Pendahuluan
Di era disrupsi digital dewasa ini, pengadilan pun tak luput dari gelombang
transformasi. Pemanfaatan teknologi informasi dalam sistem peradilan menjadi
keniscayaan bagi negara-negara yang ingin menghadirkan akses keadilan yang
lebih cepat, murah, transparan, dan efisien. Di kawasan Asia Tenggara,
Indonesia dan Singapura menjadi dua negara yang telah menginisiasi sistem
peradilan berbasis elektronik melalui platform
e-Court di bawah
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan sistem
eLitigation
yang dikelola oleh pemerintah Singapura melalui
Singapore Judiciary
dan
CrimsonLogic.
Kedua negara ini menawarkan model dan pendekatan yang berbeda dalam
digitalisasi peradilan, masing-masing dibentuk oleh faktor geografis,
sosial, dan kapasitas teknologinya.
Di Indonesia, tantangan geografis yang luas dan kesenjangan literasi
digital menuntut sistem e-Court yang inklusif dan bertahap. Sementara
di Singapura, sebagai negara kota dengan infrastruktur TIK canggih,
eLitigation dikembangkan sebagai sistem terintegrasi dan end-to-end,
mencakup seluruh tahapan perkara dari awal hingga putusan akhir secara
digital penuh.
Sebagai contoh, e-Court Mahkamah Agung Republik Indonesia memulai
digitalisasi melalui layanan administrasi perkara daring, termasuk
pendaftaran, pemanggilan, dan pembayaran biaya perkara secara elektronik.
Sistem ini terus dikembangkan melalui e-litigation dan
e-summons, meskipun belum sepenuhnya terintegrasi menyeluruh ke semua
jenis perkara dan seluruh wilayah pengadilan.
Di sisi lain, eLitigation Singapura telah mencapai level automasi tinggi,
memungkinkan pengguna untuk mengakses case file, mengajukan dokumen
hukum, menerima putusan, dan melakukan manajemen perkara secara
real-time dalam satu platform yang terstandarisasi secara
nasional.
Tulisan ini bertujuan untuk mengulas secara kritis dan menyeluruh bagaimana
kedua sistem ini dirancang, diimplementasikan, dan dievaluasi dalam konteks
peradilan masing-masing negara. Pembahasan akan mencakup aspek yuridis,
historis, teknis, dan sosiologis, termasuk efektivitas pelayanan, hambatan
implementasi, perlindungan hak para pihak, serta tingkat akuntabilitas dan
transparansi yang dihasilkan. Harapannya, studi perbandingan ini dapat
memberikan wawasan strategis bagi pengembangan sistem peradilan elektronik
di Indonesia ke depan, dengan memetik pelajaran dari pendekatan Singapura
yang lebih matang dan terintegrasi.
Sejarah dan Latar Belakang Implementasi e-Court di Indonesia
Dalam upaya modernisasi lembaga peradilan dan mendukung digitalisasi
pelayanan publik, Mahkamah Agung Republik Indonesia mengambil langkah
strategis melalui peluncuran sistem e-Court pada tanggal 13 Juli 2018
di Balikpapan. Inisiatif ini diresmikan langsung oleh Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia saat itu, Prof. Dr. M. Hatta Ali, S.H., M.H., sebagai
bagian integral dari agenda
Reformasi Peradilan Jilid II.
Sistem e-Court ditujukan untuk menciptakan akses peradilan yang
lebih mudah, cepat, murah, dan transparan, sejalan dengan mandat
Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mewajibkan peradilan dilaksanakan secara
sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.
Peluncuran e-Court juga merupakan respons konkret terhadap tekanan
global untuk meningkatkan peringkat Ease of Doing Business (EoDB)
Indonesia, khususnya pada indikator Enforcing Contracts dan
Resolving Insolvency, sebagaimana disorot dalam laporan Bank Dunia
(World Bank). Dalam konteks ini, Mahkamah Agung RI membangun sistem
e-Court bukan sekadar untuk kepentingan digitalisasi internal, tetapi
juga sebagai katalisator perbaikan iklim investasi dan
kepastian hukum di tanah air.
