![]() |
Bplawyer |
Pengantar
Hubungan industrial merupakan pilar fundamental dalam
struktur ekonomi dan sosial suatu negara. Di Indonesia, landasan filosofisnya
adalah Hubungan Industrial Pancasila, sebuah konsep yang mengamanatkan
terwujudnya hubungan kerja yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan antara
pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Namun, dalam realitasnya, dinamika antara kepentingan
pekerja untuk memperoleh kesejahteraan dan hak-hak normatif dengan kepentingan
pengusaha untuk mencapai efisiensi dan keberlangsungan usaha seringkali
menimbulkan friksi. Friksi inilah yang kemudian bereskalasi menjadi
perselisihan hubungan industrial.
Kerangka hukum penyelesaian perselisihan ini telah
mengalami evolusi signifikan. Sistem yang berlaku sebelum tahun 2004, yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957, mengandalkan lembaga
administratif bernama Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D)
dan Pusat (P4P).
Menyadari kebutuhan akan mekanisme yang lebih sejalan dengan prinsip negara hukum dan kekuasaan kehakiman, legislasi direformasi secara mendasar melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang selanjutnya disebut dengan “UU PPHI”.
Undang-undang ini menandai
pergeseran paradigma dari penyelesaian administratif ke penyelesaian yudisial
melalui pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), sebuah pengadilan
khusus di lingkungan peradilan umum. Tujuannya adalah untuk menciptakan
mekanisme penyelesaian yang, sebagaimana diamanatkan dalam konsiderans UU PPHI,
“cepat, tepat, adil, dan murah”.
Lanskap hukum ketenagakerjaan kembali mengalami perubahan transformatif dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan “UU Ketenagakerjaan”.
Perubahan ini, beserta peraturan pelaksananya yang krusial seperti Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, yang selanjutnya disebut dengan “PP 35/2021”, secara substantif mengubah norma-norma material yang menjadi objek perselisihan, terutama terkait pemutusan hubungan kerja (PHK).
Lahirnya UU Cipta Kerja, dengan dalih untuk
meningkatkan ekosistem investasi dan penciptaan lapangan kerja, merefleksikan adagium
hukum Het recht hinkt achter de feiten aan—hukum yang senantiasa
tertatih-tatih mengejar perubahan zaman. Perubahan ini berupaya
menyelaraskan regulasi ketenagakerjaan dengan tuntutan ekonomi kontemporer,
namun sekaligus memicu perdebatan sengit mengenai keseimbangan antara
fleksibilitas bagi pengusaha dan proteksi bagi pekerja.
Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif mengenai
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial menjadi krusial.
Sebagaimana adagium Ubi societas, ibi ius menyatakan, di mana ada
masyarakat, di situ ada hukum; maka dalam konteks industrial, di mana ada
hubungan kerja, di situ harus ada mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan
berkepastian hukum.
Artikel ini akan mengupas secara tuntas, sistematis,
dan kritis setiap tahapan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di
Indonesia, mulai dari definisi fundamental, prosedur wajib perundingan
bipartit, mekanisme mediasi dan konsiliasi, hingga proses litigasi di
Pengadilan Hubungan Industrial, dengan menyajikan analisis yuridis yang
diperkaya contoh putusan pengadilan yang relevan.
Apa yang Dimaksud dengan Hubungan Industrial (Industrial Relation)?
BUntuk memahami perselisihan, pertama-tama kita harus memahami hakikat hubungan yang menjadi dasarnya. Definisi yuridis mengenai Hubungan Industrial secara tegas diatur dalam kerangka hukum ketenagakerjaan nasional.
Pasal 1 Angka 16 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:
“Hubungan
Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Dari definisi tersebut, dapat ditarik beberapa elemen
esensial:
1.
Sistem
Hubungan
Hubungan
industrial bukanlah sekadar interaksi transaksional antara pemberi kerja dan
penerima kerja. Ia adalah sebuah sistem yang terstruktur, melibatkan berbagai
sarana seperti serikat pekerja, organisasi pengusaha, lembaga kerja sama
bipartit dan tripartit, peraturan perusahaan, hingga perjanjian kerja bersama.
