Pengantar
Sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) di
Indonesia merupakan pilar strategis bagi perekonomian nasional. Pengelolaannya
tidak hanya berdampak pada pendapatan negara, tetapi juga menyentuh aspek
sosial, lingkungan, dan geopolitik.
Landasan filosofis dan konstitusional tertinggi
pengelolaan sumber daya alam ini termaktub dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang secara
imperatif menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.”
Amanat ini menjadi jiwa dari setiap regulasi yang
mengatur sektor pertambangan, menegaskan bahwa negara bertindak sebagai
pemegang kuasa atas nama rakyat untuk memastikan pemanfaatan sumber daya alam
bertujuan akhir pada kesejahteraan kolektif.
Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap hukum
pertambangan Indonesia mengalami transformasi fundamental. Tonggak utama
perubahan ini adalah serangkaian amandemen yang berpuncak pada diundangkannya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
yang selanjutnya disebut dengan “UU Minerba”.
Regulasi ini secara tegas mengonsolidasikan kewenangan
pengelolaan dan perizinan usaha pertambangan di tangan Pemerintah Pusat, sebuah
pergeseran signifikan dari rezim otonomi daerah sebelumnya.
Analisis kritis terhadap tren sentralisasi ini
menunjukkan bahwa perubahan tersebut bukan sekadar pergeseran administratif,
melainkan sebuah redefinisi komprehensif atas hubungan pusat-daerah dalam
pengelolaan sumber daya alam. Pasal 4 ayat (2) UU Minerba secara
eksplisit menyatakan bahwa, “Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini.”.
Penarikan kewenangan ini ke tingkat pusat dilandasi
oleh pertimbangan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, standardisasi
pengawasan, dan kepastian hukum bagi investasi, sekaligus untuk memastikan
bahwa pengelolaan minerba sejalan dengan kebijakan strategis nasional, terutama
program hilirisasi. Namun, pergeseran ini juga membawa implikasi langsung
terhadap otonomi daerah, potensi pendapatan asli daerah (PAD), serta dinamika
partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan.
Sebagai turunan dari UU Minerba, Pemerintah telah
menerbitkan serangkaian peraturan pelaksana. Regulasi kunci yang menjadi
pedoman teknis adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96
Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara,
yang selanjutnya disebut dengan “PP 96/2021”. Dinamika hukum
terus berjalan, dan pemerintah melakukan penyesuaian signifikan melalui Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara, yang selanjutnya disebut dengan “PP
25/2024”.
Kebijakan-kebijakan yang diperkenalkan dalam PP
25/2024, seperti penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK)
kepada badan usaha milik organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, kini
telah dikodifikasikan dan diperkuat landasan hukumnya dalam UU Minerba terbaru.
Tulisan ini akan berupaya mengupas secara komprehensif
dan kritis kerangka hukum Izin Usaha Pertambangan (IUP) terbaru sehingga tulisan
ini merupakan update dari tulisan kami sebelumnya yang berjudul “Begini Aturan
Hukum Izin Usaha Pertambangan (IUP) Terbaru”, dengan menelaah secara
mendalam setiap peraturan relevan, implikasi perubahannya, serta preseden hukum
dari sengketa yang terjadi di pengadilan baru-baru ini.
Kerangka Hukum Fundamental Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Definisi dan Ruang Lingkup IUP
Untuk memahami seluk-beluk perizinan pertambangan,
pemahaman mengenai definisi legal dari Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah hal
yang esensial. Berdasarkan Pasal 1 Angka 7 UU Minerba, Izin Usaha
Pertambangan (IUP) didefinisikan sebagai:
“izin
untuk melaksanakan Usaha Pertambangan.”.
Definisi ini, meskipun singkat, memiliki cakupan yang
sangat luas. “Usaha Pertambangan” itu sendiri, sesuai Pasal 1 Angka 6 UU
Minerba, adalah sebuah siklus kegiatan yang komprehensif, mencakup
seluruh tahapan mulai dari penelitian, pengelolaan, hingga pengusahaan mineral
atau batubara. Tahapan tersebut meliputi: penyelidikan umum, eksplorasi,
studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau
pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta
pascatambang. Dengan demikian, IUP merupakan instrumen hukum utama yang
memberikan legalitas kepada pelaku usaha untuk menjalankan satu atau lebih
tahapan dalam rantai kegiatan pertambangan.
