layananhukum

Update Aturan OSS Berbasis Risiko

 

Dinamika pembangunan ekonomi menuntut kerangka hukum yang tidak hanya responsif, tetapi juga proaktif dalam memberikan kepastian dan kemudahan berusaha. Adagium hukum klasik, het recht hinkt achter de feiten aan, yang bermakna bahwa hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar perubahan zaman, menjadi cerminan relevan bagi lanskap regulasi perizinan di Indonesia sebelum era reformasi. Sistem yang ada seringkali gagal mengimbangi kecepatan inovasi bisnis, menciptakan iklim yang sarat dengan ketidakpastian, tumpang tindih kewenangan, dan prosedur yang berbelit.  

Sebagai respons, Pemerintah menginisiasi terobosan melalui Undang-Undang Cipta Kerja, yang setelah melalui proses uji materiil di Mahkamah Konstitusi, disempurnakan dan ditetapkan kembali melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Undang-undang ini menjadi fondasi bagi perombakan struktural ekosistem perizinan, dengan memperkenalkan pendekatan berbasis risiko (Risk-Based Approach - RBA) yang diimplementasikan melalui platform digital terintegrasi, Online Single Submission (OSS).

Langkah implementasi awal diwujudkan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 5/2021”). Regulasi ini merupakan langkah maju, namun dalam praktiknya, ia belum sepenuhnya mampu mengatasi penyakit kronis dalam birokrasi perizinan. Berbagai kendala, seperti ego sektoral antar kementerian/lembaga, sistem yang belum terintegrasi sempurna, dan ketiadaan jaminan waktu penyelesaian yang tegas, menyebabkan tujuan utama reformasi belum tercapai secara optimal. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan menyoroti mandeknya investasi bernilai triliunan rupiah akibat lambatnya pemrosesan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) dan persetujuan lingkungan.  

Menyadari kelemahan tersebut, pemerintah melakukan evaluasi mendalam yang berujung pada penerbitan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang selanjutnya disebut dengan “PP 28/2025”. Perlu digarisbawahi bahwa PP 28/2025 bukanlah sekadar amendemen parsial. Regulasi ini merupakan sebuah reformasi komprehensif yang secara tegas, melalui Pasal 431, mencabut dan menggantikan PP 5/2021, dirancang untuk menambal celah hukum, memperkuat integrasi sistem, dan memberikan kepastian hukum yang lebih solid bagi pelaku usaha.  

Perubahan paling fundamental dalam PP 28/2025 adalah penegasan bahwa Sistem OSS menjadi satu-satunya gerbang (single gateway) untuk seluruh proses perizinan, sebuah koreksi tegas terhadap kelemahan PP 5/2021. Di bawah rezim lama, persistensi ego sektoral masih memungkinkan adanya prosedur jalur ganda (dual-track), di mana pelaku usaha harus berinteraksi dengan sistem OSS sekaligus sistem sektoral yang seringkali tidak sinkron.

PP 28/2025 mengakhiri praktik ini. Salah satu terobosan terbesarnya adalah kewajiban untuk mengajukan dan memproses seluruh jenis Persetujuan Lingkungan (PL)—baik yang memerlukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), maupun Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL)—secara eksklusif melalui Sistem OSS. Kini, OSS berfungsi sebagai front-end dan back-end tunggal, di mana seluruh alur kerja, mulai dari pengajuan, penilaian, hingga penerbitan, dimediasi oleh satu platform terintegrasi.  

Untuk mengatasi momok ketidakpastian waktu, PP 28/2025 menetapkan Jaminan Kualitas Layanan (Service Level Agreement - SLA) yang jelas dan mengikat secara hukum untuk setiap tahapan krusial, terutama pada pemenuhan persyaratan dasar seperti KKPR, PL, dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Sebagai contoh, proses penilaian substansi AMDAL kini memiliki batas waktu 50 hari. Untuk memperkuat penegakan SLA ini, mekanisme fiktif positif (persetujuan fiktif) dipertegas. Jika pejabat yang berwenang tidak memberikan keputusan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, Sistem OSS dapat secara otomatis menerbitkan persetujuan atau menganggap persyaratan telah terpenuhi. Ini menjadi “senjata baru” pemerintah untuk mendisiplinkan birokrasi dan memberikan kepastian kepada investor.  

Meskipun narasi resmi pemerintah menegaskan bahwa kewenangan daerah tidak diambil alih, PP 28/2025 secara de facto melakukan sentralisasi fungsional yang kuat. Pemerintah Pusat kini memiliki kewenangan tunggal untuk menetapkan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) untuk setiap sektor usaha. Peran pemerintah daerah (melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu - DPMPTSP) bergeser dari penyusun prosedur menjadi verifikator dan pengawas yang bekerja dalam koridor NSPK dan platform teknologi yang telah ditetapkan oleh pusat.  

