layananhukum

Masa Depan Peradilan Digital di ASEAN: Antara Akses Keadilan dan Tantangan Elitisme Digital

 

    Pengantar

    Pandemi COVID-19 menjadi momentum bersejarah yang memaksa hampir seluruh negara di dunia, termasuk di kawasan Asia Tenggara, untuk mempercepat transformasi digital pada sektor-sektor vital. Salah satunya adalah sektor peradilan. Ketika ruang publik yang biasanya riuh tiba-tiba senyap, ruang sidang pun ikut terhenti. Palu hakim yang membisu, kursi saksi yang kosong, dan jadwal sidang yang tertunda menjadi simbol bagaimana salah satu pilar utama negara—yaitu peradilan—ikut lumpuh di awal masa krisis.

    Di tengah kondisi darurat inilah wacana digitalisasi peradilan, yang sebelumnya berjalan lamban di banyak negara ASEAN, terpaksa berlari melampaui kendala birokrasi dan resistensi kelembagaan. Digitalisasi peradilan, yang dulu sering hanya menjadi jargon modernisasi, kini berubah menjadi kebutuhan mendesak agar akses keadilan tetap berjalan di tengah pembatasan fisik. Dari Manila ke Jakarta, Bangkok ke Kuala Lumpur, pengadilan di Asia Tenggara dipaksa melakukan quantum leap—sebuah “lompatan keyakinan” ke ranah e-Court.

    Namun, transformasi ini tidak berdiri sendiri. Digitalisasi juga sangat berkaitan dengan tekanan internal yang sudah lama membayangi peradilan di ASEAN, seperti tuntutan efisiensi birokrasi, penanganan tumpukan perkara yang menahun, serta agenda transparansi dan pemberantasan korupsi.

    Hasilnya adalah munculnya ekosistem peradilan elektronik yang berkembang pesat, tetapi dengan desain yang berbeda-beda. Masing-masing negara menempuh jalannya sendiri, dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, infrastruktur digital, dan tingkat literasi hukum masyarakatnya.

    Artikel ini berupaya membangun argumen dan mengatakan bahwa digitalisasi peradilan di Asia Tenggara tidak dapat sekadar dibaca sebagai proses modernisasi administratif atau adopsi teknologi semata. Lebih dari itu, ini adalah narasi yang erat kaitannya dengan distribusi kekuasaan, akses, dan keadilan substantif itu sendiri.

    Pertanyaan mendasarnya bukan hanya,

    Sejauh mana teknologi diterapkan?”

    tetapi juga,

    Apakah transformasi digital benar-benar membuka akses keadilan yang lebih merata bagi semua kelompok masyarakat, atau justru melahirkan bentuk baru elitisme digital yang memperlebar jurang ketimpangan hukum?”

    Dengan membedah berbagai model peradilan digital di kawasan ASEAN—mulai dari efisiensi teknokratik Singapura hingga pendekatan inklusif yang adaptif di Indonesia—kita dapat melihat dengan lebih jernih ke mana arah digitalisasi ini akan membawa wajah peradilan di masa depan.

    Pertanyaannya kemudian, apakah di persimpangan antara regulasi hukum dan penerapan teknologi digital, transformasi ini benar-benar akan memperluas jangkauan keadilan bagi masyarakat umum, atau justru berpotensi menimbulkan hambatan baru bagi kelompok rentan yang memiliki keterbatasan akses atau literasi teknologi?


    Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendesak untuk dijawab hari ini. Sebab masa depan peradilan digital bukan hanya persoalan perangkat lunak dan infrastruktur, melainkan soal keberpihakan negara dalam memastikan bahwa keadilan benar-benar hadir untuk semua warga negara, di ruang fisik maupun ruang digital.

    Sejarah dan Latar Belakang Digitalisasi Peradilan ASEAN

    Singapura dan Malaysia kerap disebut sebagai pionir di kawasan ini. Keduanya menempuh jalur digitalisasi sejak awal dengan pendekatan yang sistematis dan terukur, berangkat dari visi jangka panjang untuk membangun birokrasi peradilan yang profesional, transparan, dan efisien.

    Singapura

    Singapura sebagai negara kota (city-state) yang secara strategis menempatkan sektor hukum sebagai salah satu pilar utama daya saing global (global legal competitiveness), telah memulai agenda transformasi peradilan digital (judicial digital transformation) jauh sebelum munculnya krisis pandemi COVID-19.

    Sejak awal tahun 2000-an, Electronic Filing System (EFS) diperkenalkan oleh Mahkamah Agung Singapura (Supreme Court of Singapore) sebagai terobosan untuk memfasilitasi pengajuan dokumen perkara secara elektronik (electronic filing of court documents). Inisiatif ini kemudian mengalami akselerasi signifikan dan mencapai fase peak development pada tahun 2013 melalui peluncuran e-Litigation System, yang dibangun dengan skema Public-Private Partnership (PPP) — suatu kolaborasi erat antara Singapore Judiciary dan sektor swasta teknologi hukum.