2.
Para
Pelaku (Tripartit)
Sistem
ini secara inheren melibatkan tiga pihak utama dengan kepentingan yang berbeda
namun saling terkait:
-
Pekerja/Buruh
dan Serikat Pekerja/Buruh: Memiliki
kepentingan utama pada pemenuhan hak-hak normatif, peningkatan kesejahteraan,
jaminan sosial, dan kepastian kerja;
-
Pengusaha dan
Organisasi Pengusaha: Berfokus pada
produktivitas, efisiensi, profitabilitas, dan keberlanjutan usaha;
-
Pemerintah: Berperan ganda sebagai regulator yang menetapkan
kebijakan dan kerangka hukum, sekaligus sebagai fasilitator dan penengah dalam
penyelesaian perselisihan untuk menjaga stabilitas nasional.
3.
Landasan
Filosofis
Penegasan
bahwa hubungan ini didasarkan pada nilai-nilai Pancasila bukanlah sekadar
formalitas. Ini adalah mandat konstitusional yang menghendaki agar setiap
interaksi dan penyelesaian masalah dalam hubungan industrial dijiwai oleh
semangat Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan melalui musyawarah untuk
mufakat, dan Keadilan Sosial. Prinsip musyawarah inilah yang menjadi
justifikasi utama mengapa perundingan bipartit menjadi gerbang wajib pertama
dalam setiap penyelesaian perselisihan.
Dengan demikian, Hubungan Industrial dalam konteks
hukum Indonesia adalah sebuah ekosistem yang kompleks di mana kepentingan
ekonomi dan sosial bertemu, yang idealnya dikelola secara harmonis melalui
dialog dan kemitraan untuk mencapai tujuan bersama: kelangsungan usaha yang
menguntungkan dan kesejahteraan pekerja yang terjamin.
Apa yang Dimaksud dengan Perselisihan Hubungan Industrial (Industrial Relation Dispute)?
Ketika harmoni dalam Hubungan Industrial terganggu
oleh perbedaan pendapat yang tajam hingga menimbulkan pertentangan, maka
lahirlah Perselisihan Hubungan Industrial. UU PPHI memberikan definisi payung
sekaligus mengklasifikasikan jenis-jenis perselisihan yang dapat timbul.
Pasal 1 Angka 1 UU PPHI menyatakan:
“Perselisihan
Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.”
Definisi ini secara eksplisit membagi perselisihan ke
dalam empat kategori yang berbeda, di mana pembedaan ini memiliki implikasi
hukum yang sangat penting terhadap mekanisme penyelesaian dan upaya hukum yang
dapat ditempuh.
1.
Perselisihan
Hak (Disputes on Rights)
merupakan perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya suatu hak, atau
adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama (PKB). Sederhananya, perselisihan ini berfokus pada norma yang sudah
ada dan tertulis. Pertanyaan hukumnya adalah: “Apakah hak yang sudah
diatur tersebut dilanggar?” Contoh konkretnya adalah perselisihan mengenai
upah yang tidak dibayar, upah kerja lembur yang kurang, atau Tunjangan Hari
Raya (THR) yang tidak diberikan;
2.
Perselisihan
Kepentingan (Conflict of
Interest) merupakan perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau PKB. Perselisihan ini berfokus pada norma yang belum ada
atau hendak diubah. Pertanyaan hukumnya adalah: “Bagaimana seharusnya
syarat-syarat kerja diatur untuk ke depannya?” Contoh paling umum adalah
kebuntuan (deadlock) dalam perundingan kenaikan upah untuk periode PKB
yang baru;
3.
Perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) (Termination
of Employment Disputes) merupakan perselisihan yang timbul karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan
oleh salah satu pihak, baik oleh pengusaha maupun permohonan dari pekerja.
