Pertanyaan
Selamat malam pak, saya mau nanya, saya telah membangun usaha dengan
merek 'Kopi Nikmat' untuk produk kopi bubuk saya. Merek ini jujur, langsung,
dan mudah diingat konsumen. Namun, permohonan pendaftaran merek saya ditolak
oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dengan alasan 'tidak
memiliki daya pembeda'. Mengapa hukum justru mempersulit niat baik saya
untuk mendeskripsikan produk secara transparan? Bukankah ini menghambat
usaha kecil seperti saya? Demikian pertanyaan saya, mohon maaf terima
kasih.
Jawaban
Pengantar
Baik, terima kasih atas pertanyaan Anda. Pertanyaan ini, menyentuh inti
dari dilema fundamental dalam hukum merek yaitu
benturan antara fungsi merek sebagai alat komunikasi deskriptif dan
fungsi utamanya sebagai pembeda identitas (identifier) di
tengah pasar yang kompetitif. Penolakan pendaftaran merek semacam 'Kopi
Nikmat' bukanlah sebuah tindakan untuk menghambat inovasi atau mempersulit
pelaku usaha.
Sebaliknya, ia merupakan
manifestasi dari prinsip fundamental yang bertujuan untuk menjaga
ekosistem persaingan usaha yang sehat, melindungi konsumen dari potensi
kebingungan, dan
memastikan bahwa hak eksklusif yang diberikan negara benar-benar melekat
pada suatu tanda yang unik dan khas.
Tulisan kami kali ini akan mengupas secara mendalam dan komprehensif
mengapa “daya pembeda” atau distinctiveness menjadi syarat
sine qua non (syarat mutlak) bagi sebuah merek untuk dapat
didaftarkan dan memperoleh perlindungan hukum. Argumentasi yang akan
dibangun adalah bahwa syarat daya pembeda bukanlah sekadar formalitas
birokratis, melainkan pilar utama yang menopang seluruh bangunan hukum
merek.
Tanpa daya pembeda, sebuah merek kehilangan esensinya, gagal memberikan
perlindungan eksklusif yang bermakna, dan berpotensi menciptakan monopoli
atas bahasa atau tanda yang seharusnya menjadi milik publik. Melalui
analisis yuridis terhadap peraturan perundang-undangan, telaah doktrin
hukum, dan kajian yurisprudensi pengadilan di Indonesia, artikel ini akan
menjawab secara tuntas mengapa sebuah merek harus, dan mutlak perlu,
memiliki daya pembeda.
Hakikat Merek sebagai Pemandu Identitas di Pasar yang Kompetitif
Untuk memahami urgensi daya pembeda, pertama-tama kita harus memahami
hakikat dan fungsi merek itu sendiri dalam kerangka hukum dan ekonomi. Merek
bukanlah sekadar nama atau logo; ia adalah aset tak berwujud yang paling
vital bagi sebuah perusahaan.
Definisi Yuridis Merek
Dasar hukum utama yang mengatur merek di Indonesia adalah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
(UU MIG).
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU MIG mendefinisikan
Merek sebagai:
“tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama,
kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3
(tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih
unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang
diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang
dan/atau jasa.”
Frasa kunci dalam definisi ini adalah “untuk membedakan”. Frasa
inilah yang menjadi fondasi yuridis dari konsep daya pembeda.
Legislator secara eksplisit menyatakan bahwa fungsi primordial dari sebuah
tanda agar dapat dikualifikasikan sebagai merek adalah kemampuannya untuk
menjadi pembeda. Definisi ini juga bersifat inklusif dan progresif,
mengakomodasi bentuk-bentuk merek non-tradisional seperti suara (misalnya,
jingle iklan) dan hologram, yang semuanya tetap tunduk pada syarat
fundamental yang sama: harus mampu berfungsi sebagai pembeda.
Fungsi Ekonomi dan Hukum Merek
Dalam lanskap perdagangan modern, merek menjalankan beberapa fungsi krusial
yang saling terkait, yang semuanya bergantung pada kemampuannya untuk
dibedakan dari yang lain:
1.
Fungsi Pembeda (Distinguishing Function)
Ini adalah fungsi paling dasar. Merek memungkinkan konsumen untuk
mengidentifikasi dan memilih produk dari satu perusahaan di antara lautan
produk sejenis dari para kompetitor. Tanpa daya pembeda, fungsi ini
lumpuh;
2.
