Dalam semesta hukum, kebohongan sering diperlakukan sebagai musuh utama
kebenaran. Namun faktanya, calon klien yang datang ke hadapan seorang
advokat kerap membawa cerita yang dibungkus lapisan manipulasi, ketakutan,
bahkan fantasi. Justru di situlah paradoks bermula yaitu
kebohongan bukan sekadar tirai yang menutup realitas, melainkan pintu
yang—jika diketuk dengan sabar dan dibuka dengan tajam—mengantar advokat
menuju inti persoalan.
Martin Heidegger pernah menulis bahwa
die Sprache ist das Haus des Seins—bahasa adalah rumah keberadaan. Kebohongan klien, dalam perspektif
fenomenologi, adalah rumah sementara tempat kebenaran bersembunyi.
Advokat muda yang gagal membaca rumah itu akan larut dalam frustrasi, merasa
ditipu oleh orang yang justru harus dibelanya. Tetapi, bagi mereka yang
tajam akan melihat kebohongan sebagai fenomena, suatu wajah yang tampak,
namun menunjuk pada sesuatu yang lebih dalam.
Data riset psikologi hukum memperkuat pandangan bahwa kebohongan klien
bukan sekadar penghalang, tetapi petunjuk penting dalam penggalian
kebenaran. Meta-analisis menunjukkan bahwa
kemampuan manusia membedakan antara kebohongan dan kebenaran hanya
sekitar 54%—nyaris seperti tebak-tebakan—yang berarti advokat yang hanya mengandalkan
insting akan mudah tersesat dan larut dalam kebohongan tersebut.
Menariknya, para profesional hukum ini tidak jauh lebih unggul dalam
menentukan hal ini,
akurasi mereka hanya sekitar 55–56%,
bukan laksana superhero detektor kebenaran. Paradoks ini mengajak advokat
untuk melampaui pendekatan taktis. Teori komunikasi seperti
Interpersonal Deception Theory menunjukkan bahwa
kebohongan terjadi dalam interaksi dinamis—advokat dituntut membaca keseluruhan konteks komunikasi, bukan sekadar
kata-kata yang diucapkan
dan menurut Self-Presentational Theory,
pendusta tidak berbeda dengan yang jujur dalam upaya menyajikan citra
tertentu—yang membedakan adalah kesadaran bahwa citra itu palsu, sebuah
celah halus yang bisa digali bila advokat cukup peka.
Ya, harus seorang Advokat menyadari sebuah adagium kuno berbisik, “index animi sermo”—perkataan adalah cerminan jiwa. Adagium ini menegaskan bahwa setiap
kata yang diucapkan klien, termasuk kebohongannya, adalah
petunjuk menuju kondisi batinnya yang sesungguhnya. Kebohongan itu
sendiri adalah sebuah “perkataan” yang mencerminkan ketakutan akan sistem,
rasa malu atas perbuatan, atau harapan akan sebuah hasil yang mustahil.
Dengan demikian,
kebohongan bukanlah penghalang bagi kebenaran, melainkan peta yang, jika
dibaca dengan saksama, justru menunjukkan jalan menuju kebenaran itu
sendiri.
Refleksi Filosofis dan Humanis: Dari Dostoyevsky ke Pramoedya
Fedor Dostoyevsky menulis bahwa “manusia lebih suka berbohong kepada dirinya sendiri ketimbang mendengar
kebenaran pahit.” Pandangan ini bergema dalam ruang sidang maupun ruang konsultasi kantor
advokat. Banyak klien tidak sekadar berbohong kepada advokatnya, tetapi
terlebih dahulu kepada dirinya sendiri.
Sehingga, untuk memahami mengapa seorang klien berbohong, seorang Advokat
harus melampaui analisis transaksional sederhana. Ini bukanlah sekadar
kalkulasi besar kecil bayar membayar jasa, untung-rugi, serta alokasi waktu
dan tenaga, melainkan sebuah penyelaman ke dalam jiwa manusia yang penuh
paradoks. Sastrawan Rusia, Fyodor Dostoevsky, melalui karya-karyanya seperti
Crime and Punishment dan The
Brothers Karamazov, telah membedah anatomi dusta ini dengan ketajaman yang mengerikan.
Ia menunjukkan bahwa kebohongan terbesar dan paling merusak sering kali
adalah
kebohongan yang kita tujukan kepada diri sendiri
(self-deception). Sebagaimana ia tulis,
‘Orang yang berdusta pada dirinya sendiri dan mendengarkan dustanya
sendiri akan sampai pada titik di mana ia tidak dapat lagi membedakan
kebenaran di dalam dirinya, atau di sekelilingnya.’
Inilah paradoks yang setiap hari dihadapi para advokat muda, yang mana
mereka tak hanya harus menyingkap dusta kliennya, tetapi juga menuntun klien
yang tersesat dalam kebohongan terhadap dirinya sendiri.
Klien yang duduk di hadapan advokat tidak hanya sedang mencoba menipu sang
penasihat hukum; mereka, pada tingkat yang lebih fundamental,
sedang berjuang untuk mempertahankan sebuah narasi yang memungkinkan
mereka untuk terus hidup dengan diri mereka sendiri.
Kebohongan yang mereka sajikan adalah
benteng pertahanan terakhir dari ego yang terluka, dari rasa bersalah
yang tak tertanggungkan, atau dari citra diri yang ideal namun telah
hancur. Advokat yang hanya melihat kebohongan ini sebagai hambatan strategis,
sejatinya telah kehilangan kunci terpenting, yaitu
pekerja mereka ada intinya adalah untuk memahami manusia di hadapannya. In jure veritas non semper nuda apparet—dalam hukum, kebenaran tidak selalu tampil telanjang. Ini bagian terpentingnya!
Di titik inilah tantangan etis pertama muncul, sebuah imperatif yang
digaungkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia yaitu
seorang terpelajar harus “berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi
dalam perbuatan”.
Keadilan yang dimaksud bukanlah semata-mata putusan akhir di pengadilan,
melainkan proses internal sang advokat saat pertama kali berhadapan dengan
narasi awal kliennya. Ini adalah sebuah disiplin untuk menolak penghakiman
prematur, untuk menangguhkan ketidakpercayaan, dan memilih untuk melihat
kebohongan bukan sebagai cacat moral semata, melainkan sebagai gejala dari
luka, ketakutan, atau harapan yang lebih dalam.
Mengadopsi prinsip ini bukan hanya demi kepentingan klien; ia adalah
benteng pertahanan bagi jiwa sang advokat sendiri, sebuah penangkal terhadap
sinisme yang begitu mudah meracuni profesi ini.
Efek Rashomon dan Pertarungan Narasi Subjektif
Dinamika ini membawa kita pada sebuah kerangka epistemologis yang esensial
dalam dunia hukum yaitu “Efek Rashomon”. Diambil dari film
Akira Kurosawa tahun
1950, efek ini menggambarkan
fenomena di mana sebuah peristiwa yang sama diceritakan secara berbeda
dan saling bertentangan oleh para saksi mata yang terlibat. Setiap versi, meskipun kontradiktif,
memiliki logika internalnya sendiri dan
terasa masuk akal dari sudut pandang penceritanya.
Ruang sidang, pada hakikatnya, adalah sebuah panggung Rashomon. Ia bukanlah laboratorium steril tempat satu kebenaran objektif dapat
ditemukan, melainkan sebuah arena pertarungan antara berbagai kebenaran
subjektif yang saling bersaing—versi dari klien, versi dari lawan, versi
dari para saksi. Kebohongan awal klien adalah versi pertama dari narasi
subjektif ini, sebuah upaya yang sering kali kikuk untuk membangun cerita
yang ia yakini akan menyelamatkannya.
