layananhukum

Begini Aturan Hukum Izin Usaha Pertambangan (IUP) Terbaru

 

Pengantar

Sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) di Indonesia merupakan pilar strategis bagi perekonomian nasional. Pengelolaannya tidak hanya berdampak pada pendapatan negara, tetapi juga menyentuh aspek sosial, lingkungan, dan geopolitik.

Landasan filosofis dan konstitusional tertinggi pengelolaan sumber daya alam ini termaktub dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang secara imperatif menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Amanat ini menjadi jiwa dari setiap regulasi yang mengatur sektor pertambangan, menegaskan bahwa negara bertindak sebagai pemegang kuasa atas nama rakyat untuk memastikan pemanfaatan sumber daya alam bertujuan akhir pada kesejahteraan kolektif.

Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap hukum pertambangan Indonesia mengalami transformasi fundamental. Tonggak utama perubahan ini adalah serangkaian amandemen yang berpuncak pada diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang selanjutnya disebut denganUU Minerba.

Regulasi ini secara tegas mengonsolidasikan kewenangan pengelolaan dan perizinan usaha pertambangan di tangan Pemerintah Pusat, sebuah pergeseran signifikan dari rezim otonomi daerah sebelumnya.  

Analisis kritis terhadap tren sentralisasi ini menunjukkan bahwa perubahan tersebut bukan sekadar pergeseran administratif, melainkan sebuah redefinisi komprehensif atas hubungan pusat-daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Pasal 4 ayat (2) UU Minerba secara eksplisit menyatakan bahwa, “Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.”.

Penarikan kewenangan ini ke tingkat pusat dilandasi oleh pertimbangan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, standardisasi pengawasan, dan kepastian hukum bagi investasi, sekaligus untuk memastikan bahwa pengelolaan minerba sejalan dengan kebijakan strategis nasional, terutama program hilirisasi. Namun, pergeseran ini juga membawa implikasi langsung terhadap otonomi daerah, potensi pendapatan asli daerah (PAD), serta dinamika partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan.  

Sebagai turunan dari UU Minerba, Pemerintah telah menerbitkan serangkaian peraturan pelaksana. Regulasi kunci yang menjadi pedoman teknis adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang selanjutnya disebut denganPP 96/2021. Dinamika hukum terus berjalan, dan pemerintah melakukan penyesuaian signifikan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang selanjutnya disebut denganPP 25/2024.

Kebijakan-kebijakan yang diperkenalkan dalam PP 25/2024, seperti penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada badan usaha milik organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, kini telah dikodifikasikan dan diperkuat landasan hukumnya dalam UU Minerba terbaru.

Tulisan ini akan berupaya mengupas secara komprehensif dan kritis kerangka hukum Izin Usaha Pertambangan (IUP) terbaru sehingga tulisan ini merupakan update dari tulisan kami sebelumnya yang berjudul “Begini Aturan Hukum Izin Usaha Pertambangan (IUP) Terbaru”, dengan menelaah secara mendalam setiap peraturan relevan, implikasi perubahannya, serta preseden hukum dari sengketa yang terjadi di pengadilan baru-baru ini.

Kerangka Hukum Fundamental Izin Usaha Pertambangan (IUP)

Definisi dan Ruang Lingkup IUP

Untuk memahami seluk-beluk perizinan pertambangan, pemahaman mengenai definisi legal dari Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah hal yang esensial. Berdasarkan Pasal 1 Angka 7 UU Minerba, Izin Usaha Pertambangan (IUP) didefinisikan sebagai:

“izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan.”.

Definisi ini, meskipun singkat, memiliki cakupan yang sangat luas. “Usaha Pertambangan” itu sendiri, sesuai Pasal 1 Angka 6 UU Minerba, adalah sebuah siklus kegiatan yang komprehensif, mencakup seluruh tahapan mulai dari penelitian, pengelolaan, hingga pengusahaan mineral atau batubara. Tahapan tersebut meliputi: penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. Dengan demikian, IUP merupakan instrumen hukum utama yang memberikan legalitas kepada pelaku usaha untuk menjalankan satu atau lebih tahapan dalam rantai kegiatan pertambangan.  

Kewenangan Pemerintah Pusat dan Delegasi Terbatas

Sebagaimana telah diuraikan, UU Minerba mengamanatkan sentralisasi kewenangan. Pasal 35 ayat (1) UU Minerba menegaskan bahwa usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Kewenangan ini secara atributif berada di tangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).  