Fungsi Penunjuk Asal (Origin Function)
Merek berfungsi sebagai penanda asal-usul komersial suatu produk atau jasa.
Ia memberitahu konsumen bahwa semua produk dengan merek 'X' berasal dari
produsen yang sama. Fungsi ini menjadi dasar bagi konsumen untuk membangun
loyalitas dan bagi produsen untuk memikul tanggung jawab atas kualitas
produknya;
3.
Fungsi Jaminan Kualitas (Quality Function)
Secara tidak langsung, merek menjadi jaminan kualitas yang konsisten.
Konsumen yang pernah memiliki pengalaman positif dengan produk merek 'X'
akan berekspektasi bahwa pembelian produk merek 'X' berikutnya akan
memberikan kualitas yang sama; dan
4.
Fungsi Promosi (Advertising Function)
Merek adalah kendaraan utama dalam kegiatan periklanan dan pemasaran.
Investasi besar yang dikeluarkan untuk membangun citra dan reputasi melekat
pada merek tersebut. Merek yang kuat dan mudah diingat akan meningkatkan
efektivitas promosi secara signifikan.
Elaborasi Adagium Hukum
Pentingnya keunikan sebuah tanda sebagai syarat kepemilikan dapat diresapi
melalui adagium hukum Latin yaitu
“signum est nomen, et nomen est proprietas”, yang dapat diartikan sebagai “Tanda adalah nama, dan nama adalah kepemilikan”. Adagium ini mengilustrasikan sebuah proses transformasi. Sebuah
signum (tanda) yang generik atau deskriptif tidak dapat berfungsi
sebagai nomen (nama yang khas). Hanya ketika sebuah tanda memiliki
daya pembeda yang cukup, ia dapat bertransformasi menjadi “nama” yang unik
bagi suatu entitas komersial, dan barulah “nama” tersebut dapat diakui
sebagai proprietas (properti atau kepemilikan) yang dilindungi oleh
hukum.
Sebaliknya, pendaftaran merek yang tidak memiliki daya pembeda akan
menciptakan anomali hukum. Hal ini dapat dianalogikan dengan membalik
adagium “communis error facit ius” (kesalahan umum dapat menciptakan hukum). Dalam konteks merek, jika penggunaan kata yang bersifat
communis (milik umum) seperti 'Kopi Nikmat' diizinkan untuk
dimonopoli, hal itu akan menciptakan “kesalahan” fundamental dalam sistem
hukum merek, karena ia tidak dapat menciptakan ius (hak) eksklusif
yang adil dan justru merugikan kepentingan publik dan pelaku usaha
lainnya.
Membedah Konsep “Daya Pembeda”: Analisis Yuridis dan Spektrum Doktrinal
Setelah memahami fungsi fundamental merek, kini kita memasuki inti
persoalan: apa sesungguhnya yang dimaksud dengan “daya pembeda” dan
bagaimana hukum mengukurnya?
Ketiadaan Definisi Eksplisit dan Peran Sentral Praktik Hukum
Salah satu aspek yang paling menantang dalam hukum merek Indonesia adalah
ketiadaan definisi eksplisit dan positif mengenai “daya pembeda” di dalam
batang tubuh UU MIG. Undang-undang hanya memberikan batasan negatif melalui
Penjelasan Pasal 20 huruf e, yang menyatakan bahwa suatu merek dianggap tidak memiliki daya pembeda
apabila:
“terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik,
ataupun yang terlalu rumit sehingga tidak jelas.”
Ketiadaan definisi yang rigid ini bukanlah sebuah kelalaian legislatif,
melainkan sebuah pilihan sadar yang bersifat open-ended. Sifat
abstrak dari konsep “daya pembeda” membuatnya sulit untuk dirumuskan dalam
definisi yang kaku dan komprehensif. Pilihan ini secara inheren memberikan
fleksibilitas kepada pemeriksa merek dan hakim untuk menilai setiap kasus
berdasarkan fakta dan konteksnya masing-masing. Namun, di sisi lain, hal ini
menciptakan ruang ketidakpastian bagi para pelaku usaha.