Perselisihan ini mencakup sengketa mengenai sah atau tidaknya alasan PHK,
prosedur yang ditempuh, hingga perhitungan kompensasi PHK (uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak);
4.
Perselisihan
Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Dispute
Between Workers Union / Labour In One Company) merupakan perselisihan
antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya
dalam satu perusahaan yang sama. Perselisihan ini biasanya timbul karena
tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
kewajiban dalam serikat pekerja, terutama terkait hak representasi dalam
perundingan dengan pengusaha.
Memahami perbedaan fundamental antara “perselisihan
hak” dan “perselisihan kepentingan” adalah kunci untuk menavigasi sistem
penyelesaian sengketa. Perselisihan hak adalah sengketa atas penerapan hukum
yang ada, sehingga putusannya dapat diuji hingga tingkat kasasi di Mahkamah
Agung.
Sebaliknya, perselisihan kepentingan adalah sengketa
mengenai pembentukan norma baru, di mana putusan PHI bersifat final dan
mengikat di tingkat pertama, berfungsi layaknya arbitrase untuk memberikan
kepastian hukum bagi para pihak agar dapat melanjutkan hubungan kerja dengan
syarat-syarat baru yang telah ditetapkan.
Apa yang Dimaksud dengan Penyelesaian Perselisihan melalui Perundingan Bipartit?
Perundingan bipartit adalah fondasi dari seluruh
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia. Ia
merupakan manifestasi dari asas musyawarah untuk mufakat yang diamanatkan oleh
Hubungan Industrial Pancasila. Sifatnya bukan pilihan, melainkan sebuah
kewajiban hukum yang harus ditempuh pertama kali sebelum mekanisme lain dapat
diakses.
Kewajiban ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1)
UU PPHI, yang menyatakan:
“Perselisihan
hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui
perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.”
Secara definitif, Pasal 1 Angka 10 UU PPHI
mendefinisikan perundingan bipartit sebagai:
“...perundingan
antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.”
Prosedur dan Jangka Waktu Proses perundingan bipartit diatur lebih lanjut dalam
UU PPHI dan peraturan pelaksananya. Beberapa ketentuan kuncinya adalah:
-
Perundingan dapat diinisiasi oleh salah satu pihak
(pekerja/serikat pekerja atau pengusaha) yang merasa kepentingannya dirugikan;
-
Perundingan bipartit harus diselesaikan dalam waktu paling
lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan;
-
Apabila dalam kurun
waktu 30 hari tersebut salah satu pihak menolak untuk berunding, atau
perundingan telah dilakukan namun tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan
bipartit dianggap gagal. (vide Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor PER.31/MEN/XII/2008
tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial Melalui
Perundingan Bipartit)
Hasil Perundingan Bipartit Hasil dari perundingan bipartit dapat terbagi menjadi
dua kemungkinan:
1.
Apabil para pihak
berhasil mencapai mufakat, mereka wajib menuangkannya dalam sebuah dokumen
hukum yang disebut Perjanjian Bersama. Perjanjian ini ditandatangani
oleh para pihak dan kemudian wajib didaftarkan pada PHI di Pengadilan Negeri
wilayah hukum setempat. Pendaftaran ini memberikan kekuatan eksekutorial (executoriale
kracht) pada Perjanjian Bersama, artinya jika salah satu pihak wanprestasi,
pihak lainnya dapat langsung memohonkan eksekusi kepada ketua PHI tanpa perlu
melalui proses gugatan baru;
2.
Apabila perundingan
gagal, salah satu atau kedua belah pihak dapat melanjutkan upaya penyelesaian
dengan mencatatkan perselisihannya kepada instansi pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan (Dinas Ketenagakerjaan) setempat. Pencatatan
ini adalah syarat formil untuk dapat melanjutkan ke tahap penyelesaian
tripartit (mediasi, konsiliasi, atau arbitrase). Tahap bipartit ini dirancang
sebagai filter utama untuk menyelesaikan sengketa secara internal, damai, dan
cepat tanpa intervensi pihak luar, sehingga menjaga hubungan kerja tetap
kondusif.
