layananhukum

Mengapa Suatu Merek Harus Memiliki Daya Pembeda?

 

Pertanyaan

Selamat malam pak, saya mau nanya, saya telah membangun usaha dengan merek 'Kopi Nikmat' untuk produk kopi bubuk saya. Merek ini jujur, langsung, dan mudah diingat konsumen. Namun, permohonan pendaftaran merek saya ditolak oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dengan alasan 'tidak memiliki daya pembeda'. Mengapa hukum justru mempersulit niat baik saya untuk mendeskripsikan produk secara transparan? Bukankah ini menghambat usaha kecil seperti saya? Demikian pertanyaan saya, mohon maaf terima kasih.

Jawaban

    Pengantar

    Baik, terima kasih atas pertanyaan Anda. Pertanyaan ini, menyentuh inti dari dilema fundamental dalam hukum merek yaitu benturan antara fungsi merek sebagai alat komunikasi deskriptif dan fungsi utamanya sebagai pembeda identitas (identifier) di tengah pasar yang kompetitif. Penolakan pendaftaran merek semacam 'Kopi Nikmat' bukanlah sebuah tindakan untuk menghambat inovasi atau mempersulit pelaku usaha.

    Sebaliknya, ia merupakan manifestasi dari prinsip fundamental yang bertujuan untuk menjaga ekosistem persaingan usaha yang sehat, melindungi konsumen dari potensi kebingungan, dan memastikan bahwa hak eksklusif yang diberikan negara benar-benar melekat pada suatu tanda yang unik dan khas.

    Tulisan kami kali ini akan mengupas secara mendalam dan komprehensif mengapa “daya pembeda” atau distinctiveness menjadi syarat sine qua non (syarat mutlak) bagi sebuah merek untuk dapat didaftarkan dan memperoleh perlindungan hukum. Argumentasi yang akan dibangun adalah bahwa syarat daya pembeda bukanlah sekadar formalitas birokratis, melainkan pilar utama yang menopang seluruh bangunan hukum merek.

    Tanpa daya pembeda, sebuah merek kehilangan esensinya, gagal memberikan perlindungan eksklusif yang bermakna, dan berpotensi menciptakan monopoli atas bahasa atau tanda yang seharusnya menjadi milik publik. Melalui analisis yuridis terhadap peraturan perundang-undangan, telaah doktrin hukum, dan kajian yurisprudensi pengadilan di Indonesia, artikel ini akan menjawab secara tuntas mengapa sebuah merek harus, dan mutlak perlu, memiliki daya pembeda.

    Hakikat Merek sebagai Pemandu Identitas di Pasar yang Kompetitif

    Untuk memahami urgensi daya pembeda, pertama-tama kita harus memahami hakikat dan fungsi merek itu sendiri dalam kerangka hukum dan ekonomi. Merek bukanlah sekadar nama atau logo; ia adalah aset tak berwujud yang paling vital bagi sebuah perusahaan.

    Definisi Yuridis Merek

    Dasar hukum utama yang mengatur merek di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG).

    Sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU MIG mendefinisikan Merek sebagai:

    “tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.”  

    Frasa kunci dalam definisi ini adalah “untuk membedakan”. Frasa inilah yang menjadi fondasi yuridis dari konsep daya pembeda. Legislator secara eksplisit menyatakan bahwa fungsi primordial dari sebuah tanda agar dapat dikualifikasikan sebagai merek adalah kemampuannya untuk menjadi pembeda. Definisi ini juga bersifat inklusif dan progresif, mengakomodasi bentuk-bentuk merek non-tradisional seperti suara (misalnya, jingle iklan) dan hologram, yang semuanya tetap tunduk pada syarat fundamental yang sama: harus mampu berfungsi sebagai pembeda.  