Ambivalensi legislatif ini secara langsung menyebabkan peran yudikatif
(pengadilan) dan doktrin hukum menjadi sangat sentral. Hakim, melalui
yurisprudensi, dan para ahli hukum, melalui doktrin, bertugas untuk mengisi
kekosongan norma tersebut dan memberikan kerangka kerja untuk menilai daya
pembeda.
Ini menjelaskan mengapa pemahaman mengenai daya pembeda tidak bisa hanya
bersandar pada pembacaan teks undang-undang semata, melainkan harus secara
aktif merujuk pada bagaimana konsep ini ditafsirkan dan diterapkan dalam
praktik peradilan dan diskursus akademik.
Doktrin Spektrum Pembeda (Spectrum of Distinctiveness)
Untuk mengisi kekosongan tersebut, praktik hukum di berbagai negara,
termasuk Indonesia, secara pragmatis mengadopsi sebuah kerangka analisis
yang dikenal sebagai Doktrin Spektrum Pembeda (Spectrum of Distinctiveness). Doktrin ini bukanlah sekadar alat klasifikasi teknis, melainkan sebuah
arena konseptual di mana pertarungan antara hak monopoli privat dan domain
publik atas bahasa berlangsung. Spektrum ini memetakan merek dalam sebuah
hierarki kekuatan, dari yang paling layak dilindungi hingga yang mutlak
ditolak, yang secara langsung merefleksikan kebijakan publik di balik hukum
merek.
Pada puncak spektrum, dengan tingkat perlindungan terkuat, bersemayam merek
Fantasi (Fanciful) dan Arbitrer (Arbitrary).
Keduanya dianggap memiliki daya pembeda yang melekat (inherent distinctiveness) sejak lahir. Merek fantasi, seperti KODAK atau GOJEK, adalah kata-kata
ciptaan baru yang tidak memiliki makna apapun selain sebagai penanda
identitas komersial.
Risiko penolakannya sangat rendah karena ia tidak mengambil apapun dari
kosakata publik. Sedikit di bawahnya, merek arbitrer seperti APPLE untuk
komputer atau GARUDA untuk maskapai penerbangan, menggunakan kata yang sudah
ada namun dalam konteks yang sama sekali tidak berhubungan dengan produknya.
Lompatan imajinasi inilah yang memberinya kekuatan pembeda yang solid dan
perlindungan hukum yang luas. Secara kritis, meskipun paling aman secara
hukum, merek-merek ini menuntut investasi pemasaran yang masif untuk
menanamkan maknanya di benak konsumen.
Bergeser ke tengah spektrum, kita menemukan wilayah abu-abu, yaitu merek
Sugestif (Suggestive). Merek seperti TOLAK ANGIN atau AUTAN
berada di kategori ini. Mereka tidak mendeskripsikan produk secara langsung,
namun
memberikan petunjuk atau sugesti mengenai fungsi atau manfaatnya, yang
menuntut sedikit daya imajinasi dari konsumen untuk memahaminya.
Di sinilah letak pertaruhan strategis dan risiko hukumnya. Batas antara
sugestif dan deskriptif sangat tipis dan seringkali menjadi episentrum
sengketa. Keberhasilannya untuk didaftarkan sangat bergantung pada
argumentasi hukum dan subjektivitas pemeriksa merek.
Di dasar spektrum, terdapat kategori yang paling lemah dan problematis:
merek Deskriptif (Descriptive). Merek seperti 'Kopi Nikmat'
atau 'Ayam Goreng Enak' secara langsung dan lugas menggambarkan jenis,
kualitas, atau karakteristik produk. Hukum secara inheren memusuhi kategori
ini. Mengapa? Karena memberikan hak monopoli atas kata-kata deskriptif akan
secara tidak adil melumpuhkan kompetitor. Setiap penjual ayam goreng berhak
untuk mengatakan bahwa produknya “enak”.
Memberikan hak eksklusif atas frasa tersebut kepada satu pihak akan merusak
mekanisme pasar dan memprivatisasi bahasa umum. Oleh karena itu, risiko
penolakan untuk merek deskriptif sangatlah tinggi, karena ia secara
fundamental bertentangan dengan fungsi hukum merek untuk menjaga persaingan
yang sehat.
