Perjalanan Hukum Pidana di Indonesia kerap kali mempertontonkan wajah keras dari Sistem Peradilan yang didominasi oleh pendekatan retributif. Di tengah semangat penegakan hukum yang represif, muncul secercah kritik filosofis dan etik yang menggugat legitimasi moral atas penghukuman terhadap perkara-perkara ringan yang tak sepadan dengan daya rusak yang ditimbulkan. Satu di antara perkara yang menjadi tonggak penting dan simbol dari kegagalan sistem untuk memahami keadilan secara substantif adalah Perkara Pidana terhadap Nenek Minah.
Pada tahun 2009, seorang perempuan tua bernama Minah
dijatuhi pidana karena mencuri 3 (tiga) buah kakao seharga Rp 6.000,- (enam
ribu rupiah) dari tempat ia bekerja di Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA),
Banyumas. Kasus ini kemudian menjadi perdebatan publik dan membuka ruang
evaluasi terhadap Sistem Pemidanaan yang tidak hanya formalistik, tetapi juga
kehilangan dimensi rasa keadilan substantif.
Persidangan terhadap Nenek Minah dalam Perkara Nomor
247/Pid.B/2009/PN.Pwt, yang berujung pada putusan hukuman 1 (satu) bulan 15 (lima
belas) hari dengan masa percobaan 3 (tiga) bulan oleh Pengadilan Negeri
Purwokerto, menggambarkan kegagalan pendekatan retributif dalam menyentuh
keadilan substantif. Padahal, pengakuan dan permohonan maaf dari Nenek Minah
kepada mandor kebun serta pengembalian barang seharusnya menjadi pertimbangan
etik dan moral yang menguatkan pengalihan proses hukum ke arah non-penal.
Perkara ini, yang didasarkan pada Pasal 362 KUHPidana, adalah manifestasi positivisme hukum yang kaku dan mengabaikan nilai-nilai sosial kemanusiaan serta konteks ekonomi yang menyelimuti tindakan tersebut. Secara filosofis, hukum semestinya bertujuan mewujudkan keadilan substantif, bukan hanya menjadi alat pembalasan negara kepada warganya yang lemah dan rentan.
Dari Kasus Minah Menuju Konsepsi Restorative Justice
Kasus Nenek Minah kemudian menjadi semacam “landmark
case” yang menginspirasi munculnya diskursus hukum mengenai keadilan
restoratif (restorative justice) di Indonesia. Dalam konteks ini,
keadilan tidak dipahami sebagai pembalasan, melainkan pemulihan relasi sosial
antara pelaku, korban, dan masyarakat.
Konsep keadilan restoratif sendiri secara akademik pertama kali dikembangkan oleh Albert Eglash (1958) dalam artikelnya Creative Restitution, lalu diperluas secara konseptual oleh Howard Zehr (1990) dalam Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, yang menekankan pemulihan atas relasi sosial dan kebutuhan korban ketimbang sekadar menghukum pelaku. Dalam sistem hukum Indonesia, semangat ini baru secara eksplisit diakomodasi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak (“UU SPPA”), khususnya Pasal 1 Angka 6 dan Pasal 5 ayat (1), yang menekankan pendekatan keadilan restoratif sebagai prinsip utama penyelesaian perkara anak, yang kemudian belakangan dikenal dengan istilah Diversi.
Pasca perkara Nenek Minah dan lahirnya UU SPPA,
paradigma restorative justice terus mengalami perkembangan. Dalam upaya
menyempurnakan mekanisme hukum yang lebih humanis, diterbitkan beberapa
peraturan penting:
1.
Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma No. 2 Tahun 2012”), yang menetapkan bahwa
kerugian perkara ringan ditentukan maksimal Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus
ribu rupiah) menyesuaikan nilai inflasi;
2.
Nota Kesepahaman
Mahkumjakpol Tahun 2012 antara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kejaksaan
Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai payung
sinergitas antar penegak hukum dalam penerapan restorative justice;
3.
Peraturan teknis
oleh masing-masing lembaga, seperti Peraturan Kejaksaan Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restoratif, Peraturan Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan
Keadilan Restoratif, dan Keputusan Direktur Jenderal Badan
Peradilan Umum Mahkamah Agung Republil Indonesia Nomor
1691/DJU/DK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan
Restoratif (Restorative Justice) atau (“SK Badilum No. 1691/DJU/DK/PS.00/12/2020”);
dan
4.