Awal mulanya sebagai dasar hukumnya, Mahkamah Agung RI menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang
Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik
menjadi regulasi awal yang mengatur infrastruktur yudisial berbasis
elektronik. Peraturan ini selanjutnya dicabut dan disempurnakan melalui
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Nomor 1 Tahun 2019
tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara
Elektronik, dan kemudian diperbarui secara signifikan adanya perubahan dengan
diterbitkannya
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Nomor
Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor
1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan
secara Elektronik
yang selanjutnya disebut dengan “Perma tentang e-Court”, yang
memperluas ruang lingkup layanan elektronik, termasuk mekanisme litigasi
daring (e-Litigation).
Awalnya, sistem ini diujicobakan di 32 (tiga puluh dua) pengadilan tingkat
pertama, seperti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Agama
Surabaya, dengan target implementasi nasional dalam 1 (satu) tahun. Uji coba
ini menandai transisi penting dari sistem konvensional ke sistem
paperless yang lebih ramah lingkungan dan efisien.
Mengingat sebelumnya, Mahkamah Agung RI juga telah mendorong efisiensi
waktu dalam membuat sistem peradilan yang cepat melalui penerbitan
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 214 Tahun
2014 tentang Jangka Waktu Penanganan Perkara pada Mahkamah Agung Republik
Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan “SK KMA 214/2014”, yang mana
MAhkamah Agung RI
telah memangkas waktu penyelesaian perkara kasasi dari 1 (satu) tahun
menjadi hanya 250 hari. Kemudian, dengan penguatan efisiensi perkara non-elektronik dilakukan
lewat
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan
yang mengintegrasikan penyelesaian sengketa alternatif ke dalam proses
peradilan.
Dengan demikian, e-Court, Mahkamah Agung RI ini dinilai tidak hanya
menjawab tantangan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas,
tetapi juga menjawab tuntutan zaman yaitu
menciptakan sistem peradilan modern yang inklusif,
akuntabel, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi informasi.
Sejarah dan Transformasi eLitigation Singapura: Dari EFS ke Sistem Terintegrasi iELS
Singapura, sebagai negara kota yang menjadikan efisiensi hukum sebagai
pilar daya saing globalnya, Negara ini pula telah menjadi pelopor dalam
modernisasi sistem peradilan digital di Asia Tenggara. Kita mengambil
contoh,
eLitigation, atau
Integrated Electronic Litigation System (iELS), yang secara resmi diluncurkan pada 2 Januari 2013 oleh Mahkamah Agung
Singapura (Supreme Court of the Republic of Singapore), menggantikan
sistem sebelumnya yakni Electronic Filing System (EFS) yang telah
beroperasi sejak tahun 2000.
Transformasi dari EFS ke eLitigation merupakan langkah strategis yang
didorong oleh kebutuhan akan manajemen perkara yang lebih terintegrasi,
efisien, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi digital. Meskipun EFS
telah diakui sebagai sistem sukses—terutama karena mampu mengurangi tumpukan
perkara (case backlog) hingga 92% (Sembilan puluh dua persen) dalam 3
(tiga) tahun pertama sejak penerapannya—sistem ini mulai mengalami stagnasi
teknologi pada awal dekade 2010-an. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi
digital yang lebih canggih dan terintegrasi.
Proyek eLitigation dibangun melalui kemitraan antara sektor publik dan
swasta atau Public-Private Partnership (PPP), selama hampir 5 (lima)
tahun. Pemerintah Singapura menggandeng CrimsonLogic, perusahaan teknologi
informasi terkemuka di sektor hukum, sebagai vendor utama untuk
mengembangkan sistem baru ini. Dengan pendekatan yang lebih berbasis sistem
manajemen perkara elektronik (Electronic Case Management),
eLitigation menghadirkan akses digital terpadu yang tidak hanya
diperuntukkan bagi pengadilan, tetapi juga untuk firma hukum, pengacara, dan
public (masyarakat pada umumnya).
