layananhukum

Ziarah Batin Seorang Advokat: Dari Pengadilan ke Keadilan

 

Pagi merayap di pelataran gedung Pengadilan. Udara lengket oleh campuran asap knalpot dan aroma rokok kretek yang tak pernah padam, menyatu dengan bau kertas-kertas tua yang menguar dari dalam. Di tangga pualam yang mulai terkikis zaman, seorang advokat muda berdiri sejenak di depan pintu masuk ruangan.

Di tangannya, sebuah tas kerja usang yang lebih banyak berisi idealisme daripada bundel perkara tebal. Ini adalah medan perangnya, sebuah arena di mana nasib manusia ditimbang setiap hari. Namun, di balik fasad gedung yang angkuh dan sering kali kusam itu, ia tidak sedang memikirkan pasal-pasal yang akan ia bacakan atau strategi untuk mematahkan argumen jaksa. Pikirannya melayang lebih jauh, ke sebuah pertanyaan yang lebih purba, lebih mendasar.

Dari dalam benaknya, di tengah riuh rendah suara keluarga pencari keadilan yang menunggu dengan cemas di bangku-bangku panjang, sebuah monolog batin bergulir. Ia teringat akan sumpah profesinya, tentang janji untuk membela kebenaran dan keadilan. Namun, realitas yang ia hadapi setiap hari adalah sebuah jurang menganga antara Keadilan—sebuah konsep agung yang ia pelajari di bangku kuliah—dengan praktik hukum yang sering kali terasa seperti transaksi pasar yang rumit, melelahkan, dan terkadang, memuakkan. Di sinilah pertarungan sesungguhnya terjadi yaitu bukan di ruang sidang, melainkan di dalam sanubarinya sendiri.

Pertanyaan yang menghantuinya bukanlah pertanyaan prosedural, melainkan eksistensial. Pertanyaan itu menggema dari lorong waktu, dari sebuah pengadilan di Athena lebih dari dua milenium lalu. Seolah-olah suara seorang filsuf tua berbisik kepadanya, “Di dalam sistem ini, dengan segala cacat dan celahnya, apa sesungguhnya makna dari bertindak adil?”. Ini adalah pertanyaan Socrates, sebuah interogasi fundamental yang mengubah profesi advokat dari sekadar pekerjaan teknis menjadi sebuah ziarah batin. Tulisan kali ini bukanlah tentang bagaimana seorang pengacara bekerja, melainkan sebuah perenungan mendalam tentang mengapa ia harus terus bertahan dalam pekerjaan ini.

Gema Athena di Lorong-Lorong Pengadilan

Untuk memahami pergulatan seorang advokat, kita harus menelusuri DNA filosofis yang membentuk profesinya. Jauh sebelum kitab undang-undang modern ditulis, di agora Athena yang ramai, fondasi etis dari peran pembela hukum telah diletakkan. Pergulatan harian di pengadilan Indonesia, tanpa disadari, adalah pengulangan dari drama-drama intelektual dan moral yang pernah dimainkan di Yunani Kuno.

Menjadi “Lalat Pengganggu” di Negeri Para Petinggi

Dalam pembelaannya yang legendaris, Socrates menggambarkan dirinya sebagai seekor gadfly atau “lalat pengganggu”, yang dikirim oleh dewa untuk “menyengat” kuda besar Athena yang lamban dan malas agar terus terjaga. Ia tidak melakukannya untuk mencari popularitas atau kekayaan; sebaliknya, aktivitasnya justru membuatnya dibenci oleh para elite yang kemapanan dan pengetahuannya ia pertanyakan. Socrates secara sistematis menginterogasi para politisi, penyair, dan pengrajin, dan dengan telak menunjukkan bahwa klaim kebijaksanaan mereka sering kali kosong. Baginya, tindakan mempertanyakan ini bukanlah kejahatan, melainkan sebuah pelayanan tertinggi bagi negara.

Setiap advokat muda di Indonesia, sadar atau tidak, mewarisi peran Socratic ini. Ruang sidang adalah agoranya. Setiap kali ia melakukan pemeriksaan silang terhadap saksi yang berkuasa, membongkar kelemahan dalam berkas penyidikan, atau menantang penerapan hukum yang kaku oleh hakim, ia sedang bertindak sebagai “lalat pengganggu”.

