layananhukum

Apa Perbedaan Laporan Polisi dan Pengaduan Masyarakat (Dumas)?

 

Pertanyaan

Selamat malam pak, izin bertanya, saya ada masalah pidana anak, jadi begini, anak saya yang masih di bawah umur diduga terlibat dalam suatu tindak pidana. Saya bingung karena mendengar ada dua jalur untuk melapor ke polisi, yaitu melalui Laporan Polisi (LP) dan Pengaduan Masyarakat (Dumas).

Selain itu, terus terang saya juga kurang puas dengan cara petugas menangani situasi ini di awal, sepertinya ada prosedur yang dilanggar dan terkesan kurang profesional.

Pertanyaan saya, jalur mana yang seharusnya saya tempuh untuk memastikan kasus pidana anak saya diproses sesuai hukum acara pidana anak, sekaligus melaporkan dugaan pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh oknum petugas? Apakah saya cukup membuat satu Dumas saja yang mencakup keluhan saya terhadap petugas sekaligus agar kasus pidana anak saya diproses? Ataukah saya harus membuat Laporan Polisi yang terpisah khusus untuk perkara pidana anak saya? Saya khawatir jika saya salah langkah, misalnya hanya membuat Dumas, proses pidana terhadap anak saya justru tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau sebaliknya. Mohon penjelasannya mengenai prosedur hukum yang paling tepat dan efektif untuk kasus pidana yang melibatkan anak, apakah harus melalui Dumas atau Laporan Polisi, terutama jika ada keluhan terhadap penanganan oleh aparat? Terima Kasih.

Jawaban

Pengantar

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengemban fungsi ganda yang fundamental dalam struktur ketatanegaraan. Di satu sisi, Polri berperan sebagai penegak hukum yang merupakan bagian integral dari sistem peradilan pidana (criminal justice system), sebuah fungsi yudisial yang bertujuan menegakkan keadilan.

Di sisi lain, Polri bertugas sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat, sebuah fungsi administratif yang menuntut profesionalisme dan akuntabilitas dalam pelayanan publik. Dualisme fungsi ini melahirkan dua pintu masuk yang berbeda bagi masyarakat untuk berinteraksi dengan institusi Polri, yaitu Laporan Polisi (LP) dan Pengaduan Masyarakat (Dumas).

Laporan Polisi merupakan gerbang utama bagi bekerjanya mesin sistem peradilan pidana. Melalui mekanisme inilah suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dilaporkan, dicatat, dan ditindaklanjuti dengan serangkaian tindakan penyelidikan dan penyidikan yang bersifat pro-justitia” atau demi keadilan.

Sementara itu, Pengaduan Masyarakat (Dumas) adalah instrumen vital dalam sistem pengawasan dan akuntabilitas internal Polri. Dumas menjadi saluran bagi publik untuk menyampaikan keluhan, saran, atau masukan terkait kinerja, perilaku, dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh insan Bhayangkara.

Meskipun keduanya merupakan mekanisme yang disediakan oleh negara, kebingungan sering kali terjadi di tengah masyarakat dalam membedakan kedua jalur ini. Ketidakpahaman ini dapat berakibat pada ekspektasi yang keliru, penanganan yang tidak tepat sasaran, dan pada akhirnya, ketidakefektifan dalam upaya mencari keadilan pidana maupun menyampaikan keluhan pelayanan.

Pembedaan ini menjadi krusial karena menyangkut perbedaan fundamental dalam hal tujuan (penegakan hukum vs. perbaikan layanan), prosedur (proses yudisial vs. mekanisme internal), dan akibat hukum (proses pidana vs. sanksi etik/disiplin/administratif).

Artikel ini akan secara sistematis mengurai dan menganalisis perbedaan esensial antara Laporan Polisi dan Pengaduan Masyarakat dengan menelaah landasan yuridis, mekanisme prosedural, hingga implikasi hukumnya. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang jernih, komprehensif, dan kritis bagi praktisi hukum, anggota Polri, dan masyarakat luas, agar dapat menavigasi kedua jalur ini secara tepat dan efektif.