    Di bawah kerangka kebijakan Legal Technology Vision yang diinisiasi oleh Ministry of Law Singapore, pengembangan e-Litigation tidak hanya difokuskan untuk meningkatkan efisiensi (efficiency) dan akurasi (accuracy) penanganan perkara domestik (domestic case management), tetapi juga diproyeksikan sebagai instrumen strategis untuk memperkuat peran Singapura sebagai pusat penyelesaian sengketa internasional (international dispute resolution hub).

    Keunggulan model digitalisasi peradilan Singapura terletak pada penerapan mandatory use policy, yaitu kebijakan kewajiban penggunaan sistem elektronik secara menyeluruh bagi para praktisi hukum (legal practitioners) dan stakeholders peradilan. Sistem ini dirancang sebagai integrated end-to-end platform yang terus dioptimalkan dengan adopsi teknologi mutakhir, termasuk Artificial Intelligence (AI)-powered tools untuk mendukung proses document review, case prediction, dan automated scheduling.

    Dengan pendekatan yang regulatory-driven, technology-centric, dan professionally enforced, Singapura berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu best practice model transformasi peradilan digital di kawasan ASEAN. Model ini secara tidak langsung juga menegaskan bahwa keberhasilan digitalisasi peradilan tidak hanya bergantung pada ketersediaan teknologi (technological availability), tetapi juga pada kejelasan kerangka hukum, komitmen kebijakan (policy commitment), serta budaya kepatuhan para praktisi hukum terhadap mekanisme digital (compliance culture).


    Dengan demikian, pengalaman Singapura membuktikan bahwa teknologi dan hukum (technology and law) dapat bersinergi untuk menciptakan ekosistem peradilan modern yang efisien, terpercaya, dan berdaya saing tinggi di tingkat regional maupun internasional.

    Malaysia

    Malaysia, sebagai salah satu anggota ASEAN dengan infrastruktur hukum yang cukup mapan, juga menempuh jalur transformasi digital peradilan (Judicial Digitalisation) melalui kerangka kebijakan yang terstruktur. Sejak tahun 2009, Pemerintah Malaysia melalui Jabatan Kehakiman Malaysia (Judiciary of Malaysia) mengembangkan Portal e-Kehakiman Malaysia (e-Court Malaysia Portal), yang berfungsi sebagai gerbang terpadu (integrated gateway) untuk berbagai layanan elektronik di lingkungan peradilan.

    Portal nasional ini menjadi platform utama bagi pelaksanaan e-Filing System, Case Management System (CMS), serta layanan pendukung lainnya seperti e-Payment dan e-Notice. Sistem ini secara mendasar dirancang dengan pendekatan law firm-centric model, di mana partisipasi aktif firma hukum (law firms) dan advokat (advocates and solicitors) menjadi kunci efektivitas implementasi digitalisasi peradilan.

    Filosofi Kehakiman Malaysia menekankan bahwa transformasi digital bukan hanya sekadar adopsi teknologi, tetapi juga sebagai strategi modernisasi birokrasi peradilan (judicial bureaucracy modernisation) yang dilakukan secara top-down. Melalui Malaysia Judiciary Modernisation Initiatives, fokus utama diarahkan pada peningkatan efisiensi proses perkara (efficiency of case processing), kepastian hukum (legal certainty), serta prediktabilitas penyelesaian sengketa (predictability in dispute resolution).

    Antarmuka sistem (user interface) pun secara spesifik dioptimalkan untuk pengguna profesional yang menangani perkara dalam jumlah besar. Hal ini berbeda dengan pendekatan inclusive hybrid di Indonesia yang membuka ruang bagi self-represented litigants (Pengguna Lain). Malaysia secara konsisten memposisikan sistemnya sebagai professional-driven legal technology, di mana compliance (kepatuhan) dan accountability para praktisi hukum menjadi determinasi kualitas layanan peradilan digital.

    Dengan model kebijakan centralised supervision, Kehakiman Malaysia juga menerapkan Continuous Professional Development (CPD) bagi advokat dan pengguna sistem, memastikan bahwa adopsi teknologi berjalan seragam (uniform) di seluruh Mahkamah Tinggi, Mahkamah Rayuan, hingga Mahkamah Persekutuan (Federal Court of Malaysia).

    Pendekatan ini menunjukkan bahwa success story digitalisasi peradilan di Malaysia terwujud melalui kombinasi antara regulatory clarity, robust IT infrastructure, dan peran sentral aktor profesional. Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa transformasi berbasis firma hukum tidak menciptakan jurang digital (digital divide) yang membatasi akses bagi pengguna perorangan (lay litigants) yang kurang familiar dengan prosedur formal.