Dengan berlakunya PP 28/2025, alur perizinan usaha melalui Sistem OSS mengalami penajaman. Proses dimulai dengan pendaftaran untuk memperoleh hak akses, yang memerlukan validasi data kependudukan (NIK) dan perpajakan (NPWP). Langkah fundamental berikutnya adalah pemilihan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang akurat, di mana sistem menggunakan KBLI 2020 yang telah mengakomodasi jenis usaha modern. Setelah data awal diisi, Sistem OSS akan menerbitkan Nomor Induk Berusaha (NIB).  

Namun, perubahan konseptual yang paling signifikan adalah pengenalan “pemenuhan persyaratan dasar” sebagai prasyarat mutlak sebelum Perizinan Berusaha dapat berlaku efektif untuk kegiatan operasional. Persyaratan dasar ini meliputi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), Persetujuan Lingkungan (PL), dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan/atau Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Prinsip ini dikenal sebagai front-loading of compliance, di mana beban kepatuhan digeser ke tahap awal. Jika dahulu pelaku usaha bisa mendapatkan izin sambil “berkomitmen” memenuhi syarat, kini persyaratan paling kompleks harus dipenuhi di muka.

Setelah NIB terbit, alur proses akan bercabang sesuai dengan tingkat risiko kegiatan usaha. Untuk Risiko Rendah, NIB berfungsi sekaligus sebagai legalitas untuk menjalankan kegiatan usaha. Untuk Risiko Menengah Rendah, pelaku usaha wajib memiliki NIB dan Sertifikat Standar yang diterbitkan dalam bentuk pernyataan mandiri (self-declaration) dan terbit otomatis. Bagi Risiko Menengah Tinggi, NIB dan Sertifikat Standar juga diwajibkan, namun Sertifikat Standar baru berlaku setelah diverifikasi oleh kementerian/lembaga atau pemerintah daerah terkait. Terakhir, untuk Risiko Tinggi, pelaku usaha memerlukan NIB dan Izin, yang baru diterbitkan setelah seluruh persyaratan, termasuk pemenuhan persyaratan dasar secara komprehensif, telah diverifikasi secara ketat.  

Secara kritis, keberhasilan reformasi ini sangat bergantung pada kesiapan kelembagaan dan sumber daya manusia di daerah, serta stabilitas dan kapasitas teknis Sistem OSS itu sendiri. Fokus pada percepatan proses di hulu juga menimbulkan pertanyaan tentang kualitas pengawasan pasca-perizinan di hilir. Tujuan akhir dari setiap pembentukan hukum, sebagaimana tercermin dalam adagium Salus populi suprema lex (kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi), adalah untuk mewujudkan kemaslahatan publik. Namun, pengejaran efisiensi melalui mekanisme fiktif positif berisiko mengorbankan keadilan substantif, terutama dalam perlindungan lingkungan, jika persetujuan terbit tanpa kajian yang memadai.

Problematika implementasi OSS telah menjadi objek sengketa di pengadilan, yang memberikan yurisprudensi berharga. Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 29 PK/TUN/LH/2022, tertanggal 24 Februari 2022, yang melibatkan Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single Submission (Lembaga OSS) melawan PT. Tenaga Listrik Bengkulu, Mahkamah Agung menegaskan prinsip fundamental bahwa Sistem OSS adalah sebuah platform atau sarana elektronik, bukan lembaga super yang mengambil alih kewenangan substantif dari kementerian/lembaga teknis. Putusan ini membatasi peran Lembaga OSS sebagai fasilitator teknis, sementara keputusan substantif tetap berada di tangan institusi yang memiliki kompetensi berdasarkan undang-undang sektoral.  

Contoh lainnya adalah Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 479/G/2023/PTUN.JKT, tertanggal 23 Januari 2024, di mana PT. Kencana Niaga Nusajaya menggugat Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal terkait pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dieksekusi melalui Sistem OSS. Kasus ini menguji bagaimana pengadilan menyeimbangkan efisiensi administrasi digital dengan perlindungan hak-hak dasar pelaku usaha untuk mendapatkan proses yang patut (due process of law). Putusan ini menjadi barometer penting yang menegaskan bahwa transformasi digital tidak boleh menjadi dalih untuk mengabaikan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Sebagai penutup, penerbitan PP 28/2025 menandai babak baru yang ambisius dalam reformasi perizinan. Proyeksi ke depan menunjukkan bahwa efektivitasnya akan bergantung pada konsistensi politik, kemampuan teknis Sistem OSS, dan kapasitas pengawasan pasca-perizinan. Bagi pelaku usaha, disarankan untuk mengadopsi pendekatan proaktif dengan segera memperbarui data di Sistem OSS, memprioritaskan pemenuhan persyaratan dasar, dan melakukan dokumentasi digital yang rapi. Bagi pemerintah, investasi pada kapasitas sistem dan sumber daya manusia, pembangunan sistem pengawasan yang kuat, serta sosialisasi berkelanjutan menjadi kunci keberhasilan reformasi ini.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini