layananhukum

Aturan Pinjaman Online yang Wajib Kamu Ketahui di Tengah Darurat Pinjaman Online Ilegal

 

    Pengantar

    Maraknya praktik pinjaman online ilegal (pinjol ilegal) di Indonesia telah bertransformasi dari sekadar isu finansial menjadi sebuah krisis sosio-legal yang mendesak. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan kerugian materiil, tetapi juga merenggut ketenangan, merusak reputasi, dan bahkan mengancam keselamatan jiwa para korbannya.

    Menghadapi eskalasi masalah ini, lanskap hukum di Indonesia telah dan terus mengalami evolusi signifikan, bergerak dari respons yang reaktif menuju kerangka kerja yang lebih preventif dan represif.

    Artikel ini merupakan artikel update-an dari artikel kami sebelumnya yang berjudul “Terkena Pinjaman Online Illegal, Jangan Panik, Begini Aturannya yang mana tulisan ini bertujuan untuk membedah secara komprehensif dan objektif dinamika regulasi terkini yang mengatur sektor teknologi finansial, khususnya pinjaman online. Analisis ini menjadi krusial, terutama pasca terbitnya putusan Mahkamah Agung yang monumental terkait gugatan warga negara (citizen lawsuit) terhadap penyelenggara negara.

    Putusan tersebut menjadi titik balik yang menegaskan adanya kelalaian sistemik dari negara dalam memberikan perlindungan kepada warganya dan memerintahkan adanya perbaikan regulasi secara fundamental.

    Perkembangan ini menandakan pergeseran paradigma. Jika sebelumnya regulasi terkesan berjalan di belakang inovasi teknologi yang eksploitatif, kini negara—didorong oleh tekanan publik dan putusan yudisial—secara progresif memperkuat arsenal hukumnya.

    Rangkaian peraturan baru yang terbit dalam beberapa tahun terakhir, mulai dari peraturan di level Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Undang-Undang, merupakan manifestasi dari upaya negara untuk mengembalikan keseimbangan dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.

    Oleh karena itu, pemahaman yang akurat dan mutakhir mengenai aturan main ini bukan lagi sekadar pengetahuan, melainkan sebuah instrumen esensial bagi masyarakat untuk melindungi diri dan memperjuangkan hak-haknya.

    Membedah Terminologi: Fintech, Layanan Pendanaan Bersama, dan Status Legalitasnya

    Untuk memahami persoalan pinjaman online secara utuh, penting untuk terlebih dahulu mengurai terminologi kunci yang sering digunakan. Istilah Financial Technology atau Fintech kerap kali disamakan dengan pinjaman online (pinjol), padahal cakupannya jauh lebih luas.

    Fintech adalah inovasi dalam industri jasa keuangan yang memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan dan mengotomatisasi layanan keuangan. Produknya dapat berupa sistem pembayaran digital, e-wallet, agregator keuangan, hingga investasi ritel. Sementara itu, pinjaman online merupakan salah satu cabang spesifik dari Fintech.

    Regulasi terbaru telah memperbarui nomenklatur resmi untuk layanan ini. Istilah yang sebelumnya dikenal sebagai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 telah digantikan. Kini, istilah yang berlaku adalah Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI), sebagaimana didefinisikan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, yang selanjutnya disebut dengan POJK 10/2022” dan ditegaskan kembali dalam regulasi penggantinya.

    Perubahan nomenklatur dari “Pinjam Meminjam Uang” menjadi “Pendanaan Bersama” ini bukanlah sekadar perubahan terminologi, melainkan sebuah pilihan kebijakan regulatoris yang disengaja. Istilah baru ini bertujuan untuk merekonstruksi citra industri dan memperjelas model bisnisnya. “Pendanaan Bersama” lebih akurat menggambarkan peran platform sebagai perantara (intermediary) yang mempertemukan banyak pihak pemberi dana (lender) dengan pihak penerima dana (borrower), bukan sebagai lembaga yang meminjamkan uangnya sendiri.

    Dalam mekanisme LPBBTI, terdapat tiga pihak utama:

    1.        Penyelenggara yaitu badan hukum (Perseroan Terbatas atau Koperasi) yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan platform LPBBTI untuk mempertemukan Pemberi Dana dan Penerima Dana;

    2.       Pemberi Dana yaitu orang perseorangan atau badan hukum yang memiliki dana dan menyalurkannya kepada Penerima Dana melalui platform Penyelenggara;

    3.      Penerima Dana yaitu orang perseorangan atau badan hukum yang membutuhkan dana dan mengajukan permohonan pendanaan melalui platform Penyelenggara.