Definisi dan Landasan Yuridis: Mengurai Terminologi Kunci

Untuk memahami perbedaan mendasar antara Laporan Polisi dan Dumas, langkah pertama adalah membedah definisi dan landasan hukum dari masing-masing terminologi.

Definisi Laporan Polisi beserta Dasar Hukumnya

Definisi Laporan secara konsisten diatur dalam dua peraturan utama. Pertama, dalam Pasal 1 Angka 24 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang selanjutnya disebut “KUHAP”, Laporan didefinisikan sebagai berikut :  

“Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.”

Definisi ini diadopsi secara identik dalam peraturan teknis Kepolisian, yaitu Pasal 1 Angka 14 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang selanjutnya disebut “Perkap 6/2019”.  

Analisis terhadap definisi ini menyoroti beberapa frasa kunci:

1.        Pemberitahuan”: Menunjukkan sifatnya yang informatif;

2.       Karena hak atau kewajiban”: Mengindikasikan bahwa setiap orang yang mengetahui adanya dugaan tindak pidana dapat melaporkannya. Ini tidak terbatas hanya pada korban;

3.      Peristiwa pidana”: Ini adalah fokus utama dari Laporan Polisi. Orientasinya adalah pada peristiwa (event-oriented), bukan pada kerugian subjektif pelapor. Hal ini menegaskan bahwa Laporan Polisi adalah pintu masuk untuk perkara-perkara yang tergolong delik biasa (gewone delicten), di mana proses hukum dapat berjalan tanpa memerlukan persetujuan dari korban.

Definisi Pengaduan berdasarkan KUHAP beserta Dasar Hukumnya

Berbeda dengan Laporan, Pengaduan memiliki makna yang lebih spesifik dan terbatas. Pasal 1 Angka 25 KUHAP mendefinisikan Pengaduan sebagai:  

“Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.”

Definisi serupa juga tertuang dalam Pasal 1 angka 15 Perkap 6/2019. Analisis frasa kunci dari definisi ini menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan Laporan:  

1.        Disertai permintaan”: Tidak hanya memberitahu, tetapi juga secara eksplisit meminta agar negara melakukan penuntutan. Tanpa permintaan ini, proses hukum tidak dapat berjalan;

2.       Pihak yang berkepentingan”: Pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang yang secara langsung dirugikan oleh tindak pidana tersebut (korban) atau pihak yang ditentukan oleh undang-undang;

3.      Tindak pidana aduan”: Pengaduan hanya berlaku untuk jenis delik tertentu yang oleh undang-undang diklasifikasikan sebagai delik aduan (klachtendelict), seperti perzinaan (Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) atau pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP).  

Dengan demikian, Pengaduan dalam konteks KUHAP bersifat subjektif, berorientasi pada korban (victim-oriented), dan menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) untuk dimulainya penuntutan pidana atas delik aduan.

Definisi Pengaduan Masyarakat (Dumas) beserta Dasar Hukumnya

Di sinilah letak sumber kebingungan yang sering terjadi. Istilah “Pengaduan” dalam Dumas memiliki makna yang sama sekali berbeda dengan “Pengaduan” dalam KUHAP. Definisi Dumas secara spesifik diatur dalam Pasal 1 Angka 10 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut “Perpol 2/2024”, sebagai berikut :  

“Pengaduan Masyarakat yang selanjutnya disebut Dumas adalah bentuk penerapan pengawasan masyarakat atau sumber daya manusia Polri yang disampaikan kepada Polri berupa sumbangan pikiran, saran, gagasan, atau keluhan terhadap pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan dan standar operasional prosedur Polri.”

