layananhukum

Bagaimana Cara Membuat Laporan dan Aduan di Kepolisian? (Panduan Komprehensif Berdasarkan Kerangka Hukum Terbaru)

 

Pengantar – Hak Warga Negara sebagai Pintu Gerbang Penegakan Keadilan

Dalam ranah ilmu hukum, dikenal sebuah adagium universal yang menjadi pilar bagi setiap negara hukum: “Ubi Jus Ibi Remedium”, yang bermakna “di mana ada hak, di sana ada upaya hukumnya”. Adagium ini bukanlah sekadar pepatah Latin kuno, melainkan fondasi filosofis yang menjamin bahwa setiap hak yang dilanggar harus memiliki mekanisme pemulihan yang disediakan oleh negara.

Hak untuk membuat laporan atau pengaduan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah manifestasi konkret dari prinsip tersebut. Laporan dari masyarakat bukanlah sebatas penyampaian informasi, melainkan sebuah inisiasi formal yang menggerakkan roda sistem peradilan pidana. Ini merupakan wujud partisipasi aktif warga negara dalam menjaga ketertiban hukum, sejalan dengan amanat konstitusi yang menempatkan Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat).

Namun, dalam praktiknya, pemahaman masyarakat yang minim terhadap prosedur pelaporan yang benar sering kali menjadi penghalang utama dalam mengakses keadilan (access to justice). Ketidaktahuan ini dapat berujung pada keraguan, ketakutan untuk melapor, proses yang berlarut-larut, atau bahkan menjadi celah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab.

Sebuah laporan yang disusun secara tidak tepat atau tidak didukung oleh pemahaman prosedur yang memadai dapat melemahkan posisi korban sejak awal. Oleh karena itu, artikel ini disusun dengan tujuan untuk melakukan demistifikasi terhadap proses pelaporan di Kepolisian, memperbarui informasi dari tulisan kami sebelumnya yang berjudul “Bagaimana Cara Membuat Laporan dan Aduan di Kepolisian?“ dengan landasan hukum termutakhir, dan menyajikan sebuah panduan yang tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga memberdayakan (empowering) bagi setiap warga negara yang mencari keadilan.

Dengan membedah setiap tahapan secara cermat, mulai dari pemahaman konsep dasar hingga hak-hak yang melekat pada diri seorang pelapor, diharapkan masyarakat dapat melangkah dengan lebih percaya diri dan efektif dalam menempuh jalur hukum.

Membedah Konsep Fundamental: Laporan dan Aduan dalam Hukum Acara Pidana

Sebelum melangkah ke tataran praktis, pemahaman yang jernih mengenai terminologi hukum yang digunakan menjadi syarat mutlak. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara tegas membedakan dua instrumen hukum yang menjadi pintu masuk proses pidana, yaitu “Laporan” dan “Pengaduan” (Aduan). Perbedaan ini bukan hanya soal semantik, melainkan membawa implikasi yuridis yang sangat berbeda dalam penanganannya.

Laporan (Laporan Polisi)

Definisi formal mengenai Laporan diatur secara spesifik dalam Pasal 1 Angka 24 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang selanjutnya disebut dengan KUHAP, yang menyatakan:

“Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.”

Dari definisi tersebut, dapat ditarik beberapa interpretasi kunci. Pertama, Laporan bersifat umum dan inklusif. Subjek yang dapat melaporkan tidak terbatas pada korban, melainkan setiap orang yang memiliki informasi. Kedua, kewajiban untuk melapor ini dipertegas dalam Pasal 108 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

“Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.”

Ketentuan ini menegaskan bahwa melaporkan suatu dugaan tindak pidana bukan hanya hak, tetapi juga merupakan kewajiban hukum dan moral bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam penegakan hukum. Laporan ini menjadi dasar bagi Kepolisian untuk memulai serangkaian tindakan penyelidikan guna mencari dan menemukan apakah peristiwa yang dilaporkan tersebut benar merupakan suatu tindak pidana.