    Dengan demikian, praktik Malaysia dapat menjadi referensi best practice di ASEAN, khususnya bagi negara-negara yang ingin menyeimbangkan antara kecepatan birokrasi, integritas proses hukum, dan jaminan keadilan substantif di era digital.

    Kedua negara ini menggambarkan model ‘arsitek efisiensi’, di mana teknologi digunakan sebagai alat presisi birokrasi hukum. Namun, pertanyaan kritis tetap perlu diajukan yaitu apakah dominasi pendekatan teknokratik semacam ini benar-benar membuka akses keadilan yang lebih luas, atau justru mengokohkan dominasi kelompok yang sudah mapan secara teknologi dan sumber daya?

    Negara-negara kepulauan besar di Asia Tenggara menghadapi kompleksitas geografis, demografis, dan sosial-ekonomi yang menuntut pendekatan digitalisasi peradilan yang lebih inklusif dan adaptif. Berbeda dengan model teknokratis yang kaku, gelombang ini tumbuh dari kebutuhan mendesak untuk menjaga akses keadilan tetap terbuka bagi kelompok masyarakat yang paling rentan tertinggal.

    Indonesia

    Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar, meniti jalur transformasi digital peradilan melalui kebijakan bertahap yang sangat responsif terhadap hambatan praktis di lapangan. Mahkamah Agung Republik Indonesia meluncurkan e-Court pada 2018 melalui Perma Nomor 3 Tahun 2018 sebagai tonggak awal modernisasi administrasi perkara secara elektronik. Kesadaran akan kendala biaya berperkara yang mahal akibat jarak tempuh antar daerah, penumpukan perkara yang membebani pengadilan, serta potensi korupsi prosedural mendorong pembaruan lanjutan melalui Perma Nomor 1 Tahun 2019 yang mulai mengenalkan sidang elektronik, dan kemudian Perma Nomor 7 Tahun 2022 yang semakin mematangkan mekanisme digital hingga tahap banding.


    Filosofi sistem e-Court Indonesia sangat menarik karena membuka ruang bagi masyarakat yang tidak memiliki kuasa hukum melalui skema Pengguna Lain. Inilah cerminan pendekatan yang sadar konteks sosial yaitu bahwa keadilan harus menjangkau hingga pelosok, tanpa batasan finansial dan geografis yang kerap menjadi penghalang.

    Filipina

    Filipina kini diakui sebagai salah satu negara anggota ASEAN yang relatif progresif dalam pengembangan peradilan elektronik (electronic judiciary system). Sejak tahun 2013, Mahkamah Agung Filipina (Supreme Court of the Philippines) secara resmi meluncurkan uji coba sistem e-Court, sebuah inisiatif strategis yang dirancang untuk meningkatkan kecepatan penanganan perkara (speedy court processes), menekan potensi praktik korupsi, dan memperkuat akuntabilitas melalui transparansi publik (public transparency).

    Berdasarkan data resmi, hingga tahun 2017 tercatat lebih dari 300 pengadilan tingkat pertama di bawah yurisdiksi Supreme Court telah berhasil mengimplementasikan kerangka e-Court secara bertahap. Hal ini menjadikan Filipina sebagai salah satu contoh model jurisdiction di kawasan Asia Tenggara yang mampu memadukan kebutuhan modernisasi birokrasi peradilan dengan prinsip keterbukaan (judicial openness).

    Beberapa fitur utama (key features) dari e-Court Philippines mencerminkan fokus pada judicial efficiency, di antaranya:

    1)       Pengundian perkara (automated raffling) ke cabang pengadilan dilakukan secara otomatis untuk menjamin objektivitas.

    2)      Fasilitas pelacakan dokumen (document tracking system) yang mendukung penelusuran status berkas gugatan, pemberitahuan persidangan (court notices), hingga putusan (court orders).

    3)      Sistem pemantauan progres perkara (case tracking system) untuk mendeteksi keterlambatan (delays) dan memastikan standar waktu peradilan (court time standards) dipatuhi.

    4)      Penerapan automated hearings yang memungkinkan court orders diunggah secara real-time pasca sidang.

    5)      Kehadiran online kiosks yang memberikan akses publik terhadap jadwal sidang (hearing schedules) secara digital.

    Memasuki masa krisis akibat pandemi COVID-19, Supreme Court of the Philippines mengambil langkah adaptif dengan memperluas cakupan sistem melalui video conference hearings, agar proses litigasi dapat terus berjalan tanpa hambatan protokol kesehatan. Dalam konteks perkara pidana (criminal litigation), pengadilan juga menerapkan skema online filing untuk pengajuan dakwaan pidana (criminal complaints) sekaligus pengaturan penjaminan penahanan (online posting of bail).

