Pengantar
Merek bukan lagi sekadar logo, nama, atau simbol pembeda. Ia telah
berevolusi menjadi representasi dari reputasi, kualitas, dan
goodwill suatu subjek bisnis; sebuah aset tidak berwujud (intangible asset) yang paling krusial dan bernilai. Pendaftaran merek pada Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) memberikan suatu hak eksklusif yang
dilindungi oleh negara, sebuah perisai yuridis yang memberikan kepastian
hukum bagi pemiliknya untuk menggunakan dan mengambil manfaat ekonomi dari
merek tersebut.
Namun, hak eksklusif yang lahir dari pendaftaran ini bukanlah hak yang
bersifat absolut dan abadi. Terdapat suatu risiko yuridis yang seringkali
luput dari perhatian para pemilik merek, yaitu
kemungkinan hapusnya hak tersebut melalui mekanisme penghapusan dari
Daftar Umum Merek.
Kerangka berpikir artikel ini dibingkai oleh sebuah adagium hukum klasik,
“Vigilantibus non dormientibus aequitas subvenit”, yang bermakna
hukum akan membantu mereka yang waspada dan berhati-hati, bukan mereka
yang lalai dan tertidur. Adagium ini sangat relevan dengan topik penghapusan merek, karena
seringkali proses ini dipicu oleh
kelalaian pemilik merek itu sendiri, baik dalam bentuk kegagalan
menggunakan mereknya secara aktif dalam kegiatan perdagangan
maupun
akibat dari pendaftaran yang dilandasi oleh itikad yang tidak baik.
Artikel kami kali ini akan melakukan eksaminasi yuridis-normatif secara
komprehensif terhadap tiga mekanisme utama yang dapat menyebabkan
penghapusan suatu merek terdaftar dari Daftar Umum Merek.
Tulisan ini berlandaskan pada kerangka hukum positif Indonesia, yaitu
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan “UU MIG”. Untuk memberikan gambaran praktis dan implikasi nyata di lapangan,
analisis normatif ini akan diperkaya dengan studi kasus terhadap
putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Mekanisme penghapusan merek sejatinya tidak boleh dipandang semata-mata
sebagai sebuah sanksi.
Sistem hukum merek di Indonesia menganut asas pendaftar pertama
(first-to-file), yang memberikan kepastian hukum dan prioritas kepada pihak yang pertama
kali mengajukan permohonan pendaftaran.
Namun, asas ini memiliki kerentanan untuk disalahgunakan oleh pendaftar
yang beritikad tidak baik (trademark squatters) atau oleh pihak yang
hanya mendaftarkan merek untuk tujuan defensif tanpa niat tulus untuk
menggunakannya dalam perdagangan. Tanpa adanya mekanisme korektif, Daftar
Umum Merek berpotensi dipenuhi oleh “merek-merek mati” yang justru
menghalangi pelaku usaha lain yang sah dan beritikad baik untuk masuk ke
pasar.
Oleh karena itu, mekanisme penghapusan berfungsi sebagai katup pengaman dan
instrumen penyeimbang. Ia “memurnikan” daftar dari entri-entri yang tidak
valid atau tidak aktif secara komersial, memastikan bahwa hak eksklusif yang
diberikan negara benar-benar terikat pada penggunaan komersial yang nyata
dan dilandasi oleh itikad baik. Dengan demikian, penghapusan merek adalah
sebuah fitur krusial yang menjaga kesehatan, efisiensi, dan keadilan dalam
sistem pendaftaran merek secara keseluruhan.
Landasan Konseptual: Definisi Yuridis Merek dalam Sistem Hukum Indonesia
Untuk memahami dasar dari penghapusan, terlebih dahulu esensial untuk
mengerti apa yang dilindungi. Definisi yuridis mengenai Merek secara tegas
diatur dalam ketentuan Pasal 1 Angka 1 UU MIG, yang menyatakan bahwa:
“Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar,
logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua)
dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2
(dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang
diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang
dan/atau jasa.”
Dari definisi normatif tersebut, dapat diidentifikasi beberapa unsur
esensial yang membentuk suatu Merek:
1.