Analisis definisi ini menunjukkan bahwa Dumas adalah instrumen yang berada di luar ranah hukum acara pidana. Frasa kunci yang perlu digarisbawahi adalah:

1.        Penerapan pengawasan masyarakat”: menegaskan fungsi Dumas sebagai alat kontrol eksternal dan internal terhadap institusi Polri;

2.       Sumbangan pikiran, saran, gagasan, atau keluhan”: spektrumnya sangat luas, mulai dari apresiasi, kritik konstruktif, hingga keluhan atas pelayanan;

3.      Pelayanan yang tidak sesuai dengan standar”: objeknya adalah kinerja, perilaku, dan kepatuhan anggota Polri terhadap standar pelayanan dan prosedur, bukan peristiwa pidana itu sendiri.

Eksistensi regulasi spesifik mengenai Dumas, yang terbaru adalah Perpol 2/2024 yang mencabut Peraturan Kepolisian Nomor 9 Tahun 2018, menandai sebuah evolusi kelembagaan yang penting. Jika KUHAP sebagai produk hukum tahun 1981 hanya menyediakan gerbang pro-justitia melalui Laporan dan Pengaduan, Polri sebagai organisasi modern menyadari perlunya mekanisme terpisah untuk mengelola akuntabilitas dan kualitas layanannya.

Pemisahan fungsional ini bukan sekadar perbedaan terminologi, melainkan sebuah desain kelembagaan yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan fokus penanganan: dugaan tindak pidana ditangani oleh fungsi Reserse Kriminal, sementara keluhan pelayanan dan perilaku anggota ditangani oleh fungsi Pengawasan (Itwasum) dan Profesi & Pengamanan (Propam).

Analisis Komparatif: Menemukan Titik Perbedaan Esensial

Perbedaan antara Pengaduan dalam KUHAP dan Pengaduan Masyarakat (Dumas) dalam Perpol 2/2024

Sangat penting untuk secara eksplisit membedah dua istilah yang homonim ini. “Pengaduan” menurut KUHAP adalah terminologi hukum acara pidana yang menjadi syarat formil untuk memproses delik aduan. Tanpa adanya “pengaduan” dari korban, negara tidak memiliki hak untuk menuntut pelaku, sekalipun perbuatannya terbukti.

Sebaliknya, “Pengaduan Masyarakat” atau Dumas adalah terminologi hukum administrasi dan pengawasan internal Polri. Ia adalah mekanisme umpan balik (feedback mechanism) yang tidak memiliki akibat hukum langsung terhadap dimulainya proses peradilan pidana, melainkan berimplikasi pada pemeriksaan internal terhadap anggota atau sistem di Polri.

Kesalahan dalam memahami perbedaan ini dapat berakibat fatal, misalnya, seseorang yang menjadi korban delik aduan (seperti pencemaran nama baik) keliru mengajukan Dumas alih-alih membuat Pengaduan resmi sesuai KUHAP, yang mengakibatkan perkaranya tidak dapat diproses secara pidana karena syarat formilnya tidak terpenuhi.

Untuk memvisualisasikan perbedaan fundamental antara Laporan Polisi dan Dumas secara lebih komprehensif, berikut adalah tabel perbandingannya:

Aspek Pembeda

Laporan Polisi (LP)

Pengaduan Masyarakat (Dumas)

Dasar Hukum Utama

KUHAP ; Perkap 6/2019  

Perpol 2/2024  

Fokus/Objek

Dugaan peristiwa pidana (kejahatan/pelanggaran).

Pelayanan Polri; penyimpangan perilaku SDM Polri; penyalahgunaan tugas, fungsi, dan wewenang; dan/atau proses penegakan hukum.  

Sifat

Pro-Justitia (untuk kepentingan peradilan pidana).

Pengawasan internal dan perbaikan pelayanan publik.

Pintu Masuk

Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT)/SPK.  

Sentra Pelayanan Dumas Terintegrasi (SPDT), surat, media elektronik.  

Output Awal

Laporan Polisi (Model A/B) dan Tanda Terima Laporan.  

Pencatatan Dumas dan Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D).  

Lembaga Penindak Lanjut Utama

Fungsi Reserse Kriminal (Bareskrim, Ditreskrim, Satreskrim).  