Yang paling
monumental, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024
tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (“Perma
No. 1 Tahun 2024”) sebagai regulasi tertinggi yang menekankan mekanisme dan
substansi keadilan restoratif di tahap persidangan.
Pada tanggal 7 Mei 2024, Mahkamah Agung Republik
Indonesia telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan
Restoratif. Perma ini secara eksplisit membedakan antara restorative justice
dan perdamaian semata.
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 1 Perma No. 1 Tahun 2024 menyatakan bahwa Keadilan Restoratif adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan.
Pendekatan ini sejalan dengan tujuan hukum sebagai
sarana rekonsiliasi sosial dan pemulihan komunitas yang terganggu. Namun,
pasal-pasal berikutnya memberikan batasan penerapan yang cukup ketat. Dalam Pasal
6 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2024, menyatakan bahwa restorative
justice tidak dapat diterapkan jika ada relasi kuasa,
pengulangan tindak pidana dalam 3 (tiga) tahun, atau tidak adanya kesepakatan
damai.
Pasal-pasal teknis seperti Pasal 7 hingga Pasal 21
mengatur tahapan, kewenangan hakim, penguatan partisipasi korban, hingga
pengukuhan hasil perdamaian dalam putusan pidana bersyarat. Dalam kerangka ini,
hakim tidak lagi sekadar “corong undang-undang” (la bouche de la loi)[1],
tetapi menjadi agen perubahan yang aktif menggali keadilan substantif,
membangun partisipasi aktif para pihak, dan memperhatikan kerentanan korban
dalam mencapai pemulihan utuh.
Meskipun Perma No. 1 Tahun 2024 menawarkan kerangka
yang progresif, implementasinya menghadapi sejumlah tantangan. Satu di antara
isu utama adalah ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban, yang sering
kali diabaikan oleh Aparat Penegak Hukum (“APH”). Dalam situasi di mana
terdapat ketimpangan status sosial, jabatan, atau kedudukan struktural,
persetujuan korban terhadap perdamaian sering kali bukan cerminan kehendak
bebas, melainkan hasil tekanan psikologis atau intimidasi.
Contoh nyata adalah Kasus
Pelecehan Seksual di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia
pada tahun 2023 silam, di mana perkara dihentikan dengan alasan korban
telah dinikahkan dengan pelaku. Pendekatan ini tidak hanya mereduksi makna
keadilan tetapi juga menunjukkan lemahnya perlindungan hukum terhadap korban.
Meski secara formil telah banyak peraturan
perundang-undangan mengadopsi pendekatan keadilan restoratif, praktiknya kerap
melenceng menjadi semata-mata perdamaian administratif. Dalam riset Komnas Perempuan yang dikutip oleh Nurul Nur Azizah (2023), dari 68
responden korban kekerasan, sebanyak 45 merasa belum pulih meskipun telah
terjadi kesepakatan damai. Angka ini memperlihatkan bahwa restorative
justice belum mampu menghadirkan pemulihan nyata jika sekadar dipahami
sebagai perjanjian tanpa pemulihan psikososial dan reparasi konkret.
Kekeliruan paradigma ini tampak dalam beberapa kasus
yang melibatkan instansi pemerintahan dalam beberapa terakhir, ada yang
mengatakan bahwa Solusi yang tepat adalah pelaku dinikahkan dengan korban
sebagai bentuk perdamaian. Ini merupakan pengkhianatan terhadap prinsip
keadilan yang adil bagi korban. Di sinilah relasi kuasa menjadi bahaya laten
dalam penerapan restorative justice yang tidak berpihak kepada korban.
Keadilan restoratif memiliki potensi besar untuk
mengatasi masalah struktural dalam sistem pemasyarakatan Indonesia, terutama
dengan tingkat kepadatan lapas yang mencapai 92% (Sembilan puluh dua persen).
Pendekatan ini dapat mengurangi tekanan pada sistem penahanan sambil
mempromosikan pemulihan yang bermakna bagi korban dan komunitas. Namun,
keadilan restoratif bukanlah impunitas atau penghapusan tanggung jawab pidana.
Sebaliknya, ia menekankan akuntabilitas pelaku melalui proses yang
memprioritaskan hak-hak korban dan rekonsiliasi sosial.