    Penyelenggara LPBBTI yang sah dan legal wajib terdaftar dan memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Inilah pembeda fundamental antara pinjol legal dan ilegal. Pinjol ilegal beroperasi di luar kerangka hukum ini, tanpa pengawasan OJK, sehingga praktik mereka sering kali melanggar hukum dan merugikan konsumen.

    Landasan Hukum Penyelenggara LPBBTI

    Regulasi yang menjadi payung hukum bagi penyelenggara pinjaman online legal telah mengalami penguatan signifikan. Peraturan lama, yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, secara resmi telah dicabut dan tidak berlaku lagi. (vide Pasal 118 POJK 10/2022)

    Sebagai gantinya, OJK menerbitkan POJK 10/2022 yang kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2024 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, yang selanjutnya disebut dengan “POJK 40/2024”. Regulasi terbaru ini dirancang untuk lebih adaptif terhadap perkembangan industri, memperkuat tata kelola, manajemen risiko, dan yang terpenting, perlindungan konsumen.

    Beberapa ketentuan kunci yang diperketat dalam regulasi terbaru antara lain:

    -        Sistem perizinan ganda “terdaftar” dan “berizin” yang sebelumnya sering menimbulkan kebingungan di masyarakat telah dihapus. Kini, setiap penyelenggara LPBBTI wajib langsung memperoleh izin usaha dari OJK sebelum dapat beroperasi. Tidak ada lagi status “terdaftar”. Selain itu, setelah mendapat izin OJK, penyelenggara juga wajib mendaftarkan diri sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) di Kementerian Komunikasi dan Informatika;

    -        Modal disetor minimum pada saat pendirian dinaikkan secara drastis menjadi Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). Peningkatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa hanya penyelenggara dengan kapasitas finansial yang kuat dan komitmen jangka panjang yang dapat masuk ke dalam industri, sekaligus menyaring pelaku usaha yang tidak serius;

    -        Untuk menjaga kedaulatan data dan ekonomi digital nasional, kepemilikan asing pada penyelenggara LPBBTI, baik secara langsung maupun tidak langsung, dibatasi tidak boleh melebihi 85% (delapan puluh lima persen) dari modal disetor;

    -        POJK 40/2024 memberikan penekanan yang lebih kuat pada kewajiban penerapan manajemen risiko yang efektif dan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance), termasuk kewajiban memiliki unit audit internal dan sumber daya manusia yang kompeten dan bersertifikat.

    Evolusi regulasi ini menunjukkan lompatan signifikan dalam upaya penertiban industri. Jika dibandingkan dengan POJK 77/2016 yang lama, perubahan dalam POJK 10/2022 dan POJK 40/2024 sangat fundamental. Modal disetor minimum yang tadinya hanya Rp2,5 miliar saat perizinan, kini melonjak sepuluh kali lipat menjadi Rp25 miliar. Sistem perizinan dua tahap (“terdaftar” lalu “berizin”) yang membingungkan telah diganti dengan sistem perizinan tunggal yang lebih tegas yaitu hanya ada status “berizin”.

    Selain itu, aturan baru secara eksplisit membatasi kepemilikan asing hingga maksimal 85% dan mewajibkan sertifikasi kompetensi bagi jajaran direksi dan komisaris, sebuah syarat yang sebelumnya tidak diatur secara tegas. Aturan mengenai mekanisme penagihan pun dipertegas untuk memberikan perlindungan lebih baik kepada konsumen.

    Perketatan regulasi ini secara jelas menunjukkan respons OJK terhadap berbagai masalah yang muncul di lapangan, dengan tujuan akhir menciptakan ekosistem LPBBTI yang lebih sehat, aman, dan dapat dipercaya oleh masyarakat.

    Perlindungan Data Pribadi sebagai Benteng Utama

    Salah satu modus operandi paling meresahkan dari pinjol ilegal adalah penyalahgunaan data pribadi. Praktik seperti mengakses seluruh kontak di ponsel, menyebarkan foto dan informasi utang ke media sosial, hingga melakukan teror kepada atasan atau keluarga korban merupakan pelanggaran serius terhadap hak privasi. Pengesahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, yang selanjutnya disebut dengan “UU PDP”, menjadi tonggak sejarah dan memberikan benteng pertahanan hukum yang kokoh bagi para korban.