Di dalam sistem hukum Indonesia, di mana budaya sering kali menempatkan harmoni dan penghormatan pada senioritas di atas kebenaran yang telanjang, peran ini sering kali tidak nyaman dan penuh risiko. Menantang narasi resmi bisa dianggap sebagai pembangkangan, dan mempertanyakan prosedur yang sudah mapan bisa dilihat sebagai tindakan arogan.

Inilah dilema etis pertama yang dihadapi yaitu antara tekanan untuk beradaptasi dan tunduk pada sistem, dengan panggilan profesi untuk mempertanyakan segalanya demi kepentingan klien dan kebenaran itu sendiri.

Lebih dalam lagi, peran ini memiliki implikasi moral yang signifikan. Socrates meyakini bahwa kejahatan dan ketidakadilan pada dasarnya berasal dari kebodohan—ketidaktahuan akan apa yang sejatinya baik dan benar. Jika kita memproyeksikan gagasan ini pada sistem hukum kita, maka banyak penyakit kronisnya—mulai dari putusan yang tidak konsisten, korupsi, hingga prosedur yang berbelit-belit—bukanlah semata-mata produk dari niat jahat, melainkan manifestasi dari “kebodohan” sistemik yaitu sebuah keengganan kolektif untuk memeriksa diri, mengakui kesalahan, dan belajar.

Dalam konteks ini, advokat yang berperan sebagai lalat pengganggu Socratic melakukan lebih dari sekadar membela klien. Ia sedang memegang cermin di hadapan sistem, memaksanya untuk melihat wajahnya sendiri yang penuh kontradiksi dan kealpaan. Dengan demikian, tugasnya bukanlah sekadar menjadi teknisi hukum, melainkan menjadi katalisator moral dan intelektual bagi pembaruan sistem itu sendiri.

Dikaiosyne—Keadilan yang Bersemayam di Relung Jiwa

Bagi Plato, murid Socrates, keadilan—yang ia sebut dengan istilah Yunani Dikaiosyne—bukanlah sekadar seperangkat aturan eksternal atau hasil dari sebuah putusan pengadilan. Dikaiosyne adalah sebuah kebajikan internal, sebuah “kualitas jiwa” yang menciptakan harmoni di dalam diri seseorang dan, sebagai konsekuensinya, di dalam masyarakat. Plato memandang keadilan sebagai obat penawar bagi penyakit sosial yang merusak Athena pada masanya yaitu “amatirisme, suka ikut campur, dan egoisme politik” —sebuah diagnosis yang terdengar sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.

Menurutnya, jiwa manusia terdiri dari tiga bagian, antara lain: akal (nalar), semangat (keberanian), dan nafsu (hasrat). Seseorang menjadi adil ketika akalnya, dibantu oleh semangatnya, serta ia mampu mengendalikan nafsunya, sehingga setiap bagian dari jiwa menjalankan fungsinya masing-masing tanpa mencampuri urusan bagian lain.

Plato berargumen dengan gigih bahwa hidup yang adil, terlepas dari penghargaan atau hukuman dari dunia luar, pada hakikatnya lebih baik dan lebih membahagiakan daripada hidup yang tidak adil. Keadilan adalah kebaikan yang harus dicintai demi dirinya sendiri, bukan hanya karena konsekuensi yang ditimbulkannya.

Idealisme Platonik ini terasa seperti sebuah kemewahan yang mustahil di tengah lanskap hukum Indonesia. Di sini, keadilan sering kali dipersepsikan sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan, di mana hasil sebuah perkara lebih ditentukan oleh tebalnya amplop daripada bobotnya argumen.

Hukum kerap menjadi instrumen kekuasaan politik, bukan cerminan kebajikan kolektif. Adagium populer “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah” adalah antitesis sempurna dari konsep harmoni Platonik, di mana setiap elemen masyarakat seharusnya menjalankan perannya demi kebaikan bersama.