Meskipun demikian, UU Minerba masih membuka ruang untuk pendelegasian sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. Pasal 35 ayat (4) UU Minerba menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha kepada pemerintah daerah provinsi.

Mekanisme delegasi ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah, yang selanjutnya disebut denganPP 6/2021. Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa pendelegasian ini bersifat terbatas dan terkontrol. Pemerintah daerah provinsi pada dasarnya bertindak sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang telah ditetapkan.

Kewenangan strategis seperti penetapan wilayah pertambangan, persetujuan atas izin-izin krusial, dan perumusan kebijakan nasional tetap menjadi domain absolut Pemerintah Pusat.

Integrasi dengan Sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (OSS-RBA)

Dalam rangka penyederhanaan dan percepatan proses perizinan, seluruh permohonan izin di sektor pertambangan kini terintegrasi dengan sistem Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA). Landasan hukum fundamental untuk sistem ini kini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang selanjutnya disebut denganPP 28/2025.

Peraturan ini secara resmi mencabut dan menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021, sekaligus memperkuat dan menyempurnakan implementasi sistem perizinan berbasis risiko di Indonesia. Penegasan integrasi ini juga termaktub dalam Pasal 35 ayat (5) UU Minerba yang menyatakan bahwa pemberian Perizinan Berusaha mengikuti sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.  

Melalui sistem ini, Perizinan Berusaha di sektor pertambangan terdiri dari tiga komponen utama:

1.        Nomor Induk Berusaha (NIB), sesuai Pasal 1 PP 28/2025, NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sekaligus berfungsi sebagai identitas Pelaku Usaha. NIB menjadi identitas tunggal bagi setiap pelaku usaha.

2.       Sertifikat Standar merupakan pernyataan pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh pelaku usaha, yang diperlukan untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah.

3.      Izin merupakan bentuk persetujuan dari Pemerintah Pusat bagi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan yang memiliki tingkat risiko tinggi. Sesuai Pasal 35 ayat (3) UU Minerba, jenis “Izin” di sektor minerba kini meliputi: IUP, IUPK, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, IPR, SIPB, izin penugasan, Izin Pengangkutan dan Penjualan, IUJP, dan IUP untuk Penjualan.  

Prosedur dan Mekanisme Perolehan Izin Usaha Pertambangan (IUP)

Penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)

Langkah awal sebelum IUP dapat diterbitkan adalah penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Proses ini dimulai dari penetapan Wilayah Pertambangan (WP) oleh Pemerintah Pusat. Di dalam WP inilah kemudian dapat ditetapkan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) yang akan ditawarkan kepada pelaku usaha.

Sebagaimana ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU Minerba, luas dan batas WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara ditetapkan oleh Menteri, yang dalam pelaksanaannya dapat berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah.  Kemudian, sebagaimana Pasal 51 dan Pasal 60 UU Minerba, terdapat dua mekanisme utama untuk memperoleh WIUP Mineral Logam dan Batubara:  

1.        Lelang

Mekanisme ini menjadi salah satu cara untuk mendapatkan pelaku usaha yang paling memenuhi kualifikasi teknis, finansial, dan lingkungan.

2.       Pemberian Prioritas

Mekanisme baru yang dipertegas dalam UU Minerba, di mana WIUP dapat diberikan secara prioritas kepada subjek hukum tertentu dengan mempertimbangkan pemberdayaan dan peningkatan ekonomi daerah.  

Subjek Hukum Pemohon IUP

Pemberian Izin Usaha Pertambangan tidak dapat dilakukan kepada sembarang entitas. UU Minerba terbaru secara limitatif sekaligus ekspansif telah menetapkan subjek-subjek hukum yang dapat memperoleh WIUP. Ketentuan ini secara eksplisit membuka ruang bagi subjek hukum baru di luar pelaku usaha konvensional. Pasal 51 ayat (1) UU Minerba menyatakan bahwa:

“WIUP Mineral logam diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, perusahaan perseorangan, badan usaha kecil dan menengah, atau badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan dengan cara lelang atau dengan cara pemberian prioritas.” (vide Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025).

Ketentuan serupa juga berlaku untuk WIUP Batubara (vide Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025).  

Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 38 huruf a UU Minerba memberikan definisi yang lebih luas mengenai “Badan Usaha”, yang menyatakan:

“Yang dimaksud dengan “Badan Usaha” antara lain BUMN, badan usaha milik daerah, Badan Usaha swasta, badan usaha kecil dan menengah, atau badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.” (vide Penjelasan Pasal 38 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025).