    UU PDP secara fundamental mengubah dinamika kekuasaan, dari yang sebelumnya didominasi oleh pengendali data (dalam hal ini pinjol) menjadi berpusat pada subjek data (konsumen). Berikut adalah pasal-pasal kunci yang relevan bagi korban pinjol ilegal:

    UU PDP memberikan definisi yang jelas mengenai apa saja yang termasuk data pribadi. Pasal 4 UU PDP membaginya menjadi dua kategori :

    1.        Data Pribadi yang bersifat umum, meliputi: nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, status perkawinan, dan/atau data pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang;

    2.       Data Pribadi yang bersifat spesifik, meliputi: data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, dan/atau data lainnya.

    Penyalahgunaan data kontak, KTP, foto diri, hingga informasi finansial oleh pinjol ilegal jelas termasuk dalam lingkup perlindungan undang-undang ini.

    UU PDP memberikan serangkaian hak yang dapat diberlakukan secara hukum oleh korban, di antaranya:

    -         Hak untuk menarik persetujuan pemrosesan data pribadi (vide Pasal 11 UU PDP)

    Korban berhak untuk menarik kembali persetujuan yang mungkin pernah diberikan kepada aplikasi pinjol untuk mengakses datanya. Penarikan persetujuan ini harus mudah dilakukan;

    -         Hak untuk menghapus dan memusnahkan data pribadi (vide Pasal 13 UU PDP)

    Korban berhak meminta pengendali data (pinjol) untuk menghapus seluruh data pribadinya jika persetujuan telah dicabut, data diperoleh secara melawan hukum, atau tidak lagi diperlukan sesuai tujuan awal

    -         Hak untuk mendapatkan informasi tentang kejelasan identitas, dasar kepentingan hukum, tujuan permintaan dan penggunaan data pribadi, dan akuntabilitas pihak yang meminta data pribadi (vide Pasal 5 UU PDP).

    Penyelenggara pinjol, sebagai pengendali data, dibebani sejumlah kewajiban yang ketat, antara lain:

    -         Kewajiban mendapatkan persetujuan yang sah dan eksplisit (vide Pasal 20 UU PDP)

    Persetujuan harus diberikan secara tertulis atau terekam, baik secara elektronik maupun nonelektronik, untuk satu atau beberapa tujuan spesifik yang telah disampaikan kepada subjek data. Klausul persetujuan yang tersembunyi dalam syarat dan ketentuan yang panjang dan rumit tidak lagi dianggap sah;

    -         Kewajiban melindungi dan memastikan keamanan data pribadi (vide Pasal 35 UU PDP)

    Pengendali data wajib melakukan langkah teknis dan operasional untuk melindungi data dari pemrosesan yang tidak sah.

    -         Kewajiban memberitahukan jika terjadi kegagalan pelindungan data pribadi (vide Pasal 46 UU PDP)

    Apabila terjadi kebocoran data, pengendali data wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis paling lambat 3x24 jam kepada subjek data dan lembaga terkait.

    Sanksi Pidana yang Menjerat

    UU PDP tidak hanya mengatur sanksi administratif, tetapi juga sanksi pidana yang berat, yang sangat relevan untuk menjerat pelaku pinjol ilegal. Pasal 67 ayat (1) jo. Pasal 65 ayat (1) UU PDP menyatakan:

    “Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

    Selanjutnya, Pasal 67 ayat (2) jo. Pasal 65 ayat (2) UU PDP mengatur tentang pengungkapan data pribadi:

    “Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).”

    Pasal-pasal ini memberikan dasar hukum yang sangat kuat bagi korban untuk melaporkan pelaku pinjol ilegal ke pihak kepolisian atas tindak pidana penyalahgunaan data pribadi.

    Jerat Pidana Bagi Pelaku Pinjol Ilegal: Pembaruan dalam UU ITE Nomor 1 Tahun 2024

    Selain UU PDP, benteng hukum pidana terhadap praktik teror dan intimidasi oleh debt collector pinjol ilegal juga diperkuat melalui revisi terbaru Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pengesahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang selanjutnya disebut dengan “UU ITE Perubahan Kedua”, memberikan aparat penegak hukum instrumen yang lebih tajam dan spesifik.

