI:
-
Legal Standing dan Izin Atasan
Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya secara cermat memeriksa
kelengkapan administratif yang diajukan oleh Pemohon. Salah satu bukti kunci
yang dipertimbangkan adalah bukti bertanda P.4 yaitu Fotokopi Surat
Izin Cerai Nomor SIC/1/1/2024 Tanggal 11 Januari 2024 yang dikeluarkan oleh
Komandan Rindam IX/Udayana. Keberadaan surat ini menjadi bukti bahwa
Pemohon telah menempuh prosedur internal yang sah dan telah mendapatkan “restu”
institusi untuk bercerai. Hal ini memperkuat kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon di hadapan pengadilan agama dan membuktikan bahwa ia tidak melanggar
disiplin militer dalam mengajukan permohonan tersebut;
-
Pertimbangan Hakim atas Alasan
Perceraian
Hakim memeriksa dalil-dalil gugatan yang meliputi nusyuz (ketidaktaatan
istri), masalah hutang piutang istri yang membebani suami tanpa sepengetahuan
suami, dan fakta adanya pisah rumah yang berkepanjangan. Fakta bahwa atasan
Pemohon telah mengeluarkan izin cerai secara implisit memberikan sinyal kepada hakim
bahwa secara kedinasan, upaya pembinaan telah gagal dan alasan-alasan yang
diajukan Pemohon dianggap cukup kuat dan rasional oleh pimpinan militer. Izin
atasan berfungsi sebagai validasi awal terhadap substansi gugatan;
-
Perhitungan Nafkah dan Transparansi
Gaji
Putusan ini juga menyoroti transparansi administrasi keuangan TNI. Hakim
menggunakan data slip gaji (Bukti P.6/TR.2) yang menunjukkan gaji pokok dan
tunjangan kinerja prajurit untuk menghitung kemampuan finansialnya secara
proporsional. Dalam putusan tersebut, hakim menetapkan nafkah anak sebesar
Rp2.000.000,00 per bulan, dengan mempertimbangkan struktur gaji TNI yang
terukur. Hal ini menunjukkan bahwa status sebagai prajurit TNI dengan
penghasilan yang jelas (gaji dan remunerasi) memudahkan hakim dalam memberikan
putusan yang adil dan eksekutabel terkait kewajiban finansial
pascacerai.
Administrasi Pasca Perceraian dan Kewajiban Finansial
Proses hukum
perceraian tidak berhenti pada saat palu hakim diketuk atau akta cerai
diterbitkan. Bagi prajurit TNI, terdapat rangkaian kewajiban administratif
lanjutan yang harus diselesaikan di satuannya untuk menjamin tertib
administrasi dan kepatuhan hukum.
Penyerahan Salinan Putusan dan Akta Cerai
Pasal 17 ayat (1)
Perpang TNI Nomor 50 Tahun 2014 mewajibkan
prajurit untuk menyerahkan salinan putusan cerai serta salinan izin cerai
kepada pejabat personalia untuk keperluan administrasi personel, keuangan, dan
pembaruan data dalam sistem administrasi TNI. Kewajiban ini bersifat
segera dan penting. Penyerahan dokumen ini menjadi dasar bagi pejabat
personalia untuk memperbarui Riwayat Hidup (RH) prajurit, mengubah status
perkawinan dari “Kawin” menjadi “Duda/Janda” dalam basis data
Sisfopers.
Implikasi dari
pembaruan data ini sangat luas, terutama terkait hak-hak keuangan. Tunjangan
suami/istri yang sebelumnya diterima harus dihentikan terhitung mulai bulan
berikutnya setelah perceraian berkekuatan hukum tetap.
Keterlambatan
dalam melaporkan perceraian dapat menyebabkan terjadinya “keterlanjuran bayar”
(tunjangan tetap cair padahal sudah cerai), yang merupakan pelanggaran
administrasi keuangan negara.
Apabila hal ini
terjadi, prajurit wajib mengembalikan kelebihan pembayaran tersebut ke kas
negara melalui mekanisme Tuntutan Perbendaharaan (TP) atau Tuntutan Ganti Rugi
(TGR). Selain itu, perubahan status juga berdampak pada hak rawatan dinas
kesehatan bagi mantan istri/suami yang otomatis terhenti, serta perubahan data
dalam Kartu Penunjukan Istri/Suami (KPI/KPS) yang berkaitan dengan hak
pensiun/Warakawuri di masa depan.
Eksekusi Kewajiban Nafkah dan Harta Bersama
Terkait dengan
akibat hukum perceraian seperti kewajiban nafkah pascacerai (nafkah iddah,
mut'ah), nafkah anak, pembagian harta bersama (gono-gini), dan pengaturan hak
asuh anak, Pasal 17 ayat (2) Perpang TNI Nomor 50 Tahun 2014
menegaskan bahwa hal-hal tersebut dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap. Ketentuan ini menegaskan bahwa institusi TNI
menghormati supremasi hukum pengadilan dalam memutus sengketa perdata.
Institusi TNI
tidak mengintervensi besaran nafkah atau pembagian harta yang diputuskan hakim.
Namun, TNI berperan aktif sebagai fasilitator dan eksekutor administratif untuk
memastikan prajurit mematuhi putusan tersebut. Misalnya, jika Pengadilan Agama
memutuskan prajurit wajib membayar nafkah anak sebesar Rp2.000.000,00 per
bulan, dan prajurit tersebut lalai atau enggan membayar, maka mantan istri
dapat melaporkan hal tersebut kepada Komandan Satuan dengan melampirkan bukti
putusan.
Berdasarkan
laporan tersebut, Komandan Satuan dapat memerintahkan Perwira Keuangan (Pekas)
atau Juru Bayar untuk melakukan pemotongan gaji prajurit secara langsung
(potongan kemplang) guna diserahkan kepada anak atau mantan istri. Mekanisme
ini merupakan bentuk jaminan institusi terhadap kesejahteraan keluarga
prajurit, agar anak-anak prajurit tidak terlantar akibat perceraian orang
tuanya.
Penolakan Izin Cerai dan Sanksi Pelanggaran
Perlu dipahami
bahwa pengajuan izin cerai tidak selalu berujung pada persetujuan. Institusi
TNI memiliki wewenang diskresioner untuk menolak permohonan izin cerai
berdasarkan pertimbangan moral, etika, agama, dan kepentingan dinas.
Kriteria Penolakan Izin
Sebagaimana
ketentuan Pasal 16 Perpang TNI Nomor 50 Tahun 2014 mengatur
secara spesifik alasan-alasan yang dapat menjadi dasar penolakan izin cerai,
yaitu:
1.
Bertentangan dengan Hukum Agama
Apabila alasan perceraian yang
diajukan dianggap tidak sah atau dilarang menurut hukum agama yang dianut
prajurit. Misalnya, alasan yang remeh-temeh atau hanya didasari hawa nafsu
tanpa udzur syar'I;
2.
Alasan Tidak Kuat atau Dibuat-buat
Apabila hasil pemeriksaan BAP
menunjukkan bahwa alasan yang dikemukakan prajurit tidak didukung fakta yang
kuat, atau terindikasi adanya rekayasa alasan demi mendapatkan izin (misalnya
pura-pura bertengkar);
3.
Dipandang Tidak Layak secara
Kedinasan
Apabila perceraian tersebut dinilai
akan merendahkan martabat institusi atau mengganggu pelaksanaan
tugas.
Selain itu,
merujuk pada Pasal 9 Permenhan Nomor 31 Tahun 2017 dan Pasal
11 Peraturan Kepala Staf Angkatan Laut Nomor 29 Tahun 2022 tentang Tata Cara
Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Sipil TNI Angkatan Laut,
yang selanjutnya disebut dengan “Perkasal Nomor 29 Tahun 2022”,
penolakan juga dapat dilakukan jika perceraian tersebut dipandang akan
mengakibatkan kerugian terhadap nama baik Pegawai Kemhan/TNI, lembaga, atau
negara, baik langsung maupun tidak langsung, atau jika alasan yang dikemukakan
bertentangan dengan akal sehat. Keputusan penolakan ini bersifat final
dalam ranah administrasi, dan prajurit wajib mematuhinya. Surat Penolakan
Permohonan Izin Cerai akan diterbitkan sesuai format yang berlaku (misalnya
Contoh 12 dalam Lampiran Kep Kasad 496/2015).
Sanksi Disiplin dan Administratif yang Berat
Pelanggaran
terhadap prosedur perceraian bukan sekadar kesalahan administrasi, melainkan
pelanggaran disiplin militer yang serius. Pasal 22 ayat (1) Perpang TNI
Nomor 50 Tahun 2014 menyatakan dengan tegas bahwa pelanggaran terhadap
ketentuan dalam peraturan ini adalah pelanggaran hukum disiplin militer dan
diancam dengan hukuman disiplin militer yang diikuti dengan sanksi
administratif.
Bentuk-bentuk
pelanggaran yang sering terjadi dan dapat dikenai sanksi antara lain:
-
Melakukan perceraian di pengadilan
tanpa mengantongi surat izin dari atasan;
-
Memalsukan tanda tangan atasan atau
dokumen lain untuk memuluskan proses perceraian;
-
Menikah lagi (siri maupun resmi)
padahal proses perceraian dengan istri pertama belum tuntas secara hukum
kedinasan maupun negara (poliandri/poligami liar); dan
-
Melakukan tindakan “kumpul kebo”
(hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah) dengan wanita/pria lain selama
proses perceraian.
Sanksi yang
dijatuhkan merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2014 tentang Hukum Disiplin Militer, yang dapat berupa teguran,
penahanan ringan, hingga penahanan berat. Lebih jauh lagi, Pasal 23 Perpang TNI
Nomor 50 Tahun 2014 memberikan ancaman sanksi yang sangat berat bagi prajurit
yang melanggar ketentuan Pasal 5 (larangan hidup bersama tanpa ikatan sah),
yaitu dapat diberhentikan dari dinas TNI atau Pemecatan Dengan
Tidak Hormat (PDTH). Selain sanksi disiplin, prajurit juga akan menghadapi
sanksi administratif berupa penundaan kenaikan pangkat (UKP), penundaan
pendidikan pengembangan umum (Dikbangum), atau mutasi jabatan yang bersifat
demosi, yang secara langsung akan menghambat karier
keprajuritannya.
Relevansi Petunjuk Teknis Matra Darat dan Laut
Meskipun Perpang
TNI Nomor 50 Tahun 2014 menjadi payung hukum utama, masing-masing angkatan
memiliki petunjuk teknis (Juknis) untuk mengoperasionalisasikan aturan tersebut
sesuai dengan karakteristik matra.
TNI Angkatan Darat (TNI AD)
Di lingkungan TNI
AD, keberlakuan Petunjuk Teknis Tata Cara Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi
Prajurit TNI AD berdasarkan Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat Nomor
Kep/496/VII/2015 sangat dominan. Juknis ini memuat tata urut mekanisme yang
sangat detail, mulai dari format surat permohonan izin cerai (Contoh 6), surat
persetujuan, surat keterangan personalia, hingga kewajiban pemeriksaan mental
rohani. Lampiran keputusan ini menyediakan formulir-formulir resmi seperti
Surat Izin Mengajukan Gugatan Perceraian (Contoh 11) dan Surat Penolakan
Permohonan (Contoh 12) yang menjadi standar baku administrasi di seluruh satuan
TNI AD.
Surat Telegram
Danrem 143/HO Nomor ST/15/2021 tertanggal 22 Januari 2021 juga memberikan
penekanan ulang bahwa proses perizinan perceraian harus dilaksanakan melalui
Penelitian Personel (Litpers) secara ketat, teliti, dan adil. Tujuannya adalah
untuk memastikan alasan perceraian benar-benar sesuai dengan UU Perkawinan dan
tidak merugikan kepentingan dinas. Para Komandan Satuan diperintahkan untuk
bertanggung jawab penuh atas permohonan perceraian anggotanya dan melakukan
upaya maksimal untuk mencegah perceraian.
TNI Angkatan Laut (TNI AL)
Bagi personel di
lingkungan TNI AL, berlaku Peraturan Kepala Staf Angkatan Laut Nomor 29 Tahun
2022 tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri
Sipil TNI Angkatan Laut. Meskipun judulnya menyebut PNS, secara substansi dan
prinsip mutatis mutandis aturan ini sejalan dengan ketentuan
bagi prajurit TNI AL. Pasal 17 peraturan ini mengatur syarat izin cerai yang
mirip dengan Perpang TNI, namun dengan penekanan khusus pada peran Pejabat
Peneliti Personel (Intelijen/Pam) dalam memberikan rekomendasi keamanan (Security
Clearance) dan Pejabat Agama dalam memberikan konseling sebelum izin
diterbitkan oleh pejabat yang berwenang seperti Aspers Kasal atau
Pangkotama.
Penutup: Kepatuhan sebagai Manifestasi Integritas
Dari uraian
komprehensif di atas, dapat disimpulkan bahwa mengurus perceraian bagi anggota
TNI bukanlah perkara sederhana yang hanya melibatkan dua individu suami-istri.
Ia adalah proses hukum yang kompleks yang melibatkan interseksi antara hukum
perdata nasional, hukum agama, hukum administrasi negara, dan hukum disiplin
militer. Ketatnya prosedur yang diterapkan, mulai dari kewajiban izin atasan,
pemeriksaan BAP, mediasi komando, hingga ancaman sanksi berat, mencerminkan
betapa seriusnya institusi TNI memandang keutuhan rumah tangga prajurit sebagai
aset strategis pertahanan negara.
Pentingnya
kepatuhan penuh terhadap tata cara perceraian ini tidak dapat ditawar. Bagi
prajurit, menaati prosedur ini adalah bagian dari implementasi Sumpah Prajurit
untuk taat kepada atasan dan hukum. Mengabaikannya tidak hanya akan menghambat
proses hukum di pengadilan agama/negeri akibat pemberlakuan SEMA Nomor 10 Tahun
2020, tetapi juga membuka peluang jatuhnya sanksi disiplin yang dapat
menghancurkan karier militer yang telah dibangun dengan susah payah.
Oleh karena itu,
langkah terbaik dalam menghadapi kemelut rumah tangga adalah dengan bersikap
transparan kepada satuan, mengikuti arahan komando, dan menempuh jalur prosedur
legal formal yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan demi
menjamin sahnya proses perceraian menurut hukum negara, menjaga integritas
serta kehormatan jabatan militer, serta memastikan terpenuhinya tertib
administrasi kedinasan.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