Sistem ini menandai transisi dari pengelolaan perkara berbasis dokumen ke
sistem berorientasi proses, yang memungkinkan pelacakan status perkara
secara real-time, pertukaran dokumen daring, serta komunikasi
elektronik antara seluruh pihak dalam perkara. Dengan arsitektur sistem yang
modular dan cloud-based, eLitigation mampu mendukung visibilitas dan
transparansi yang tinggi dalam proses peradilan.
Peluncuran eLitigation juga merupakan bagian dari visi besar
Ketua Mahkamah Agung (Chief Justice of Singapore) Yong Pung How, yang dikenal sebagai arsitek dari Program Komputerisasi Nasional di
bidang kehakiman. Di bawah kepemimpinannya, Singapura bertransformasi
menjadi model internasional dalam efisiensi sistem peradilan berbasis
teknologi informasi.
Dengan pendekatan yang terintegrasi, eLitigation tidak hanya mendukung
efisiensi internal peradilan, tetapi juga meningkatkan kemudahan berusaha
(ease of doing business) dan memperkuat posisi Singapura sebagai hub
hukum internasional di kawasan Asia-Pasifik.
Fitur Unggulan e-Court Mahkamah Agung Indonesia
Sebagai implementasi konkrit dari visi Sistem Pemerintahan Berbasis
Elektronik (SPBE) dalam sektor yudisial, e-Court Mahkamah Agung
Republik Indonesia dirancang untuk menyederhanakan, mempercepat, dan
mengefisienkan proses administrasi perkara. Sistem ini menghadirkan layanan
digital terpadu yang menyasar proses hukum dari awal hingga akhir secara
elektronik.
Berikut ini adalah fitur-fitur utama dalam layanan e-Court yang
dikutip dari situs resmi Mahkamah Agung RI, antara lain:
e-Filing (Pendaftaran Perkara Online)
Layanan ini memungkinkan para pihak, khususnya Advokat yang telah
diverifikasi oleh Pengadilan Tinggi, untuk mendaftarkan gugatan, permohonan,
atau permohonan bantahan secara daring, tanpa perlu datang langsung ke
pengadilan. Proses ini mendukung asas peradilan yang sederhana, cepat, dan
berbiaya ringan sebagaimana dimandatkan dalam
Pasal 2 ayat (4) UU tentang Kekuasaan Kehakiman;
e-Payment (Pembayaran Biaya Panjar Perkara)
Melalui sistem virtual account, biaya perkara dapat dibayarkan
secara online, sehingga mengurangi risiko pungli, meningkatkan transparansi,
serta mendukung prinsip akuntabilitas layanan publik di lingkungan
peradilan;
e-Summons (Pemanggilan Elektronik)
Pemanggilan sidang tidak lagi hanya dilakukan secara manual, tetapi juga
melalui surat elektronik (email) yang sah secara hukum. Hal ini
mempercepat penyampaian informasi dan mengurangi biaya operasional;
e-Litigation (Persidangan Elektronik)
Layanan ini memungkinkan pertukaran dokumen persidangan secara digital,
seperti pengajuan jawaban, replik, duplik, bukti, dan kesimpulan.
Persidangan juga dapat dilaksanakan secara virtual, mendukung efisiensi
waktu dan mobilitas hukum, khususnya di wilayah geografis yang sulit
dijangkau;
e-Skum (Simulasi Biaya Perkara)
Fitur ini menyajikan perkiraan biaya perkara secara otomatis dan transparan
sebelum proses e-Filing dilakukan. Penghitungan berbasis sistem ini
membantu pengguna memperkirakan beban biaya secara akurat; dan
e-Salinan (Putusan Elektronik)
Pengguna terdaftar dapat mengunduh salinan putusan secara elektronik tanpa
perlu datang ke pengadilan, mempercepat akses terhadap hasil akhir proses
peradilan dan memperkuat asas keterbukaan informasi publik.
Segmentasi Pengguna e-Court
Pada tahap awal implementasinya, e-Court diperuntukkan bagi Advokat
terverifikasi sebagai pengguna utama. Namun, Mahkamah Agung RI membuka akses
terbatas kepada perorangan, kuasa insidentil, badan hukum, dan kuasa
lembaga, yang dapat melakukan registrasi secara manual di pojok
e-Court pada pengadilan masing-masing yang hendak dituju. Pembatasan
ini ditujukan untuk memastikan validitas hukum dalam setiap proses
digitalisasi dan menjaga keamanan sistem dari penyalahgunaan.
eLitigation Singapura
eLitigation, sebagaimana yang dijelaskan di situs resmi Pengadilan
Singapura, menyediakan platform terintegrasi untuk:
1)
Pendaftaran dan pengajuan dokumen perkara secara online
(Online Case Filing and Document Submission);
“Parties can file cases electronically and submit all related legal
documents directly through the online platform, eliminating the need for
physical visits to the court registry.”
2)
Manajemen perkara yang mencakup akses penuh ke dokumen perkara selama
perkara aktif
(Comprehensive Case Management and Access)
“All parties involved in a case—lawyers, court officials, and
litigants—have real-time access to case files, including pleadings,
evidence, and court orders, throughout the active life of the case.”
3)
Formulir elektronik dinamis yang menggantikan PDF
(Dynamic Electronic Forms)
“Instead of static PDF forms, eLitigation utilizes interactive electronic
forms that auto-fill based on previous entries, minimize redundancy, and
reduce clerical errors, thereby improving accuracy and efficiency.”
4)
Modul kalender dan manajemen sidang untuk fleksibilitas penjadwalan (Integrated Scheduling and Calendar Tools)
“The platform includes a court calendar and scheduling module that allows
users to view, manage, and adjust hearing dates. This feature increases
flexibility and coordination between parties and the court.”
5)
Notifikasi melalui email dan SMS untuk pengingat jadwal (Automated Notifications)
“To ensure timely participation and updates, the system sends
notifications via email and SMS, including reminders of upcoming hearings
and court deadlines.”
Sistem ini digunakan oleh firma hukum yang berlangganan dan pengadilan,
dengan integrasi di seluruh tingkatan pengadilan, termasuk Mahkamah Agung,
Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Keluarga. Namun, litigant yang mewakili
diri sendiri tidak dapat mengakses eLitigation secara online dan harus
menggunakan biro layanan seperti LawNet & CrimsonLogic.
Efektivitas dan Dampak Sistem Peradilan Elektronik
e-Court Indonesia
Sejak resmi diterapkan pada tahun 2018, sistem e-Court dinilai telah
berkontribusi signifikan dalam mewujudkan asas peradilan yang sederhana,
cepat, dan berbiaya ringan di Indonesia. Fitur seperti pendaftaran perkara,
pembayaran biaya perkara, dan pemanggilan sidang secara elektronik telah
memberikan kemudahan, khususnya selama masa pandemi COVID-19, ketika
mobilitas terbatas dan pelayanan digital menjadi solusi utama bagi
keberlanjutan proses peradilan.
Namun demikian, capaian tersebut belum sepenuhnya merata di seluruh satuan
kerja (satker) peradilan. Berdasarkan hasil evaluasi Direktorat Jenderal
Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia (Ditjen Badilag
MARI) sebagaimana tertuang dalam
Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor :
1720/DJA/TI.1.3.1/VII/2024, tanggal 2 Agustus 2024, Perihal: “Tindak
Lanjut Monitoring dan Evaluasi Atas Laporan Optimalisasi Penyelesaian
Perkara di Lingkungan Peradilan Agama Melalui e-court”, terungkap bahwa pelaksanaan
PERMA Nomor 7 Tahun 2022 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di
Pengadilan Secara Elektronik
masih belum diimplementasikan secara optimal di sejumlah pengadilan
agama.