Di sinilah terletak pergulatan batin terdalam seorang advokat muda. Jika keadilan, menurut Plato, adalah kondisi harmonis di dalam jiwa, maka setiap kasus yang ia tangani bukan lagi sekadar pertarungan hukum untuk klien, melainkan sebuah ujian bagi jiwanya sendiri. Setiap hari, ia dihadapkan pada godaan-godaan yang mengancam Dikaiosyne internalnya yaitu tawaran untuk “mengatur” perkara, tekanan untuk memanipulasi bukti, atau desakan untuk mengambil jalan pintas yang tidak etis.

Ini bukan sekadar risiko profesi; ini adalah kekuatan-kekuatan yang berpotensi merusak tatanan jiwanya sendiri. Perjuangan seorang advokat muda untuk tetap idealis di tengah sistem yang pragmatis dan sering kali korup adalah, dalam terminologi Platonik, sebuah perjuangan untuk menjaga agar akal tetap berkuasa atas nafsu di dalam dirinya. Ini mengubah perjuangan mencari keadilan secara radikal yaitu sebelum seorang advokat dapat membawa keadilan bagi masyarakat, ia harus terlebih dahulu memupuk dan menjaganya di dalam dirinya sendiri. Profesi ini, dengan demikian, menjadi sebuah ziarah moral yang sangat personal.

Orasi Sunyi Melawan Raksasa: Belajar dari Cicero Muda

Sejarah menyediakan arketipe bagi para pejuang. Bagi advokat muda yang merasa kecil dan tak berdaya di hadapan tembok kekuasaan, kisah tentang debut seorang pengacara muda di Roma kuno menawarkan sebuah cetak biru (blueprint) yang abadi tentang keberanian, strategi, dan idealisme yang pragmatis. Namanya Marcus Tullius Cicero, dan kasus pertamanya di pengadilan pidana menjadi legenda.Untuk memahami betapa besarnya pertaruhan yang diambil Cicero, kita harus membayangkan atmosfer Roma pada tahun 80 SM.

Republik sedang berada di bawah cengkeraman diktator Lucius Cornelius Sulla. Setelah memenangkan perang saudara, Sulla melancarkan proskripsi—sebuah program teror negara yang melegalkan pembunuhan dan perampasan harta benda musuh-musuh politiknya. Daftar nama orang-orang yang “dilarang” dipajang di depan umum; siapa pun bisa membunuh mereka tanpa diadili dan bahkan mendapat imbalan. Iklim ketakutan ini melumpuhkan Roma. Berbicara menentang Sulla atau kroni-kroninya sama saja dengan menandatangani surat kematian.

Iklim teror ini mungkin terasa jauh, tetapi resonansinya dapat dirasakan oleh advokat di Indonesia hari ini. Ketika menangani sebuah kasus yang menyentuh kepentingan “oligarki” atau pejabat tinggi yang korup, ancaman yang dihadapi mungkin bukan lagi daftar proskripsi, tetapi bentuk-bentuk intimidasi modern yaitu karier yang dihancurkan, firma hukum yang ditekan, atau bahkan ancaman fisik yang terselubung. Rasa takut adalah senjata universal yang digunakan oleh kekuasaan yang sewenang-wenang, baik di Roma kuno maupun di Indonesia modern.

Di tengah atmosfer mencekam inilah, sebuah kasus pembunuhan bergulir ke pengadilan. Terdakwanya adalah Sextus Roscius, seorang pemuda dari kota kecil Ameria. Tuduhannya luar biasa keji dengan membunuh ayahnya sendiri (parricide), sebuah kejahatan yang hukumannya sangat mengerikan di Roma. Namun, di balik tuduhan itu, tersembunyi sebuah konspirasi busuk.

Ayah Roscius, seorang pria kaya raya, telah dibunuh di jalanan Roma. Hartanya yang melimpah kemudian secara ilegal dimasukkan ke dalam daftar proskripsi dan dilelang dengan harga sangat murah. Pembelinya adalah Lucius Cornelius Chrysogonus, seorang mantan budak yang telah dimerdekakan dan menjadi orang kepercayaan Sulla yang sangat berkuasa dan korup.