    Selain di ranah litigasi umum, transformasi digital juga merambah pada sektor kekayaan intelektual. Intellectual Property Office of the Philippines (IPOPHL) menerbitkan amandemen Rules of Procedure yang mendukung penyelesaian sengketa (dispute resolution) melalui online filing of complaints, pengiriman dokumen lewat e-portal atau email, hingga pelaksanaan mediasi daring (online mediation) dengan fasilitas video conference. Langkah ini merefleksikan pendekatan adaptive justice di mana lembaga quasi-yudisial turut memastikan pelindungan hak kekayaan intelektual tetap berjalan meski mobilitas publik terbatas.

    Secara keseluruhan, pengalaman Filipina menunjukkan bahwa desain e-Court system tidak hanya berorientasi pada technocratic efficiency, tetapi juga menekankan prinsip access to justice yang inklusif di era digital. Namun, tantangan peningkatan literasi digital (digital literacy) bagi masyarakat, advokat, dan aparatur peradilan tetap menjadi agenda jangka panjang agar e-Justice benar-benar mendekatkan keadilan kepada publik, bukan sebaliknya.

    Dalam konteks gelombang kedua ini, Indonesia dan Filipina menjadi contoh konkret bagaimana visi digitalisasi peradilan bukan hanya soal kecepatan proses, tetapi juga keberanian mendesain sistem hukum yang berpihak pada aksesibilitas. Inilah yang membedakan model inklusif adaptif di Asia Tenggara dengan pendekatan negara-negara lain: keadilan tidak lagi terpusat di kota besar, tetapi didorong agar hadir di ruang-ruang terdalam masyarakat, dengan menjawab langsung persoalan biaya, jarak, dan literasi hukum.

    Thailand

    Thailand patut dicatat sebagai salah satu yurisdiksi di Asia Tenggara yang bergerak maju melalui kebijakan transformasi peradilan digital yang terencana. Di bawah inisiatif “D-Court 2020” (Digital Court Policy 2020), Court of Justice Thailand (ศาลยุติธรรม) menetapkan target untuk membangun sistem peradilan elektronik (E-Judiciary) yang terintegrasi, modern, dan responsif terhadap tuntutan efisiensi serta keterbukaan informasi publik.

    Implementasi kebijakan D-Court 2020 dilakukan secara bertahap dengan beberapa layanan digital utama (core digital services), di antaranya:

    1)       e-Filing (การยื่นฟ้องทางอิเล็กทรอนิกส์) untuk mendukung pengajuan gugatan dan permohonan secara daring, sehingga pihak berperkara dapat mendaftarkan dokumen tanpa harus hadir secara fisik ke pengadilan.

    2)      Case Information Online Service (CIOS) (ระบบบริการข้อมูลคดีทางออนไลน์) yang memungkinkan masyarakat luas, termasuk para pihak, kuasa hukum, dan publik, untuk melacak status perkara, mengunduh salinan putusan (court decisions), perintah pengadilan (court orders), hingga closing briefs secara real-time.

    3)      Public Tracking System (ระบบติดตามสถานะคดีสาธารณะ) yang dirancang agar publik dapat memeriksa perkembangan perkara tanpa memerlukan registrasi sebelumnya (no prior registration required), sehingga mendorong transparansi.

    4)      e-Notice (ประกาศทางอิเล็กทรอนิกส์) sebagai substitusi pengumuman jadwal sidang di media cetak, dengan publikasi daring yang lebih hemat waktu dan biaya.

    5)      Layanan mediasi (mediation) dan pemeriksaan saksi (witness examination) melalui VDO Conference (การประชุมทางวิดีโอ) yang mendukung remote hearings, terutama pada perkara non-kontroversial.

    6)      Fasilitas e-Payment (การชำระค่าธรรมเนียมทางอิเล็กทรอนิกส์) untuk mempermudah pembayaran biaya perkara secara nontunai, mengurangi potensi pungutan liar (illegal levies) dalam transaksi manual.

    Berdasarkan laporan resmi Office of the Judiciary Thailand (สำนักงานศาลยุติธรรม), pada pertengahan tahun 2020 tercatat lebih dari 160 pengadilan (courts nationwide) telah menggunakan sistem ini, dengan lebih dari 8.000 advokat (registered lawyers) yang terdaftar sebagai pengguna aktif layanan e-Filing. Ini menunjukkan adanya adopsi teknologi yang signifikan di kalangan praktisi hukum (legal practitioners) sebagai pengguna utama sistem.

    Di ranah Kekayaan Intelektual, Central Intellectual Property and International Trade Court (IPIT Court) (ศาลทรัพย์สินทางปัญญาและการค้าระหว่างประเทศกลาง) menjadi salah satu pionir yang memperluas layanan mediasi daring (online mediation) melalui video conference. Langkah ini sejalan dengan D-Court 2020 Roadmap sekaligus merespons kebutuhan penanganan sengketa IP yang efisien, transparan, dan adaptif di masa pandemi.