Dalam konteks ini, peran advokat bergeser secara radikal. Ia bukan lagi
sekadar “pencari fakta” yang objektif, melainkan seorang “kurator narasi”.
Tugasnya adalah membongkar narasi awal klien, memahami mengapa cerita itu
dibangun sedemikian rupa, dan kemudian membantu membangun kembali sebuah
narasi baru yang lebih kuat, lebih koheren, dan lebih dapat dipertahankan
di hadapan hukum. Proses ini memaksa seorang advokat muda untuk menjadi seorang filsuf
epistemologi praktis, yang harus bergulat dengan pertanyaan mendasar yaitu
“Apa itu kebenaran dalam konteks kasus ini?”
Apakah ia kesesuaian dengan fakta (teori korespondensi),
konsistensi logis dengan pandangan dunia (teori koherensi), atau
kemanfaatan untuk mencapai tujuan (teori pragmatis)?
Kebohongan klien secara langsung menantang teori korespondensi, namun sering
kali sangat koheren dengan cara pandang klien tentang dirinya dan dunia,
serta dianggap sangat pragmatis untuk kepentingannya.
Di sinilah letak ironinya. Adagium hukum menyatakan,
facta sunt potentiora verbis—perbuatan lebih kuat dari kata-kata. Meskipun klien datang dengan “kata-kata” (kebohongan), advokat yang bijak
harus mencari “perbuatan” atau fakta-fakta tersembunyi yang pada akhirnya
akan membantah atau justru menjelaskan asal-usul kebohongan tersebut. Ada
pula adagium lain yang secara metaforis relevan “nemo moriturus praesumitur mentire”—orang yang akan mati tidak dianggap berbohong. Namun, dalam
praktiknya, klien yang menghadapi “kematian hukum” justru sering kali
memulai perjalanannya dengan kebohongan.
Ini adalah paradoks dari kodrat manusia yang paling dasar yaitu hasrat
untuk bertahan hidup, bahkan jika itu berarti harus mengkhianati
kebenaran.
Absurditas Sistem dan Kebenaran Formal
Sistem hukum di Indonesia, seperti banyak sistem lainnya, sering kali
terjebak dalam labirin formalisme. Sebuah preferensi yang berlebihan pada
kebenaran formal (kebenaran formil)—kebenaran yang didasarkan semata-mata
pada bukti-bukti prosedural yang tersaji di pengadilan—sering kali
mengalahkan kebenaran substantif (kebenaran materil), yaitu apa yang
sesungguhnya terjadi.
Hal ini menciptakan sebuah dunia yang absurd, sebuah realitas di mana
“hukum” dan “keadilan” dapat menjadi dua subjek yang terpisah, bahkan
bertentangan.
Bagi advokat muda yang baru memasuki arena ini, menavigasi absurditas
tersebut adalah tantangan eksistensial pertama mereka. Bagi yang pernah merasakannya apa pengalaman terbaikmu?
Kemudian, lingkungan yang mengutamakan formalitas ini, secara tidak
langsung, menjadi inkubator bagi kebohongan. Klien, terutama yang putus asa,
dengan cepat memahami bahwa sebuah kebohongan yang terstruktur dengan baik
dan sesuai dengan kotak-kotak prosedural memiliki peluang lebih besar untuk
diterima daripada kebenaran yang berantakan dan tidak nyaman.
Dengan demikian, kebohongan klien bukanlah semata-mata kegagalan moral
individu, melainkan juga produk dari sistem yang secara implisit
memberinya insentif.
Pemberontakan Sunyi di Ruang Konsultasi
Dalam menghadapi absurditas ini, advokat memiliki pilihan antara lain
menjadi roda penggerak yang pasrah dalam mesin formalisme, atau
menjadi seorang pemberontak. Mengacu pada filsafat Albert Camus,
advokat dapat diposisikan sebagai “Manusia Pemberontak” (L'Homme révolté). Pemberontakan ini bukanlah anarki atau pembangkangan hukum yang membabi
buta.