    Fungsi Ekonomi dan Hukum Merek

    Dalam lanskap perdagangan modern, merek menjalankan beberapa fungsi krusial yang saling terkait, yang semuanya bergantung pada kemampuannya untuk dibedakan dari yang lain:

    1.       Fungsi Pembeda (Distinguishing Function)

    Ini adalah fungsi paling dasar. Merek memungkinkan konsumen untuk mengidentifikasi dan memilih produk dari satu perusahaan di antara lautan produk sejenis dari para kompetitor. Tanpa daya pembeda, fungsi ini lumpuh; 

    2.       Fungsi Penunjuk Asal (Origin Function)

    Merek berfungsi sebagai penanda asal-usul komersial suatu produk atau jasa. Ia memberitahu konsumen bahwa semua produk dengan merek 'X' berasal dari produsen yang sama. Fungsi ini menjadi dasar bagi konsumen untuk membangun loyalitas dan bagi produsen untuk memikul tanggung jawab atas kualitas produknya;

    3.       Fungsi Jaminan Kualitas (Quality Function)

    Secara tidak langsung, merek menjadi jaminan kualitas yang konsisten. Konsumen yang pernah memiliki pengalaman positif dengan produk merek 'X' akan berekspektasi bahwa pembelian produk merek 'X' berikutnya akan memberikan kualitas yang sama; dan

    4.       Fungsi Promosi (Advertising Function)

    Merek adalah kendaraan utama dalam kegiatan periklanan dan pemasaran. Investasi besar yang dikeluarkan untuk membangun citra dan reputasi melekat pada merek tersebut. Merek yang kuat dan mudah diingat akan meningkatkan efektivitas promosi secara signifikan.  

    Elaborasi Adagium Hukum

    Pentingnya keunikan sebuah tanda sebagai syarat kepemilikan dapat diresapi melalui adagium hukum Latin yaitu “signum est nomen, et nomen est proprietas”, yang dapat diartikan sebagai “Tanda adalah nama, dan nama adalah kepemilikan”. Adagium ini mengilustrasikan sebuah proses transformasi. Sebuah signum (tanda) yang generik atau deskriptif tidak dapat berfungsi sebagai nomen (nama yang khas). Hanya ketika sebuah tanda memiliki daya pembeda yang cukup, ia dapat bertransformasi menjadi “nama” yang unik bagi suatu entitas komersial, dan barulah “nama” tersebut dapat diakui sebagai proprietas (properti atau kepemilikan) yang dilindungi oleh hukum.


    Sebaliknya, pendaftaran merek yang tidak memiliki daya pembeda akan menciptakan anomali hukum. Hal ini dapat dianalogikan dengan membalik adagium “communis error facit ius” (kesalahan umum dapat menciptakan hukum). Dalam konteks merek, jika penggunaan kata yang bersifat communis (milik umum) seperti 'Kopi Nikmat' diizinkan untuk dimonopoli, hal itu akan menciptakan “kesalahan” fundamental dalam sistem hukum merek, karena ia tidak dapat menciptakan ius (hak) eksklusif yang adil dan justru merugikan kepentingan publik dan pelaku usaha lainnya.

    Membedah Konsep “Daya Pembeda”: Analisis Yuridis dan Spektrum Doktrinal

    Setelah memahami fungsi fundamental merek, kini kita memasuki inti persoalan: apa sesungguhnya yang dimaksud dengan “daya pembeda” dan bagaimana hukum mengukurnya?

    Ketiadaan Definisi Eksplisit dan Peran Sentral Praktik Hukum

    Salah satu aspek yang paling menantang dalam hukum merek Indonesia adalah ketiadaan definisi eksplisit dan positif mengenai “daya pembeda” di dalam batang tubuh UU MIG. Undang-undang hanya memberikan batasan negatif melalui Penjelasan Pasal 20 huruf e, yang menyatakan bahwa suatu merek dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila:

    “terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun yang terlalu rumit sehingga tidak jelas.”  

    Ketiadaan definisi yang rigid ini bukanlah sebuah kelalaian legislatif, melainkan sebuah pilihan sadar yang bersifat open-ended. Sifat abstrak dari konsep “daya pembeda” membuatnya sulit untuk dirumuskan dalam definisi yang kaku dan komprehensif. Pilihan ini secara inheren memberikan fleksibilitas kepada pemeriksa merek dan hakim untuk menilai setiap kasus berdasarkan fakta dan konteksnya masing-masing. Namun, di sisi lain, hal ini menciptakan ruang ketidakpastian bagi para pelaku usaha.