Dengan demikian, kerangka hukum terbaru secara tegas telah mengodifikasikan badan usaha milik ormas keagamaan sebagai salah satu subjek hukum yang sah dan bahkan diprioritaskan untuk dapat menjadi pemegang IUP.

Tahapan Kegiatan IUP

Secara garis besar, IUP diberikan melalui dua tahapan utama yang berkesinambungan, sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Minerba:  

1.        IUP Tahap Kegiatan Eksplorasi

Izin ini diberikan untuk melakukan serangkaian kegiatan penyelidikan awal hingga penentuan kelayakan tambang, yang meliputi Penyelidikan Umum, Eksplorasi, dan Studi Kelayakan.  

2.       IUP Tahap Kegiatan Operasi Produksi

Setelah tahap eksplorasi berhasil, pemegang IUP dapat mengajukan peningkatan izin ke tahap Operasi Produksi. Sesuai definisi dalam Pasal 1 Angka 17 UU Minerba, tahap ini mencakup kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, termasuk pengangkutan dan penjualan.  

Implikasi UU Nomor 2 Tahun 2025

Pengesahan UU Nomor 2 Tahun 2025 merupakan kulminasi dari dinamika kebijakan pertambangan beberapa tahun terakhir, yang secara efektif mengintegrasikan dan memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi kebijakan yang sebelumnya diatur dalam peraturan pemerintah. Analisis mendalam terhadap perubahan ini krusial untuk memahami arah kebijakan pertambangan nasional.

Poin-Poin Perubahan Fundamental dalam UU Minerba Terbaru

UU Nomor 2 Tahun 2025 mengubah beberapa pasal krusial dan menyisipkan pasal baru yang secara fundamental mengubah lanskap perizinan pertambangan. Perubahan ini menyentuh tiga aspek utama, antara lain kepastian perpanjangan izin bagi industri hilirisasi, mekanisme penawaran wilayah izin, dan perluasan subjek hukum yang dapat mengelola tambang.  

Pertama, terkait jaminan perpanjangan izin untuk mendukung hilirisasi, UU Minerba terbaru merevisi Pasal 47 dengan menambahkan ketentuan baru. Pasal 47 huruf f dan g secara eksplisit memberikan jangka waktu IUP Operasi Produksi selama 30 (tiga puluh tahun) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan bagi pertambangan mineral logam yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan/pemurnian dan pertambangan batubara yang terintegrasi dengan kegiatan pengembangan/pemanfaatan.

Secara kritis, perubahan ini adalah insentif terkuat bagi investasi di sektor hilirisasi, menjamin keberlanjutan pasokan bahan baku bagi smelter atau industri turunan batubara. Namun, kebijakan ini juga berpotensi menciptakan penguasaan sumber daya alam dalam jangka waktu yang sangat panjang oleh segelintir pelaku usaha besar, sehingga dapat mengurangi kesempatan bagi pelaku usaha baru untuk masuk ke wilayah-wilayah strategis.  

Kedua, dan yang paling signifikan, adalah formalisasi pemberian prioritas WIUP/WIUPK kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan. Jika sebelumnya kebijakan ini hanya diatur dalam PP 25/2024, kini UU Minerba secara tegas mengakomodasinya. Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 75 UU Minerba secara eksplisit menyebutkan “badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan” sebagai salah satu subjek hukum yang dapat diberikan WIUP atau WIUPK, baik melalui lelang maupun mekanisme prioritas. Pemberian prioritas ini didasarkan pada pertimbangan “penguatan fungsi ekonomi organisasi kemasyarakatan keagamaan” dan “peningkatan perekonomian daerah”. Meskipun dilandasi oleh tujuan pemberdayaan, kebijakan ini tetap menuai kritik tajam terkait potensi kurangnya kompetensi teknis dan finansial ormas, risiko konflik kepentingan, serta potensi penyimpangan dari prinsip tata kelola yang baik (good governance).  

Ketiga, UU Minerba terbaru juga memperkenalkan mekanisme pemberian WIUP/WIUPK prioritas untuk kepentingan perguruan tinggi melalui Pasal 51A, Pasal 60A, dan Pasal 75A. WIUP/WIUPK dapat diberikan kepada BUMN, BUMD, atau swasta, yang kemudian wajib memberikan sebagian keuntungannya kepada perguruan tinggi terakreditasi untuk peningkatan akses dan layanan pendidikan. Kebijakan ini merupakan terobosan untuk menciptakan kemandirian finansial bagi institusi pendidikan tinggi, namun pelaksanaannya memerlukan pengawasan ketat untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi.  

Hak dan Kewajiban Fundamental Pemegang IUP

Memperoleh IUP bukan hanya memberikan hak untuk mengeksploitasi sumber daya alam, tetapi juga membebankan serangkaian kewajiban yang harus dipatuhi secara ketat.

Hak-Hak Pemegang IUP

Secara fundamental, pemegang IUP dan IUPK memiliki hak untuk melakukan seluruh tahapan usaha pertambangan sesuai izin yang dimiliki dan mendapatkan jaminan dari pemerintah untuk dapat melaksanakan kegiatan usahanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  

Kewajiban-Kewajiban Krusial

Di sisi lain, pemegang IUP dibebani dengan berbagai kewajiban, antara lain:

1.        Kewajiban Finansial

Membayar pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terdiri dari iuran tetap dan iuran produksi (royalti);

2.       Kewajiban Lingkungan

Sesuai Pasal 100 UU Minerba yang telah diubah, pemegang IUP atau IUPK wajib menyediakan dan menempatkan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang. Menteri kini dapat melibatkan Pemerintah Daerah dalam memastikan pelaksanaan reklamasi dan perlindungan dampak pascatambang;

3.      Kewajiban Sosial (PPM)

Sebagaimana ketentuan Pasal 108 UU Minerba yang baru, pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang kini secara eksplisit mencakup, antara lain program tanggung jawab sosial dan lingkungan; pelibatan masyarakat lokal dan adat; serta program kemitraan usaha dan pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas. Penyusunan program ini wajib dikonsultasikan kepada Menteri, Pemerintah Daerah, dan masyarakat;

4.       Kewajiban Pelaporan (RKAB)

Menyusun dan menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahunan untuk mendapatkan persetujuan dari Menteri ESDM. Ketentuan teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penyusunan, Penyampaian, dan Persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Serta Tata Cara Pelaporan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang selanjutnya disebut denganPermen ESDM 10/2023.  

Preseden Hukum dari Sengketa Izin Usaha Pertambangan di Pengadilan

Dinamika penerapan regulasi pertambangan yang kompleks seringkali berujung pada sengketa hukum di pengadilan. Yurisprudensi yang terbentuk dari putusan-putusan pengadilan ini menjadi preseden penting yang tidak hanya menyelesaikan konflik individual, tetapi juga memberikan interpretasi dan batasan terhadap kewenangan pemerintah dalam mengelola sektor strategis ini. Pengadilan, khususnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), memegang peranan vital sebagai lembaga yang menguji keabsahan tindakan administrasi pemerintahan, memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil telah sesuai dengan hukum dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Contoh nyata dari peran krusial peradilan ini tecermin dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 382/G/2022/PTUN.JKT, tertanggal 8 Maret 2023. Dalam kasus ini, PT. Indobara Bagas Jaya menggugat Menteri Investasi/Kepala BKPM yang telah menerbitkan surat pencabutan IUP milik perusahaan. Majelis Hakim, setelah menelaah bukti dan argumen, mengabulkan gugatan tersebut dengan pertimbangan bahwa tindakan pencabutan izin oleh pemerintah tidak memenuhi asas kecermatan dan kepastian hukum. Putusan ini menjadi preseden penting yang menegaskan bahwa kekuasaan pemerintah untuk mencabut izin tidak bersifat absolut; ia dapat diuji dan dibatalkan oleh pengadilan jika terbukti cacat hukum, baik secara prosedural maupun substansial.

Demikian pula, dalam sengketa mengenai penolakan perpanjangan izin, pengadilan kembali menunjukkan perannya sebagai penjaga kepastian hukum. Melalui Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 67/G/2022/PTUN.JKT, tertanggal 10 Agustus 2022, Majelis Hakim membatalkan keputusan penolakan perpanjangan IUP yang diajukan oleh PT. Sarana Maju Cemerlang. Hakim menilai bahwa alasan penolakan yang dikemukakan oleh Kementerian ESDM tidak didasarkan pada landasan hukum yang kuat dan tidak mempertimbangkan fakta bahwa penggugat telah memenuhi kewajibannya. Putusan ini mengirimkan pesan yang jelas bahwa pemerintah harus bertindak secara objektif, transparan, dan berdasarkan hukum yang sah dalam setiap keputusannya, terutama yang menyangkut kelangsungan investasi yang telah berjalan.  