Secara khusus, tantangan utama terletak pada rendahnya tingkat pemanfaatan
e-Court oleh 2 (dua) kategori pengguna, yaitu:
1.
Pengguna Terdaftar
(advokat) yang belum seluruhnya menjalankan proses berperkara melalui sistem
e-Court meskipun telah memiliki akses penuh;
2.
Pengguna Lainnya
(pihak non-advokat atau masyarakat umum) yang kerap kali mengalami hambatan
teknis dan keterbatasan literasi digital dalam menggunakan sistem
elektronik.
Menanggapi hasil evaluasi tersebut, Ditjen Badilag secara tegas
menginstruksikan kepada seluruh pimpinan Pengadilan Agama dan Mahkamah
Syar’iyah untuk:
-
Mendorong pengguna lainnya agar memanfaatkan aplikasi e-Court dalam
penyelesaian perkara mereka; dan
-
Mewajibkan pengguna terdaftar (advokat) untuk berperkara secara
elektronik.
Kita ambil contoh sebagaimana yang dikutip dari laman resmi
Pengadilan Agama Wonosari (“PA Wonosari”) diberitakan bahwa PA
Wonosari telah melakukan berbagai upaya strategis untuk meningkatkan
utilisasi e-Court. Upaya ini antara lain dilakukan melalui kegiatan
sosialisasi aktif di berbagai media, termasuk media sosial, serta
pemberian
pendampingan langsung oleh petugas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
kepada pihak berperkara yang mengalami kesulitan teknis.
Berdasarkan pengalaman di lapangan, hambatan terbesar yang dihadapi
masyarakat dalam menggunakan e-Court berkaitan dengan:
1)
Ketidaktahuan tentang akun dan email;
2)
Ketidakmampuan memahami sistem pengajuan dokumen dalam bentuk soft copy;
dan
3)
Ketidakterbiasaan menggunakan perangkat elektronik, dan bahkan sebagian
tidak memiliki smartphone.
Dalam situasi seperti ini, pendekatan humanis tetap dikedepankan. Petugas
menyarankan agar pihak berperkara didampingi oleh anggota keluarga yang
lebih memahami teknologi, sebelum diberikan arahan dan penjelasan teknis
lanjutan mengenai proses berperkara secara elektronik.
eLitigation Singapura
Sedangkan, eLitigation telah terbukti sangat efektif, dengan
laporan dari CrimsonLogic
mencatat tingkat penyelesaian perkara 100% di Mahkamah Agung Singapura pada
2014, dengan 14.396 perkara baru dan 14.355 perkara diselesaikan. Sistem ini
mendapat pujian karena kemudahan penggunaan, mobilitas melalui akses
SingPass, dan pengurangan kesalahan melalui fitur otomatisasi. Notifikasi
SMS dan email serta akses ke dokumen perkara secara real-time juga
meningkatkan efisiensi bagi firma hukum dan pengadilan.
Kelebihan dan Kekurangan e-Court Indonesia dan eLitigation Singapura
e-Court Indonesia
Sejak diluncurkan pada 2018, e-Court Mahkamah Agung Republik
Indonesia telah menjadi instrumen penting dalam mempercepat proses peradilan
yang modern dan efisien. Sistem ini dirancang sebagai solusi digital untuk
menjawab kebutuhan masyarakat dalam memperoleh akses keadilan secara cepat,
transparan, dan hemat biaya, terutama bagi warga di wilayah geografis yang
sulit dijangkau.
Kelebihan e-Court Indonesia
-
Efisiensi Waktu dan Biaya
Pengguna tidak perlu hadir langsung ke pengadilan untuk mendaftarkan
perkara, membayar biaya perkara, atau menerima panggilan sidang. Hal ini
mengurangi beban transportasi dan mempercepat proses administrasi;
-
Akses dari Daerah Terpencil
Sistem ini mendukung inklusi hukum dengan memungkinkan masyarakat dari
wilayah terpencil mengakses layanan peradilan secara daring; dan
-
Paperless Administration
Dengan digitalisasi dokumen, e-Court mendukung upaya pengurangan
penggunaan kertas dan efisiensi administratif di pengadilan.