Apa yang Dimaksud dengan Penyelesaian Perselisihan melalui Konsiliasi?
Konsiliasi adalah mekanisme penyelesaian tripartit
alternatif yang dapat dipilih oleh para pihak selain mediasi. Meskipun
prosesnya memiliki kemiripan dengan mediasi, terdapat perbedaan fundamental
terkait figur penengah dan jenis sengketa yang dapat ditangani.
Pasal 1 Angka 13 UU PPHI mendefinisikan konsiliasi sebagai:
“...penyelesaian
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral.”
Karakteristik Utama Konsiliasi
-
Berbeda dengan mediator yang merupakan pegawai
pemerintah, Konsiliator adalah individu dari kalangan swasta (misalnya
praktisi hukum, akademisi, atau tokoh masyarakat) yang telah memenuhi syarat
dan terdaftar pada kantor instansi ketenagakerjaan. Para pihak memiliki
kebebasan untuk memilih konsiliator yang mereka percayai dari daftar yang
tersedia;
-
Ini adalah
perbedaan paling krusial. Konsiliasi tidak dapat digunakan untuk
menyelesaikan perselisihan hak. Jalur ini secara spesifik hanya
diperuntukkan bagi penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan PHK,
dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh;
-
Konsiliasi adalah jalur
pilihan (opt-in). Para pihak harus secara aktif dan sepakat memilih
konsiliasi sebagai metode penyelesaian setelah bipartit gagal.
Proses dan Hasil Konsiliasi Proses konsiliasi berjalan serupa dengan mediasi.
Konsiliator akan memfasilitasi pertemuan, mendengarkan para pihak, dan membantu
mencari solusi. Hasilnya pun identik:
1.
Para pihak
menandatangani Perjanjian Bersama yang disaksikan oleh konsiliator dan
didaftarkan di PHI.
2.
Konsiliator mengeluarkan
anjuran tertulis yang tidak mengikat. Jika anjuran ditolak, pintu untuk
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial terbuka bagi para pihak.
Pilihan antara mediasi dan konsiliasi seringkali
bergantung pada preferensi para pihak. Mediasi menawarkan fasilitator dari
pemerintah yang tidak dipungut biaya, sementara konsiliasi memberikan
fleksibilitas untuk memilih penengah dari kalangan profesional swasta yang
mungkin dianggap memiliki keahlian spesifik, meskipun biasanya memerlukan
biaya.
Apa yang Dimaksud dengan Penyelesaian Perselisihan melalui Mediasi?
Apabila jalur musyawarah internal melalui perundingan
bipartit menemui jalan buntu, maka penyelesaian sengketa memasuki tahap
tripartit, di mana pihak ketiga yang netral dilibatkan untuk menengahi.
Mekanisme utama dan yang paling umum ditempuh adalah mediasi.
Pasal 1 Angka 11 UU PPHI memberikan definisi yang jelas mengenai mediasi dan
mediator:
“Mediasi
Hubungan Industrial, yang selanjutnya disebut mediasi, adalah penyelesaian
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator
yang netral.”
Mediator Hubungan Industrial sendiri didefinisikan
sebagai:
“...pegawai
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang
memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk
bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih...”
Karakteristik Utama Mediasi
-
Fasilitator dalam mediasi adalah seorang Mediator
yang merupakan pegawai negeri pada Dinas Ketenagakerjaan. Mereka bertindak
sebagai penengah yang netral dan tidak memihak;
-
Mediasi memiliki cakupan
yang paling luas di antara mekanisme tripartit lainnya. Mediasi dapat menangani
keempat jenis perselisihan: perselisihan hak, kepentingan, PHK, dan
antar serikat pekerja/serikat buruh;
-
Mediasi menjadi jalur
penyelesaian yang ditempuh secara otomatis (default) apabila setelah
perundingan bipartit gagal, para pihak dalam waktu 7 hari kerja tidak memilih
untuk menempuh jalur konsiliasi atau arbitrase. Dalam kondisi tersebut,
instansi ketenagakerjaan akan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada
mediator;
-
Mediator memiliki waktu selambat-lambatnya 30
hari kerja untuk menyelesaikan tugasnya, terhitung sejak menerima
pelimpahan penyelesaian perselisihan. (vide Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja
Mediasi)
Apa yang Dimaksud dengan Penyelesaian Perselisihan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) (Court of Industrial Relations)?