Unsur “Tanda yang Dapat Ditampilkan Secara Grafis”: Frasa ini merupakan syarat formalitas agar suatu tanda dapat
direpresentasikan secara visual dalam Daftar Umum Merek. UU MIG telah
memperluas cakupan definisi ini secara progresif, tidak hanya mencakup
merek-merek tradisional (kata, logo, gambar), tetapi juga merek
non-tradisional seperti suara (yang direpresentasikan dengan notasi balok)
dan hologram. Hal ini menunjukkan adaptasi hukum terhadap perkembangan
strategi branding dan teknologi modern yang semakin inovatif;
2.
Unsur “Daya Pembeda” (Distinctiveness): Ini adalah jantung dan fungsi fundamental dari sebuah merek. Suatu tanda
harus memiliki kapasitas untuk membedakan barang atau jasa yang diproduksi
oleh satu pelaku usaha dengan barang atau jasa dari pelaku usaha lainnya.
Tanda yang bersifat terlalu umum (generic), deskriptif murni terhadap
barang/jasa, atau telah menjadi milik umum (public domain) tidak
memiliki daya pembeda, sehingga tidak dapat didaftarkan sebagai merek.
Lebih lanjut, UU MIG mengkategorikan merek berdasarkan penggunaannya
menjadi beberapa tipologi, antara lain
Merek Dagang (digunakan pada barang),
Merek Jasa (digunakan pada jasa), dan
Merek Kolektif (digunakan oleh beberapa orang atau badan hukum secara
bersama-sama untuk barang/jasa dengan karakteristik yang sama). Pemahaman atas definisi dan tipologi ini menjadi dasar untuk menganalisis
bagaimana hak atas tanda tersebut dapat berakhir.
Otoritas Administratif: Kewenangan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual
Penyelenggaraan administrasi Kekayaan Intelektual di Indonesia, termasuk di
dalamnya rezim Merek, berada di bawah kewenangan Pemerintah, yang secara
teknis dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Lembaga ini
merupakan unit eselon I yang berada di bawah naungan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Di dalam
struktur DJKI, terdapat unit kerja yang secara spesifik menangani urusan
teknis merek, yaitu Direktorat Merek dan Indikasi Geografis.
Kewenangan Menteri Hukum dan HAM, yang dalam praktiknya didelegasikan
kepada DJKI, sangatlah luas dan mencakup seluruh siklus hidup sebuah merek,
mulai dari permohonan hingga penghapusannya. Berdasarkan UU MIG,
kewenangan-kewenangan kunci tersebut meliputi:
-
Menerima dan melakukan pemeriksaan formalitas serta substantif terhadap
permohonan pendaftaran merek (vide Pasal 4 UU MIG);
-
Mengumumkan permohonan yang telah memenuhi syarat dalam media resmi, yaitu
Berita Resmi Merek (vide Pasal 14 UU MIG);
-
Menerbitkan Sertifikat Merek sebagai bukti pendaftaran dan lahirnya hak
eksklusif (vide Pasal 25 UU MIG);
-
Melakukan penghapusan pendaftaran Merek dari Daftar Umum
Merek, baik atas dasar prakarsa sendiri maupun sebagai eksekusi atas putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (vide Pasal 72, Pasal 91, Pasal 92 UU MIG);
-
Mencatat dan mengumumkan setiap tindakan penghapusan dalam Berita Resmi
Merek untuk memberikan kepastian hukum kepada publik (vide Pasal 92 ayat (3) UU MIG).
Dalam sistem hukum merek Indonesia, terdapat pembagian peran yang jelas
antara lembaga eksekutif (DJKI) dan
yudikatif (Pengadilan Niaga). DJKI berfungsi sebagai
gatekeeper atau penjaga gerbang pada tahap awal, yaitu
saat pendaftaran. DJKI bertugas menyaring setiap permohonan untuk
memastikan telah memenuhi syarat-syarat absolut dan relatif sebagaimana
diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UU MIG.
Namun, setelah suatu merek berhasil terdaftar dan
sertifikat diterbitkan, peran pengawasan DJKI menjadi lebih pasif.