Fungsi Pengawasan (Itwasum, Itwasda) dan Fungsi Profesi & Pengamanan (Divpropam, Bidpropam).  

Konsekuensi Hukum

Membuka proses penyelidikan dan penyidikan pidana yang dapat berujung pada penetapan tersangka dan pelimpahan ke kejaksaan.  

Tindakan korektif, sanksi disiplin, sanksi etik, atau perbaikan sistem/prosedur internal Polri.  

Sifat Pencabutan

Tidak dapat dicabut (untuk delik biasa). Proses hanya bisa dihentikan oleh penyidik dengan alasan sah (misal: restorative justice, tidak cukup bukti).  

Dapat ditarik oleh pelapor, dan penyelesaiannya bisa melalui mediasi atau klarifikasi.

 

Mekanisme Prosedural: Dari Meja Penerimaan Hingga Tindak Lanjut

Perbedaan konseptual antara Laporan Polisi dan Dumas termanifestasi secara nyata dalam alur prosedur masing-masing.

Mekanisme Pembuatan Laporan Polisi dan Kenapa Bisa Terbit Laporan Polisi?

Prosedur pembuatan Laporan Polisi diatur secara sistematis dalam Pasal 3 dan 4 Perkap 6/2019. Alurnya adalah sebagai berikut:  

1.        Penerimaan di SPKT/SPK: Masyarakat yang hendak melapor atau anggota Polri yang menemukan peristiwa pidana datang ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) atau Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK). Laporan dapat disampaikan secara lisan, tertulis, maupun melalui media elektronik.

2.       Kajian Awal: Di SPKT/SPK, ditempatkan Penyidik/Penyidik Pembantu yang bertugas melakukan “kajian awal”. Tahap ini merupakan filter krusial untuk menilai apakah informasi yang disampaikan memiliki indikasi sebagai suatu peristiwa pidana dan layak untuk dibuatkan Laporan Polisi.

3.      Penerbitan LP: Jika hasil kajian awal menyatakan layak, maka petugas akan membuat dua dokumen utama: Tanda Penerimaan Laporan untuk diberikan kepada pelapor, dan Laporan Polisi sebagai dokumen internal.

4.       Klasifikasi LP: Laporan Polisi diklasifikasikan menjadi dua jenis:

-       Laporan Polisi Model A: Dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui, atau menemukan langsung suatu peristiwa pidana;

-       Laporan Polisi Model B: Dibuat oleh anggota Polri atas laporan atau pengaduan yang diterima dari masyarakat.

5.       Registrasi dan Distribusi: Laporan Polisi yang telah dibuat kemudian diberi nomor registrasi sebagai administrasi penyidikan dan segera diteruskan kepada pejabat Reserse Kriminal yang berwenang (misalnya, Direktur Reserse Kriminal di tingkat Polda atau Kepala Satuan Reserse Kriminal di tingkat Polres) untuk ditindaklanjuti dengan proses penyelidikan.

Mekanisme Pengelolaan Dumas

Mekanisme pengelolaan Dumas diatur secara komprehensif dalam Perpol 2/2024, yang terdiri dari lima tahapan utama:  

1.        Penerimaan (Pasal 6): Dumas diterima melalui Sentra Pelayanan Dumas Terintegrasi (SPDT) secara langsung, atau melalui surat-menyurat dan media elektronik secara tidak langsung. Petugas akan memeriksa kelengkapan administrasi dan mencatat pengaduan tersebut.

2.       Penelaahan dan Klasifikasi (Pasal 7-9): Ini adalah tahap analisis. Substansi pengaduan diidentifikasi untuk menentukan apakah Dumas tersebut “berkadar pengawasan” atau “tidak berkadar pengawasan”. Dumas yang tidak berkadar pengawasan (misalnya, hanya berupa saran umum atau tidak didukung bukti awal) akan diarsipkan. Sementara itu, Dumas yang berkadar pengawasan akan diproses lebih lanjut.