    Ambivalensi legislatif ini secara langsung menyebabkan peran yudikatif (pengadilan) dan doktrin hukum menjadi sangat sentral. Hakim, melalui yurisprudensi, dan para ahli hukum, melalui doktrin, bertugas untuk mengisi kekosongan norma tersebut dan memberikan kerangka kerja untuk menilai daya pembeda.

    Ini menjelaskan mengapa pemahaman mengenai daya pembeda tidak bisa hanya bersandar pada pembacaan teks undang-undang semata, melainkan harus secara aktif merujuk pada bagaimana konsep ini ditafsirkan dan diterapkan dalam praktik peradilan dan diskursus akademik.

    Doktrin Spektrum Pembeda (Spectrum of Distinctiveness)

    Untuk mengisi kekosongan tersebut, praktik hukum di berbagai negara, termasuk Indonesia, secara pragmatis mengadopsi sebuah kerangka analisis yang dikenal sebagai Doktrin Spektrum Pembeda (Spectrum of Distinctiveness). Doktrin ini bukanlah sekadar alat klasifikasi teknis, melainkan sebuah arena konseptual di mana pertarungan antara hak monopoli privat dan domain publik atas bahasa berlangsung. Spektrum ini memetakan merek dalam sebuah hierarki kekuatan, dari yang paling layak dilindungi hingga yang mutlak ditolak, yang secara langsung merefleksikan kebijakan publik di balik hukum merek.  

    Pada puncak spektrum, dengan tingkat perlindungan terkuat, bersemayam merek Fantasi (Fanciful) dan Arbitrer (Arbitrary). Keduanya dianggap memiliki daya pembeda yang melekat (inherent distinctiveness) sejak lahir. Merek fantasi, seperti KODAK atau GOJEK, adalah kata-kata ciptaan baru yang tidak memiliki makna apapun selain sebagai penanda identitas komersial.

    Risiko penolakannya sangat rendah karena ia tidak mengambil apapun dari kosakata publik. Sedikit di bawahnya, merek arbitrer seperti APPLE untuk komputer atau GARUDA untuk maskapai penerbangan, menggunakan kata yang sudah ada namun dalam konteks yang sama sekali tidak berhubungan dengan produknya.

    Lompatan imajinasi inilah yang memberinya kekuatan pembeda yang solid dan perlindungan hukum yang luas. Secara kritis, meskipun paling aman secara hukum, merek-merek ini menuntut investasi pemasaran yang masif untuk menanamkan maknanya di benak konsumen.

    Bergeser ke tengah spektrum, kita menemukan wilayah abu-abu, yaitu merek Sugestif (Suggestive). Merek seperti TOLAK ANGIN atau AUTAN berada di kategori ini. Mereka tidak mendeskripsikan produk secara langsung, namun memberikan petunjuk atau sugesti mengenai fungsi atau manfaatnya, yang menuntut sedikit daya imajinasi dari konsumen untuk memahaminya.


    Di sinilah letak pertaruhan strategis dan risiko hukumnya. Batas antara sugestif dan deskriptif sangat tipis dan seringkali menjadi episentrum sengketa. Keberhasilannya untuk didaftarkan sangat bergantung pada argumentasi hukum dan subjektivitas pemeriksa merek.

    Di dasar spektrum, terdapat kategori yang paling lemah dan problematis: merek Deskriptif (Descriptive). Merek seperti 'Kopi Nikmat' atau 'Ayam Goreng Enak' secara langsung dan lugas menggambarkan jenis, kualitas, atau karakteristik produk. Hukum secara inheren memusuhi kategori ini. Mengapa? Karena memberikan hak monopoli atas kata-kata deskriptif akan secara tidak adil melumpuhkan kompetitor. Setiap penjual ayam goreng berhak untuk mengatakan bahwa produknya “enak”.

    Memberikan hak eksklusif atas frasa tersebut kepada satu pihak akan merusak mekanisme pasar dan memprivatisasi bahasa umum. Oleh karena itu, risiko penolakan untuk merek deskriptif sangatlah tinggi, karena ia secara fundamental bertentangan dengan fungsi hukum merek untuk menjaga persaingan yang sehat.

