layananhukum

Ketentuan Hukum Penahanan Ijazah: Apakah Termasuk Ranah Pidana?

 

Pertanyaan

Selamat Siang Kak, mau nanya. Saya Rian (19 tahun), lulusan baru SMA. Tiga bulan lalu saya diterima bekerja sebagai pramuniaga di sebuah toko retail. Saat penandatanganan kontrak, HRD meminta ijazah asli SMA saya sebagai 'jaminan keseriusan' bekerja selama 2 tahun. Di dalam kontrak memang tertulis klausul: 'Pihak Kedua bersedia menitipkan ijazah asli selama masa kontrak. Apabila mengundurkan diri sebelum 2 tahun, wajib membayar denda penalti Rp 5.000.000,- untuk mengambil kembali ijazah.' Karena butuh kerja, saya tanda tangan saja.

Masalahnya, bulan ini gaji saya sering dipotong tanpa alasan jelas dan jam kerja melebihi aturan tanpa lembur. Saya tidak betah dan mengajukan resign. Tapi, HRD menolak mengembalikan ijazah saya dan menahan dokumen tersebut sampai saya bayar 5 juta. Padahal saya tidak punya uang segitu. Mereka bilang, 'Itu salah kamu tanda tangan kontrak.' Apakah tindakan mereka menahan hak milik saya ini sah secara hukum? Apakah ini bisa dipidanakan karena mereka memaksa meminta uang untuk barang milik saya sendiri? Demikian kak pertanyaan saya, saya butuh pencerahan dan pemahaman yang baik mengenai ini. Terima kasih.

Jawaban

Pengantar

Saudara Rian, apa yang Anda alami sebenarnya mencerminkan fenomena umum dalam hubungan kerja di Indonesia, di mana penahanan ijazah asli sering dianggap lumrah oleh Perusahaan dan/atau Pelaku Usaha. Praktik ini biasanya muncul akibat ketimpangan posisi tawar (unequal bargaining power) seperti perusahaan memegang kendali sumber daya, sementara pekerja seperti Anda sangat membutuhkan akses pekerjaan.

Sering kali, perusahaan menggunakan narasi “jaminan” atau “ikatan dinas” untuk mencegah kerugian atau agar karyawan tidak mudah keluar (turnover tinggi). Namun, secara yuridis, tindakan ini sebenarnya berbenturan keras dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan individu yang dijamin konstitusi. Ijazah adalah dokumen yang melekat pada pribadi Anda, bukan sekadar kertas administrasi.

Untuk menjawab kasus Anda, kita perlu membedah legalitas tindakan tempat Anda bekerja saat ini menggunakan kacamata hukum terkini, termasuk Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2024 tentang Ijazah Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah serta Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 tentang Larangan Penahanan Ijazah dan/atau Dokumen Pribadi Milik Pekerja/Buruh Oleh Pemberi Kerja. Kedua aturan baru ini membawa paradigma yang sangat berbeda mengenai boleh atau tidaknya menahan dokumen pribadi.

Tulisan ini akan mengajak Anda memahami implikasi hukum dari kontrak yang sudah Anda tanda tangani. Kita akan menguji yaitu apakah klausul penahanan ijazah tersebut sah karena ada kesepakatan (asas kebebasan berkontrak), atau justru batal demi hukum karena melanggar kepatutan? Lebih jauh lagi, kita akan uraikan secara tajam kapan sengketa kontrak kerja ini bisa berubah menjadi tindak pidana penggelapan atau pemerasan (sesuai KUHP lama maupun UU Nomor 1 Tahun 2023), terutama ketika ada permintaan uang tebusan yang memberatkan.

Ijazah: Hak Konstitusional dan Dokumen Pribadi yang Melekat

Sebelum melangkah lebih jauh pada analisis pertanggungjawaban pidana, kita perlu meluruskan pemahaman dasar mengenai status hukum “Ijazah”. Kekeliruan dalam memahami posisi ijazah inilah yang sering menjadi akar pembenaran yang salah kaprah untuk menjadikannya sebagai benda jaminan.

Secara prinsip hukum, ijazah bukan sekadar selembar kertas bukti kelulusan, melainkan bukti formal kompetensi intelektual seseorang. Dalam Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya disebut dengan “UUD NRI 1945”, ditegaskan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri, mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan demi meningkatkan kualitas hidupnya. Artinya, ijazah adalah instrumen vital untuk mengakses hak konstitusional tersebut.

Perlindungan terhadap dokumen ini diperkuat sebagaimana ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disebut dengan “UU HAM, menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. Ijazah adalah dokumen yang melekat pada identitas pribadi (in personam), sehingga merupakan bagian integral dari “diri pribadi” yang wajib dilindungi.

Sejalan dengan itu, Ombudsman Republik Indonesia secara konsisten menilai bahwa praktik penahanan ijazah merupakan bentuk maladministrasi dan pelanggaran terhadap hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak (vide Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945). Tanpa fisik ijazah, mobilitas seseorang untuk mencari kerja atau berpindah kerja menjadi terhambat (tersandera).

Oleh karena itu, penguasaan ijazah oleh pihak perusahaan atau sekolah tanpa dasar hukum yang sah bukan hanya masalah administrasi semata, melainkan menyentuh ranah pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya. Tindakan ini secara tidak langsung membatasi kebebasan seseorang untuk bekerja dan memperbaiki taraf hidupnya, yang jelas bertentangan dengan semangat konstitusi.

Mari kita bedah paragraf ini. Tujuannya adalah membuat bahasa hukum yang “berat” (penuh istilah Belanda dan Latin) menjadi lebih mengalir dan mudah dipahami oleh orang awam seperti Rian (tokoh dalam simulasi kita), namun tetap mempertahankan ketajaman argumen hukumnya.

Berikut adalah usulan penyederhanaan yang tetap menjaga nuansa akademis:

Karakteristik Ijazah dalam Hukum Benda: Mengapa Tidak Bisa Jadi Jaminan?

Ditinjau dari kacamata Hukum Perdata (Buku II KUHPerdata), ijazah memang tergolong benda bergerak yang berwujud. Namun, ijazah memiliki sifat yang sangat spesifik (sui generis) yang membedakannya secara total dengan barang biasa seperti kendaraan atau perhiasan.

Karakteristik khusus tersebut meliputi:

1.        Tidak Memiliki Nilai Jual (Non-Economic Value)

Ijazah tidak memiliki harga pasar. Dokumen ini tidak dapat diperjualbelikan ataupun dipindahtangankan. Nilainya sangat tinggi secara subjektif bagi pemiliknya, namun sama sekali tidak berharga bagi orang lain;

2.       Tidak Dapat Dieksekusi (Non-Executable)

Prinsip dasar dari sebuah jaminan utang (seperti gadai) adalah barang tersebut harus bisa dijual atau dilelang apabila pemiliknya ingkar janji (wanprestasi) untuk melunasi utang. Karena ijazah tidak bisa dijual lelang, maka menjadikan ijazah sebagai “objek jaminan” adalah sebuah cacat logika hukum yang fatal.

Dengan demikian, praktik penahanan ijazah tidak bisa disamakan dengan hak gadai atau hak menahan barang (retensi) yang sah. Tindakan perusahaan menahan ijazah lebih tepat dilihat sebagai alat penekan psikologis (psychological duress) untuk memaksa pekerja tunduk. Hal ini menempatkan praktik tersebut sebagai perbuatan yang sangat rentan digugat secara hukum karena menggunakan cara yang tidak patut.

Keabsahan Perjanjian Penahanan Ijazah

Sengketa penahanan ijazah umumnya bermula dari adanya hubungan kontraktual. Perusahaan atau Pelaku Usaha sering kali berlindung di balik dalil “kesepakatan bersama” yang dituangkan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Untuk menguji validitas dalil ini, kita perlu membedah syarat sah perjanjian secara mendalam.