Sebaliknya,
ia adalah sebuah sikap etis yang menolak untuk pasrah pada absurditas dan
berjuang untuk menciptakan makna di dalam sistem yang sering kali terasa
tidak bermakna.
Pemberontakan sang advokat terwujud dalam dua tindakan fundamental:
1.
Ia berkata “tidak” pada sistem yang mengorbankan keadilan demi prosedur.
Dan yang terpenting, ia berkata “tidak” pada kebohongan klien yang merusak
diri sendiri dan menghalangi jalan menuju pembelaan yang otentik;
2.
Ia berkata “ya” pada martabat kemanusiaan kliennya, bahkan ketika klien itu
sendiri telah merendahkannya. Ia berkata “ya” pada pencarian keadilan yang
lebih tinggi, dan “ya” pada kebenaran yang tersembunyi di balik
lapisan-lapisan dusta.
Momen pemberontakan yang paling krusial dan paling sunyi terjadi di ruang
konsultasi, yaitu ketika advokat harus mengkonfrontasi kebohongan kliennya.
Ini adalah sebuah dilema etis yang tajam, menempatkan loyalitas pada klien
berhadapan dengan loyalitas pada kebenaran yang lebih besar. Pada saat
inilah, seorang advokat berhenti menjadi sekadar “corong” atau perpanjangan
tangan klien, dan menjelma menjadi seorang agen moral yang aktif. Ini adalah
tindakan pemberontakan yang paling fundamental, sebuah penegasan bahwa
profesinya lebih dari sekadar layanan teknis.
Filosofi hukum dari berbagai tradisi menawarkan perspektif yang berbeda.
Adagium Jerman, “in dubio pro reo” (dalam keraguan, berpihaklah pada terdakwa), adalah pilar hukum pidana. Namun, apa yang terjadi jika keraguan itu
justru ditanam dan dipupuk oleh kebohongan klien sendiri? Di sisi lain,
sebuah pepatah Belanda menawarkan harapan “al is de leugen nog zo snel, de waarheid achterhaalt haar wel”
(sekalipun kebohongan begitu cepat secepat kilat, kebenaran pada akhirnya
akan menyusulnya). Pepatah ini dapat menjadi kredo optimis bagi sang advokat pemberontak,
sebuah keyakinan bahwa usahanya yang melelahkan untuk menggali kebenaran
tidak akan pernah sia-sia.
Dimensi Personal, Interpersonal, dan “Ekstraterestrial”
Seorang advokat tidak hanya berurusan dengan hukum, melainkan dengan
manusia dalam segala kompleksitasnya. Secara personal, ia bergulat
dengan latar belakang, idealisme, dan mungkin tekanan finansial. Secara
interpersonal, ia berhadapan dengan klien yang menaruh harapan sekaligus
menyembunyikan fakta.
Dan secara “ekstraterestrial”—dalam arti metaforis—ia berhadapan dengan
sistem hukum yang kadang terasa alien, jauh dari cita rasa keadilan.
Kebohongan klien, dalam konteks ini, bukanlah sekadar hambatan. Ia adalah
“cermin retak” yang menunjukkan kepada advokat betapa rapuhnya relasi antara
hukum dan manusia.
Maka kebohongan klien bukan hanya ilusi yang menutupi fakta, melainkan
serpihan-serpihan realitas yang, jika disusun dengan sabar, justru
menyingkap wajah kebenaran yang lebih telanjang.
Antara Ironi dan Inspirasi
Jean-Paul Sartre mengatakan,
l'enfer, c'est les autres—neraka adalah orang lain. Banyak advokat muda merasakannya ketika
klien yang mereka bela justru menjerumuskan mereka dalam kebohongan. Namun
sejarah menunjukkan, banyak tokoh besar bertumbuh dari ironi ini.