    Selain itu, Supreme Court of Thailand (ศาลฎีกา) juga mulai menerapkan inovasi signifikan, yaitu pembacaan putusan perkara pidana (criminal verdicts) melalui video conference. Pendekatan ini bertujuan untuk memitigasi risiko keamanan, misalnya potensi upaya pelarian terdakwa (risk of detainee escape) selama proses pengawalan ke ruang sidang fisik.

    Secara keseluruhan, kebijakan D-Court 2020 memperlihatkan bahwa Thailand menempuh jalur gradual adoption dengan pendekatan pilot project yang disesuaikan konteks lokal. Walau belum sekomprehensif platform digital terpadu di Singapura atau Malaysia, inisiatif ini membuktikan bahwa modernisasi peradilan di Thailand tidak hanya menekankan technocratic efficiency, tetapi juga perlahan menempatkan akses keadilan (access to justice) dan transparansi publik sebagai pilar transformasi peradilan di era digital.

    Vietnam

    Dalam konteks transformasi peradilan digital di Asia Tenggara, Vietnam menempuh jalur yang lebih bertahap dibandingkan dengan Filipina maupun Thailand. Hingga saat ini, Vietnam masih berada pada fase early stage adoption, di mana implementasi sidang daring (online hearings) belum sepenuhnya diterapkan sebagai praktik reguler.

    Meski demikian, kemajuan tetap terlihat melalui inisiatif Cổng Thông Tin Điện Tử Toà Án Nhân Dân (Court E-Portal) yang memungkinkan para pihak (litigants) untuk melakukan E-Filing dokumen-dokumen perkara perdata (civil cases) dan administrasi (administrative cases). Sebagaimana diatur dalam kebijakan terbaru, pengajuan melalui E-Portal mensyaratkan penggunaan chữ ký điện tử (certified electronic signature) sebagai jaminan keabsahan identitas digital. Dalam prinsip hukum (in principle), pengadilan (Tòa án) memiliki kewenangan untuk menerbitkan putusan (judgments) secara elektronik. Namun, praktik electronic delivery of judgments ini masih jarang terjadi di lapangan akibat keterbatasan prosedur dan kebiasaan administratif yang konvensional.

    Pandemi COVID-19 telah menjadi katalisator penting bagi Pemerintah Vietnam untuk mendorong percepatan digitalisasi sektor peradilan. Melalui kebijakan Directive 01/2020/CT-CA, Mahkamah Agung Vietnam (Tòa Án Nhân Dân Tối Cao) secara resmi menetapkan pembangunan dan penguatan sistem E-Court sebagai agenda prioritas nasional. Directive ini menegaskan perlunya penyelesaian key tasks pada tahun-tahun mendatang, dengan menitikberatkan pada transformasi manajemen perkara, digitalisasi arsip pengadilan, dan pelatihan SDM yudisial (judicial human resources capacity building).

    Namun demikian, beberapa tantangan mendasar (fundamental challenges) masih membayangi proses modernisasi ini. Di antaranya adalah keterbatasan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (ICT Infrastructure) di sebagian wilayah Vietnam yang bersifat rural dan terpencil (remote areas). Selain itu, kapasitas SDM yudisial (judicial staff capacity) masih perlu ditingkatkan melalui pelatihan intensif agar dapat menguasai keterampilan teknis pengelolaan platform E-Court secara efektif.

    Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jalur transformasi peradilan elektronik di Vietnam (Hành Trình Tòa Án Điện Tử Việt Nam) adalah “long but inevitable road” — jalan panjang yang harus ditempuh sebagai respons terhadap kebutuhan mendesak untuk menjaga kelancaran proses peradilan, meningkatkan transparansi (transparency) dan akuntabilitas (accountability) di era digital, sekaligus menjawab tuntutan publik untuk mendapatkan akses keadilan (access to justice) yang lebih merata.

    Dalam konteks kerangka hukum regional ASEAN, pengalaman Vietnam menegaskan pentingnya sinergi antara regulatory framework, pembangunan infrastruktur TIK, dan capacity building SDM agar visi transformasi digital sektor peradilan tidak hanya berhenti pada tataran kebijakan, tetapi juga dapat diimplementasikan secara efektif di tingkat praktik peradilan sehari-hari.

    Sehingga, yang saat ini yang menjadi tantangan utama terletak pada kesenjangan infrastruktur teknologi informasi, ketersediaan SDM yang kompeten di bidang transformasi digital, serta belum kokohnya kerangka hukum yang mendukung ekosistem peradilan elektronik secara menyeluruh.
    Meskipun demikian, tren kawasan menunjukkan bahwa gelombang digitalisasi tetap bergerak ke arah yang progresif.