Asas Kebebasan Berkontrak vs Syarat Kausa yang Halal

Pasal 1338 KUHPerdata memuat asas pacta sunt servanda, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini sering dijadikan tameng utama oleh pengusaha atau Perusahaan, “Pekerja sudah setuju ijazahnya ditahan, sudah tanda tangan di atas meterai, maka itu sah.” Namun, asas kebebasan berkontrak ini tidak berdiri sendiri tanpa konstruksi yang jelas dan rasional; asas ini dibatasi secara ketat oleh Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur 4 (empat) syarat sahnya perjanjian.

Keempat syarat tersebut adalah:

1.        Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (Consensus)

Kesepakatan harus lahir dari kehendak bebas, bukan karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog). Dalam konteks rekrutmen tenaga kerja, sering terjadi kondisi misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan keadaan). Calon pekerja yang sangat membutuhkan pekerjaan berada dalam posisi tawar yang lemah (unequal bargaining power), sehingga “terpaksa” menyetujui klausul penahanan ijazah. Secara doktrinal, kesepakatan yang lahir dari penyalahgunaan keadaan dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar);

2.       Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (Capacity)

Pihak yang berjanji harus cakap menurut hukum.

3.      Suatu hal tertentu (Certainty of Terms)

Objek perjanjian harus jelas.

4.       Suatu sebab yang halal (Lawful Cause)

Ini adalah syarat objektif yang paling krusial. Pasal 1337 KUHPerdata menegaskan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Apabila sebuah perjanjian kerja memuat klausul penahanan ijazah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (misalnya melanggar Surat Edaran Menteri yang melarang penahanan ijazah), maka perjanjian tersebut melanggar syarat “kausa yang halal”. Konsekuensi hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum (nietig). Artinya, perjanjian itu dianggap tidak pernah ada sejak awal, dan keadaan harus dikembalikan seperti semula (restitutio in integrum), yang berarti ijazah harus segera dikembalikan kepada pekerja.

Tanggung Jawab Perdata atas Risiko Kerusakan atau Kehilangan

Dalam konstruksi hukum perdata, pihak yang menguasai benda milik orang lain (baik sebagai pemegang gadai, penyewa, atau peminjam) memiliki kewajiban untuk merawat benda tersebut dengan prinsip kehati-hatian layaknya “bapak rumah tangga yang baik” (als een goed huisvader).

Apabila perusahaan menahan ijazah pekerja (terlepas dari sah atau tidaknya penahanan tersebut), maka beban risiko beralih kepada perusahaan. Apabila ijazah tersebut hilang (misalnya karena pencurian di kantor, kebakaran, banjir, atau kelalaian staf HRD), Perusahaan atau pelaku usaha bertanggung jawab penuh untuk mengganti kerugian tersebut.

Gugatan ganti rugi dapat diajukan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Unsur-unsur yang harus dibuktikan adalah:

-        Adanya perbuatan (kelalaian menjaga ijazah);

-        Perbuatan itu melawan hukum (melanggar hak subjektif pekerja atas dokumennya);

-        Adanya kesalahan (schuld);

-        Adanya kerugian (materiil: biaya pengurusan ijazah pengganti, hilangnya kesempatan kerja; immateriil: tekanan batin);

-        Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.

Yurisprudensi menunjukkan bahwa pengadilan cenderung memihak pekerja dalam kasus hilangnya ijazah, dengan menjatuhkan sanksi ganti rugi yang signifikan kepada pengusaha, mengingat sifat ijazah yang sulit tergantikan (irreplaceable).   

Rezim Hukum Ketenagakerjaan dan Pergeseran Norma Baru

Tahun 2025 menjadi tonggak sejarah baru dalam pengaturan penahanan ijazah di sektor ketenagakerjaan Indonesia. Sebelumnya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang selanjutnya disebut dengan “UU Ketenagakerjaan” tidak secara eksplisit melarang atau memperbolehkan penahanan ijazah, sehingga menciptakan area abu-abu (grey area) yang dimanfaatkan pengusaha. Namun, kekosongan hukum ini telah diisi oleh regulasi terbaru yang lebih progresif dan protektif terhadap pekerja.

Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/5/HK.04.00/V/2025

Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Prof. Yassierli pada tanggal 20 Mei 2025 menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 tentang Larangan Penahanan Ijazah dan/atau Dokumen Pribadi Milik Pekerja/Buruh Oleh Pemberi Kerja. Instrumen hukum ini secara tegas mengubah paradigma dari “boleh asal sepakat” menjadi “dilarang kecuali ditentukan lain”.  

SE ini melarang keras pemberi kerja untuk mensyaratkan dan/atau menahan ijazah asli dan dokumen pribadi lainnya (seperti KTP, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran) sebagai jaminan kerja. Larangan ini didasarkan pada prinsip bahwa penahanan dokumen tersebut menghambat mobilitas tenaga kerja dan melanggar hak asasi pekerja untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.

Meskipun melarang secara umum, SE Menaker Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 memberikan ruang pengecualian yang sangat sempit (limitative). Penahanan ijazah hanya diperbolehkan apabila memenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:

-        Dokumen tersebut (ijazah/sertifikat) diperoleh dari hasil pendidikan atau pelatihan yang dibiayai sepenuhnya oleh Perusahaan;

-        Terdapat perjanjian tertulis (misalnya Perjanjian Ikatan Dinas) yang secara eksplisit menyepakati penahanan tersebut sebagai konsekuensi dari investasi Perusahaan;

-        Perusahaan wajib memberikan jaminan keamanan fisik atas dokumen yang ditahan;

-        Perusahaan wajib memberikan ganti rugi penuh jika dokumen rusak atau hilang selama masa penahanan.   

Dengan demikian, praktik penahanan ijazah untuk karyawan biasa (reguler) yang tidak sedang menjalani ikatan dinas pendidikan berbiaya perusahaan adalah ilegal dan bertentangan dengan hukum. Klausul dalam perjanjian kerja yang mengatur penahanan ijazah di luar pengecualian ini adalah batal demi hukum.

Sanksi Administratif dan Pengawasan

Pemerintah, melalui Dinas Ketenagakerjaan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, diinstruksikan untuk melakukan pengawasan ketat terhadap implementasi SE ini. Perusahaan yang melanggar ketentuan ini dapat dikenakan sanksi administratif, mulai dari teguran tertulis hingga rekomendasi pembekuan kegiatan usaha. Selain itu, pelanggaran terhadap larangan ini dapat menjadi pintu masuk bagi penyidikan tindak pidana penggelapan jika perusahaan bersikeras tidak mengembalikan ijazah.   

Rezim Hukum Pendidikan: Larangan Penahanan Ijazah Siswa

Di sektor pendidikan, praktik penahanan ijazah juga marak terjadi, biasanya dilakukan oleh sekolah (terutama swasta) terhadap siswa yang memiliki tunggakan biaya administrasi (SPP, uang gedung, dsb). Rezim hukum pendidikan memiliki pendekatan yang jauh lebih ketat dibandingkan sektor ketenagakerjaan.

Permendikbudristek Nomor 58 Tahun 2024 dan Peraturan Sekjen 1/2022

Regulasi di sektor pendidikan secara konsisten melarang praktik penahanan ijazah dengan alasan apapun. Pasal 9 ayat (2) Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 1 Tahun 2022 tentang Spesifikasi Teknis Dan Bentuk, Serta Tata Cara Pengisian, Penggantian, Dan Pemusnahan Blangko Ijazah Pendidikan Dasar Dan Pendidikan Menengah Tahun Pelajaran 2021/2022, selanjutnya disebut “Persekjendikbud 1/2022” secara eksplisit menyatakan bahwa satuan pendidikan dan dinas pendidikan tidak diperkenankan untuk menahan atau tidak memberikan ijazah kepada pemilik ijazah yang sah dengan alasan apapun. Bahkan di sini disebutkan “satuan pendidikan” yaitu sekolah dan dinas pendidikan itu sendiri, dilarang untuk menahan.