Di Yunani kuno, Socrates memilih minum racun hemlock daripada mengkhianati
prinsip pencarian kebenaran, meskipun tuduhan terhadapnya sarat dengan
kebohongan politik.
Dari Rusia, kisah Alexander Herzen menunjukkan bahwa kebenaran sosial
kadang baru terungkap setelah masyarakat melewati lapisan dusta yang
panjang.
Di Prancis, Voltaire menulis satir tajam karena tahu bahwa kebohongan
kekuasaan hanya bisa dihadapi dengan keberanian intelektual.
Di Amerika, Clarence Darrow pernah membela
kasus Leopold-Loeb—dua mahasiswa yang mencoba menutupi pembunuhan dengan kecerdikan
intelektual semu.
Kebohongan klien-kliennya justru mengungkap ironi yaitu
manusia paling rasional pun bisa terjebak dalam absurditas moral.
Di Jepang, Yukio Mishima menulis tentang kehormatan yang sering dibangun di
atas konstruksi dusta sosial—sebuah refleksi betapa rapuhnya kebenaran dalam
masyarakat yang penuh topeng.
Di Indonesia, Adnan Buyung Nasution kerap menyebut bahwa advokat sejati
adalah mereka yang mampu membaca kebohongan sosial—bukan hanya kebohongan klien perorangan, tetapi kebohongan struktural
negara.
Kisah-kisah lintas zaman ini mengajarkan bahwa kebohongan bukan sekadar
penghalang, tetapi medan ujian bagi advokat. Ia adalah
ordeal by fire, ujian api yang memurnikan ketajaman profesi.
Antara Idealisme dan Kenyataan
Advokat muda hari ini hidup di tengah dilema. Mereka masuk ke dunia hukum
dengan idealisme dengan menegakkan keadilan, memperjuangkan kebenaran. Namun
di lapangan, mereka sering terpaksa menjadi “penerjemah kebohongan” klien
agar bisa mengurai fakta yang sesungguhnya.
Banyak dari mereka harus bertahan dengan honorarium yang minim, bekerja hingga larut malam, bahkan terkadang menerima kasus yang bertentangan dengan nurani mereka sendiri. Di titik ini, kebohongan klien menjadi lebih dari sekadar masalah teknis; ia adalah ujian eksistensial.
Sehingga tak heran dalam praktik, advokat lebih sering berhadapan dengan
adagium yang jarang disebut yaitu “veritas non semper est dicenda”—kebenaran tidak selalu harus dikatakan. Dari sistem hukum Belanda kita juga mengenal prinsip
“geen proces zonder partij”—tidak ada perkara tanpa pihak yang berkepentingan. Maka
kebohongan klien bisa dibaca sebagai manifestasi kepentingan itu sendiri.
Setiap dusta mengandung petunjuk tentang apa yang sebenarnya
dipertaruhkan.
Sehingga, ketika seorang advokat muda mungkin mendapati dirinya membela
terdakwa kasus narkotika yang bersumpah tidak bersalah, padahal bukti
empiris bertumpuk. Ada pula yang menghadapi kasus korporasi besar, di mana
manajemen menyembunyikan fakta demi kepentingan finansial.
Dalam situasi-situasi ini, advokat muda belajar bahwa tugasnya bukan
semata-mata membela klien, tetapi juga
mengurai lapisan kebohongan untuk menemukan jalan hukum yang paling
rasional dan adil. Maka mereka pun harus mengingat adagium Jerman
“Recht ist Wille zur Gerechtigkeit”—hukum adalah kehendak menuju keadilan. Kehendak itu tidak selalu hadir murni dalam kata-kata klien, tetapi harus
digali melalui lapisan dusta, kepentingan, dan ilusi.