    Revisi ini penting karena menjawab kritik terhadap pasal-pasal “karet” dalam UU ITE sebelumnya dan merumuskan delik-delik yang lebih presisi, yang secara langsung menyasar modus operandi pinjol ilegal. Berikut adalah pasal-pasal yang paling relevan:

    Pencemaran Nama Baik

    Praktik mempermalukan korban dengan menyebarkan narasi utang ke kontak atau media sosial kini dapat dijerat dengan pasal yang lebih spesifik. Pasal 27A UU ITE Perubahan Kedua menyatakan:

    “Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”

    Ancaman pidananya diatur dalam Pasal 45 ayat (4) UU ITE Perubahan Kedua, yaitu pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp400.000.000,00.

    Pemerasan dan Pengancaman

    Ini adalah jantung dari praktik teror pinjol ilegal. UU ITE Perubahan Kedua menyediakan beberapa pasal berlapis untuk menjerat perbuatan ini. Pasal 27B ayat (2) UU ITE Perubahan Kedua secara spesifik menyasar pemerasan dengan ancaman pencemaran:

    “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya: a. memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau b. memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.”

    Ancaman pidananya diatur dalam Pasal 45 ayat (10) UU ITE Perubahan Kedua, yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.

    Pasal 29 UU ITE Perubahan Kedua menargetkan pengancaman yang bersifat pribadi dan menakut-nakuti (cyberbullying):

    “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti.”

    Ancaman pidananya diatur dalam Pasal 45B UU ITE Perubahan Kedua , yaitu pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00.

    Kehadiran pasal-pasal yang lebih spesifik ini memberikan kepastian hukum yang lebih besar bagi korban dan memudahkan aparat penegak hukum untuk memproses laporan pidana terhadap para pelaku teror pinjol ilegal.

    Peran Lembaga Pengawas dan Penegak Hukum

    Dalam menangani pinjol ilegal, terdapat pembagian peran yang jelas antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Satuan Tugas (Satgas) khusus. OJK memiliki kewenangan untuk mengatur, mengawasi, dan mengenakan sanksi hanya kepada penyelenggara LPBBTI yang legal dan berizin. OJK tidak memiliki yurisdiksi untuk menindak pinjol ilegal secara langsung.

    Untuk mengisi kekosongan tersebut dan melakukan penindakan terhadap subjek ilegal, pemerintah membentuk satuan tugas lintas kementerian/lembaga. Satgas ini sebelumnya dikenal dengan nama Satgas Waspada Investasi (SWI), yang kini telah direvitalisasi dan diperkuat menjadi Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI).

    Satgas PASTI beranggotakan 13 kementerian dan lembaga, termasuk OJK, Bank Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kejaksaan Agung, dan lainnya. Tugas utamanya adalah melakukan tindakan preventif dan represif terhadap seluruh aktivitas keuangan ilegal, termasuk pinjol ilegal. Peran Satgas PASTI meliputi:

    1.        Pencegahan: Melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai bahaya pinjol ilegal.

    2.       Penanganan Pengaduan: Menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat melalui kanal resmi seperti email ke waspadainvestasi@ojk.go.id.

    3.       Penindakan: Berkoordinasi dengan Kementerian Kominfo untuk melakukan pemblokiran situs web dan aplikasi pinjol ilegal, serta berkoordinasi dengan Bareskrim Polri untuk melakukan proses penegakan hukum pidana terhadap para pelakunya.

    Penting bagi masyarakat untuk memahami perbedaan ini yaitu pengaduan terkait masalah dengan pinjol legal dapat disampaikan langsung ke OJK, sedangkan laporan mengenai pinjol ilegal harus ditujukan kepada Satgas PASTI dan Kepolisian.

    Studi Kasus Konkret di Pengadilan

    Teori dan peraturan perundang-undangan menjadi lebih bermakna ketika diuji dalam praktik peradilan. Dua putusan pengadilan berikut ini memberikan gambaran nyata bagaimana hukum diterapkan dalam kasus pinjol, baik pada level individu pelaku maupun pada level pertanggungjawaban negara.

    Studi Kasus 1 (Pidana): Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 438/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr., tertanggal 9 Juni 2020

    Putusan ini menunjukkan bahwa individu debt collector dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara personal atas perbuatannya.

    1.        Terdakwa, Dede Supardi, seorang debt collector dari perusahaan yang mengelola beberapa aplikasi pinjol, terbukti melakukan penagihan kepada korban dengan cara mengirimkan pesan WhatsApp dan voice note yang berisi ancaman kekerasan dan kata-kata kasar. Ancaman tersebut antara lain berbunyi, “Awas lo, keluarga lo gua habisin semua, nggak usah lo bayar setan, yang jelas keluarga lo sudah gua bantai semua” dan ancaman pembunuhan serta mutilasi;

    2.       Majelis Hakim menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 45 ayat (4) jo. Pasal 27 ayat (4) UU ITE (versi sebelum perubahan). Hakim menilai bahwa perbuatan Terdakwa mengirimkan informasi elektronik yang berisi ancaman kekerasan dengan maksud memaksa korban membayar utang telah memenuhi seluruh unsur delik pemerasan dan/atau pengancaman melalui media elektronik. Fakta bahwa Terdakwa akan mendapat keuntungan berupa bonus dari penagihan tersebut memperkuat unsur “menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum”;

    3.       Putusan ini menjadi yurisprudensi penting yang menegaskan bahwa debt collector tidak dapat berlindung di balik perintah perusahaan. Setiap tindakan pengancaman, intimidasi, dan teror yang mereka lakukan adalah tindak pidana individual yang dapat diproses hukum dan berujung pada hukuman penjara.

    Studi Kasus 2 (Perdata/Citizen Lawsuit): Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1206 K/Pdt/2024., tertanggal 24 April 2024

    Putusan ini merupakan sebuah terobosan hukum yang menyasar akar permasalahan, yaitu kelalaian negara dalam mengatur industri pinjol.

    1.        Sejumlah warga negara yang menjadi korban dan pegiat hak asasi manusia mengajukan gugatan citizen lawsuit terhadap Presiden RI, DPR RI, Menkominfo, dan Ketua Dewan Komisioner OJK. Para Penggugat mendalilkan bahwa Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) karena telah lalai dan membiarkan maraknya praktik pinjol ilegal yang merugikan masyarakat tanpa membuat regulasi yang komprehensif dan melindungi;

    2.       Mahkamah Agung, dalam putusan kasasinya, mengabulkan gugatan tersebut. MA berpendapat bahwa dampak destruktif dari pinjol ilegal yang menjerat dan mengeksploitasi masyarakat merupakan fakta yang notoir (notoir feiten) atau sudah menjadi pengetahuan umum sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. MA menyatakan bahwa negara, dalam hal ini Para Tergugat, memiliki kewajiban hukum untuk melindungi warganya. Dengan tidak menerbitkan peraturan yang adil, berkepastian hukum, dan komprehensif untuk menertibkan pinjol, negara telah terbukti lalai dalam menjalankan kewajibannya. Oleh karena itu, MA memerintahkan Para Tergugat untuk segera mengambil tindakan dan membuat peraturan yang diperlukan;

    3.       Putusan ini memiliki implikasi yang sangat luas. Secara yuridis, ia menegaskan akuntabilitas negara dalam melindungi warga di ruang digital. Secara politis, ia memberikan tekanan yang sangat kuat kepada pemerintah dan legislatif untuk tidak lagi menunda-nunda reformasi regulasi di sektor keuangan digital. Putusan ini memvalidasi penderitaan para korban secara kelembagaan dan menegaskan bahwa masalah pinjol ilegal adalah cerminan dari kegagalan sistemik yang harus diperbaiki di level kebijakan tertinggi.

    Kedua kasus ini, jika dibaca bersamaan, memberikan pesan yang kuat yaitu hukum dapat menjangkau pelaku di level operasional (individu debt collector) sekaligus menuntut pertanggungjawaban dari pemangku kebijakan di level negara (pemerintah).

    Langkah Hukum Strategis Bagi Korban

    Berdasarkan kerangka hukum yang telah diperbarui, korban pinjol ilegal kini memiliki posisi yang jauh lebih kuat untuk melawan. Berikut adalah langkah-langkah strategis yang dapat ditempuh:

    1.       Hentikan Pembayaran dan Kumpulkan Bukti

    Untuk pinjol ilegal, para ahli hukum dan OJK sering kali menyarankan untuk menghentikan pembayaran. Hal ini didasari argumen bahwa perjanjian dengan entitas ilegal tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya mengenai “suatu sebab yang halal”. Fokus utama adalah mengamankan diri dan mengumpulkan semua bukti secara cermat. Simpan semua tangkapan layar (screenshot) dari pesan ancaman, rekaman suara, bukti penyebaran data, nomor telepon pelaku, dan tautan aplikasi;

    2.       Pelaporan Pidana ke Kepolisian

    Segera buat Laporan Polisi (LP) di kantor polisi terdekat (Polres atau Polda). Dasarkan laporan Anda pada pasal-pasal pidana yang spesifik:

    -       Untuk penyalahgunaan data pribadi, gunakan Pasal 65 dan 67 UU PDP.