    Pada titik terendah yang mutlak tidak dapat dilindungi adalah istilah Generik (Generic). Ini adalah nama dari produk itu sendiri, seperti 'Kecap' untuk kecap atau 'Mobil' untuk mobil. Memberikan hak merek atas kata generik adalah sebuah absurditas hukum. Hal ini sama saja dengan memberikan monopoli abadi atas seluruh kategori produk kepada satu entitas, sebuah tindakan yang akan mematikan seluruh persaingan.

    Kata-kata generik adalah milik publik tanpa syarat, dan hukum merek berdiri sebagai benteng untuk memastikan hal tersebut tidak akan pernah dilanggar.

    Dengan demikian, penolakan terhadap merek 'Kopi Nikmat' bukanlah tindakan sewenang-wenang. Berdasarkan analisis spektrum ini, merek tersebut jatuh tepat ke dalam kategori Deskriptif. Ia berusaha memonopoli kata yang mendeskripsikan jenis produk ('Kopi') dan kualitasnya ('Nikmat'). Penolakannya adalah sebuah penegakan prinsip fundamental bahwa hukum merek melindungi identitas unik, bukan deskripsi umum.

    Doktrin Secondary Meaning (Makna Sekunder)

    Apakah merek deskriptif tidak memiliki harapan sama sekali untuk didaftarkan? Jawabannya tidak selalu. Hukum menyediakan sebuah jalan keluar melalui Doktrin Makna Sekunder (Secondary Meaning). Sebuah merek deskriptif dapat memperoleh daya pembeda dan menjadi layak untuk dilindungi jika pemilik merek dapat membuktikan bahwa melalui penggunaan yang intensif, promosi yang masif, dan investasi yang signifikan dalam jangka waktu yang lama, merek tersebut telah berevolusi di benak mayoritas konsumen.


    Artinya, konsumen tidak lagi melihat merek tersebut sebagai sekadar deskripsi, melainkan telah mengasosiasikannya secara eksklusif dengan satu sumber atau produsen tertentu. Contoh klasik adalah merek “INTERNATIONAL BUSINESS MACHINES”. Awalnya, ini adalah frasa deskriptif. Namun, melalui penggunaan puluhan tahun, frasa ini (dan singkatannya, IBM) telah memperoleh secondary meaning yang sangat kuat sebagai penunjuk asal produk dari perusahaan tersebut. Untuk membuktikan adanya secondary meaning, pendaftar harus menyajikan bukti-bukti kuat seperti hasil survei konsumen, data volume penjualan, pangsa pasar, dan besarnya anggaran iklan yang telah dikeluarkan.  

    Larangan Absolut dan Relatif: Telaah Kritis Pasal 20 dan 21 UU MIG

    Kerangka doktrinal di atas tercermin secara konkret dalam ketentuan-ketentuan UU MIG, khususnya pada pasal-pasal yang mengatur tentang alasan penolakan pendaftaran merek.

    Analisis Pasal 20 UU MIG (Alasan Penolakan Absolut)

    Pasal 20 UU MIG, sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, mengatur tentang alasan-alasan absolut mengapa sebuah merek tidak dapat didaftar. Alasan-alasan ini bersifat intrinsik pada merek itu sendiri, tanpa perlu membandingkannya dengan merek lain.

    Pasal 20 UU MIG menyatakan:

    Merek tidak dapat didaftar jika:

    a.     bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;

    b.     sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya;

    c.     memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;

    d.     memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi;

    e.      tidak memiliki daya pembeda;

    f.      merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum; dan/atau

    g.     mengandung bentuk yang bersifat fungsional.