Untuk mewujudkan potensi ini, implementasi keadilan
restoratif harus dilakukan dengan hati-hati. Hakim, sebagai aktor sentral,
harus memastikan bahwa proses peradilan memberikan ruang untuk pemulihan yang
adil, partisipatif, dan proporsional. Kontrol ketat terhadap kesepakatan damai
diperlukan untuk mencegah manipulasi dan memastikan bahwa keadilan restoratif
tidak menjadi kedok untuk menghindari hukuman.
Laporan Kritis dan Filosofis atas Perkembangan Keadilan Restoratif di Indonesia
Sejauh ini, berdasarkan pantauan Kantor Hukum Eka
Kurnia Chrislianto, Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui beberapa
Pengadilan Negeri telah melakukan terobosan progresif dalam menerapkan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang pedoman mengadili
perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif (“Perma Nomor 1 Tahun 2024”).
Terobosan ini mencerminkan pergeseran paradigmatik dari sistem peradilan pidana
retributif menuju pendekatan restoratif yang lebih humanis dan transformatif.
Salah satu contoh konkret terlihat pada Pengadilan
Negeri Tanjung Balai, yang pada 2 Juni 2025 memutus tiga perkara pidana dengan
menerapkan keadilan restoratif. Dua perkara di antaranya merupakan tindak
pidana penadahan yang dituntut secara terpisah, yakni:
1.
Perkara Nomor
106/Pid.B/2025/PN Tjb atas nama Terdakwa Muhammad Rivai alias Eri;
2.
Perkara Nomor
107/Pid.B/2025/PN Tjb atas nama Terdakwa Nurdin alias Udin.
Kedua terdakwa terbukti menerima atau membeli barang
hasil pencurian berupa handphone milik korban Rinaldi Panjaitan. Namun dalam
persidangan, keduanya telah meminta maaf dan menyepakati perdamaian dengan
korban tertanggal 28 Januari 2025, termasuk mengganti kerugian sebesar
Rp5.000.000,00. Majelis Hakim yang diketuai oleh Joshua J.E Sumanti, serta
anggota Habli Robbi Taqiyya dan Anita Meilyna S. Pane, menilai bahwa perdamaian
tersebut telah memulihkan keadaan semula (restutio in integrum), dan
menjatuhkan pidana bersyarat: satu tahun penjara dengan masa percobaan dua
tahun, meskipun Penuntut Umum sebelumnya menuntut pidana satu tahun enam bulan
penjara.
Perkara ketiga di PN Tanjung Balai dengan register
Nomor 81/Pid.Sus/2025/PN Tjb menyangkut Terdakwa Veronika atas dugaan
pencemaran nama baik terhadap Yenny Cendekia melalui media sosial. Perkara ini
pun diselesaikan secara restoratif setelah Terdakwa mengakui kesalahan dan
permohonan maafnya diterima korban, sebagaimana tertuang dalam Kesepakatan
Perdamaian tertanggal 11 April 2025. Majelis Hakim menjatuhkan pidana bersyarat
satu tahun dengan masa percobaan dua tahun, menolak tuntutan dua tahun penjara
dari Penuntut Umum.
Sementara itu, Pengadilan Negeri Tubei juga menerapkan
keadilan restoratif terhadap Terdakwa Repaldo dalam perkara pengeroyokan,
berdasarkan Putusan Nomor 25/Pid.B/2025/PN Tub. Putusan ini dijatuhkan oleh
Majelis yang diketuai Ria Ayu Rosalin dengan anggota Kurnia Ramadhan dan Adella
Sera Girsang. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa perdamaian antara
korban dan Terdakwa yang telah saling memaafkan, disertai tidak adanya keadaan
memberatkan, cukup menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana lima bulan penjara
tanpa perintah menjalani (pidana bersyarat).
Pengadilan Negeri Donggala dalam Putusan tanggal 21
Mei 2025 juga menunjukkan arah progresif serupa terhadap Terdakwa Gian dalam
perkara kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri sirinya. Meskipun unsur
pidana dalam Pasal 351 KUHP terbukti, Majelis Hakim menjatuhkan pidana lima
bulan dengan masa percobaan satu tahun. Dalam pertimbangannya, Majelis
menekankan nilai perdamaian dalam budaya hukum Indonesia sebagai cerminan nilai
luhur bangsa dan menggarisbawahi bahwa pidana bukan sekadar balas dendam melainkan
sarana edukatif dan preventif.