Ketika seluruh upaya penyelesaian di luar pengadilan (out-of-court settlement) melalui perundingan bipartit dan tripartit (mediasi atau konsiliasi) gagal menghasilkan kesepakatan, maka sengketa dapat dibawa ke ranah yudisial melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
PHI adalah lembaga
peradilan khusus yang dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri, yang memiliki
kompetensi absolut untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan
hubungan industrial.
Hukum acara yang berlaku di PHI adalah hukum acara
perdata yang berlaku pada peradilan umum, kecuali diatur secara khusus dalam UU
PPHI. Kekhususan ini mencakup, antara lain, komposisi majelis hakim yang
terdiri dari satu hakim karier sebagai ketua serta dua hakim ad hoc (satu
mewakili unsur pengusaha dan satu mewakili unsur serikat pekerja/serikat
buruh), dan batas waktu penyelesaian perkara yang dipercepat, yakni
selambat-lambatnya 50 hari kerja sejak sidang pertama.
Kewenangan PHI dalam mengadili setiap jenis perselisihan memiliki sifat putusan yang berbeda, yang secara fundamental memengaruhi alur penyelesaian sengketa. Alur penyelesaian untuk perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) memiliki jenjang upaya hukum yang lebih panjang.
Setelah menempuh jalur wajib perundingan bipartit dan mediasi (atau konsiliasi untuk PHK) yang tidak mencapai mufakat, gugatan dapat diajukan ke PHI. Putusan PHI atas kedua jenis perselisihan ini dapat diajukan upaya hukum lanjutan berupa kasasi ke Mahkamah Agung. Sebaliknya, untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, putusan PHI bersifat final dan mengikat pada tingkat pertama. Artinya, setelah proses bipartit dan tripartit gagal dan perkara diputus oleh PHI, tidak ada lagi upaya hukum kasasi yang dapat ditempuh.
Perbedaan fundamental ini menegaskan peran PHI yang tidak hanya sebagai penegak hukum (untuk perselisihan hak dan PHK), tetapi juga sebagai pembentuk norma baru (untuk perselisihan kepentingan) yang keputusannya harus segera memberikan kepastian hukum bagi para pihak.
Analisis Perselisihan Hak dan Studi Kasus
Perselisihan hak timbul dari sengketa atas hak-hak
normatif yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan atau
perjanjian. Di PHI, proses pembuktian menjadi sentral, di mana Penggugat harus
mampu membuktikan dalil-dalilnya mengenai pelanggaran hak yang dilakukan oleh
Tergugat. Putusan PHI atas perselisihan hak dapat diajukan upaya hukum kasasi
ke Mahkamah Agung.
Kasus Perselisihan Hak
Sebuah contoh konkret mengenai perselisihan hak dapat
dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 63
K/Pdt.Sus-PHI/2018, tertanggal 22 Februari 2018. Dalam perkara ini, para
pekerja (Termohon Kasasi) menggugat perusahaan (Pemohon Kasasi) atas kekurangan
pembayaran upah kerja lembur.