3.      Penyaluran (Pasal 10): Dumas yang berkadar pengawasan disalurkan ke fungsi yang tepat sesuai dengan materi pengaduan. Keluhan terkait pelayanan umum atau manajemen penyidikan disalurkan ke Inspektorat Pengawasan (Itwasum/Itwasda). Keluhan terkait pelanggaran disiplin atau kode etik anggota disalurkan ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam/Bidpropam). Jika Dumas mengandung informasi dugaan tindak pidana, maka akan disalurkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) atau satuan Reskrim di tingkat kewilayahan.

4.       Penanganan (Pasal 11-13): Satuan fungsi yang menerima Dumas akan melakukan tindak lanjut berupa klarifikasi, pemeriksaan, audit investigasi, atau bahkan gelar perkara khusus, tergantung pada substansi pengaduan.

5.       Penyelesaian (Pasal 14): Hasil penanganan Dumas akan dikomunikasikan kepada pelapor melalui Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D). Status penyelesaiannya ditetapkan sebagai “dalam proses”, “selesai benar” (aduan terbukti), atau “selesai tidak benar” (aduan tidak terbukti).

SOP Penanganan Dumas

Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan Dumas, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 hingga Pasal 13 Perpol 2/2024 dan lampirannya, menekankan alur kerja yang terstruktur di setiap tingkatan. Itwasum Polri di tingkat Mabes Polri dan Itwasda di tingkat Polda bertindak sebagai koordinator utama yang memastikan Dumas disalurkan dan ditangani dengan benar. Bareskrim dan Divpropam, beserta jajarannya di tingkat kewilayahan, bertindak sebagai eksekutor penanganan sesuai dengan domain kewenangan masing-masing, baik itu terkait proses penyidikan, pelanggaran disiplin, maupun kode etik.  

Konvergensi Prosedural: Transformasi Dumas Menjadi Laporan Polisi

Salah satu aspek paling dinamis dan seringkali kurang dipahami adalah bagaimana sebuah Dumas dapat bertransformasi menjadi Laporan Polisi.

Apakah Dumas Dapat Menjadi Laporan Polisi?

Jawabannya adalah ya. Kemungkinan ini secara eksplisit diakomodasi dalam kerangka hukum internal Polri. Landasan utamanya adalah Pasal 8 ayat (3) huruf d Perpol 2/2024, yang menyatakan bahwa salah satu kriteria Dumas berkadar pengawasan adalah apabila berisi “informasi berindikasi... dugaan tindak pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.  

Kapan Dumas tersebut Menjadi Laporan Polisi?

Transformasi Dumas menjadi LP terjadi melalui sebuah mekanisme eskalasi yang terstruktur:

1.        Klasifikasi dan Penyaluran: Sebuah Dumas yang masuk, setelah melalui tahap penelaahan, diidentifikasi mengandung informasi dugaan tindak pidana. Dumas ini kemudian diklasifikasikan sebagai “berkadar pengawasan” dan disalurkan dari fungsi pengawasan (misalnya, Itwasum) ke fungsi Reserse Kriminal (misalnya, Bareskrim).  

2.       Gelar Perkara Awal: Fungsi Reserse Kriminal yang menerima pelimpahan Dumas tersebut akan menjadikannya sebagai bahan awal untuk melakukan gelar perkara. Gelar perkara ini bertujuan untuk menganalisis informasi dalam Dumas dan menentukan apakah terdapat bukti permulaan yang cukup untuk memulai proses penyidikan.  

3.      Penerbitan Laporan Polisi: Apabila hasil gelar perkara menyimpulkan bahwa terdapat cukup bukti permulaan atas suatu tindak pidana, maka fungsi Reserse Kriminal akan secara resmi membuka proses penyidikan. Langkah formal ini dilakukan dengan menerbitkan Laporan Polisi Model A, karena informasi pidana tersebut kini dianggap “ditemukan” oleh anggota Polri (melalui mekanisme Dumas), yang kemudian diikuti dengan penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik).