    -       Untuk pengancaman dan pemerasan, gunakan Pasal 27B dan/atau Pasal 29 UU ITE Perubahan Kedua.

    -       Untuk pencemaran nama baik, gunakan Pasal 27A UU ITE Perubahan Kedua. Menyebutkan pasal yang relevan akan membantu penyidik mengarahkan proses penyelidikan dengan lebih cepat dan tepat.

    3.       Pengaduan ke Lembaga Terkait

    Lakukan pelaporan secara paralel ke lembaga pengawas untuk tindakan pemblokiran dan pengawasan:

    -       Satgas PASTI: Kirimkan laporan lengkap beserta bukti-bukti ke email waspadainvestasi@ojk.go.id.

    -       Kementerian Kominfo: Laporkan aplikasi atau situs web pinjol ilegal melalui situs aduankonten.id agar dapat segera diblokir aksesnya.

    4.       Opsi Gugatan Perdata

    Selain jalur pidana, korban juga dapat menempuh jalur perdata untuk menuntut ganti rugi. Gugatan dapat diajukan atas dasar Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Korban dapat menuntut ganti kerugian materiil (misalnya, kerugian finansial akibat penipuan) dan imateriil (misalnya, penderitaan psikis, kerusakan nama baik, dan rasa malu akibat teror dan penyebaran data). Bukti-bukti dari laporan pidana dan pelanggaran UU PDP serta UU ITE akan sangat memperkuat posisi korban dalam gugatan perdata.

    Kesimpulan dan Proyeksi

    Lanskap hukum yang mengatur pinjaman online di Indonesia telah mengalami transformasi fundamental dalam beberapa tahun terakhir. Dari kerangka regulasi yang longgar, kini telah berdiri benteng-benteng hukum yang kokoh melalui POJK 40/2024, UU Pelindungan Data Pribadi, dan pembaruan UU ITE. Rangkaian peraturan ini, yang lahir dari desakan publik dan diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung yang progresif, secara signifikan telah memperkuat posisi konsumen dan memberikan instrumen hukum yang tajam untuk menjerat para pelaku pinjol ilegal.

    Dapat disimpulkan bahwa:

    1.        Standar untuk menjadi penyelenggara pinjol legal kini sangat tinggi, mencakup permodalan yang kuat, perizinan tunggal yang ketat, dan kewajiban tata kelola yang baik. Hal ini bertujuan untuk menciptakan industri yang lebih sehat dan terpercaya.

    2.       Perlindungan Data Pribadi Menjadi Prioritas Utama, artinya UU PDP telah memberikan hak-hak konkret kepada individu untuk mengontrol data mereka dan memberikan ancaman sanksi pidana yang serius bagi para pelanggarnya.

    3.      Penegakan Hukum Pidana Diperkuat, dengan adanya amandemen UU ITE menyediakan pasal-pasal yang dirancang khusus untuk memerangi taktik teror, pemerasan, dan pencemaran nama baik yang menjadi ciri khas pinjol ilegal.

    Meskipun demikian, keberadaan peraturan yang kuat hanyalah langkah awal. Tantangan ke depan terletak pada dua aspek krusial yaitu efektivitas penegakan hukum dan tingkat literasi digital masyarakat. Aparat penegak hukum harus terus meningkatkan kapasitasnya dalam menangani kejahatan siber yang kompleks ini, sementara edukasi publik harus digencarkan agar masyarakat dapat mengenali ciri-ciri pinjol ilegal dan memahami hak-hak hukum mereka.

    Proyeksinya, didorong oleh mandat regulasi dan preseden yudisial, OJK bersama Satgas PASTI dan Kepolisian akan terus mengintensifkan upaya pemberantasan. Bagi para korban, era kepasrahan telah berakhir. Berbekal pengetahuan atas aturan hukum terbaru, masyarakat kini memiliki kekuatan untuk melawan, melaporkan, dan menuntut keadilan. Jangan panik, kenali aturannya, dan gunakan hukum sebagai perisai Anda.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.