Ketentuan ini diperkuat oleh Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 58 Tahun 2024 tentang Ijazah Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Regulasi ini menegaskan bahwa ijazah adalah hak mutlak peserta didik yang telah menyelesaikan proses pembelajaran dan dinyatakan lulus. Hak anak untuk mendapatkan ijazah tidak boleh dikaitkan atau disandera dengan kewajiban perdata orang tua (tunggakan biaya).   

Pemisahan Hak Akademik dan Kewajiban Perdata

Dalam perspektif hukum, hubungan antara sekolah dan orang tua murid memiliki dua dimensi yaitu dimensi akademik (publik) dan dimensi keperdataan (privat). Ijazah masuk dalam dimensi akademik yang dijamin oleh negara sebagai bukti kompetensi siswa. Tunggakan biaya masuk dalam dimensi keperdataan (utang-piutang). Sekolah tidak dibenarkan menggunakan instrumen akademik (ijazah) untuk menyelesaikan sengketa perdata. Penagihan tunggakan harus dilakukan melalui mekanisme perdata (penagihan, somasi, atau gugatan wanprestasi), bukan dengan tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) berupa penahanan dokumen negara.

Sekolah yang terbukti menahan ijazah dapat dikenakan sanksi tegas, termasuk pencabutan izin operasional bagi sekolah swasta atau sanksi disiplin bagi kepala sekolah negeri. Beberapa pemerintah daerah, seperti Pemprov Jawa Timur dan DKI Jakarta, bahkan telah melakukan intervensi aktif dengan “memutihkan” atau menebus ijazah siswa yang tertahan agar dapat didistribusikan.   

Analisis Hukum Pidana: Delik Penggelapan dan Pemerasan

Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah penahanan ijazah merupakan tindak pidana? Jawabannya bergantung pada pemenuhan unsur-unsur delik dalam hukum pidana. Tidak semua penahanan ijazah otomatis pidana, namun jika dilakukan dengan niat jahat (mens rea) dan cara yang melawan hukum, tindakan ini dapat dijerat dengan pasal-pasal serius dalam KUHP.

Tindak Pidana Penggelapan (Verduistering)

Pasal yang paling sering diterapkan dalam kasus penahanan ijazah adalah Pasal 372 KUHP (Lama) atau Pasal 486 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP Baru).

Bunyi Pasal 372 KUHP: 

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Unsur-Unsur Delik:

1.        Barang Siapa / Setiap Orang

Subjek hukum bisa berupa individu (HRD, Kepala Sekolah) atau korporasi (melalui pengurusnya);

2.       Memiliki dengan Melawan Hukum (Zich Toeeigenen)

Unsur “memiliki” di sini diartikan sebagai menguasai barang seolah-olah dia adalah pemiliknya, bertentangan dengan hak pemilik sebenarnya. Ketika pekerja/siswa sudah berhak menerima ijazah (kontrak kerja selesai atau siswa lulus) dan meminta pengembalian, namun perusahaan/sekolah menolak menyerahkannya, maka penguasaan tersebut berubah sifat menjadi “melawan hukum”;

3.      Barang Sesuatu Milik Orang Lain

Ijazah secara sah adalah milik pekerja/siswa;

4.       Ada dalam Kekuasaannya Bukan karena Kejahatan

Ini adalah ciri khas penggelapan yang membedakannya dengan pencurian. Ijazah awalnya diserahkan secara sukarela (saat tanda tangan kontrak atau saat pendaftaran sekolah). Jadi, penguasaan awal adalah sah. Tindak pidana terjadi saat penguasaan itu dipertahankan secara tidak sah.

Dalam UU No. 1 Tahun 2023 (KUHP Baru), ketentuan ini diatur dalam Pasal 486. Substansinya serupa, namun sanksi dendanya disesuaikan dengan Kategori IV (maksimal Rp 200 juta), yang memberikan efek jera lebih kuat dibandingkan nilai denda nominal di

Tindak Pidana Penggelapan dalam Jabatan (Verduistering in Dienstbetrekking)

Jika pelaku penahanan ijazah adalah karyawan perusahaan (misalnya Manajer HRD) yang menguasai ijazah tersebut karena tugas jabatannya, maka pasal yang diterapkan adalah Pasal 374 KUHP (Lama) atau Pasal 488 UU 1/2023 (Baru). Ancaman pidananya diperberat menjadi maksimal 5 tahun penjara. Hal ini karena adanya penyalahgunaan kepercayaan khusus yang diberikan dalam hubungan kerja.   