Mekanisme ini secara efektif mengubah fungsi Dumas dari sekadar alat pengawasan menjadi sumber intelijen kriminal. Masyarakat yang mungkin enggan atau takut untuk membuat Laporan Polisi formal di SPKT dapat menggunakan Dumas sebagai saluran yang lebih “lunak” untuk menyampaikan informasi. Bagi Polri, ini adalah cara proaktif untuk mendeteksi kejahatan, terutama yang mungkin melibatkan oknum internal atau yang informasinya tidak akan pernah terungkap melalui jalur pelaporan konvensional.

Implikasi dan Isu-Isu Hukum Khusus

Perbedaan antara LP dan Dumas melahirkan beberapa implikasi dan pertanyaan hukum yang spesifik dalam praktik penegakan hukum.

Penanganan Perkara Dugaan Pidana Anak: Dumas atau Laporan Polisi?

Penanganan perkara pidana yang melibatkan anak, atau yang dikenal sebagai Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) yaitu anak sebagai pelaku suatu dugaan tindak pidana, diatur secara khusus dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Proses hukum terhadap ABH adalah proses pro-justitia yang tunduk pada hukum acara pidana khusus dan harus memprioritaskan kepentingan terbaik bagi anak. Oleh karena itu, pintu masuk untuk memulai proses pidana terhadap ABH harus melalui Laporan Polisi, bukan Dumas. Prosedur penanganan ABH, mulai dari penangkapan hingga pemeriksaan, memiliki standar operasional yang ketat sebagaimana diatur dalam Lampiran I Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Nomor 1 Tahun 2022. Dumas hanya relevan jika objek pengaduannya adalah perilaku tidak profesional atau pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh penyidik dalam menangani kasus anak tersebut. Dalam skenario ini, Dumas akan ditangani oleh Divpropam, sementara proses pidana terhadap anak tetap berjalan secara terpisah berdasarkan Laporan Polisi yang telah dibuat.  

Penyelesaian Dumas apakah Artinya Tidak Ada Laporan Polisinya?

Status penyelesaian Dumas sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (7) Perpol 2/2024 (“dalam proses”, “selesai benar”, atau “selesai tidak benar”) sering disalahartikan. Penting untuk ditegaskan bahwa status “selesai” pada Dumas hanya merujuk pada tuntasnya proses klarifikasi atau investigasi internal terhadap substansi pengaduan itu sendiri.

-        Jika Dumas berisi dugaan tindak pidana dan setelah ditangani dinyatakan “selesai benar”, ini berarti dugaan dalam pengaduan tersebut terbukti. Konsekuensinya, temuan ini justru harus menjadi dasar untuk ditindaklanjuti dengan proses pidana formal, yaitu pembuatan Laporan Polisi;

-        Sebaliknya, jika dinyatakan “selesai tidak benar”, berarti tidak ditemukan bukti yang cukup untuk mendukung aduan tersebut, sehingga tidak ada dasar untuk membuat Laporan Polisi.

Dengan demikian, penyelesaian Dumas tidak secara otomatis menutup kemungkinan adanya proses pidana. Keduanya adalah dua jalur yang berjalan paralel, di mana hasil dari jalur pengawasan (Dumas) dapat menjadi input bagi jalur peradilan pidana (Laporan Polisi).

Apa Dumas dapat dijadikan Tameng Perkara tidak bisa dipraperadilankan?

Lembaga praperadilan merupakan mekanisme kontrol yudisial eksternal terhadap tindakan paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam proses pidana. Objek praperadilan diatur secara limitatif dalam Pasal 77 KUHAP, yang kemudian diperluas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Objek-objek tersebut meliputi sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.  