DJKI tidak secara proaktif memonitor penggunaan merek di pasar. Inisiasi
untuk penghapusan merek karena tidak digunakan (non-use), misalnya,
harus datang dari pihak ketiga yang berkepentingan melalui gugatan di
Pengadilan Niaga, bukan dari DJKI.
Kewenangan DJKI untuk menghapus merek atas prakarsanya sendiri (tanpa
adanya gugatan) sangat terbatas pada alasan-alasan yang menyangkut
kepentingan publik yang fundamental, seperti
pertentangan dengan ideologi negara atau moralitas, dan
itupun harus didahului oleh rekomendasi dari Komisi Banding Merek.
(vide Pasal 31 UU MIG)
Ketika lembaga peradilan, baik Pengadilan Niaga maupun Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN), telah menjatuhkan putusan terkait pembatalan atau
penghapusan merek yang telah berkekuatan hukum tetap,
peran DJKI bertransformasi menjadi murni sebagai eksekutor. DJKI
memiliki kewajiban hukum untuk melaksanakan amar putusan tersebut dengan
melakukan tindakan administratif berupa pencoretan merek dari Daftar Umum
Merek.
Pemahaman atas pembagian kerja ini krusial bagi pemilik merek, karena ini
menegaskan bahwa
sengketa yang timbul pasca-pendaftaran sebagian besar akan diselesaikan
melalui jalur yudisial, bukan lagi di ranah administratif DJKI.
Mekanisme dan Alasan Sah Penghapusan Merek Terdaftar
Bab IX UU MIG
secara spesifik mengatur mengenai
Penghapusan dan Pembatalan Pendaftaran Merek. Terdapat tiga jalur
utama yang dapat berujung pada penghapusan suatu merek dari Daftar Umum
Merek. Ketiga jalur ini memiliki perbedaan fundamental dari segi dasar
hukum, inisiator, alasan, forum penyelesaian, hingga upaya hukum yang dapat
ditempuh.
Jalur pertama
adalah penghapusan atas permohonan pemilik merek sendiri, sebagaimana
diatur dalam Pasal 72 ayat (1) UU MIG. Inisiatif datang dari pemilik merek atau kuasanya secara sukarela. Proses
ini bersifat administratif melalui permohonan kepada Menteri/DJKI dan karena
sifatnya yang sukarela, tidak ada upaya hukum yang tersedia.
Ini adalah mekanisme penghapusan yang bersifat sukarela, di mana inisiatif
datang langsung dari pemilik merek itu sendiri.
Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) UU MIG menyatakan
bahwa pemilik merek atau
kuasanya dapat mengajukan permohonan penghapusan kepada Menteri, baik
untuk seluruh maupun sebagian jenis barang dan/atau jasa yang terdaftar.
Namun, UU MIG memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi
pihak ketiga yang mungkin memiliki kepentingan terhadap merek tersebut.
Pasal 72 ayat (3) UU MIG menetapkan syarat krusial yaitu
apabila merek yang dimohonkan penghapusannya masih terikat dalam suatu
perjanjian lisensi, maka permohonan penghapusan tersebut hanya dapat
dilakukan apabila ada persetujuan tertulis dari penerima lisensi. Pengecualian atas persetujuan sebagaimana dimaksud hanya dimungkinkan
jika dalam perjanjian Lisensi, penerima Lisensi dengan tegas menyetujui
untuk mengesampingkan adanya persetujuan tersebut. (vide Pasal 72 ayat (4) UU MIG)
Ketentuan ini sangat penting untuk melindungi kepentingan dan investasi
yang telah dikeluarkan oleh penerima lisensi yang usahanya bergantung pada
eksistensi merek tersebut. Setelah permohonan disetujui, tindakan
penghapusan akan dicatat dan diumumkan oleh Menteri dalam Berita Resmi
Merek.
Penghapusan atas Prakarsa Menteri (vide Pasal 72 & 73 UU MIG)
Jalur kedua memberikan kewenangan kepada negara, melalui Menteri Hukum dan
HAM, untuk secara aktif menghapus merek terdaftar demi melindungi
kepentingan publik yang lebih luas.