Putusan PN Bajawa Nomor 18/Pid.B/2025/PN Bjw terhadap
Terdakwa Wenslaus Geo alias Owen juga mengilustrasikan bahwa sistem peradilan
tidak semata-mata berorientasi pada penghukuman. Dalam perkara penganiayaan,
meskipun unsur Pasal 351 KUHP telah terpenuhi, Majelis Hakim yang diketuai
Yossius Reinando Siagian menjatuhkan pidana lima bulan dengan masa percobaan
sembilan bulan, didasarkan pada penyesalan terdakwa, kondisi sosial terdakwa
sebagai tulang punggung keluarga, dan telah tercapainya perdamaian yang ditandatangani
di hadapan hakim.
Pengadilan Negeri Kotabumi dalam perkara pencurian
ringan yang dilakukan oleh Roli Akarim juga memilih pendekatan keadilan
restoratif. Terdakwa yang berulang kali mencuri petai milik warga, pada
akhirnya diproses melalui pemeriksaan cepat dan dijatuhi pidana dua bulan
dengan masa percobaan tiga bulan berdasarkan amar putusan Hakim Tunggal Annisa
Dian Permata Herista. Nilai kerugian yang rendah (sekitar Rp50.000,00), serta
kesediaan pihak korban untuk berdamai menjadi dasar penjatuhan pidana
bersyarat.
Analisis Kritis dan Filosofis
Secara normatif, Perma Nomor 1 Tahun 2024 menandai
langkah penting dalam upaya Mahkamah Agung untuk mendorong sistem pemidanaan
yang lebih transformatif, partisipatif, dan manusiawi. Namun, secara historis,
nilai-nilai keadilan restoratif bukanlah hal baru dalam lanskap hukum
Indonesia. Dalam hukum adat berbagai daerah, proses penyelesaian perkara pidana
kerap dilakukan melalui permusyawaratan dan perdamaian sebagai bentuk pemulihan
relasi sosial.
Keadilan restoratif, dengan demikian, memiliki akar
filosofis dan kultural yang kuat dalam masyarakat Indonesia. Dalam kerangka philosophy
of law, keadilan restoratif mengembalikan hakikat hukum sebagai sarana
mencapai keadilan substantif, bukan sekadar legalistik-formal. Jika pidana
hanya dilihat sebagai alat balas dendam negara terhadap pelaku kejahatan, maka
fungsi hukum kehilangan dimensi kemanusiaannya.
Namun demikian, praktik keadilan restoratif tidak
dapat dilepaskan dari tantangan. Pertama, ada potensi disparitas jika tidak
diatur secara ketat dan proporsional. Kedua, peran hakim menjadi sangat sentral
dan harus memiliki sensitivitas sosial yang tinggi serta keberanian dalam
menolak tuntutan formal Penuntut Umum demi keadilan substantif. Ketiga,
perdamaian haruslah dilakukan secara bebas, sukarela, dan bukan hasil tekanan
sosial atau institusional.
Keenam putusan yang dibahas menunjukkan bahwa legal
reasoning para hakim telah bergeser dari semata-mata retributive justice
ke arah restorative justice, bahkan dalam perkara yang semula dianggap
tidak ringan. Dengan menerapkan prinsip restutio in integrum, hakim
berhasil menunjukkan bahwa hukum tidak hanya hadir sebagai alat represif
negara, tetapi juga sebagai instrumen penyembuh luka sosial.
Penutup
Perma Nomor 1 Tahun 2024 bukan hanya sebuah regulasi
teknis, melainkan representasi dari revolusi sunyi dalam praktik hukum pidana
Indonesia. Jika terus dikembangkan secara konsisten dan terukur, pendekatan
keadilan restoratif ini dapat menjadi pondasi menuju sistem hukum pidana yang
beradab, kontekstual, dan selaras dengan nilai-nilai luhur bangsa. Namun,
keberhasilan implementasinya sangat tergantung pada integritas dan keberanian
hakim serta dukungan lembaga penegak hukum lain dalam memahami hukum bukan hanya
sebagai teks, tetapi sebagai jalan menuju keadilan yang hidup.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1] La bouche de la loi (secara
harafiah berarti “mulut hukum”) merupakan ungkapan yang diambil dari karya
Montesquieu, “The Spirit of the Laws,” dan ungkapan ini merujuk kepada
hakim sebagai pelaksana hukum yang sederhana. Ini menyiratkan bahwa hakim harus
menerapkan hukum tanpa mampu memoderasi atau menafsirkan teksnya, yang berarti
bahwa ia tidak mempunyai ruang gerak untuk menghakimi sesuai dengan situasi
tertentu atau rasa keadilan.