    Untuk menjawab pertanyaan klien, fokus analisis kita adalah pada huruf b, e, f, dan g:

    -        Huruf b: Ini adalah dasar hukum yang paling langsung dan relevan untuk menolak merek deskriptif seperti 'Kopi Nikmat'. Frasa “hanya menyebut barang” merujuk pada kata 'Kopi', dan frasa “berkaitan dengan” merujuk pada kata 'Nikmat' yang mendeskripsikan kualitasnya;

    -        Huruf e: Ini adalah pasal “sapu jagat” yang menjadi dasar penolakan utama. Merek yang bersifat deskriptif atau generik, menurut doktrin, secara inheren dianggap “tidak memiliki daya pembeda”;

    -        Huruf f: Pasal ini menjadi dasar hukum untuk menolak pendaftaran merek yang bersifat generik, seperti mendaftarkan merek “Kopi” untuk produk kopi;

    -        Huruf g: Ketentuan ini merupakan tambahan dari UU Cipta Kerja. Penambahan ini adalah sebuah respons legislatif yang canggih terhadap tren global pendaftaran merek non-tradisional, khususnya merek tiga dimensi. Tanpa larangan ini, sebuah perusahaan bisa saja mendaftarkan bentuk fungsional dari produknya (misalnya, bentuk botol minuman yang paling ergonomis atau bentuk balok mainan yang dapat saling mengunci) sebagai merek. Jika diizinkan, ini akan memberikan monopoli yang abadi (karena merek dapat diperpanjang selamanya) atas sebuah desain fungsional. Padahal, perlindungan untuk aspek fungsional atau teknis seharusnya berada di bawah rezim paten, yang memiliki batas waktu perlindungan yang jelas. Perubahan ini menunjukkan bahwa hukum merek Indonesia semakin selaras dengan prinsip-prinsip HKI internasional, dengan menarik garis tegas antara apa yang dilindungi oleh merek (identitas) dan apa yang dilindungi oleh paten atau desain industri (fungsi/estetika).  

    Analisis Pasal 21 UU MIG (Alasan Penolakan Relatif)

    Berbeda dengan Pasal 20, Pasal 21 mengatur alasan penolakan yang bersifat relatif. Artinya, sebuah merek ditolak bukan karena cacat intrinsik, melainkan karena berkonflik dengan hak pihak lain yang telah ada sebelumnya. Pasal ini juga secara implisit menguji daya pembeda sebuah merek, namun dalam konteks komparatif.


    Pasal 21 ayat (1) UU MIG menyatakan:

    Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan:

    a.     Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

    b.     Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

    c.     Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau

    d.     Indikasi Geografis terdaftar.  

    Kunci dari pasal ini adalah frasa “persamaan pada pokoknya”. Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG memberikan panduan untuk menafsirkannya, yaitu sebagai “kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara Merek yang satu dengan Merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur, maupun persamaan bunyi ucapan”.  

    Pasal ini menunjukkan bahwa bahkan jika sebuah merek lolos dari jerat Pasal 20 (misalnya, merek tersebut bersifat sugestif atau arbitrer), ia tetap harus memiliki daya pembeda yang cukup ketika disandingkan dengan merek-merek yang sudah ada di pasar.

    Daya Pembeda dalam Praktik Peradilan: Yurisprudensi sebagai Guru Terbaik

    Teori dan peraturan perundang-undangan menjadi lebih hidup dan bermakna ketika kita melihat bagaimana konsep-konsep tersebut diterapkan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa konkret. Dua putusan Mahkamah Agung berikut ini memberikan pelajaran yang sangat berharga mengenai penerapan prinsip daya pembeda di Indonesia.

    Studi Kasus 1: Sengketa Merek “STRONG” (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 332 K/Pdt.Sus-HKI/2021., tertanggal 30 Maret 2021)

    Kasus ini adalah contoh paripurna mengenai sengketa merek yang melibatkan kata deskriptif.

    -        Latar Belakang Kasus: Hardwood Private Limited, pemilik merek terdaftar “STRONG” untuk produk pasta gigi, mengajukan gugatan terhadap PT Unilever Indonesia Tbk. atas penggunaan kata “Strong” dalam merek produk pasta gigi “Pepsodent Strong 12 Jam”. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Hardwood. Namun, pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut dan menolak gugatan Hardwood;

    -        Ratio Decidendi (Pertimbangan Hukum Hakim Agung): Mahkamah Agung mendasarkan putusannya pada beberapa pertimbangan kunci yang sangat relevan dengan konsep daya pembeda:

    1.        Sifat Deskriptif Kata “Strong”

    Hakim Agung menyatakan bahwa kata “strong” adalah kata umum dalam bahasa Inggris yang berarti 'kuat'. Sebagai kata yang bersifat deskriptif (menerangkan kualitas), ia tidak dapat dimonopoli oleh pendaftar pertama;

    2.       Ketiadaan Monopoli atas Kata Umum

    Pendaftaran merek “STRONG” tidak memberikan hak eksklusif mutlak kepada Hardwood untuk melarang semua pihak lain menggunakan kata “strong” dalam konteks apapun, terutama jika penggunaannya bersifat deskriptif;

    3.       Konteks Penggunaan Merek

    Mahkamah Agung melihat konteks penggunaan secara keseluruhan. Pada produk Unilever, kata “Strong” tidak berdiri sendiri. Ia melekat pada merek utama yang sangat dominan dan terkenal, yaitu “Pepsodent”. Dalam konfigurasi “Pepsodent Strong 12 Jam”, kata “Strong” lebih berfungsi sebagai keterangan atau nama varian (pet mark) untuk menjelaskan salah satu fitur produk, bukan sebagai merek utama (house mark);

    4.       Tidak Menimbulkan Kebingungan

    Mengingat dominasi merek “Pepsodent”, Mahkamah Agung berpendapat bahwa konsumen tidak akan bingung atau terkecoh, dan tidak akan mengira bahwa “Pepsodent Strong 12 Jam” berasal dari produsen yang sama dengan pasta gigi “STRONG”.

    -        Analisis dan Implikasi: Putusan ini menjadi yurisprudensi penting yang menegaskan bahwa lingkup perlindungan untuk merek yang bersifat deskriptif adalah sangat sempit. Pendaftaran merek deskriptif tidak serta-merta memberikan hak untuk memonopoli kata tersebut. Pihak lain masih dapat menggunakan kata yang sama secara deskriptif (prinsip fair use), terutama jika penggunaannya tidak menimbulkan kebingungan di benak konsumen.

    Studi Kasus 2: Sengketa Merek “ESPRESSO” (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 023 K/N/HaKI/2005., tertanggal 23 Januari 2006)

    Kasus ini memberikan pelajaran penting mengenai batas akhir dari daya pembeda, yaitu ketika sebuah tanda menjadi generik.

    -        Latar Belakang Kasus: Sengketa ini berpusat pada pendaftaran merek “Espresso” sebagai kata tunggal untuk produk kopi;

    -        Ratio Decidendi (Pertimbangan Hukum Hakim Agung): Pertimbangan Mahkamah Agung dalam kasus ini sangat lugas dan fundamental:

    1.        Status Generik Kata “Espresso”: Hakim Agung menyatakan bahwa kata “Espresso” telah menjadi nama generik atau istilah umum yang dikenal luas oleh masyarakat untuk menunjuk pada jenis minuman kopi yang dibuat dengan cara tertentu (sari kopi atau kopi pekat).  

    2.       Larangan Monopoli Nama Generik: Mengizinkan pendaftaran nama generik sebagai merek akan memberikan monopoli yang tidak adil. Hal ini akan menghalangi seluruh produsen kopi lainnya untuk menggunakan istilah “espresso” untuk mendeskripsikan produk mereka yang memang merupakan kopi espresso. Ini bertentangan dengan kepentingan publik.  

    3.       Penggunaan Kombinasi Diperbolehkan: Putusan ini juga memberikan jalan keluar. Penggunaan kata “Espresso” masih dimungkinkan asalkan dikombinasikan dengan unsur lain yang mampu menciptakan suatu daya pembeda yang baru dan unik secara keseluruhan, seperti pada merek “ARCAFFE PASSIONE D'ESPRESSO”.  

    -        Analisis dan Implikasi: Putusan ini secara tegas menarik garis demarkasi antara merek (yang harus memiliki daya pembeda) dan nama generik (yang merupakan milik publik). Ini adalah manifestasi dari kebijakan publik (public policy) dalam hukum merek untuk menjaga agar bahasa dan istilah umum tetap menjadi domain publik yang dapat digunakan oleh semua orang. Kasus ini juga menyoroti fenomena genericide, di mana sebuah merek yang sangat sukses menjadi begitu identik dengan kategori produknya sehingga kehilangan statusnya sebagai merek dan berubah menjadi nama generik (seperti yang terjadi pada merek Aspirin dan Thermos secara internasional, dan berpotensi terjadi pada merek AQUA di Indonesia).  

    Konklusi dan Rekomendasi Strategis bagi Pelaku Usaha

    Kembali pada pertanyaan kritis di awal artikel, kini kita dapat merumuskan jawaban yang sintetik dan multifaset. Merek 'Kopi Nikmat' ditolak pendaftarannya karena hukum merek pada hakikatnya tidak dirancang untuk melindungi deskripsi, melainkan untuk melindungi identitas. Daya pembeda adalah syarat mutlak karena alasan-alasan fundamental berikut:

    1.       Secara Yuridis

    Daya pembeda diwajibkan secara eksplisit oleh Pasal 20 UU MIG, khususnya larangan terhadap merek yang “sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa” (huruf b), “tidak memiliki daya pembeda” (huruf e), dan “merupakan nama umum” (huruf f);

    2.       Secara Ekonomis

    Tanpa daya pembeda, merek gagal menjalankan fungsi esensialnya sebagai penunjuk asal yang unik di pasar. Hal ini akan menimbulkan kebingungan konsumen, merusak iklim persaingan usaha yang sehat, dan mendelegitimasi nilai investasi yang telah ditanamkan dalam membangun sebuah merek;

    3.       Secara Filosofis

    Prinsip daya pembeda adalah garda terdepan untuk mencegah privatisasi atau monopoli atas kata-kata umum dan deskriptif yang merupakan bagian dari domain publik. Bahasa adalah milik bersama, dan hukum merek memastikan ia tetap demikian.


    Berdasarkan analisis komprehensif ini, berikut adalah rekomendasi strategis bagi para pelaku usaha dalam memilih dan membangun merek agar memiliki daya pembeda yang kuat dan layak mendapatkan perlindungan hukum yang eksklusif:

    1.       Pilih Merek yang Kuat Sejak Awal: Prioritaskan penciptaan merek yang masuk dalam kategori Fanciful (fantasi) atau Arbitrary (arbitrer). Merek-merek dalam kategori ini memiliki daya pembeda inheren yang paling kuat, sehingga memberikan fondasi perlindungan hukum yang paling solid dan luas.

    2.       Hindari Kata Deskriptif dan Generik: Secara sadar, hindari penggunaan kata yang hanya menggambarkan jenis, kualitas, fungsi, atau karakteristik produk Anda. Jangan pernah menggunakan nama generik dari produk itu sendiri sebagai merek.

    3.       Gunakan Merek Sugestif dengan Hati-hati: Jika ingin merek Anda memberikan sedikit petunjuk tentang produk, pilihlah jalur sugestif. Pastikan merek tersebut lebih mengarah pada kiasan atau metafora yang memerlukan imajinasi konsumen, bukan deskripsi langsung.

    4.       Jika Terpaksa Menggunakan Merek Deskriptif: Apabila penggunaan merek deskriptif tidak terhindarkan, sadari bahwa jalan menuju perlindungan hukum akan sulit dan mahal. Siapkan strategi jangka panjang untuk membangun secondary meaning melalui investasi masif dalam branding, promosi, dan pemasaran. Selain itu, selalu kombinasikan kata deskriptif tersebut dengan logo, elemen grafis, atau kata lain yang unik untuk menciptakan satu kesatuan yang memiliki daya pembeda.

    5.       Lakukan Penelusuran Merek Menyeluruh: Sebelum menginvestasikan sumber daya pada sebuah merek, lakukan penelusuran yang cermat dan komprehensif pada basis data DJKI. Hal ini penting untuk memastikan merek yang Anda pilih tidak memiliki “persamaan pada pokoknya” dengan merek yang sudah terdaftar atau terkenal, sesuai dengan kriteria dalam Pasal 21 UU MIG, untuk menghindari penolakan atau sengketa di kemudian hari.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.