Aduan (Pengaduan)

Berbeda dengan Laporan, Pengaduan memiliki cakupan yang lebih spesifik dan terbatas. Definisi Pengaduan diatur dalam Pasal 1 Angka 25 KUHAP, yang menyatakan:

“Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.”

Perbedaan fundamental terletak pada frasa “pihak yang berkepentingan” dan “tindak pidana aduan”. Secara kritis, ini berarti Pengaduan hanya dapat diajukan oleh korban langsung dari suatu tindak pidana yang oleh undang-undang secara eksplisit diklasifikasikan sebagai delik aduan (klachtendelict). Contoh klasik dari delik aduan adalah tindak pidana pencemaran nama baik (vide Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), perzinahan (vide Pasal 284 KUHP), atau penganiayaan ringan terhadap keluarga (vide Pasal 352 ayat (2) KUHP). Implikasi yuridisnya sangat signifikan yaitu tanpa adanya aduan dari korban yang sah, aparat penegak hukum (Polisi dan Kejaksaan) tidak memiliki wewenang untuk memproses hukum pelaku, meskipun mereka mengetahui terjadinya peristiwa tersebut. Negara menghormati otonomi korban untuk memutuskan apakah aib atau kerugian yang dideritanya perlu dibawa ke ranah publik melalui proses peradilan.

Prosedur Penerimaan menurut KUHAP

KUHAP memberikan fleksibilitas dalam cara penyampaian Laporan maupun Aduan. Pasal 103 KUHAP mengatur bahwa Laporan atau Pengaduan dapat diajukan secara tertulis maupun lisan. Jika disampaikan secara lisan, pejabat yang berwenang wajib mencatatnya. Sebagai bentuk jaminan kepastian hukum bagi pelapor, Pasal 108 ayat (6) KUHAP mewajibkan penyelidik atau penyidik untuk memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada pihak yang bersangkutan. Surat ini, yang dalam praktik dikenal sebagai Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP), merupakan bukti otentik bahwa proses hukum telah dimulai dan menjadi dokumen vital bagi pelapor untuk memantau perkembangan perkaranya.  

Landasan Kewenangan dan Prosedur Penerimaan Laporan oleh Kepolisian

Kewenangan Kepolisian untuk menerima laporan dan pengaduan tidak lahir dari ruang hampa, melainkan berakar kuat pada peraturan perundang-undangan yang memberikan mandat jelas sebagai garda terdepan penegakan hukum dan pelayanan masyarakat.

Kewenangan Konstitusional Kepolisian

Dasar kewenangan utama Polri tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan UU Kepolisian. Pasal 2 UU Kepolisian menyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Fungsi yang luas ini kemudian dioperasionalkan melalui kewenangan-kewenangan spesifik, salah satunya adalah menerima laporan. Pasal 15 ayat (1) huruf a UU Kepolisian secara eksplisit menyatakan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14, Polri secara umum berwenang:

“menerima laporan dan/atau pengaduan;”

Pasal ini menjadi legitimasi tertinggi bagi setiap kantor polisi di seluruh Indonesia untuk membuka pintunya bagi masyarakat yang hendak melaporkan suatu peristiwa pidana.

Pedoman Teknis Modern dalam Penyidikan

Untuk menerjemahkan kewenangan umum tersebut ke dalam tindakan yang terstandarisasi dan akuntabel, Polri menerbitkan peraturan internal yang bersifat teknis. Peraturan yang paling relevan dan mutakhir saat ini adalah Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang selanjutnya disebut dengan Perkap 6/2019. Peraturan ini secara resmi mencabut dan menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, menandakan adanya pembaruan signifikan dalam pendekatan dan manajemen penyidikan.  