Kekurangan e-Court Indonesia
-
Literasi Digital yang Rendah
Tantangan terbesar masih terletak pada pemahaman masyarakat terhadap
penggunaan teknologi. Berdasarkan data Statista tahun 2022, indeks literasi
digital Indonesia hanya sebesar 3,54 dari 5, mencerminkan perlunya edukasi
lebih lanjut;
-
Keterbatasan Infrastruktur Internet
Di banyak daerah, koneksi internet jangan tidak stabil, masih banyak daerah
yang tidak memiliki akses jaringan internet atau infrastruktur digital yang
memadai ini menjadi tantangan dan penghambat utama pelaksanaan
e-Court secara optimal;
-
Rendahnya Tingkat Pemanfaatan
Sejumlah pengadilan melaporkan masih rendahnya penggunaan fitur lanjutan
seperti e-Summons dan e-Litigation, baik oleh advokat maupun pengguna
umum.
eLitigation Singapura
eLitigation di Singapura merupakan sistem peradilan elektronik terintegrasi
yang menggantikan Electronic Filing System (EFS) pada tahun 2013.
Sistem ini dikembangkan dengan dukungan teknologi tinggi dan kolaborasi
antara Mahkamah Agung Singapura (The Supreme Court of Singapore) dan
sektor swasta, menjadikannya salah satu model sistem peradilan digital
paling maju di Asia.
Kelebihan eLitigation Singapura
-
Fitur Inovatif dan Efisien
Penggunaan formulir dinamis, akses dokumen secara real-time, dan modul
manajemen sidang memberikan fleksibilitas tinggi bagi para pengguna;
-
Efektivitas Tinggi dalam Penyelesaian Perkara
Laporan tahun 2014 menunjukkan tingkat penyelesaian perkara mencapai hampir
100%, membuktikan efisiensi sistem yang sangat tinggi.
-
User-Centric Services
Sistem ini didukung dengan layanan pelanggan 24/7 dari CrimsonLogic, serta
pelatihan teknis bagi firma hukum agar adaptif terhadap sistem.
Kekurangan eLitigation Singapura
-
Hambatan Akses untuk Litigant Mandiri
Warga atau masyarakat yang ingin mengajukan perkara tanpa adanya pengacara
akan menghadapi keterbatasan akses. Seperti diungkapkan dalam petisi publik
di Change.org, litigant mandiri tidak dapat menggunakan eLitigation
secara langsung dari rumah;
-
Risiko Ketergantungan Teknologi
Seperti sistem digital lainnya, gangguan teknis atau ancaman keamanan siber
dapat berdampak langsung pada kelangsungan proses peradilan.
-
Biaya Tinggi untuk Operasional Sistem
Pemeliharaan dan pembaruan sistem memerlukan investasi yang besar, baik
dari sisi teknologi maupun sumber daya manusia, terlebih dengan adanya
perkembangan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan saat
ini akan sangat mempengaruhi juga kinerja operasional system peradilan itu
sendiri.
Tabel Perbandingan e-Court Indonesia dan eLitigation Singapura
Aspek |
e-Court Indonesia |
eLitigation Singapura |
Tujuan Utama |
Modernisasi sistem peradilan untuk meningkatkan efisiensi dan akses
di wilayah geografis luas. |
Memperkuat efisiensi sistem peradilan dan menunjang posisi
Singapura sebagai pusat bisnis dan hukum global. |
Tahun Implementasi |
2018 (resmi diluncurkan Juli 2018) |
2013 (menggantikan sistem EFS tahun 2000) |
Konteks Nasional |
Negara kepulauan, populasi besar, indeks literasi digital 3,54
(2022), tantangan infrastruktur. |
Kota-negara kecil, infrastruktur TIK sangat maju, literasi digital
tinggi. |
Fitur Utama |
e-Filing, e-Payment, e-Summons, e-Litigation, e-Skum,
e-Salinan. |
Dynamic forms, real-time case tracking, digital scheduling,
email/SMS notifications. |
Tingkat Pemanfaatan |
Belum merata, terutama di daerah terpencil dan non-advokat (perlu
pendampingan teknis). |
Sudah menyeluruh dan optimal pada semua tingkatan pengadilan. |
Efektivitas |
Meningkat selama pandemi, tapi masih menghadapi hambatan akses dan
edukasi digital. |
Tingkat penyelesaian perkara 100% (2014), sangat efektif bagi firma
hukum dan pengadilan. |
Pengguna Prioritas |
Awalnya hanya untuk advokat, kini diperluas ke pengguna lain
(perorangan, badan hukum). |
Fokus utama pada firma hukum. Litigant mandiri tidak dapat
mengakses sistem secara langsung. |
Kelebihan |
Mendorong asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan;
inklusif secara geografis. |
Terintegrasi penuh, cepat, akurat, dan user-friendly; efisiensi
tinggi. |
Kekurangan |
Literasi digital rendah, internet lambat, pemanfaatan fitur belum
optimal, resistensi pengguna. |
Akses terbatas bagi individu non-pengacara, biaya tinggi, potensi
gangguan teknis dan isu keamanan data. |
Evaluasi Kritis |
Potensi besar tapi butuh penguatan infrastruktur dan sosialisasi;
lebih inklusif untuk pengguna non-advokat. |
Lebih unggul secara teknologi dan efisiensi, tapi kurang terbuka
bagi pengguna mandiri. |
Pembelajaran Silang |
Bisa adopsi formulir dinamis dan integrasi sistem eLitigation. |
Dapat belajar dari inklusivitas e-Court untuk memperluas akses bagi
masyarakat umum. |
Menuju Peradilan Digital yang Inklusif dan Efisien di Asia Tenggara
Penerapan e-Court di Indonesia dan eLitigation di Singapura
merupakan tonggak penting dalam transformasi sistem peradilan menuju era
digital. Kedua sistem hadir dengan visi yang sama—meningkatkan akses
terhadap keadilan, efisiensi birokrasi hukum, dan transparansi proses
persidangan.
e-Court
Indonesia lahir sebagai jawaban atas tantangan geografis negara kepulauan,
dengan tujuan mendekatkan layanan peradilan kepada masyarakat luas, terutama
di daerah terpencil. Meskipun belum sepenuhnya optimal karena keterbatasan
infrastruktur dan literasi digital, sistem ini menunjukkan potensi besar
untuk memberikan solusi inklusif dan merata dalam jangka panjang.
Sementara itu, eLitigation Singapura tampil lebih matang dan terintegrasi,
menopang status negara tersebut sebagai pusat peradilan internasional yang
efisien. Dengan fitur-fitur canggih seperti formulir dinamis, manajemen
dokumen real-time, dan notifikasi otomatis, eLitigation memberikan efisiensi
tinggi bagi para praktisi hukum. Namun, keterbatasan akses bagi litigant
mandiri menjadi catatan penting untuk perbaikan ke depan.
Kedua negara memiliki ruang untuk saling belajar. Indonesia dapat
mengadopsi teknologi dan manajemen sistem dari eLitigation, sementara
Singapura bisa mempertimbangkan pendekatan inklusif dari e-Court untuk
memperluas akses bagi masyarakat non-advokat.
Dengan terus berinovasi, berinvestasi pada infrastruktur digital, dan memperkuat edukasi hukum digital, kedua sistem ini berpotensi menjadi model regional—bahkan global—dalam pengembangan peradilan elektronik yang modern, transparan, dan berkeadilan bagi semua pihak.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.