Pasal 72 ayat (7) UU MIG merinci alasan-alasan yang bersifat
fundamental yang dapat menjadi dasar penghapusan, yaitu jika merek
terdaftar:
a.
Memiliki persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhannya dengan Indikasi
Geografis;
b.
Bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan,
moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum; atau
c.
Memiliki kesamaan pada keseluruhannya dengan ekspresi budaya tradisional,
warisan budaya takbenda, atau nama atau logo yang sudah merupakan tradisi
turun temurun.
Kewenangan ini merupakan manifestasi dari peran negara sebagai penjaga
nilai-nilai fundamental bangsa. Namun, untuk mencegah penyalahgunaan
wewenang, Pasal 72 ayat (8) UU MIG mensyaratkan bahwa tindakan
penghapusan ini hanya dapat dilakukan setelah Menteri mendapatkan
rekomendasi dari Komisi Banding Merek. Mekanisme ini berfungsi sebagai
check and balance internal sebelum keputusan final diambil. Bagi
pemilik merek yang merasa dirugikan oleh keputusan penghapusan ini, UU MIG
menyediakan jalur upaya hukum. Pasal 73 UU MIG memberikan hak
kepada pemilik merek untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan Menteri
tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Penghapusan Berdasarkan Gugatan Pihak Ketiga (vide Pasal 74 UU MIG)
Jalur ketiga
adalah penghapusan berdasarkan gugatan pihak ketiga, ini adalah
mekanisme yang paling sering menjadi sumber sengketa di pengadilan. Dasar
utama dari jalur ini adalah doktrin non-use atau daluwarsa pakai,
yang menegaskan bahwa hak atas merek terikat pada penggunaannya dalam
perdagangan. Pasal 74 ayat (1) UU MIG menyatakan:
“Penghapusan Merek terdaftar dapat pula diajukan oleh pihak ketiga yang
berkepentingan dalam bentuk gugatan ke Pengadilan Niaga dengan alasan
Merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam
perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian
terakhir.”
Frasa kunci dalam pasal ini adalah “pemakaian terakhir”. Ini berarti
bahwa periode 3 tahun non-penggunaan dapat di-reset atau
dihitung ulang setiap kali pemilik merek melakukan penggunaan komersial
yang nyata
dan dapat dibuktikan.
Namun, hukum juga mengakui bahwa terkadang non-penggunaan terjadi bukan
karena kelalaian, melainkan karena adanya hambatan di luar kendali pemilik
merek. Untuk itu, Pasal 74 ayat (2) UU MIG memberikan
alasan-alasan pengecualian yang dapat diterima, seperti
adanya larangan impor, larangan yang berkaitan dengan izin edar produk,
atau larangan serupa lainnya yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Gugatan penghapusan berdasarkan alasan ini diajukan ke Pengadilan Niaga,
dan apabila dikabulkan, putusannya akan dicatat dan diumumkan oleh Menteri
dalam Berita Resmi Merek.
Problematika dalam Praktik: Studi Kasus Sengketa Merek di Indonesia
Analisis terhadap ketentuan normatif menjadi lebih hidup ketika dihadapkan
pada implementasinya dalam sengketa nyata. Berikut adalah dua studi kasus
penting yang menggambarkan bagaimana pengadilan di Indonesia menafsirkan dan
menerapkan dasar-dasar penghapusan merek.
Studi Kasus 1: Doktrin Non-Use dan Ujian Ketenaran Merek (vide Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 264 K/Pdt.Sus-HKI/2015., tertanggal 12 Mei 2015 terkait Merek IKEA)
Kasus ini menjadi preseden penting yang menguji batas-batas perlindungan
merek terkenal di hadapan prinsip “gunakan atau kehilangan” (use it or lose it).