-
Duduk Perkara: Para pekerja mendalilkan bahwa mereka secara rutin
bekerja melebihi jam kerja normal, namun perusahaan tidak membayarkan upah
lembur sesuai dengan formula yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Perusahaan membantah dengan argumen bahwa tidak ada surat perintah lembur
tertulis yang dikeluarkan;
-
Pertimbangan
Hukum Mahkamah Agung: Mahkamah Agung
menolak permohonan kasasi dari perusahaan dan menguatkan putusan judex facti
(PHI). Pertimbangan utamanya adalah bahwa meskipun tidak ada perintah tertulis,
fakta bahwa para pekerja secara konsisten melakukan pekerjaan di luar jam kerja
normal atas sepengetahuan dan untuk kepentingan perusahaan sudah cukup untuk
membuktikan adanya kerja lembur. Mahkamah Agung menegaskan bahwa kewajiban
membayar upah lembur timbul dari adanya pekerjaan yang dilakukan di luar waktu
kerja, bukan semata-mata dari formalitas surat perintah. Perhitungan kekurangan
pembayaran kemudian dilakukan berdasarkan formula yang ditetapkan dalam
peraturan yang berlaku.
-
Putusan ini
menjadi yurisprudensi penting yang menegaskan bahwa substansi (adanya pekerjaan
lembur) mengalahkan formalitas (adanya surat perintah). Ini menunjukkan
bagaimana pengadilan menegakkan hak normatif pekerja yang telah diatur secara
jelas dalam hukum.
Kasus Perselisihan Kepentingan
Perselisihan kepentingan terjadi ketika para pihak
gagal menyepakati syarat-syarat kerja baru. Dalam hal ini, hakim PHI tidak
bertindak sebagai penegak norma yang ada, melainkan sebagai penentu norma baru
bagi para pihak. Oleh karena itu, putusannya bersifat final dan mengikat, tidak
dapat diajukan kasasi, untuk memberikan kepastian hukum dan memungkinkan
hubungan industrial terus berjalan.
Kasus Kenaikan Upah dalam Perundingan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB)
Meskipun putusan spesifik tidak tersedia dalam materi
riset, sebuah kasus yang menggambarkan perselisihan kepentingan adalah sengketa
mengenai penetapan kenaikan upah dalam perundingan PKB, seperti yang
diilustrasikan dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Surabaya Nomor 133/Pdt.Sus-PHI/2020/PN Sby.
-
Duduk Perkara: Serikat pekerja dan pengusaha mengalami kebuntuan
dalam merundingkan besaran kenaikan upah untuk periode PKB berikutnya. Serikat
pekerja menuntut kenaikan sebesar 10% dengan argumen kenaikan biaya hidup dan
profitabilitas perusahaan. Sebaliknya, pengusaha hanya menawarkan kenaikan 3%
dengan alasan kondisi pasar yang tidak menentu dan perlunya efisiensi. Setelah
mediasi gagal, serikat pekerja mengajukan gugatan ke PHI;
-
Pertimbangan
Hukum PHI: Dalam memutus perkara ini,
hakim tidak dapat merujuk pada “pelanggaran” hukum karena tidak ada hak yang
dilanggar; yang ada adalah kegagalan mencapai kesepakatan. Hakim akan
mempertimbangkan berbagai faktor secara adil (ex aequo et bono),
seperti:
a.
Kondisi keuangan
perusahaan (dibuktikan dengan laporan keuangan).
b.
Tingkat inflasi
dan biaya hidup di wilayah tersebut.
c.
Upah yang berlaku
di sektor industri sejenis.
d.
Produktivitas
pekerja.
-
Hakim PHI
kemudian akan menetapkan besaran kenaikan upah yang dianggap adil bagi kedua
belah pihak, misalnya menetapkan kenaikan sebesar 6%. Putusan ini menjadi norma
baru yang wajib dimasukkan ke dalam PKB dan mengikat kedua belah pihak.
Sifatnya yang final memastikan bahwa proses produksi tidak terganggu oleh
ketidakpastian yang berlarut-larut.
Kasus Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Perselisihan PHK adalah jenis sengketa yang paling
sering terjadi dan paling terdampak oleh perubahan UU Cipta Kerja. PP
35/2021 kini menjadi rujukan utama yang mengatur secara rinci alasan-alasan
sah PHK dan formula perhitungan kompensasinya. Salah satu perubahan paling
signifikan adalah mengenai PHK dengan alasan efisiensi, yang tidak lagi
mensyaratkan perusahaan harus tutup secara permanen.