Setelah merampas seluruh warisan Roscius, Chrysogonus dan para kaki tangannya—yang juga merupakan kerabat Roscius—merekayasa tuduhan pembunuhan terhadap Roscius muda untuk membungkamnya selamanya. Situasinya tampak tanpa harapan. Roscius adalah orang luar yang tidak berdaya, sementara lawannya adalah kroni diktator. Para pengacara paling terkemuka di Roma, satu per satu, menolak untuk membelanya. Mereka terlalu takut untuk berhadapan dengan Chrysogonus dan menyinggung kemarahan Sulla.

Di saat itulah, Cicero maju. Usianya baru 26 tahun. Ia bukan berasal dari keluarga bangsawan elite Roma dan belum memiliki nama besar. Ia adalah satu-satunya yang berani mengambil kasus yang dianggap sebagai misi bunuh diri. Kisah Roscius ini adalah cerminan abadi dari nasib kaum papa di Indonesia seperti petani yang tanahnya dirampas korporasi, nelayan yang digusur proyek raksasa, atau warga biasa yang dikriminalisasi oleh aparat. Mereka adalah para Roscius modern, yang sering kali mendapati bahwa biaya keadilan terlalu mahal dan hanya sedikit advokat yang bersedia mengambil risiko untuk membela mereka melawan raksasa.

Strategi Sang Orator: Menyerang Antek, Memuji Sang Tiran

Kemenangan Cicero dalam kasus ini tidak hanya didasarkan pada keberanian buta, tetapi pada sebuah strategi hukum dan politik yang jenius. Inilah pelajaran terpenting bagi advokat muda. Cicero sadar bahwa serangan frontal terhadap Sulla akan menjadi akhir dari karier dan hidupnya. Maka, ia melakukan sesuatu yang brilian.

Dalam orasinya, Cicero berulang kali memuji Sulla. Ia melukiskan sang diktator sebagai negarawan agung, pemulih Republik, seorang pemimpin yang begitu sibuk dengan urusan negara yang besar sehingga ia tidak mungkin mengetahui atau menyetujui perbuatan-perbuatan kotor yang dilakukan oleh para bawahannya.

Cicero dengan cermat memisahkan Sulla dari Chrysogonus. Ia memfokuskan serangannya secara tajam dan tanpa ampun kepada Chrysogonus, menggambarkannya sebagai “antek yang tidak berharga,” parasit korup yang mencoreng nama baik rezim Sulla. Dengan demikian, Cicero tidak memposisikan dirinya sebagai pemberontak yang menentang kekuasaan, melainkan sebagai seorang patriot yang justru ingin membersihkan Republik dari noda-noda korupsi demi menjaga kehormatan Sulla sendiri. Ia mendefinisikan hukum sebagai “recta ratio” (akal sehat yang benar) dan pembelaannya sebagai upaya untuk menegakkan kepentingan publik (res publica) dari ancaman otoritas yang sewenang-wenang.

Ini adalah sebuah cetak biru (blueprint) untuk “idealisme pragmatis”. Cicero mengajarkan bahwa seseorang dapat melawan ketidakadilan sistemik tanpa harus menyatakan perang terhadap keseluruhan sistem. Logikanya adalah sistem kekuasaan, bahkan yang paling otoriter sekalipun, selalu mengklaim legitimasi moral dan hukum. Strategi Cicero adalah menggunakan klaim-klaim ideal dari sistem itu sendiri untuk menyerang praktik-praktik korup di dalamnya.

Bagi advokat muda di Indonesia, pelajaran ini sangat berharga. Daripada menabrakkan kepala ke tembok kekuasaan secara langsung, ia bisa belajar untuk mengisolasi targetnya (terlebih dahulu) yaitu oknum aparat yang korup, peraturan yang cacat, atau putusan pengadilan tingkat pertama yang jelas-jelas melanggar rasa keadilan. Dengan membingkai perjuangannya bukan sebagai serangan terhadap institusi (Polri, Kejaksaan, atau Mahkamah Agung), melainkan sebagai upaya untuk membantu institusi tersebut membersihkan dirinya dari elemen-elemen yang merusak citranya, ia membuka ruang untuk kemungkinan kemenangan. Ini bukanlah sebuah kompromi atas idealisme, melainkan sebuah jurus jujitsu strategis untuk memperjuangkan keadilan di medan yang tidak seimbang.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.