Epilog Seorang Pendekar – Panggilan Jiwa di Persimpangan Jalan
Perjalanan melalui labirin kebohongan, absurditas sistem, dan beban moral
ini mungkin tampak seperti sebuah jalan buntu yang penuh keputusasaan.
Namun, sejarah hukum Indonesia telah melahirkan sosok-sosok yang membuktikan
bahwa jalan ini dapat dilalui dengan integritas yang utuh. Salah satu
mercusuar itu adalah
Yap Thiam Hien,
seorang pendekar keadilan sejati.
Prinsip Yap Thiam Hien yang legendaris menjadi jawaban atas semua dilema
yang telah dibahas.
Kepada kliennya, ia tidak pernah menjanjikan kemenangan. Sebaliknya, ia
berjanji akan mengemukakan kebenaran seutuhnya, betapapun pahitnya. Puncak integritasnya tercermin saat ia bersedia membela Soebandrio,
seorang tokoh yang merupakan musuh politiknya.
Yap menunjukkan esensi dari profesi advokat itu sendiri yaitu
membela hak hukum setiap orang, tanpa harus setuju dengan perbuatan atau
ideologi mereka. Ia adalah perwujudan nyata dari seorang “pemberontak” yang berhasil
menemukan cara untuk mempertahankan integritas absolut di dalam sistem yang
sering kali korup dan penuh kompromi. Ia membuktikan bahwa tesis dalam
tulisan ini bukanlah sekadar idealisme filosofis, melainkan
sebuah jalan profesional yang, meskipun terjal, dapat ditempuh.
Kisah Yap Thiam Hien membawa kita kembali pada esensi profesi advokat
sebagai sebuah panggilan jiwa atau officium nobile (profesi
yang terhormat). Perjalanan menghadapi kebohongan klien bukanlah sekadar
rintangan teknis, melainkan sebuah ujian inisiasi, sebuah
rite of passage.
Dalam proses inilah seorang sarjana hukum ditempa menjadi seorang advokat
sejati. Integritas mereka tidak diuji ketika kasus berjalan mulus dan
klien berkata jujur. Integritas mereka diuji di dalam ruang remang itu,
ketika mereka berhadapan dengan kebohongan, ketakutan, dan kebenaran yang
paling tidak nyaman.
Pada akhirnya, kebohongan klien bukanlah tentang klien semata. Ia adalah
cermin yang disodorkan kepada sang advokat, memaksanya untuk bertanya
“Kebenaran macam apa yang sesungguhnya saya layani? Keadilan versi siapa
yang sedang saya perjuangkan? Dan pribadi macam apa yang ingin saya bentuk
melalui profesi ini?”
Pintu masuk yang dibuka oleh kebohongan klien ternyata tidak hanya menuju
kebenaran sebuah kasus, tetapi juga, dan yang lebih penting,
menuju kebenaran tentang diri sang advokat sendiri. Proses ini adalah
sebuah wadah peleburan karakter. Setiap keputusan—untuk menantang
kebohongan, untuk menggali lebih dalam, untuk memikul beban moral—adalah
sebuah tindakan pembentukan diri.
Tulisan ini ditutup dengan sebuah adagium yang sering disalahpahami,
fiat justitia, et pereat mundus—hendaklah keadilan ditegakkan, sekalipun dunia harus binasa. Dalam konteks ini, adagium tersebut tidak boleh diartikan sebagai seruan
untuk legalisme buta yang kaku dan menghancurkan. Sebaliknya, ia harus
dimaknai sebagai komitmen radikal untuk menegakkan
keadilan sejati—keadilan yang telah melewati api pemurnian dari
dusta, yang telah memberontak melawan absurditas, dan yang telah lahir dari
pergulatan moral yang mendalam. Keadilan inilah yang layak diperjuangkan,
bahkan jika itu berarti harus mengorbankan kemenangan yang mudah, kenyamanan
pribadi, atau bahkan ilusi tentang dunia yang sederhana.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.