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Delegasi Terbatas
Sebagaimana telah diuraikan, UU Minerba mengamanatkan
sentralisasi kewenangan. Pasal 35 ayat (1) UU Minerba menegaskan
bahwa usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat. Kewenangan ini secara atributif berada di tangan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Meskipun demikian, UU Minerba masih membuka ruang
untuk pendelegasian sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. Pasal
35 ayat (4) UU Minerba menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dapat
mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha kepada pemerintah daerah
provinsi.
Mekanisme delegasi ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perizinan Berusaha di Daerah, yang selanjutnya disebut dengan “PP
6/2021”. Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa pendelegasian ini
bersifat terbatas dan terkontrol. Pemerintah daerah provinsi pada dasarnya
bertindak sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan
norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang telah ditetapkan.
Kewenangan strategis seperti penetapan wilayah
pertambangan, persetujuan atas izin-izin krusial, dan perumusan kebijakan
nasional tetap menjadi domain absolut Pemerintah Pusat.
Integrasi dengan Sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (OSS-RBA)
Dalam rangka penyederhanaan dan percepatan proses
perizinan, seluruh permohonan izin di sektor pertambangan kini terintegrasi
dengan sistem Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA).
Landasan hukum fundamental untuk sistem ini kini diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang selanjutnya disebut dengan “PP
28/2025”.
Peraturan ini secara resmi mencabut dan menggantikan
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021, sekaligus memperkuat dan
menyempurnakan implementasi sistem perizinan berbasis risiko di Indonesia.
Penegasan integrasi ini juga termaktub dalam Pasal 35 ayat (5) UU Minerba
yang menyatakan bahwa pemberian Perizinan Berusaha mengikuti sistem Perizinan
Berusaha terintegrasi secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.
Melalui sistem ini, Perizinan Berusaha di sektor
pertambangan terdiri dari tiga komponen utama:
1.
Nomor Induk
Berusaha (NIB), sesuai Pasal 1 PP 28/2025, NIB adalah bukti
registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan
sekaligus berfungsi sebagai identitas Pelaku Usaha. NIB menjadi identitas
tunggal bagi setiap pelaku usaha.
2.
Sertifikat
Standar merupakan pernyataan pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh
pelaku usaha, yang diperlukan untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko
menengah.
3.
Izin merupakan
bentuk persetujuan dari Pemerintah Pusat bagi pelaku usaha untuk melakukan
kegiatan yang memiliki tingkat risiko tinggi. Sesuai Pasal 35 ayat (3) UU
Minerba, jenis “Izin” di sektor minerba kini meliputi: IUP, IUPK,
IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, IPR, SIPB, izin penugasan,
Izin Pengangkutan dan Penjualan, IUJP, dan IUP untuk Penjualan.
Prosedur dan Mekanisme Perolehan Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)
Langkah awal sebelum IUP dapat diterbitkan adalah
penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Proses ini dimulai dari
penetapan Wilayah Pertambangan (WP) oleh Pemerintah Pusat. Di dalam WP inilah
kemudian dapat ditetapkan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) yang akan ditawarkan
kepada pelaku usaha.
Sebagaimana ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU
Minerba, luas dan batas WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara ditetapkan
oleh Menteri, yang dalam pelaksanaannya dapat berkoordinasi dengan Pemerintah
Daerah. Kemudian, sebagaimana Pasal 51 dan Pasal 60 UU Minerba,
terdapat dua mekanisme utama untuk memperoleh WIUP Mineral Logam dan Batubara:
1.
Lelang
Mekanisme
ini menjadi salah satu cara untuk mendapatkan pelaku usaha yang paling memenuhi
kualifikasi teknis, finansial, dan lingkungan.
2.