    Dukungan dari mitra pembangunan internasional, baik melalui pendanaan maupun transfer pengetahuan, menjadi elemen penting yang mendorong adopsi teknologi di yurisdiksi ini. Pendekatan bertahap (incremental) yang mereka pilih mencerminkan prinsip kehati-hatian untuk menyesuaikan transformasi digital dengan kesiapan nasional dan kapasitas masyarakat pengguna layanan peradilan.


    Dalam konteks besar narasi digitalisasi peradilan di Asia Tenggara, gelombang ketiga menjadi cerminan realitas bahwa kesetaraan akses keadilan melalui teknologi tidak dapat dicapai secara instan. Negara-negara pengadopsi hati-hati ini menegaskan bahwa transformasi digital memerlukan komitmen lintas sektor seperti perbaikan infrastruktur, peningkatan literasi digital para pelaku peradilan, penyusunan kerangka hukum yang adaptif, hingga membangun kepercayaan publik bahwa peradilan elektronik mampu menjaga prinsip due process of law secara adil dan transparan.

    Dengan demikian, digitalisasi peradilan ASEAN ini menunjukkan spektrum perkembangan yang berbeda dari model efisiensi yang teknokratis, pendekatan adaptif yang inklusif, hingga adopsi hati-hati yang menuntut dukungan sistemik. Semua ini berpulang pada pertanyaan mendasar, antara lain mampukah digitalisasi benar-benar mendekatkan keadilan kepada publik—atau justru berisiko memperlebar kesenjangan hukum antara mereka yang terhubung secara digital dan mereka yang masih tertinggal? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan menentukan arah kebijakan transformasi digital peradilan di Asia Tenggara pada dekade mendatang.

    Studi Komparatif Teknis dan Kebijakan: Arsitektur Keadilan Digital

    Perbedaan filosofi ini tercermin dalam arsitektur teknis dan kebijakan masing-masing negara.

    Aspek Komparatif

    Singapura & Malaysia (Model Efisiensi)

    Indonesia & Filipina (Model Inklusif)

    Thailand & Negara Lainnya (Model Transisional)

    Fitur Utama

    Komprehensif & Matang: E-filing, e-payment, e-summons, manajemen kasus, penjadwalan otomatis, dan e-judgment terintegrasi penuh.

    Fokus pada Akses Inti: E-filing, e-payment, dan e-summons menjadi andalan. Sidang video (VC trials) berkembang pesat, namun seringkali bersifat hibrida dan bergantung pada infrastruktur lokal.

    Fragmentaris & Percontohan: Fitur seperti e-filing dan VC trials tersedia di pengadilan tertentu atau untuk jenis kasus tertentu. Belum ada platform terpadu.

    Pengguna Utama

    Profesional Hukum: Sistem dirancang, dioptimalkan, dan diwajibkan untuk firma hukum/advokat. Akses publik sangat terbatas atau melalui perantara berbayar.

    Publik Umum & Profesional: Secara eksplisit dirancang untuk dua jenis pengguna. Antarmuka untuk publik dibuat lebih sederhana, mengakui adanya kesenjangan literasi digital.

    Campuran (Cenderung Profesional): Sistem yang ada saat ini lebih mudah diakses oleh praktisi hukum yang familiar dengan prosedur pengadilan.

    Integrasi Sistem

    Tinggi: Terintegrasi dengan baik dengan lembaga lain seperti kejaksaan, lembaga pemerintah, dan portal layanan hukum profesional. Arus data berjalan lancar.

    Sedang Berkembang: Integrasi dengan lembaga lain (seperti Dukcapil di Indonesia) sedang dibangun tetapi belum menjadi tulang punggung operasional. Masih banyak proses manual antar lembaga.

    Rendah: Integrasi antar lembaga masih menjadi tantangan besar. Sistem peradilan seringkali masih menjadi "pulau" digital yang terisolasi.

    Regulasi & Kelembagaan

    Kuat & Top-Down: Didukung oleh kerangka hukum yang jelas, roadmap nasional, dan institusi khusus yang mengawasi implementasi dan pengembangan.

    Adaptif & Evolusioner: Kerangka hukum berkembang secara bertahap sebagai respons terhadap evaluasi dan kebutuhan lapangan. Implementasi lebih terdesentralisasi.

    Parsial & Reaktif: Peraturan seringkali bersifat sementara atau ad-hoc (misalnya, surat edaran darurat pandemi) dan belum terkonsolidasi menjadi undang-undang yang komprehensif.

    Pedang Bermata Dua

    Di titik inilah kita harus jujur mengakui bahwa digitalisasi peradilan di kawasan ASEAN ibarat pedang bermata dua. Transformasi digital memang membawa manfaat nyata, tetapi di saat yang sama berpotensi melahirkan tantangan baru yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

    Efisiensi vs. Eksklusivitas. Model Singapura dan Malaysia secara faktual patut diakui berhasil mendorong efisiensi birokrasi peradilan ke level yang sulit dicapai sebelumnya. Waktu penanganan perkara menurun drastis, jalur birokrasi dipangkas, biaya transparan, dan kepastian hukum meningkat. Namun, di balik pencapaian ini terdapat paradoks yang tidak kecil seperti sistem yang dirancang law-firm centric dengan antarmuka yang kompleks justru menciptakan hambatan baru bagi individu pencari keadilan yang tidak punya sumber daya atau keterampilan digital memadai. Ketika keadilan bergeser menjadi layanan premium bagi mereka yang mampu “membayar jalur cepat”, maka akses substantif rakyat biasa rentan terpinggirkan.

    Inklusivitas vs. Inefisiensi. Sebaliknya, Indonesia dan Filipina mewakili pendekatan yang lebih egaliter. Dengan membuka jalur bagi perorangan (pro se litigants) dan menghadirkan layanan Pojok e-Court hingga pendampingan daring, kebijakan ini menegaskan bahwa keadilan adalah hak, bukan privilese segelintir orang. Namun, inklusivitas ini tidak tanpa biaya sosial: bandwidth jaringan di wilayah 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal) seringkali membatasi efektivitas layanan, beban administrasi meningkat, dan disparitas literasi digital di antara para pemangku kepentingan membuat sistem mudah tersendat. Situasi ini menegaskan satu hal yaitu akses tanpa kapasitas tidak akan pernah cukup untuk menjamin keadilan substantif.

    Kontrol Institusional vs. Pengawasan Sipil. Titik kritis lain yang jarang diulas dengan jujur adalah dimensi pengawasan kekuasaan. Sistem e-Court pada dasarnya menempatkan otoritas yudisial di posisi sangat dominan: dari pengendalian infrastruktur digital, otoritas verifikasi data, hingga penyimpanan rekam jejak elektronik. Di satu sisi, hal ini memperkecil celah pungutan liar konvensional, tetapi di sisi lain membuka risiko sentralisasi data yang rawan disalahgunakan. Siapa yang mengawasi sang pengawas? Tanpa mekanisme checks and balances, akuntabilitas teknologi hanya tinggal jargon di atas kertas. Kontrol publik yang lemah akan membuat potensi manipulasi data, pelanggaran privasi, atau penyalahgunaan kewenangan digital semakin sulit terdeteksi.

    Sehingga dapat dikatakan bahwa transformasi digital peradilan di Asia Tenggara memperlihatkan satu hal mendasar: teknologi hanyalah instrumen, bukan jawaban mutlak. Ia dapat menjadi jembatan yang mendekatkan layanan keadilan kepada masyarakat luas, tetapi pada saat yang sama juga berisiko menciptakan tembok digital baru yang semakin sulit ditembus kelompok rentan. Proyek digitalisasi peradilan menuntut kita untuk terus menyeimbangkan kecepatan, aksesibilitas, akuntabilitas, dan transparansi.

    Upaya menjaga agar inovasi digital tetap selaras dengan amanat keadilan konstitusional harus dilakukan melalui penguatan literasi hukum dan digital di tingkat akar rumput, pengawasan publik yang independen, serta kebijakan afirmatif yang benar-benar menjangkau masyarakat dengan keterbatasan infrastruktur maupun keterampilan teknologi. Tanpa hal-hal ini, keadilan hanya akan bergerak cepat bagi sebagian, namun tetap lambat — bahkan menjauh — bagi mereka yang paling membutuhkannya.

    Pada akhirnya, pertanyaan kunci yang harus dijawab tidak lagi sekadar “Seberapa canggih sistem peradilan elektronik kita?” tetapi “Apakah inovasi digital ini benar-benar memudahkan akses keadilan bagi semua warga negara sesuai mandat konstitusi?”
    Jawaban atas pertanyaan tersebut akan menentukan apakah digitalisasi peradilan akan menjadi tonggak inklusi atau justru menambah jurang ketimpangan di era baru penegakan hukum.

    Kelebihan dan Kekurangan: Peta Kekuatan dan Kelemahan

    Negara

    Kelebihan

    Kekurangan

    Indonesia

    Terbuka dan inklusif untuk masyarakat luas; Biaya akses rendah bagi perorangan; Kebijakan yang adaptif dan evolusioner.

    Masih relatif lambat; Sangat bergantung pada kualitas jaringan yang tidak merata; Proses belum full digital secara konsisten.

    Singapura

    Sangat efisien, cepat, dan andal; Terintegrasi penuh dengan ekosistem hukum; Mendorong profesionalisme tinggi.

    Sangat eksklusif dan elitis; Mahal bagi pengguna dan klien; Kurang ramah bagi pencari keadilan perorangan.