Pada titik terendah yang mutlak tidak dapat dilindungi adalah istilah
Generik (Generic). Ini adalah nama dari produk itu sendiri,
seperti 'Kecap' untuk kecap atau 'Mobil' untuk mobil. Memberikan hak merek
atas kata generik adalah sebuah absurditas hukum. Hal ini sama saja dengan
memberikan monopoli abadi atas seluruh kategori produk kepada satu entitas,
sebuah tindakan yang akan mematikan seluruh persaingan.
Kata-kata generik adalah milik publik tanpa syarat, dan hukum merek berdiri
sebagai benteng untuk memastikan hal tersebut tidak akan pernah
dilanggar.
Dengan demikian, penolakan terhadap merek 'Kopi Nikmat' bukanlah tindakan
sewenang-wenang. Berdasarkan analisis spektrum ini, merek tersebut jatuh
tepat ke dalam kategori Deskriptif. Ia berusaha memonopoli kata yang
mendeskripsikan jenis produk ('Kopi') dan kualitasnya ('Nikmat').
Penolakannya adalah sebuah penegakan prinsip fundamental bahwa hukum merek
melindungi identitas unik, bukan deskripsi umum.
Doktrin Secondary Meaning (Makna Sekunder)
Apakah merek deskriptif tidak memiliki harapan sama sekali untuk
didaftarkan? Jawabannya tidak selalu. Hukum menyediakan sebuah jalan keluar
melalui Doktrin Makna Sekunder (Secondary Meaning). Sebuah
merek deskriptif dapat memperoleh daya pembeda dan menjadi layak untuk
dilindungi jika pemilik merek dapat membuktikan bahwa melalui penggunaan
yang intensif, promosi yang masif, dan investasi yang signifikan dalam
jangka waktu yang lama, merek tersebut telah berevolusi di benak mayoritas
konsumen.
Artinya, konsumen tidak lagi melihat merek tersebut sebagai sekadar
deskripsi, melainkan telah mengasosiasikannya secara eksklusif dengan satu
sumber atau produsen tertentu. Contoh klasik adalah merek “INTERNATIONAL
BUSINESS MACHINES”. Awalnya, ini adalah frasa deskriptif. Namun, melalui
penggunaan puluhan tahun, frasa ini (dan singkatannya, IBM) telah memperoleh
secondary meaning yang sangat kuat sebagai penunjuk asal produk dari
perusahaan tersebut. Untuk membuktikan adanya secondary meaning,
pendaftar harus menyajikan bukti-bukti kuat seperti hasil survei konsumen,
data volume penjualan, pangsa pasar, dan besarnya anggaran iklan yang telah
dikeluarkan.
Larangan Absolut dan Relatif: Telaah Kritis Pasal 20 dan 21 UU MIG
Kerangka doktrinal di atas tercermin secara konkret dalam
ketentuan-ketentuan UU MIG, khususnya pada pasal-pasal yang mengatur tentang
alasan penolakan pendaftaran merek.
Analisis Pasal 20 UU MIG (Alasan Penolakan Absolut)
Pasal 20 UU MIG, sebagaimana telah diubah oleh
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi
Undang-Undang, mengatur tentang alasan-alasan absolut mengapa sebuah merek tidak dapat
didaftar. Alasan-alasan ini bersifat intrinsik pada merek itu sendiri, tanpa
perlu membandingkannya dengan merek lain.
Pasal 20 UU MIG menyatakan:
Merek tidak dapat didaftar jika:
a.
bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan,
moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
b.
sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa
yang dimohonkan pendaftarannya;
c.
memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas,
jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang
dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
d.
memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau
khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi;
e.
tidak memiliki daya pembeda;
f.
merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum; dan/atau
g.
mengandung bentuk yang bersifat fungsional.