Pemberian
Prioritas
Mekanisme
baru yang dipertegas dalam UU Minerba, di mana WIUP dapat diberikan secara
prioritas kepada subjek hukum tertentu dengan mempertimbangkan pemberdayaan dan
peningkatan ekonomi daerah.
Subjek Hukum Pemohon IUP
Pemberian Izin Usaha Pertambangan tidak dapat
dilakukan kepada sembarang entitas. UU Minerba terbaru secara limitatif
sekaligus ekspansif telah menetapkan subjek-subjek hukum yang dapat memperoleh
WIUP. Ketentuan ini secara eksplisit membuka ruang bagi subjek hukum baru di
luar pelaku usaha konvensional. Pasal 51 ayat (1) UU Minerba
menyatakan bahwa:
“WIUP
Mineral logam diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, perusahaan perseorangan,
badan usaha kecil dan menengah, atau badan usaha yang dimiliki oleh organisasi
kemasyarakatan keagamaan dengan cara lelang atau dengan cara pemberian
prioritas.” (vide Pasal
51 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025).
Ketentuan serupa juga berlaku untuk WIUP Batubara (vide
Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025).
Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 38 huruf a UU
Minerba memberikan definisi yang lebih luas mengenai “Badan Usaha”,
yang menyatakan:
“Yang
dimaksud dengan “Badan Usaha” antara lain BUMN, badan usaha milik daerah, Badan
Usaha swasta, badan usaha kecil dan menengah, atau badan usaha yang dimiliki
oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.” (vide Penjelasan Pasal 38 huruf a Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2025).
Dengan demikian, kerangka hukum terbaru secara tegas
telah mengodifikasikan badan usaha milik ormas keagamaan sebagai salah satu
subjek hukum yang sah dan bahkan diprioritaskan untuk dapat menjadi pemegang
IUP.
Tahapan Kegiatan IUP
Secara garis besar, IUP diberikan melalui dua tahapan
utama yang berkesinambungan, sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1)
UU Minerba:
1.
IUP Tahap
Kegiatan Eksplorasi
Izin
ini diberikan untuk melakukan serangkaian kegiatan penyelidikan awal hingga
penentuan kelayakan tambang, yang meliputi Penyelidikan Umum, Eksplorasi, dan
Studi Kelayakan.
2.
IUP Tahap
Kegiatan Operasi Produksi
Setelah
tahap eksplorasi berhasil, pemegang IUP dapat mengajukan peningkatan izin ke
tahap Operasi Produksi. Sesuai definisi dalam Pasal 1 Angka 17 UU Minerba,
tahap ini mencakup kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau
pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, termasuk pengangkutan dan
penjualan.
Implikasi UU Nomor 2 Tahun 2025
Pengesahan UU Nomor 2 Tahun 2025 merupakan kulminasi
dari dinamika kebijakan pertambangan beberapa tahun terakhir, yang secara
efektif mengintegrasikan dan memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi
kebijakan yang sebelumnya diatur dalam peraturan pemerintah. Analisis mendalam
terhadap perubahan ini krusial untuk memahami arah kebijakan pertambangan
nasional.
Poin-Poin Perubahan Fundamental dalam UU Minerba Terbaru
UU Nomor 2 Tahun 2025 mengubah beberapa pasal krusial
dan menyisipkan pasal baru yang secara fundamental mengubah lanskap perizinan
pertambangan. Perubahan ini menyentuh tiga aspek utama, antara lain kepastian
perpanjangan izin bagi industri hilirisasi, mekanisme penawaran wilayah
izin, dan perluasan subjek hukum yang dapat mengelola tambang.
Pertama,
terkait jaminan perpanjangan izin untuk mendukung hilirisasi, UU Minerba
terbaru merevisi Pasal 47 dengan menambahkan ketentuan baru. Pasal
47 huruf f dan g secara eksplisit memberikan jangka waktu IUP Operasi
Produksi selama 30 (tiga puluh tahun) tahun dan dijamin memperoleh
perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan bagi pertambangan
mineral logam yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan/pemurnian dan
pertambangan batubara yang terintegrasi dengan kegiatan
pengembangan/pemanfaatan.