Contoh penerapan norma baru ini dapat dianalisis
melalui Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 53/Pdt.Sus-PHI/2022/PN
Pbr, tertanggal 28 November 2022.
-
Seorang pekerja
di-PHK oleh perusahaan dengan alasan efisiensi untuk mencegah kerugian di masa
depan, meskipun perusahaan belum secara aktual merugi. Pekerja menggugat
keabsahan PHK tersebut, berargumen bahwa alasan efisiensi tidak cukup kuat;
-
Mengacu pada Pasal
43 ayat (2) PP 35/2021, pengadilan mengakui bahwa pengusaha dapat melakukan
PHK karena alasan “efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian”. Kunci dari
pertimbangan hakim adalah pembuktian dari pihak pengusaha. Pengusaha harus
mampu menunjukkan bukti-bukti yang rasional dan objektif bahwa tanpa efisiensi
(termasuk pengurangan tenaga kerja), perusahaan berpotensi besar mengalami
kerugian. Bukti ini bisa berupa penurunan pesanan, kenaikan biaya operasional
yang signifikan, atau analisis pasar yang menunjukkan tren negatif. Dalam
putusan ini, PHI menyatakan PHK tersebut sah dan menghukum perusahaan untuk
membayar kompensasi sesuai formula yang diatur dalam pasal tersebut, yaitu 1
kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian
hak;
-
Putusan ini
mengkonfirmasi pergeseran paradigma pasca-UU Cipta Kerja, di mana alasan
efisiensi menjadi lebih fleksibel bagi pengusaha. Ini berbeda dengan
interpretasi yurisprudensi Mahkamah Konstitusi sebelumnya yang mengartikan
efisiensi sebagai kondisi perusahaan yang harus tutup permanen.
Kasus Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Perselisihan ini bersifat internal di dalam satu
perusahaan, di mana dua atau lebih serikat pekerja bersengketa mengenai hak dan
kewajiban keserikatpekerjaan, yang paling umum adalah hak untuk mewakili
pekerja dalam perundingan PKB. Putusan PHI atas sengketa ini juga bersifat
final dan mengikat. Sampai saat ini kamu belum menemukan putusan spesifik baik
di direktori putusan mahkamah agung maupun dalam materi riset, akan tetapi dapat
kami susun skenario hipotetis berdasarkan kerangka hukum yang ada.
Misalnya, Di PT Cemerlang, terdapat dua serikat
pekerja, yaitu Serikat Pekerja Maju (SPM) dan Serikat Pekerja Sejahtera (SPS).
Keduanya mengklaim memiliki lebih dari 50% total pekerja sebagai anggota dan
oleh karena itu berhak mewakili seluruh pekerja dalam perundingan PKB yang akan
datang. Perundingan di antara kedua serikat untuk membentuk tim perunding
bersama gagal.
Salah satu serikat mengajukan gugatan ke PHI. Proses
di pengadilan akan berfokus pada verifikasi keanggotaan. Hakim akan
memerintahkan kedua serikat untuk menyerahkan bukti keanggotaan mereka
(formulir pendaftaran, bukti potong iuran, dll.). Pengadilan akan memeriksa
validitas setiap anggota dan mengeliminasi keanggotaan ganda (satu pekerja
tidak dapat dihitung sebagai anggota di kedua serikat untuk tujuan
representasi).
Berdasarkan hasil verifikasi, hakim akan menetapkan
serikat mana yang secara sah memiliki mayoritas anggota. Misalnya, jika
ditemukan SPM memiliki 55% anggota yang sah, maka PHI akan mengeluarkan putusan
yang menyatakan bahwa SPM adalah serikat pekerja yang berhak mewakili pekerja
dalam perundingan PKB dengan manajemen PT Cemerlang. Putusan ini bersifat final
dan memberikan kepastian hukum kepada pengusaha mengenai siapa mitra runding
mereka yang sah, sehingga proses pembuatan PKB dapat dilanjutkan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.