Seluruh objek praperadilan tersebut adalah tindakan hukum yang bersifat pro-justitia. Di sisi lain, proses pengelolaan Dumas—mulai dari penerimaan, klasifikasi, hingga penyelesaian dengan output berupa SP3D—merupakan serangkaian tindakan administratif-pengawasan internal Polri. Tindakan-tindakan ini tidak termasuk dalam kategori tindakan paksa pro-justitia yang diatur sebagai objek praperadilan.

Oleh karena itu, secara yuridis, tindakan-tindakan dalam mekanisme Dumas tidak dapat diuji melalui lembaga praperadilan. Argumen bahwa Dumas dapat menjadi “tameng” dari praperadilan adalah benar secara prosedural, dalam arti Polri tidak dapat digugat melalui praperadilan atas cara mereka menangani atau menyelesaikan sebuah Dumas.

Namun, ini tidak berarti tidak ada upaya hukum sama sekali. Ketiadaan jalur praperadilan untuk Dumas menempatkan beban akuntabilitas yang lebih besar pada mekanisme pengawasan internal Polri (Itwasum dan Propam) serta lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Ombudsman Republik Indonesia. Selain itu, bagi pihak yang dirugikan oleh suatu keputusan formal yang lahir dari proses Dumas (misalnya, seorang anggota Polri yang dikenai sanksi disiplin), terbuka upaya hukum lain, yaitu gugatan terhadap Surat Keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ini menegaskan adagium hukum ubi jus ibi remedium, di mana setiap hak yang dilanggar harus memiliki upaya pemulihannya, meskipun melalui jalur yang berbeda.

Putusan Pengadilan yang Relevan

Hingga saat ini, kami belum menemukan putusan pengadilan yang secara spesifik dan menjadi yurisprudensi dalam membedah secara langsung perbedaan antara Laporan Polisi dan Pengaduan Masyarakat (Dumas), atau putusan praperadilan yang secara eksplisit menguji sah tidaknya proses penanganan Dumas. Hal ini dapat dipahami karena, sebagaimana telah dianalisis, Dumas merupakan mekanisme internal administratif Polri yang berada di luar lingkup objek praperadilan yang bersifat pro-justitia. Putusan-putusan pengadilan yang ada umumnya berkaitan dengan objek praperadilan konvensional yang berawal dari sebuah Laporan Polisi.  

Kesimpulan dan Penegasan

Pembedaan antara Laporan Polisi dan Pengaduan Masyarakat (Dumas) bukanlah sekadar persoalan terminologi, melainkan refleksi dari dualisme fungsi Kepolisian yang fundamental. Laporan Polisi adalah instrumen yudisial, pintu gerbang formal sistem peradilan pidana yang berorientasi pada pembuktian peristiwa pidana demi tegaknya hukum dan keadilan. Sementara itu, Dumas adalah instrumen pengawasan, sebuah mekanisme administratif yang dirancang untuk menjaga akuntabilitas, profesionalisme, dan kualitas pelayanan Polri.

Laporan Polisi ditangani oleh fungsi Reserse Kriminal, bersifat pro-justitia, dan berujung pada proses penyidikan yang dapat diawasi melalui praperadilan. Sebaliknya, Dumas dikelola oleh fungsi pengawasan seperti Itwasum dan Propam, bersifat internal-korektif, dan berujung pada sanksi etik/disiplin atau perbaikan sistem, di mana prosesnya tidak dapat diuji melalui praperadilan.

Meskipun berbeda, kedua mekanisme ini dapat saling bersinggungan. Sebuah Dumas yang berkualitas dan mengandung informasi dugaan tindak pidana dapat bertransformasi menjadi Laporan Polisi, menunjukkan bahwa sistem pengawasan dapat berfungsi sebagai sumber intelijen bagi penegakan hukum. Pemahaman yang benar dan komprehensif atas kedua jalur ini menjadi kunci, tidak hanya bagi praktisi hukum, tetapi juga bagi seluruh lapisan masyarakat dalam menavigasi sistem hukum dan pengawasan di Indonesia secara efektif, demi mewujudkan supremasi hukum dan institusi kepolisian yang profesional dan akuntabel.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.