Secara kritis, perubahan ini adalah insentif terkuat
bagi investasi di sektor hilirisasi, menjamin keberlanjutan pasokan bahan baku
bagi smelter atau industri turunan batubara. Namun, kebijakan ini juga
berpotensi menciptakan penguasaan sumber daya alam dalam jangka waktu yang
sangat panjang oleh segelintir pelaku usaha besar, sehingga dapat
mengurangi kesempatan bagi pelaku usaha baru untuk masuk ke wilayah-wilayah
strategis.
Kedua, dan
yang paling signifikan, adalah formalisasi pemberian prioritas WIUP/WIUPK
kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan. Jika sebelumnya kebijakan ini
hanya diatur dalam PP 25/2024, kini UU Minerba secara tegas
mengakomodasinya. Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 75 UU Minerba
secara eksplisit menyebutkan “badan usaha yang dimiliki oleh organisasi
kemasyarakatan keagamaan” sebagai salah satu subjek hukum yang dapat
diberikan WIUP atau WIUPK, baik melalui lelang maupun mekanisme prioritas.
Pemberian prioritas ini didasarkan pada pertimbangan “penguatan fungsi
ekonomi organisasi kemasyarakatan keagamaan” dan “peningkatan
perekonomian daerah”. Meskipun dilandasi oleh tujuan pemberdayaan,
kebijakan ini tetap menuai kritik tajam terkait potensi kurangnya kompetensi
teknis dan finansial ormas, risiko konflik kepentingan, serta potensi
penyimpangan dari prinsip tata kelola yang baik (good governance).
Ketiga, UU
Minerba terbaru juga memperkenalkan mekanisme pemberian WIUP/WIUPK prioritas
untuk kepentingan perguruan tinggi melalui Pasal 51A, Pasal 60A, dan
Pasal 75A. WIUP/WIUPK dapat diberikan kepada BUMN, BUMD, atau swasta,
yang kemudian wajib memberikan sebagian keuntungannya kepada perguruan tinggi
terakreditasi untuk peningkatan akses dan layanan pendidikan. Kebijakan ini
merupakan terobosan untuk menciptakan kemandirian finansial bagi institusi
pendidikan tinggi, namun pelaksanaannya memerlukan pengawasan ketat untuk
memastikan akuntabilitas dan transparansi.
Hak dan Kewajiban Fundamental Pemegang IUP
Memperoleh IUP bukan hanya memberikan hak untuk
mengeksploitasi sumber daya alam, tetapi juga membebankan serangkaian kewajiban
yang harus dipatuhi secara ketat.
Hak-Hak Pemegang IUP
Secara fundamental, pemegang IUP dan IUPK memiliki hak
untuk melakukan seluruh tahapan usaha pertambangan sesuai izin yang dimiliki
dan mendapatkan jaminan dari pemerintah untuk dapat melaksanakan kegiatan
usahanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewajiban-Kewajiban Krusial
Di sisi lain, pemegang IUP dibebani dengan berbagai
kewajiban, antara lain:
1.
Kewajiban
Finansial
Membayar
pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terdiri dari iuran tetap
dan iuran produksi (royalti);
2.
Kewajiban
Lingkungan
Sesuai
Pasal 100 UU Minerba yang telah diubah, pemegang IUP atau IUPK
wajib menyediakan dan menempatkan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan
Pascatambang. Menteri kini dapat melibatkan Pemerintah Daerah dalam memastikan
pelaksanaan reklamasi dan perlindungan dampak pascatambang;
3.
Kewajiban
Sosial (PPM)
Sebagaimana
ketentuan Pasal 108 UU Minerba yang baru, pemegang IUP dan IUPK
wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang kini
secara eksplisit mencakup, antara lain program tanggung jawab sosial dan
lingkungan; pelibatan masyarakat lokal dan adat; serta program kemitraan usaha
dan pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas. Penyusunan program ini wajib
dikonsultasikan kepada Menteri, Pemerintah Daerah, dan masyarakat;
4.