    Malaysia

    Sistem matang, stabil, dan terintegrasi; Efisiensi proses yang tinggi; Portal terpusat yang komprehensif.

    Kurang inklusif dan tidak ramah publik; Didominasi oleh kalangan advokat; Inovasi cenderung lebih lambat dari Singapura.

    Thailand

    Mulai berkembang pesat dengan percontohan VC hearing; Ada kemauan politik untuk modernisasi pasca-pandemi.

    Fragmentasi kebijakan dan implementasi; Belum ada platform nasional yang menyeluruh; Infrastruktur belum merata.

    Filipina

    Adopsi VC hearing meningkat pesat sejak pandemi; Komitmen kuat pada akses keadilan jarak jauh.

    Infrastruktur dan kapasitas SDM belum merata; Regulasi masih bersifat transisional; Ketergantungan pada stabilitas internet.

    Merancang Ulang Keadilan Digital untuk Kemanusiaan

    Perjalanan digitalisasi peradilan di Asia Tenggara kini telah tiba pada sebuah persimpangan krusial. Satu jalur, yang diilustrasikan dengan gemilang melalui efisiensi model Singapura dan Malaysia, memang menawarkan kecepatan, keteraturan, dan prediktabilitas proses hukum. Namun, jalur ini berisiko menciptakan kesenjangan akses bagi sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki sumber daya atau literasi digital memadai. Di sisi lain, jalur yang ditempuh oleh Indonesia dan Filipina menunjukkan pendekatan yang lebih adaptif dan inklusif, berupaya merangkul keragaman kondisi geografis serta sosial-ekonomi, meskipun harus dibayar dengan tantangan teknis, birokrasi yang lambat, dan ketidakpastian prosedural.

    Evaluasi kritis atas dinamika ini menegaskan bahwa tidak ada satu model tunggal yang dapat diadopsi secara mentah-mentah di setiap negara. Meniru blueprint Singapura di negara kepulauan dengan tantangan konektivitas seperti Indonesia hanya akan menimbulkan ketimpangan akses dan ketidakadilan struktural. Sebaliknya, bergantung semata pada pola yang longgar namun inkonsisten juga akan menghambat terwujudnya peradilan yang cepat, transparan, dan berbiaya terjangkau.


    Masa depan keadilan digital di kawasan ASEAN terletak pada kemampuan setiap negara untuk mensintesis keunggulan dari kedua pendekatan tersebut. Artinya, transformasi digital harus dirancang dengan memperhatikan keseimbangan antara kecepatan proses, jaminan inklusivitas, perlindungan hak asasi, serta kepastian hukum.

    Untuk itu, diperlukan arah kebijakan yang berangkat dari tiga pilar normatif dan teknis berikut, antara lain:

    Pertama, Arsitektur Akses Bertingkat (Tiered Access). Desain sistem digital peradilan sebaiknya menyediakan antarmuka bertingkat — satu antarmuka sederhana dan ramah pengguna untuk masyarakat awam, dilengkapi panduan langkah demi langkah; serta satu antarmuka yang lebih komprehensif dengan fitur-fitur profesional untuk advokat, hakim, dan aparatur penegak hukum. Dengan demikian, pendekatan inklusif Indonesia dapat dikombinasikan dengan efisiensi operasional model Singapura.

    Kedua, Prinsip Interoperabilitas. ASEAN membutuhkan standar minimal yang disepakati bersama agar pertukaran data antar lembaga peradilan, kepolisian, kejaksaan, dan pihak terkait dapat berjalan aman, cepat, dan akuntabel. Standar interoperabilitas ini akan menghindari tumpang tindih sistem, sekaligus menekan biaya implementasi dan pemeliharaan teknologi.

    Ketiga, Piagam Hak Digital dalam Peradilan. Di era digital, hak-hak dasar warga negara di ranah peradilan harus dirumuskan secara eksplisit dan dijamin keberlakuannya. Piagam ini setidaknya memuat jaminan atas akses yang setara ke sistem elektronik, perlindungan privasi data perkara, hak atas proses hukum yang adil secara virtual, serta hak memperoleh dukungan teknis, terutama bagi masyarakat rentan.

    Pada akhirnya, teknologi hukum hanyalah instrumen. Ia dapat menjadi jembatan yang memperluas jalan menuju keadilan, tetapi juga dapat berubah menjadi tembok yang menutup akses bagi yang lemah. Tantangan terbesar bagi para pembuat kebijakan, pimpinan lembaga peradilan, dan masyarakat sipil di Asia Tenggara adalah memastikan bahwa setiap inovasi digital dirancang, dibangun, dan diimplementasikan dengan satu tujuan mulia: memperluas, bukan mempersempit, ruang keadilan bagi setiap warga negara, apa pun status sosial dan kemampuan teknologinya.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.