-
Fakta Kasus
PT Ratania Khatulistiwa, sebuah perusahaan furnitur asal Surabaya,
mengajukan gugatan penghapusan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap
merek “IKEA” milik Inter IKEA System B.V. dari Swedia. Gugatan ini secara
spesifik menargetkan pendaftaran merek IKEA untuk kelas barang 20 (furnitur)
dan 21 (perkakas rumah tangga). Dalil utama Penggugat adalah bahwa merek
tersebut tidak digunakan secara aktif dalam perdagangan di Indonesia selama
tiga tahun berturut-turut sejak tanggal pendaftarannya, sebuah kondisi yang
menjadi dasar penghapusan menurut
Pasal 61 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek
(ketentuan yang substansinya kini diatur dalam Pasal 74 UU MIG);
-
Pertimbangan Hukum (Ratio Decidendi) dan Kontroversinya
Mahkamah Agung, dengan suara mayoritas, menolak permohonan kasasi IKEA
Swedia dan menguatkan putusan Pengadilan Niaga. Pertimbangan sentral majelis
hakim adalah bahwa IKEA Swedia gagal menyajikan bukti yang cukup dan
meyakinkan mengenai adanya
penggunaan komersial yang nyata di pasar Indonesia. Majelis hakim mengadopsi interpretasi yang sangat sempit terhadap frasa
“perdagangan barang”. Bukti-bukti yang diajukan IKEA Swedia, seperti adanya
kegiatan produksi di Indonesia untuk tujuan ekspor dan penjualan daring
kepada konsumen di Indonesia, dianggap tidak memadai untuk membuktikan
adanya peredaran barang secara fisik dan masif di dalam negeri. Argumen
bahwa “IKEA” adalah merek terkenal di dunia (well-known mark) tidak
dianggap sebagai faktor yang dapat mengesampingkan kewajiban hukum untuk
menggunakan merek tersebut secara aktif di yurisdiksi Indonesia. Namun,
putusan ini tidak bulat. Terdapat dissenting opinion (pendapat
berbeda) dari Hakim Agung I Gusti Agung Sumanatha. Beliau berpendapat
bahwa keberatan kasasi seharusnya dapat dibenarkan karena IKEA adalah merek
terkenal yang harus dilindungi. Lebih lanjut, beliau menyoroti
fakta kasat mata mengenai keberadaan toko resmi IKEA yang sangat besar di
Alam Sutera, Tangerang, sebagai bukti nyata penggunaan merek tersebut di
Indonesia. Menurutnya, dengan adanya bukti fisik sekuat itu, ketentuan
mengenai non-use dalam Pasal 61 ayat (2) huruf a tidak dapat
diterapkan.
-
Implikasi dan Analisis Kritis
-
Interpretasi Restriktif “Penggunaan dalam Perdagangan”
Putusan mayoritas menunjukkan betapa pengadilan dapat menafsirkan
“penggunaan” secara sangat harfiah, yakni harus ada penjualan dan distribusi
fisik yang signifikan di dalam negeri. Hal ini menjadi tantangan bagi model
bisnis modern yang mengandalkan penjualan daring atau yang menggunakan
Indonesia sebagai basis produksi untuk pasar global;
-
Ketenaran Bukan Imunitas Mutlak
Kasus ini mengirimkan pesan yang sangat keras bahwa status sebagai “merek
terkenal” tidak memberikan kekebalan hukum terhadap gugatan penghapusan
berbasis non-use. Prinsip use it or lose it berlaku sama bagi
semua merek terdaftar;
-
Pentingnya Dissenting Opinion
Pendapat berbeda dari Hakim Agung Sumanatha sangat krusial. Ia
merefleksikan pandangan yang lebih pragmatis dan selaras dengan realitas
komersial, di mana pendirian sebuah gerai ritel raksasa seperti IKEA
merupakan bukti penggunaan yang tidak terbantahkan. Perbedaan pendapat ini
menyoroti adanya ketegangan dalam sistem peradilan antara interpretasi hukum
yang kaku dan apresiasi terhadap fakta-fakta bisnis di lapangan;
-
Risiko Pendaftaran Defensif
Putusan ini menjadi peringatan bagi perusahaan multinasional bahwa
mendaftarkan merek di Indonesia hanya untuk “mengamankan wilayah” tanpa
rencana konkret untuk masuk ke pasar secara aktif adalah strategi yang
sangat berisiko dan rentan untuk digugat oleh pihak ketiga yang
berkepentingan.