Kewajiban
Pelaporan (RKAB)
Menyusun
dan menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahunan untuk
mendapatkan persetujuan dari Menteri ESDM. Ketentuan teknisnya diatur dalam Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2023
tentang Tata Cara Penyusunan, Penyampaian, dan Persetujuan Rencana Kerja dan
Anggaran Biaya Serta Tata Cara Pelaporan Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara, yang selanjutnya disebut dengan “Permen
ESDM 10/2023”.
Preseden Hukum dari Sengketa Izin Usaha Pertambangan di Pengadilan
Dinamika penerapan regulasi pertambangan yang kompleks
seringkali berujung pada sengketa hukum di pengadilan. Yurisprudensi yang
terbentuk dari putusan-putusan pengadilan ini menjadi preseden penting yang
tidak hanya menyelesaikan konflik individual, tetapi juga memberikan
interpretasi dan batasan terhadap kewenangan pemerintah dalam mengelola sektor
strategis ini. Pengadilan, khususnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),
memegang peranan vital sebagai lembaga yang menguji keabsahan tindakan
administrasi pemerintahan, memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil telah
sesuai dengan hukum dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Contoh nyata dari peran krusial peradilan ini tecermin
dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
382/G/2022/PTUN.JKT, tertanggal 8 Maret 2023. Dalam kasus ini, PT.
Indobara Bagas Jaya menggugat Menteri Investasi/Kepala BKPM yang telah
menerbitkan surat pencabutan IUP milik perusahaan. Majelis Hakim, setelah
menelaah bukti dan argumen, mengabulkan gugatan tersebut dengan pertimbangan
bahwa tindakan pencabutan izin oleh pemerintah tidak memenuhi asas kecermatan
dan kepastian hukum. Putusan ini menjadi preseden penting yang menegaskan bahwa
kekuasaan pemerintah untuk mencabut izin tidak bersifat absolut; ia dapat diuji
dan dibatalkan oleh pengadilan jika terbukti cacat hukum, baik secara
prosedural maupun substansial.
Demikian pula, dalam sengketa mengenai penolakan
perpanjangan izin, pengadilan kembali menunjukkan perannya sebagai penjaga
kepastian hukum. Melalui Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
Nomor 67/G/2022/PTUN.JKT, tertanggal 10 Agustus 2022, Majelis Hakim
membatalkan keputusan penolakan perpanjangan IUP yang diajukan oleh PT. Sarana
Maju Cemerlang. Hakim menilai bahwa alasan penolakan yang dikemukakan oleh
Kementerian ESDM tidak didasarkan pada landasan hukum yang kuat dan tidak
mempertimbangkan fakta bahwa penggugat telah memenuhi kewajibannya. Putusan ini
mengirimkan pesan yang jelas bahwa pemerintah harus bertindak secara objektif,
transparan, dan berdasarkan hukum yang sah dalam setiap keputusannya, terutama
yang menyangkut kelangsungan investasi yang telah berjalan.
Selain sengketa antara pelaku usaha dan pemerintah,
problematika hukum juga kerap muncul akibat tumpang tindih wilayah izin, sebuah
warisan dari kurangnya koordinasi antar-instansi di masa lalu. Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 47 K/TUN/2020 menjadi salah
satu contoh sengketa kompleks antara pemegang IUP dan pemegang Hak Guna Usaha
(HGU) Perkebunan. Dalam kasus semacam ini, pengadilan menelaah secara cermat
kronologi penerbitan setiap izin dan kepatuhan prosesnya terhadap peraturan
yang berlaku. Putusan ini menyoroti kelemahan sistemik yang coba diatasi oleh
kebijakan sentralisasi dan One Map Policy, serta kini dipertegas dalam Pasal
171B UU Minerba yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat
untuk mengevaluasi dan mencabut IUP yang tumpang tindih.