Selain sengketa antara pelaku usaha dan pemerintah, problematika hukum juga kerap muncul akibat tumpang tindih wilayah izin, sebuah warisan dari kurangnya koordinasi antar-instansi di masa lalu. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 47 K/TUN/2020 menjadi salah satu contoh sengketa kompleks antara pemegang IUP dan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan. Dalam kasus semacam ini, pengadilan menelaah secara cermat kronologi penerbitan setiap izin dan kepatuhan prosesnya terhadap peraturan yang berlaku. Putusan ini menyoroti kelemahan sistemik yang coba diatasi oleh kebijakan sentralisasi dan One Map Policy, serta kini dipertegas dalam Pasal 171B UU Minerba yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk mengevaluasi dan mencabut IUP yang tumpang tindih.  

Di sisi lain, negara juga menggunakan instrumen hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) untuk menegakkan hukum terhadap kegiatan pertambangan ilegal. Putusan Pengadilan Negeri Ternate Nomor 152/Pid.B/LH/2020/PN Tte, tertanggal 17 September 2020, menunjukkan ketegasan ini. Dalam kasus tersebut, seorang terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penambangan tanpa izin sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU Minerba. Putusan ini menjadi bukti bahwa selain sanksi administratif, negara tidak segan menggunakan sanksi pidana untuk memberikan efek jera dan melindungi sumber daya alam dari eksploitasi ilegal yang merugikan negara dan merusak lingkungan.

Refleksi dan Proyeksi Hukum Pertambangan Indonesia

Regulasi IUP di Indonesia telah melalui evolusi yang berpuncak pada model sentralisasi kewenangan dan penguatan kebijakan hilirisasi di bawah UU Minerba terbaru. Analisis komprehensif menunjukkan adanya sebuah tensi yang melekat antara dua tujuan utama: di satu sisi, upaya pemerintah untuk menciptakan efisiensi, standardisasi, dan kepastian investasi; di sisi lain, munculnya kebijakan afirmatif baru yang mengundang perdebatan mengenai tata kelola, profesionalisme, dan potensi konflik kepentingan.

Formalisasi pemberian izin prioritas kepada badan usaha milik ormas keagamaan dan untuk kepentingan perguruan tinggi adalah sebuah eksperimen sosial-ekonomi yang kini memiliki landasan hukum setingkat undang-undang. Keberhasilannya akan sangat bergantung pada ketatnya peraturan pelaksana dan integritas dalam proses verifikasi serta pengawasan.

Elaborasi Adagium Hukum

Dalam merefleksikan kompleksitas ini, beberapa adagium hukum dapat memberikan perspektif:

-         Salus populi suprema lex esto (Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi). Adagium ini mengingatkan bahwa seluruh kerangka regulasi pertambangan, termasuk kebijakan afirmatif di dalamnya, harus senantiasa diuji berdasarkan tujuan akhirnya: apakah ia benar-benar berkontribusi pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Konstitusi;

-         Lex semper dabit remedium (Hukum selalu memberikan obat/solusi). Keberadaan mekanisme peradilan, sebagaimana ditunjukkan dalam studi kasus, adalah manifestasi dari adagium ini. Ketika terjadi kesewenang-wenangan, sistem hukum menyediakan jalan bagi pencari keadilan untuk memperoleh koreksi. Peran yudikatif sebagai penyeimbang menjadi sangat vital dalam menjaga kepastian hukum di sektor ini;

-         Ubi societas, ibi ius (Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum). Adagium ini menegaskan bahwa hukum tidak statis. Perubahan dari desentralisasi ke sentralisasi, pengenalan sistem OSS-RBA, hingga kebijakan konsesi untuk ormas adalah cerminan dari upaya hukum untuk beradaptasi dengan tantangan ekonomi, sosial, dan politik yang baru.

Proyeksi dan Tantangan Masa Depan

Ke depan, sektor pertambangan Indonesia akan menghadapi sejumlah tantangan hukum yang kompleks. Pertama, implementasi dan pengawasan kebijakan konsesi untuk ormas keagamaan akan menjadi ujian berat bagi tata kelola pertambangan. Diperlukan peraturan turunan yang sangat ketat dan pengawasan yang transparan.

Kedua, harmonisasi regulasi untuk secara efektif mendukung program hilirisasi dan transisi energi. Diperlukan kerangka hukum yang tidak hanya memberikan insentif, tetapi juga memastikan praktik hilirisasi berjalan efisien dan ramah lingkungan. Ketiga, penguatan penegakan hukum terkait aspek Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (Environmental, Social, and Governance - ESG) akan menjadi tuntutan global yang tidak terhindarkan. Menavigasi tantangan-tantangan ini akan menentukan masa depan sektor pertambangan Indonesia dan kontribusinya bagi kemakmuran bangsa.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.