Itikad Tidak Baik sebagai Koreksi Asas First-to-File (vide Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 575 K/Pdt.Sus-HKI/2020., tertanggal 20 Mei 2020 terkait Merek “Geprek Bensu”)
Sengketa ini adalah contoh klasik bagaimana asas itikad baik menjadi
benteng pertahanan terakhir melawan penyalahgunaan sistem pendaftaran
merek.
-
Fakta Kasus
Sengketa ini berpusat pada dua subjek hukum yaitu PT Ayam Geprek Benny
Sujono, yang pertama kali mendirikan usaha kuliner dengan merek “I Am Geprek
Bensu”, dan Ruben Samuel Onsu, seorang figur publik yang kemudian mendirikan
usaha sejenis dengan merek “Geprek Bensu”. Fakta krusial yang terungkap di
persidangan adalah bahwa Ruben Onsu sebelumnya terikat hubungan profesional
dengan PT Ayam Geprek Benny Sujono sebagai duta merek (brand ambassador) dari Mei hingga Agustus 2017. Setelah hubungan kerja tersebut berakhir,
Ruben Onsu mendaftarkan serangkaian merek yang mengandung unsur kata
“BENSU”. Ruben Onsu kemudian menggugat PT Ayam Geprek Benny Sujono, namun
pihak Benny Sujono melakukan gugatan balik (rekonvensi) untuk membatalkan
merek-merek milik Ruben Onsu;
-
Pertimbangan Hukum (Ratio Decidendi)
Mahkamah Agung dalam
Putusan Nomor 575 K/Pdt.Sus-HKI/2020, tertanggal 20 Mei 2020, menolak
kasasi Ruben Onsu dan justru menguatkan putusan Pengadilan Niaga yang
membatalkan enam pendaftaran merek atas namanya. Pertimbangan fundamental
majelis hakim adalah bahwa pendaftaran merek-merek tersebut oleh Ruben Onsu
didasari oleh itikad tidak baik (bad faith), suatu larangan
yang diatur dalam Pasal 21 ayat (3) UU MIG. Majelis hakim secara tegas menyatakan:
“Bahwa sejak tanggal 9 Mei 2017 sampai dengan 14 Agustus 2017 Penggugat
Rekonvensi (Tergugat I Konvensi) telah memberikan kompensasi kepada
Tergugat Rekonvensi (Penggugat Konvensi) sehubungan dengan posisinya
sebagai Duta Promosi... sehingga Tergugat Rekonvensi harus menyadari
posisinya hanya sebagai Duta/Promotor dari merek Penggugat Rekonvensi;
Bahwa dengan demikian usaha dari Tergugat Rekonvensi dilandasi itikad
tidak baik karena mengambil pasar konsumen dari Penggugat
Rekonvensi;”
Putusan ini menegaskan bahwa karena Ruben Onsu memiliki pengetahuan sebelumnya tentang merek “I Am Geprek Bensu” melalui perannya sebagai duta merek, tindakannya mendaftarkan merek serupa dianggap sebagai upaya untuk mendompleng dan merebut pasar yang telah dibangun oleh pihak pertama. Dengan demikian, asas first-to-file secara sah dimenangkan oleh PT Ayam Geprek Benny Sujono sebagai pendaftar pertama yang beritikad baik.
-
Implikasi dan
Analisis Kritis
1.
Itikad
Baik sebagai Jiwa Sistem Merek
Putusan
ini adalah yurisprudensi fundamental yang menunjukkan bahwa asas itikad baik
adalah “jiwa” dari sistem pendaftaran merek, yang berfungsi sebagai mekanisme
korektif terhadap penerapan mekanis asas first-to-file. Hukum tidak akan
melindungi pendaftar yang tindakannya dilandasi oleh niat buruk untuk meniru
atau membonceng ketenaran pihak lain.
2.
Hubungan
Profesional sebagai Bukti Kunci
Kasus
ini menggarisbawahi bagaimana hubungan kerja atau kontrak sebelumnya (seperti
karyawan, agen, atau duta merek) dapat menjadi bukti kunci dalam menentukan
adanya itikad tidak baik. Pihak yang memiliki akses internal atau pengetahuan
khusus terhadap suatu merek memiliki standar etika yang lebih tinggi dan tidak
dapat sewenang-wenang mendaftarkan merek serupa setelah hubungan tersebut
berakhir.
3.
Pembatalan
sebagai Jalan Menuju Penghapusan
Secara
prosedural, putusan pengadilan dalam kasus ini adalah “pembatalan” (cancellation)
pendaftaran. Namun, implikasi praktisnya adalah perintah kepada DJKI untuk
melakukan “penghapusan” atau pencoretan merek-merek yang dibatalkan dari Daftar
Umum Merek. Ini menunjukkan hubungan kausalitas yang tak terpisahkan antara
putusan yudisial tentang pembatalan dan tindakan administratif penghapusan oleh
negara.
Implikasi dan Mitigasi Risiko
Dari seluruh uraian di atas, dapat disintesiskan bahwa penghapusan merek
dari Daftar Umum Merek merupakan suatu realitas hukum yang dapat terjadi
melalui tiga jalur: permintaan sukarela dari pemilik, inisiatif negara untuk
melindungi kepentingan publik, dan gugatan dari pihak ketiga. Dua penyebab
utama yang paling sering menimbulkan sengketa dan berujung pada penghapusan
adalah kelalaian dalam penggunaan merek secara komersial (non-use)
dan kecurangan atau itikad tidak baik dalam proses pendaftaran (bad faith).
Implikasi dari penghapusan sebuah merek sangatlah signifikan. Hal ini tidak
hanya berarti hilangnya hak eksklusif untuk menggunakan merek tersebut,
tetapi juga terbukanya peluang bagi kompetitor untuk mendaftarkan dan
menggunakan merek yang sama atau serupa. Lebih jauh, penghapusan dapat
merusak reputasi, citra, dan nilai investasi yang telah dibangun oleh
pemilik merek selama bertahun-tahun.
Oleh karena itu, sebagai manifestasi dari adagium
vigilantibus non dormientibus aequitas subvenit, para pemilik merek
harus senantiasa waspada dan proaktif dalam mengelola aset intelektual
mereka. Berikut adalah beberapa langkah mitigasi risiko yang dapat
ditempuh:
1.
Gunakan dan Dokumentasikan
Lakukan penggunaan komersial yang nyata dan konsisten atas merek terdaftar
pada setiap kelas barang dan/atau jasa yang didaftarkan. Simpan dan arsipkan
dengan baik seluruh bukti penggunaan, seperti faktur penjualan, materi
promosi, katalog produk, liputan media, dan bukti peredaran lainnya di
pasar.
2.
Lakukan Audit Portofolio Merek Secara Berkala
Secara rutin, tinjau kembali seluruh portofolio merek yang dimiliki.
Apabila terdapat merek yang sudah tidak lagi relevan atau tidak digunakan,
pertimbangkan untuk mengajukan penghapusan secara sukarela untuk efisiensi
dan untuk menghindari potensi gugatan di kemudian hari.
3.
Daftarkan dengan Itikad Baik
Sebelum mengajukan permohonan pendaftaran, lakukan penelusuran merek (trademark search) secara menyeluruh dan mendalam untuk memastikan tidak ada persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang telah terdaftar
lebih dahulu. Hindari mendaftarkan merek yang terinspirasi secara tidak
wajar atau meniru ketenaran merek kompetitor.
4.
Susun Perjanjian HKI yang Kuat
Dalam setiap bentuk kerja sama bisnis, kemitraan, atau perjanjian yang
melibatkan penggunaan merek (misalnya perjanjian lisensi, keagenan, atau
endorsement), pastikan terdapat klausul yang jelas, tegas, dan tidak
ambigu mengenai kepemilikan dan ruang lingkup penggunaan hak kekayaan
intelektual.
5.
Waspada dan Bertindak (Vigilance)
Lakukan pengawasan rutin terhadap publikasi Berita Resmi Merek untuk
memonitor permohonan-permohonan pendaftaran baru yang berpotensi melanggar
hak Anda. Jika ditemukan permohonan yang demikian, segera manfaatkan
mekanisme keberatan (opposition) dalam jangka waktu yang telah
ditentukan oleh undang-undang.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.