Tindak Pidana Pemerasan (Afpersing)

Apabila penahanan ijazah disertai dengan ancaman atau paksaan untuk memberikan uang (misalnya denda penalti yang tidak wajar), maka tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai Pemerasan.

Pasal 368 ayat (1) KUHP (Lama) / Pasal 482 UU 1/2023 (Baru): 

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Jika perusahaan berkata, “Bayar Rp 20 juta sekarang, kalau tidak ijazahmu tidak akan kembali selamanya/akan kami musnahkan,” unsur ancaman kekerasan (psikis) dan tujuan menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum terpenuhi. Ancaman hukuman 9 tahun penjara menunjukkan keseriusan delik ini.   

Studi Kasus Pidana: Kasus “Jan Hwa Diana” (Surabaya, 2025)

Kasus ini adalah contoh “tangan besi” hukum pidana yang digunakan untuk melawan arogansi pengusaha yang menahan ijazah secara massal. Apa yang Terjadi? Seorang pengusaha bernama Jan Hwa Diana menahan 108 ijazah asli milik mantan karyawannya. Akibatnya, para mantan karyawan ini “mati perdata”, mereka tidak bisa melamar kerja di tempat lain. Situasi sempat memanas ketika mediasi gagal. Kepolisian tidak tinggal diam. Mereka menetapkan pengusaha tersebut sebagai tersangka dengan jeratan Pasal 372 KUHP (Penggelapan). Polisi bahkan melakukan penggeledahan dan menyita paksa ke-108 ijazah tersebut dari kediaman tersangka.

Meskipun tersangka juga terjerat kasus lain, penetapan status tersangka khusus untuk penahanan ijazah membuktikan satu hal yaitu Polisi memandang ijazah sebagai objek hukum yang sah untuk delik penggelapan. Tindakan polisi mengembalikan ijazah kepada korban tanpa biaya menegaskan fungsi restorative justice (pemulihan keadilan), bahwa prioritas utama adalah mengembalikan hak korban, bukan sekadar menghukum pelaku.

Yurisprudensi Perdata: Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Ternate (Putusan Nomor 13/Pdt.Sus-PHI/2019/PN Tte)

Nah, kasus ini sangat mirip dengan yang Anda alami. Ini adalah “kemenangan telak” bagi pekerja dalam mempertahankan hak atas ijazahnya. Fakta Kasus, ada seorang karyawan bernama Jeasika Amelia Tamboto mengundurkan diri. Namun, perusahaan (PT. Esta Dana Ventura) menolak mengembalikan ijazah S1 miliknya. Alasannya? Perusahaan mengklaim Jeasika memiliki masalah keuangan/utang yang belum lunas (dugaan penggelapan uang perusahaan) dan ijazah ditahan sebagai “jaminan” sampai uang itu kembali.

Majelis Hakim mengambil sikap yang sangat tegas dan rasional.

1.        Hubungan Kerja Putus = Ijazah Kembali: Hakim memutuskan bahwa karena hubungan kerja sudah berakhir (resign), maka secara hukum perusahaan wajib mengembalikan semua barang milik pekerja, termasuk ijazah asli, dalam keadaan utuh;

2.       Hutang Piutang itu Terpisah: Hakim menolak argumen perusahaan yang ingin menahan ijazah sebagai jaminan ganti rugi. Hakim berpendapat bahwa meskipun ada sengketa pidana atau keuangan lain, hal itu tidak memberikan hak kepada perusahaan untuk menyandera dokumen pribadi.

Pelajaran Penting: Putusan ini mengajarkan bahwa ijazah tidak boleh dijadikan alat tawar. Jika perusahaan merasa kamu punya utang, mereka harus menagihnya lewat jalur hukum perdata atau pidana terpisah, bukan dengan cara main hakim sendiri menahan ijazahmu.

Yurisprudensi Pidana: Analogi Putusan PN Bekasi (Nomor 120/Pid.B/2019/PN.Bks)

Meskipun kasus ini aslinya mengenai penggelapan uang travel, logika hukum yang dipakai hakim sangat bisa kita terapkan (analogi) untuk kasus penahanan ijazah. Logika Hakim, Hakim menyatakan terdakwa bersalah melakukan penggelapan (Pasal 372 KUHP) karena unsur “memiliki secara melawan hukum” terpenuhi.

Relevansi untuk kasus Anda, terkait dengan unsur “melawan hukum” terjadi ketika seseorang menguasai barang milik orang lain (uang/ijazah) dan menggunakannya untuk kepentingan pribadi atau menahannya di luar haknya. Sehingga, ketika perusahaan menahan ijazahmu untuk memaksa kamu membayar denda (kepentingan perusahaan), padahal ijazah itu milikmu dan hubungan kerja sudah tidak harmonis, maka unsur “menguasai secara melawan hukum” ini sangat potensial terpenuhi. Perusahaan menahan barang yang bukan hak miliknya untuk keuntungan sepihak.

Sehingga jelas bahwa Hukum di Indonesia, baik pidana maupun perdata, tidak membenarkan penyanderaan dokumen pribadi sebagai alat “memeras” atau menekan pekerja, apapun alasannya.

Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Bagi korban penahanan ijazah, terdapat langkah-langkah strategis yang dapat ditempuh untuk memulihkan haknya.

Jalur Non-Litigasi (Administratif)

1.        Bipartit

Melakukan perundingan langsung dengan perusahaan/sekolah. Dokumentasikan setiap permintaan pengembalian (chat, email, surat) sebagai bukti itikad baik.

2.       Somasi (Surat Teguran)

Kirimkan somasi formal yang menguraikan dasar hukum (SE Menaker 2025 atau Permendikbud 58/2024) dan ancaman konsekuensi pidana (Pasal 372 KUHP) jika ijazah tidak dikembalikan dalam tenggat waktu tertentu (misal 3x24 jam).

3.      Laporan ke Disnaker/Disdik

Laporkan ke dinas terkait. Dinas memiliki wewenang untuk memanggil perusahaan/sekolah, melakukan mediasi, dan menjatuhkan sanksi administratif.

Jalur Litigasi Perdata

Jika ijazah hilang/rusak atau menimbulkan kerugian besar:

-        Ajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ke Pengadilan Negeri setempat;

-        Tuntut pengembalian ijazah (natura) dan ganti rugi materiil (gaji hilang) serta immateriil.

Jalur Pidana (Ultimum Remedium)

Apabila upaya lain buntu, buat Laporan Polisi (LP) di Polres setempat atas dugaan tindak pidana Penggelapan (Pasal 372 KUHP). Sertakan bukti kepemilikan ijazah (fotokopi), bukti hubungan kerja/sekolah, dan bukti penahanan (tanda terima atau rekaman penolakan). Kasus CV Sentoso Seal membuktikan bahwa jalur ini efektif untuk memaksa pengembalian dokumen secara paksa melalui penyitaan penyidik.

Penutup

Praktik penahanan ijazah di Indonesia telah mengalami pergeseran paradigma hukum yang signifikan. Dengan terbitnya Surat Edaran Menaker Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 dan penegasan aturan di sektor pendidikan, penahanan ijazah kini secara prinsip adalah perbuatan melawan hukum yang dilarang, kecuali dalam kondisi sangat spesifik (ikatan dinas yang dibiayai penuh). Dari kacamata pidana, tindakan menahan ijazah secara sepihak tanpa dasar hak yang sah memenuhi unsur delik Penggelapan (Pasal 372/486 KUHP) atau bahkan Pemerasan (Pasal 368/482 KUHP). Pelaku usaha dan institusi pendidikan harus menyadari bahwa ijazah adalah dokumen hak asasi yang tidak dapat dijadikan alat sandera dalam hubungan keperdataan, dan pelanggaran atasnya membawa risiko hukum pidana yang nyata.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.