Pasal 3 ayat (1) Perkap 6/2019 menegaskan kembali wewenang penyelidik dalam menerima laporan, bahkan dengan mengadopsi perkembangan teknologi, yang menyatakan:

“Penyelidik berwenang menerima laporan/pengaduan baik secara tertulis, lisan maupun menggunakan media elektronik tentang adanya tindak pidana.”  

Pengenalan Perkap 6/2019 ini sangat penting, karena ia tidak hanya mengatur tentang penerimaan laporan, tetapi juga seluruh alur proses penyidikan, mulai dari kajian awal laporan, penerbitan surat perintah, hingga kewajiban memberikan informasi perkembangan hasil penyidikan kepada pelapor. Peraturan inilah yang menjadi “buku panduan” bagi setiap penyidik di lapangan.

Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT): Pintu Gerbang Pelayanan Kepolisian

Bagi masyarakat umum, unit yang menjadi gerbang utama untuk berinteraksi dengan Kepolisian saat membuat laporan adalah Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Penting untuk diketahui bahwa telah terjadi pembaruan fundamental terkait dasar hukum yang mengatur struktur, tugas, dan fungsi dari SPKT.

Pembaruan Kritis dan Pencabutan Peraturan Lama

Perlu ditegaskan bahwa Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor, yang selama ini menjadi rujukan utama, telah secara resmi DICABUT dan DINYATAKAN TIDAK BERLAKU.  

Dasar hukum yang baru dan berlaku saat ini adalah Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor, yang selanjutnya disebut dengan Perpol 2/2021. Oleh karena itu, setiap penjelasan mengenai tugas dan fungsi SPKT harus merujuk pada peraturan baru ini untuk memastikan akurasi dan relevansi informasi.

Tugas dan Fungsi SPKT di Tingkat Polres (Kepolisian Resor)

Struktur organisasi dan tugas SPKT pada tingkat Kepolisian Resor (Polres) diatur secara rinci dalam Perpol 2/2021. Pasal 29 ayat (1) Perpol 2/2021 mendefinisikan tugas utama SPKT sebagai berikut:

“Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf k, bertugas memimpin dan mengendalikan dalam memberikan pelayanan kepolisian secara terpadu terhadap laporan/pengaduan masyarakat dan menyajikan informasi yang berkaitan dengan tugas kepolisian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”  

Tugas umum tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut ke dalam fungsi-fungsi spesifik dalam Pasal 29 ayat (2) Perpol 2/2021, yang meliputi:

a.       Pelayanan kepolisian kepada masyarakat secara terpadu, antara lain dalam bentuk Laporan Polisi (LP), Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP), Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), Surat Keterangan Tanda Lapor Kehilangan (SKTLK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP), Surat Keterangan Lapor Diri (SKLD), Surat Izin Keramaian dan kegiatan masyarakat lainnya, Surat Izin Mengemudi (SIM), dan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK);

b.      Pengoordinasian dan pengendalian dalam pemberian bantuan serta pertolongan, antara lain Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara (TPTKP), pengaturan, penjagaan, pengawalan, patroli, dan pengamanan kegiatan masyarakat serta instansi pemerintah;

c.       Pelayanan masyarakat melalui surat dan media komunikasi dan media sosial;

d.      Pelayanan informasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e.       Penyiapan registrasi pelaporan, penyusunan dan penyampaian laporan harian kepada Kapolres melalui Bagian Operasi.  

Tugas dan Fungsi SPKT di Tingkat Polsek (Kepolisian Sektor)

Perpol 2/2021 juga mengatur keberadaan dan fungsi SPKT di tingkat Kepolisian Sektor (Polsek), memastikan bahwa pelayanan dasar kepolisian dapat diakses oleh masyarakat di tingkat kecamatan. Pasal 67 ayat (1) Perpol 2/2021 menyatakan:

“Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf d, bertugas memberikan pelayanan kepolisian secara terpadu terhadap laporan/pengaduan masyarakat, memberikan bantuan dan pertolongan, serta memberikan pelayanan informasi.”  

Fungsi SPKT di tingkat Polsek, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2) Perpol 2/2021, pada dasarnya serupa dengan SPKT di tingkat Polres, namun dengan beberapa penyesuaian cakupan layanan. Fungsi-fungsi tersebut meliputi penerimaan Laporan Polisi, penerbitan STTLP dan SP2HP, penanganan SKTLK, serta koordinasi TPTKP dan patroli di wilayah hukumnya. Keberadaan SPKT di tingkat Polsek ini menegaskan prinsip bahwa masyarakat dapat dan seharusnya mengakses layanan pelaporan di kantor polisi terdekat untuk efisiensi dan kecepatan penanganan awal.

Panduan Praktis dan Prosedural Membuat Laporan di Kepolisian

Dengan berbekal pemahaman konsep dan dasar hukum yang telah diperbarui, berikut adalah panduan langkah demi langkah yang praktis dan prosedural untuk membuat laporan di kantor kepolisian, yang telah disempurnakan dengan merujuk pada kerangka hukum termutakhir.

Langkah 1: Datang ke Kantor Polisi Terdekat (Polsek/Polres)

Langkah pertama adalah mendatangi kantor polisi yang yurisdiksinya mencakup lokasi kejadian perkara (locus delicti). Secara umum, disarankan untuk mendatangi Kepolisian Sektor (Polsek) terdekat terlebih dahulu. Hal ini didasarkan pada prinsip efektivitas dan efisiensi, karena Polsek merupakan lini terdepan yang paling memahami kondisi dan situasi di wilayahnya. Namun, untuk beberapa jenis kejahatan yang kompleks atau memerlukan penanganan khusus (misalnya, kejahatan siber, korupsi, atau terorisme), pelaporan dapat lebih efektif jika dilakukan langsung ke unit spesialis di tingkat Kepolisian Resor (Polres), Kepolisian Daerah (Polda), atau bahkan Markas Besar Polri (Mabes Polri).

Langkah 2: Menuju Ruang Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT)

Setibanya di kantor polisi, arahkan langkah Anda ke ruangan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Sebagaimana diatur dalam Perpol 2/2021, SPKT adalah pusat pelayanan satu atap yang dirancang untuk menerima segala bentuk laporan dan pengaduan dari masyarakat. Di ruangan ini, petugas piket akan menyambut dan menanyakan maksud kedatangan Anda.  

Langkah 3: Proses Pembuatan Laporan Polisi (LP) dan Kajian Awal

Sampaikan kronologi peristiwa yang ingin Anda laporkan kepada petugas. Berdasarkan Pasal 3 ayat (3) huruf b Perkap 6/2019, petugas SPKT yang merupakan penyidik atau penyidik pembantu akan melakukan “kajian awal guna menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan polisi”. Ini adalah tahapan krusial. Petugas akan menilai apakah peristiwa yang dilaporkan memenuhi unsur-unsur awal dari suatu tindak pidana. Jika dinilai memenuhi syarat, petugas akan membuatkan Laporan Polisi (LP) model B, yaitu laporan yang dibuat atas informasi dari masyarakat. Jika laporan disampaikan secara lisan, petugas akan menuangkannya dalam bentuk tertulis, yang kemudian akan Anda periksa dan tanda tangani.  

Langkah 4: Pemeriksaan Awal dan Hak Menerima STTLP

Setelah Laporan Polisi (LP) resmi dibuat dan diregistrasi, proses tidak berhenti di situ. Sesuai amanat Pasal 4 Perkap 6/2019, penyidik atau penyidik pembantu di SPKT akan segera melakukan pemeriksaan awal terhadap Anda sebagai pelapor. Pemeriksaan ini akan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Saksi Pelapor. Setelah seluruh proses ini selesai, Anda berhak penuh untuk menerima Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP). Pastikan Anda menerima dan menyimpan dokumen ini dengan baik, karena STTLP adalah bukti otentik bahwa laporan Anda telah resmi diterima dan diproses oleh Kepolisian.

Langkah 5: Pentingnya Bukti Awal dan Kronologi

Untuk memperkuat laporan Anda, sangat penting untuk menyertakan bukti-bukti awal yang relevan. Bukti tersebut dapat berupa foto, video, rekaman suara, dokumen (surat, kuitansi, kontrak), atau keterangan dari saksi-saksi yang mengetahui peristiwa tersebut. Susunlah kronologi kejadian secara runtut, jelas, dan terperinci. Hal ini sejalan dengan adagium hukum “Ei Incumbit Probatio Qui Dicit, Non Qui Negat”, yang berarti beban pembuktian ada pada orang yang mendalilkan, bukan yang menyangkal. Meskipun dalam sistem peradilan pidana beban pembuktian akhir berada di tangan jaksa penuntut umum, bukti awal yang kuat dari pelapor akan sangat membantu dan mempercepat proses penyelidikan yang dilakukan oleh polisi.  

Langkah 6: Hak Pelapor Mengawal Kasus Melalui SP2HP

Sebagai pelapor, Anda memiliki hak fundamental untuk mengetahui perkembangan penanganan kasus yang Anda laporkan. Hak ini dijamin secara tegas oleh peraturan internal Polri. Pasal 10 ayat (5) Perkap 6/2019 menyatakan secara imperatif:

“Setiap perkembangan penanganan perkara pada kegiatan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diterbitkan SP2HP.”  

SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) adalah instrumen akuntabilitas dan transparansi dari penyidik kepada masyarakat. Melalui surat ini, Anda akan diberitahu apakah kasus masih dalam tahap penyelidikan, sudah naik ke tahap penyidikan, siapa tersangkanya, atau bahkan jika kasus tersebut dihentikan. Anda berhak untuk secara proaktif menanyakan SP2HP kepada penyidik yang menangani perkara Anda.

Langkah 7: Prosedur Khusus untuk Korban Perempuan dan Anak (Unit PPA)

Untuk kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak sebagai korban, terutama dalam tindak pidana kekerasan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga, penanganan akan dilakukan oleh unit khusus, yaitu Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA). Unit ini umumnya berada di tingkat Polres dan diisi oleh penyidik (polwan) yang telah mendapatkan pelatihan khusus untuk menangani korban dengan pendekatan yang lebih sensitif dan empatik. Jika Anda atau kerabat Anda adalah korban dalam kasus semacam ini, sangat disarankan untuk langsung membuat laporan di tingkat Polres agar dapat segera ditangani oleh Unit PPA.

Klarifikasi Penting: Membedakan Laporan Pidana dengan Pengaduan Masyarakat (Dumas)

Sering kali terjadi kerancuan di tengah masyarakat antara melaporkan suatu tindak pidana dengan mengadukan perilaku atau kinerja anggota Polri. Penting untuk dipahami bahwa ini adalah dua mekanisme yang sangat berbeda, dengan dasar hukum, prosedur, dan unit penanganan yang juga berbeda.

Pengantar Konsep Pengaduan Masyarakat (Dumas)

Jika Laporan Polisi (LP) ditujukan untuk peristiwa pidana yang dilakukan oleh masyarakat umum, maka Pengaduan Masyarakat (Dumas) adalah sarana bagi warga untuk melaporkan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh internal anggota Polri. Pelanggaran ini bisa berupa pelayanan yang tidak profesional, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan perilaku, hingga dugaan keterlibatan dalam tindak pidana.

Dasar Hukum Baru: Perpol 2/2024

Mekanisme Dumas di lingkungan Polri kini diatur oleh peraturan terbaru, yaitu Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Perpol 2/2024. Peraturan ini secara resmi mencabut dan menggantikan Peraturan Kepolisian Nomor 9 Tahun 2018.  