Untuk menjawab pertanyaan klien, fokus analisis kita adalah pada huruf b,
e, f, dan g:
-
Huruf b:
Ini adalah dasar hukum yang paling langsung dan relevan untuk menolak merek
deskriptif seperti 'Kopi Nikmat'. Frasa “hanya menyebut barang” merujuk pada
kata 'Kopi', dan frasa “berkaitan dengan” merujuk pada kata 'Nikmat' yang
mendeskripsikan kualitasnya;
-
Huruf e:
Ini adalah pasal “sapu jagat” yang menjadi dasar penolakan utama. Merek yang
bersifat deskriptif atau generik, menurut doktrin, secara inheren dianggap
“tidak memiliki daya pembeda”;
-
Huruf f:
Pasal ini menjadi dasar hukum untuk menolak pendaftaran merek yang bersifat
generik, seperti mendaftarkan merek “Kopi” untuk produk kopi;
-
Huruf g:
Ketentuan ini merupakan tambahan dari UU Cipta Kerja. Penambahan ini adalah
sebuah respons legislatif yang canggih terhadap tren global pendaftaran
merek non-tradisional, khususnya merek tiga dimensi. Tanpa larangan ini,
sebuah perusahaan bisa saja mendaftarkan bentuk fungsional dari produknya
(misalnya, bentuk botol minuman yang paling ergonomis atau bentuk balok
mainan yang dapat saling mengunci) sebagai merek. Jika diizinkan, ini akan
memberikan monopoli yang abadi (karena merek dapat diperpanjang selamanya)
atas sebuah desain fungsional. Padahal, perlindungan untuk aspek fungsional
atau teknis seharusnya berada di bawah rezim paten, yang memiliki batas
waktu perlindungan yang jelas. Perubahan ini menunjukkan bahwa hukum merek
Indonesia semakin selaras dengan prinsip-prinsip HKI internasional, dengan
menarik garis tegas antara apa yang dilindungi oleh merek (identitas) dan
apa yang dilindungi oleh paten atau desain industri (fungsi/estetika).
Analisis Pasal 21 UU MIG (Alasan Penolakan Relatif)
Berbeda dengan Pasal 20, Pasal 21 mengatur alasan penolakan yang bersifat
relatif. Artinya, sebuah merek ditolak bukan karena cacat intrinsik,
melainkan karena berkonflik dengan hak pihak lain yang telah ada sebelumnya.
Pasal ini juga secara implisit menguji daya pembeda sebuah merek, namun
dalam konteks komparatif.
Pasal 21 ayat (1) UU MIG menyatakan:
Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya
atau keseluruhannya dengan:
a.
Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak
lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
b.
Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c.
Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis
yang memenuhi persyaratan tertentu; atau
d.
Indikasi Geografis terdaftar.
Kunci dari pasal ini adalah frasa “persamaan pada pokoknya”.
Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG memberikan panduan untuk
menafsirkannya, yaitu sebagai “kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara Merek
yang satu dengan Merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya
persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau
kombinasi antara unsur-unsur, maupun persamaan bunyi ucapan”.
Pasal ini menunjukkan bahwa bahkan jika sebuah merek lolos dari jerat Pasal
20 (misalnya, merek tersebut bersifat sugestif atau arbitrer), ia tetap
harus memiliki daya pembeda yang cukup ketika disandingkan dengan
merek-merek yang sudah ada di pasar.
Daya Pembeda dalam Praktik Peradilan: Yurisprudensi sebagai Guru Terbaik
Teori dan peraturan perundang-undangan menjadi lebih hidup dan bermakna
ketika kita melihat bagaimana konsep-konsep tersebut diterapkan oleh
pengadilan dalam menyelesaikan sengketa konkret. Dua putusan Mahkamah Agung
berikut ini memberikan pelajaran yang sangat berharga mengenai penerapan
prinsip daya pembeda di Indonesia.
Studi Kasus 1: Sengketa Merek “STRONG” (Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 332 K/Pdt.Sus-HKI/2021., tertanggal 30 Maret 2021)
Kasus ini adalah contoh paripurna mengenai sengketa merek yang melibatkan
kata deskriptif.
-
Latar Belakang Kasus:
Hardwood Private Limited, pemilik merek terdaftar “STRONG” untuk produk
pasta gigi, mengajukan gugatan terhadap PT Unilever Indonesia Tbk. atas
penggunaan kata “Strong” dalam merek produk pasta gigi “Pepsodent Strong 12
Jam”. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan
gugatan Hardwood. Namun, pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung membatalkan
putusan tersebut dan menolak gugatan Hardwood;
-
Ratio Decidendi
(Pertimbangan Hukum Hakim Agung):
Mahkamah Agung mendasarkan putusannya pada beberapa pertimbangan kunci yang
sangat relevan dengan konsep daya pembeda:
1.
Sifat Deskriptif Kata “Strong”
Hakim Agung menyatakan bahwa kata “strong” adalah kata umum dalam bahasa
Inggris yang berarti 'kuat'. Sebagai kata yang bersifat deskriptif
(menerangkan kualitas), ia tidak dapat dimonopoli oleh pendaftar
pertama;
2.
Ketiadaan Monopoli atas Kata Umum
Pendaftaran merek “STRONG” tidak memberikan hak eksklusif mutlak kepada
Hardwood untuk melarang semua pihak lain menggunakan kata “strong” dalam
konteks apapun, terutama jika penggunaannya bersifat deskriptif;
3.
Konteks Penggunaan Merek
Mahkamah Agung melihat konteks penggunaan secara keseluruhan. Pada produk
Unilever, kata “Strong” tidak berdiri sendiri. Ia melekat pada merek utama
yang sangat dominan dan terkenal, yaitu “Pepsodent”. Dalam konfigurasi
“Pepsodent Strong 12 Jam”, kata “Strong” lebih berfungsi sebagai keterangan
atau nama varian (pet mark) untuk menjelaskan salah satu fitur
produk, bukan sebagai merek utama (house mark);
4.
Tidak Menimbulkan Kebingungan
Mengingat dominasi merek “Pepsodent”, Mahkamah Agung berpendapat bahwa
konsumen tidak akan bingung atau terkecoh, dan tidak akan mengira bahwa
“Pepsodent Strong 12 Jam” berasal dari produsen yang sama dengan pasta gigi
“STRONG”.
-
Analisis dan Implikasi:
Putusan ini menjadi yurisprudensi penting yang menegaskan bahwa lingkup
perlindungan untuk merek yang bersifat deskriptif adalah sangat sempit.
Pendaftaran merek deskriptif tidak serta-merta memberikan hak untuk
memonopoli kata tersebut. Pihak lain masih dapat menggunakan kata yang sama
secara deskriptif (prinsip fair use), terutama jika penggunaannya
tidak menimbulkan kebingungan di benak konsumen.
Studi Kasus 2: Sengketa Merek “ESPRESSO” (Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 023 K/N/HaKI/2005., tertanggal 23 Januari 2006)
Kasus ini memberikan pelajaran penting mengenai batas akhir dari daya
pembeda, yaitu ketika sebuah tanda menjadi generik.
-
Latar Belakang Kasus:
Sengketa ini berpusat pada pendaftaran merek “Espresso” sebagai kata tunggal
untuk produk kopi;
-
Ratio Decidendi
(Pertimbangan Hukum Hakim Agung):
Pertimbangan Mahkamah Agung dalam kasus ini sangat lugas dan
fundamental:
1.
Status Generik Kata “Espresso”:
Hakim Agung menyatakan bahwa kata “Espresso” telah menjadi nama generik atau
istilah umum yang dikenal luas oleh masyarakat untuk menunjuk pada jenis
minuman kopi yang dibuat dengan cara tertentu (sari kopi atau kopi pekat).
2.
Larangan Monopoli Nama Generik:
Mengizinkan pendaftaran nama generik sebagai merek akan memberikan monopoli
yang tidak adil. Hal ini akan menghalangi seluruh produsen kopi lainnya
untuk menggunakan istilah “espresso” untuk mendeskripsikan produk mereka
yang memang merupakan kopi espresso. Ini bertentangan dengan kepentingan
publik.
3.
Penggunaan Kombinasi Diperbolehkan:
Putusan ini juga memberikan jalan keluar. Penggunaan kata “Espresso” masih
dimungkinkan asalkan dikombinasikan dengan unsur lain yang mampu menciptakan
suatu daya pembeda yang baru dan unik secara keseluruhan, seperti pada merek
“ARCAFFE PASSIONE D'ESPRESSO”.
-
Analisis dan Implikasi:
Putusan ini secara tegas menarik garis demarkasi antara merek (yang harus
memiliki daya pembeda) dan nama generik (yang merupakan milik publik). Ini
adalah manifestasi dari kebijakan publik (public policy) dalam hukum
merek untuk menjaga agar bahasa dan istilah umum tetap menjadi domain publik
yang dapat digunakan oleh semua orang. Kasus ini juga menyoroti fenomena
genericide, di mana sebuah merek yang sangat sukses menjadi begitu
identik dengan kategori produknya sehingga kehilangan statusnya sebagai
merek dan berubah menjadi nama generik (seperti yang terjadi pada merek
Aspirin dan Thermos secara internasional, dan berpotensi terjadi pada merek
AQUA di Indonesia).
Konklusi dan Rekomendasi Strategis bagi Pelaku Usaha
Kembali pada pertanyaan kritis di awal artikel, kini kita dapat merumuskan
jawaban yang sintetik dan multifaset. Merek 'Kopi Nikmat' ditolak
pendaftarannya karena hukum merek pada hakikatnya tidak dirancang untuk
melindungi deskripsi, melainkan untuk melindungi identitas. Daya pembeda
adalah syarat mutlak karena alasan-alasan fundamental berikut:
1.
Secara Yuridis
Daya pembeda diwajibkan secara eksplisit oleh Pasal 20 UU MIG,
khususnya larangan terhadap merek yang “sama dengan, berkaitan dengan, atau
hanya menyebut barang dan/atau jasa” (huruf b), “tidak memiliki daya
pembeda” (huruf e), dan “merupakan nama umum” (huruf f);
2.
Secara Ekonomis
Tanpa daya pembeda, merek gagal menjalankan fungsi esensialnya sebagai
penunjuk asal yang unik di pasar. Hal ini akan menimbulkan kebingungan
konsumen, merusak iklim persaingan usaha yang sehat, dan mendelegitimasi
nilai investasi yang telah ditanamkan dalam membangun sebuah merek;
3.
Secara Filosofis
Prinsip daya pembeda adalah garda terdepan untuk mencegah privatisasi atau
monopoli atas kata-kata umum dan deskriptif yang merupakan bagian dari
domain publik. Bahasa adalah milik bersama, dan hukum merek memastikan ia
tetap demikian.
Berdasarkan analisis komprehensif ini, berikut adalah rekomendasi strategis
bagi para pelaku usaha dalam memilih dan membangun merek agar memiliki daya
pembeda yang kuat dan layak mendapatkan perlindungan hukum yang
eksklusif:
1.
Pilih Merek yang Kuat Sejak Awal:
Prioritaskan penciptaan merek yang masuk dalam kategori
Fanciful (fantasi) atau Arbitrary (arbitrer). Merek-merek
dalam kategori ini memiliki daya pembeda inheren yang paling kuat, sehingga
memberikan fondasi perlindungan hukum yang paling solid dan luas.
2.
Hindari Kata Deskriptif dan Generik:
Secara sadar, hindari penggunaan kata yang hanya menggambarkan jenis,
kualitas, fungsi, atau karakteristik produk Anda. Jangan pernah menggunakan
nama generik dari produk itu sendiri sebagai merek.
3.
Gunakan Merek Sugestif dengan Hati-hati:
Jika ingin merek Anda memberikan sedikit petunjuk tentang produk, pilihlah
jalur sugestif. Pastikan merek tersebut lebih mengarah pada kiasan atau
metafora yang memerlukan imajinasi konsumen, bukan deskripsi langsung.
4.
Jika Terpaksa Menggunakan Merek Deskriptif:
Apabila penggunaan merek deskriptif tidak terhindarkan, sadari bahwa jalan
menuju perlindungan hukum akan sulit dan mahal. Siapkan strategi jangka
panjang untuk membangun secondary meaning melalui investasi masif
dalam branding, promosi, dan pemasaran. Selain itu, selalu
kombinasikan kata deskriptif tersebut dengan logo, elemen grafis, atau kata
lain yang unik untuk menciptakan satu kesatuan yang memiliki daya
pembeda.
5.
Lakukan Penelusuran Merek Menyeluruh:
Sebelum menginvestasikan sumber daya pada sebuah merek, lakukan penelusuran
yang cermat dan komprehensif pada basis data DJKI. Hal ini penting untuk
memastikan merek yang Anda pilih tidak memiliki “persamaan pada pokoknya”
dengan merek yang sudah terdaftar atau terkenal, sesuai dengan kriteria
dalam Pasal 21 UU MIG, untuk menghindari penolakan atau sengketa di kemudian
hari.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda
melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.