Di sisi lain, negara juga menggunakan instrumen hukum
pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) untuk menegakkan hukum
terhadap kegiatan pertambangan ilegal. Putusan Pengadilan Negeri Ternate
Nomor 152/Pid.B/LH/2020/PN Tte, tertanggal 17 September 2020,
menunjukkan ketegasan ini. Dalam kasus tersebut, seorang terdakwa terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penambangan tanpa
izin sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU Minerba. Putusan ini
menjadi bukti bahwa selain sanksi administratif, negara tidak segan menggunakan
sanksi pidana untuk memberikan efek jera dan melindungi sumber daya alam dari
eksploitasi ilegal yang merugikan negara dan merusak lingkungan.
Refleksi dan Proyeksi Hukum Pertambangan Indonesia
Regulasi IUP di Indonesia telah melalui evolusi yang
berpuncak pada model sentralisasi kewenangan dan penguatan kebijakan hilirisasi
di bawah UU Minerba terbaru. Analisis komprehensif menunjukkan adanya sebuah
tensi yang melekat antara dua tujuan utama: di satu sisi, upaya pemerintah
untuk menciptakan efisiensi, standardisasi, dan kepastian investasi; di sisi
lain, munculnya kebijakan afirmatif baru yang mengundang perdebatan mengenai
tata kelola, profesionalisme, dan potensi konflik kepentingan.
Formalisasi pemberian izin prioritas kepada badan
usaha milik ormas keagamaan dan untuk kepentingan perguruan tinggi adalah
sebuah eksperimen sosial-ekonomi yang kini memiliki landasan hukum setingkat
undang-undang. Keberhasilannya akan sangat bergantung pada ketatnya peraturan
pelaksana dan integritas dalam proses verifikasi serta pengawasan.
Elaborasi Adagium Hukum
Dalam merefleksikan kompleksitas ini, beberapa adagium
hukum dapat memberikan perspektif:
-
Salus
populi suprema lex esto
(Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi). Adagium ini mengingatkan bahwa
seluruh kerangka regulasi pertambangan, termasuk kebijakan afirmatif di
dalamnya, harus senantiasa diuji berdasarkan tujuan akhirnya: apakah ia
benar-benar berkontribusi pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana
diamanatkan Konstitusi;
-
Lex semper
dabit remedium (Hukum selalu
memberikan obat/solusi). Keberadaan mekanisme peradilan, sebagaimana
ditunjukkan dalam studi kasus, adalah manifestasi dari adagium ini. Ketika
terjadi kesewenang-wenangan, sistem hukum menyediakan jalan bagi pencari
keadilan untuk memperoleh koreksi. Peran yudikatif sebagai penyeimbang menjadi
sangat vital dalam menjaga kepastian hukum di sektor ini;
-
Ubi
societas, ibi ius (Di mana ada
masyarakat, di situ ada hukum). Adagium ini menegaskan bahwa hukum tidak
statis. Perubahan dari desentralisasi ke sentralisasi, pengenalan sistem
OSS-RBA, hingga kebijakan konsesi untuk ormas adalah cerminan dari upaya hukum
untuk beradaptasi dengan tantangan ekonomi, sosial, dan politik yang baru.
Proyeksi dan Tantangan Masa Depan
Ke depan, sektor pertambangan Indonesia akan
menghadapi sejumlah tantangan hukum yang kompleks. Pertama, implementasi
dan pengawasan kebijakan konsesi untuk ormas keagamaan akan menjadi ujian berat
bagi tata kelola pertambangan. Diperlukan peraturan turunan yang sangat ketat
dan pengawasan yang transparan.
Kedua,
harmonisasi regulasi untuk secara efektif mendukung program hilirisasi dan
transisi energi. Diperlukan kerangka hukum yang tidak hanya memberikan
insentif, tetapi juga memastikan praktik hilirisasi berjalan efisien dan ramah
lingkungan. Ketiga, penguatan penegakan hukum terkait aspek Lingkungan,
Sosial, dan Tata Kelola (Environmental, Social, and Governance - ESG)
akan menjadi tuntutan global yang tidak terhindarkan. Menavigasi
tantangan-tantangan ini akan menentukan masa depan sektor pertambangan
Indonesia dan kontribusinya bagi kemakmuran bangsa.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.