Pasal 2 ayat (2) Perpol 2/2024 merinci objek dari Dumas, yang meliputi pengaduan terkait dengan:

a.       pelayanan Polri;

b.      penyimpangan perilaku SDM Polri;

c.       penyalahgunaan tugas, fungsi, dan wewenang; dan/atau

d.      proses penegakan hukum.  

Mekanisme dan Alur Dumas

Berbeda dengan Laporan Polisi yang diterima di SPKT, Dumas diterima melalui unit khusus yang disebut Sentra Pelayanan Dumas Terintegrasi (SPDT). Selain itu, surat pemberitahuan perkembangannya pun berbeda. Jika dalam laporan pidana dikenal SP2HP, maka dalam mekanisme Dumas, pelapor akan menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D), sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 19 Perpol 2/2024.  

Tabel Pembeda: Laporan, Aduan, dan Dumas

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut adalah tabel perbandingan antara Laporan, Aduan, dan Pengaduan Masyarakat (Dumas):

Aspek

Laporan (Pasal 1 Angka 24 KUHAP)

Aduan (Pasal 1 Angka 25 KUHAP)

Pengaduan Masyarakat (Dumas) (Perpol 2/2024)

Objek

Peristiwa yang diduga tindak pidana (umum).

Tindak pidana khusus (delik aduan) yang merugikan pengadu.

Pelayanan Polri, penyimpangan perilaku/wewenang anggota Polri.

Pelapor/Pengadu

Setiap orang yang mengetahui.

Hanya korban langsung.

Setiap warga negara atau penduduk.

Terlapor

Pelaku tindak pidana (umumnya masyarakat sipil).

Pelaku tindak pidana (umumnya masyarakat sipil).

Sumber Daya Manusia (SDM) Polri (Anggota Polri/PNS Polri).

Dasar Hukum Utama

KUHAP, Perkap 6/2019.

KUHAP.

Perpol 2/2024.

Unit Penerima

SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu).

SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu).

SPDT (Sentra Pelayanan Dumas Terintegrasi).

Surat Pemberitahuan

SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan).

SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan).

SP3D (Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas).

Keberadaan sistem Dumas yang terstruktur dan terpisah ini menunjukkan komitmen Polri terhadap akuntabilitas internal dan pengawasan publik. Ini memisahkan fungsi investigasi kejahatan di masyarakat dengan fungsi investigasi terhadap personelnya sendiri, sebuah langkah penting untuk mengurangi potensi konflik kepentingan dan meningkatkan kepercayaan publik.

Penutup – Menjadi Warga Negara yang Berani dan Sadar Hukum

Membuat laporan di kepolisian adalah langkah awal yang krusial dalam rantai penegakan keadilan. Memahami prosedur yang benar, membedakan antara laporan pidana dan pengaduan internal, serta mengetahui hak-hak esensial yang melekat pada diri seorang pelapor adalah kunci untuk menavigasi proses ini secara efektif. Ingatlah selalu hak-hak fundamental Anda: hak untuk dilayani secara profesional di SPKT, hak untuk mendapatkan Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP) sebagai bukti pelaporan, dan hak untuk memantau serta menuntut transparansi perkembangan kasus melalui Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).

Jangan pernah ragu atau takut untuk melapor. Sebuah laporan yang dibuat dengan baik, didukung oleh kronologi yang jelas dan bukti awal yang memadai, adalah bentuk kontribusi nyata warga negara dalam memerangi kejahatan dan menjaga supremasi hukum. Proses hukum mungkin terasa panjang dan melelahkan, tetapi ia adalah satu-satunya jalan yang sah dan beradab untuk menuntut pertanggungjawaban dan meraih keadilan. Sebagaimana adagium hukum yang terus menginspirasi para pejuang keadilan di seluruh dunia, “Fiat Justitia Ruat Caelum”—Hendaklah keadilan ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh.  

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini