Pengantar
Dalam ekosistem bisnis kontemporer, paradigma valuasi sebuah entitas
korporasi telah bergeser secara fundamental. Nilai sebuah perusahaan tidak
lagi semata-mata diukur dari aset berwujud (tangible assets) seperti
properti, mesin produksi, atau inventaris. Aset tak berwujud (intangible assets), khususnya reputasi yang terwujud dalam konsep goodwill, telah
menjelma menjadi komponen paling krusial dan seringkali paling berharga
dalam portofolio aset perusahaan.
Goodwill
dapat didefinisikan sebagai “kekuatan penarik” (attractive force)
yang melekat pada sebuah bisnis, yang mendorong loyalitas dan kepercayaan
pelanggan, mencakup elemen-elemen esensial seperti nama merek yang dikenal,
hubungan baik dengan konsumen, dan citra kualitas yang terbangun dari waktu
ke waktu.
Dari sudut pandang akuntansi, goodwill merupakan nilai premium yang
dibayarkan dalam sebuah proses akuisisi di atas nilai wajar aset bersih yang
dapat diidentifikasi, yang secara efektif merepresentasikan nilai dari
aset-aset tak berwujud tersebut.
Meskipun sulit untuk dikuantifikasi secara finansial di luar konteks
transaksi korporasi, reputasi adalah buah dari investasi jangka panjang yang
melibatkan alokasi waktu, sumber daya finansial, dan komitmen tanpa henti
terhadap kualitas produk dan layanan. Reputasi merupakan fondasi utama dari
kepercayaan konsumen dan loyalitas merek, yang pada akhirnya menjadi motor
penggerak keunggulan kompetitif dan keberlanjutan pertumbuhan bisnis dalam
jangka panjang.
Namun, di sinilah letak sebuah paradoks hukum yang menjadi inti dari
diskursus ini: bagaimana sistem hukum memberikan perlindungan terhadap aset
yang begitu vital ini ketika ia belum diformalkan melalui mekanisme
pendaftaran merek? Fenomena ini jamak terjadi, terutama di kalangan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang seringkali berhasil membangun
reputasi yang kokoh di pasar lokal atau komunitas tertentu jauh sebelum
mereka memahami urgensi atau memiliki sumber daya untuk melakukan
pendaftaran merek secara formal.
Kondisi ini menciptakan suatu celah kerentanan yang signifikan, di mana
pihak ketiga yang beritikad tidak baik dapat mengeksploitasi situasi dengan
“membonceng” ketenaran atau bahkan “mendahului” mendaftarkan merek yang sama
atau serupa. Tindakan semacam ini pada hakikatnya merupakan pencurian aset
reputasi yang telah dibangun dengan jerih payah oleh pihak pertama.
Artikel ini berargumen bahwa meskipun sistem hukum merek di Indonesia
secara formal berlandaskan pada asas konstitutif (first-to-file), di
mana hak eksklusif timbul dari pendaftaran, hukum tidaklah buta terhadap
realitas komersial dan prinsip keadilan yang lebih tinggi. Melalui doktrin
“itikad baik” (good faith) yang menjadi jantung dari Undang-Undang
Merek dan konsep Perbuatan Melawan Hukum dalam ranah hukum perdata, kerangka
hukum Indonesia sesungguhnya menyediakan mekanisme perlindungan yang
substansial bagi reputasi sebuah merek, sekalipun merek tersebut belum
terdaftar.
Untuk membingkai argumen ini, relevan untuk merujuk pada adagium hukum
Latin yang fundamental yaitu Fraus Omnia Vitiat, yang berarti “kecurangan membatalkan segalanya”, serta
Pacta Sunt Servanda, yang menegaskan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Kedua adagium ini menggarisbawahi sebuah prinsip universal bahwa hukum pada
dasarnya tidak akan memberikan legitimasi atau perlindungan terhadap
tindakan yang dilandasi oleh niat buruk atau kecurangan, sebuah prinsip yang
akan menjadi benang merah dalam keseluruhan analisis yuridis dalam artikel
ini.
Kerangka Hukum Merek di Indonesia: Itikad Baik sebagai Sentral Perlindungan
Sistem hukum merek di Indonesia secara tegas menganut asas pendaftaran
pertama, atau yang lebih dikenal dengan asas konstitutif. Fondasi yuridis
dari asas ini tertuang dalam
Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Merek dan Indikasi Geografis, yang selanjutnya disebut dengan “UU MIG”, yang menyatakan:
“Hak atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar.”.
Implikasi logis dari asas ini adalah bahwa tindakan pendaftaran merupakan
syarat mutlak (conditio sine qua non) untuk memperoleh hak eksklusif
atas suatu merek. Secara teoretis, pihak yang pertama kali berhasil
mendaftarkan mereknya di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI)
akan diakui sebagai pemilik yang sah, terlepas dari siapa pihak yang pertama
kali menggunakan atau mempopulerkan merek tersebut di dalam perdagangan.
Sistem ini dirancang untuk memberikan kepastian hukum yang tinggi bagi para
pelaku usaha yang telah secara proaktif melindungi aset intelektual mereka.
Itikad Tidak Baik: Pengecualian Substantif terhadap Asas Konstitutif
Meskipun asas konstitutif tampak rigid, UU MIG menanamkan sebuah “katup
pengaman” yang berlandaskan pada prinsip keadilan substantif, yaitu doktrin
itikad baik. Prinsip ini berfungsi sebagai pengecualian fundamental yang
mencegah penyalahgunaan asas first-to-file.
Pasal 21 ayat (3) UU MIG secara lugas menyatakan:
“Permohonan ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak
baik.”.
Kekuatan dari pasal ini terletak pada penjelasannya, yang memberikan
definisi yuridis mengenai apa yang dimaksud dengan itikad tidak baik.
Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UU MIG menguraikan:
“Yang dimaksud dengan ‘Pemohon yang beriktikad tidak baik’ adalah Pemohon
yang patut diduga dalam mendaftarkan Mereknya memiliki niat untuk meniru,
menjiplak, atau mengikuti Merek pihak lain demi kepentingan usahanya,
menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau
menyesatkan konsumen.”
Analisis mendalam terhadap penjelasan ini menyingkapkan beberapa frasa
kunci. Frasa “mengikuti Merek pihak lain demi kepentingan usahanya” dan
“menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat” secara implisit mengakui
eksistensi dan nilai dari “Merek pihak lain” yang reputasinya layak untuk
dilindungi, meskipun merek tersebut belum terdaftar secara formal.
Dengan demikian, hukum tidak hanya melihat status pendaftaran, tetapi juga
motif dan dampak dari tindakan pendaftaran itu sendiri. Ini menunjukkan
bahwa di Indonesia, konsep “itikad tidak baik” berfungsi sebagai jembatan
hukum yang memungkinkan perlindungan reputasi tanpa harus meninggalkan asas
konstitutif secara total. Ia menjadi mekanisme substitusi yang dirancang
untuk mencapai tujuan yang sama dengan doktrin passing off di negara
common law, yaitu mencegah perampasan goodwill secara tidak
adil.
Ketiadaan Definisi “Reputasi” dan Implikasinya
Secara kritis, perlu dicatat bahwa UU MIG tidak menyediakan definisi
eksplisit mengenai “reputasi” atau goodwill dalam konteks merek
dagang secara umum. Namun, menariknya, konsep ini justru muncul dalam
pengaturan mengenai Indikasi Geografis.
Pasal 1 Angka 6 UU MIG mendefinisikan Indikasi Geografis
sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena
faktor lingkungan geografisnya memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang yang dihasilkan.
Kehadiran istilah “reputasi” dalam bagian lain dari undang-undang yang sama
menandakan bahwa legislator sesungguhnya mengakui reputasi sebagai sebuah
konsep yuridis yang bernilai. Ketiadaan definisi formal untuk merek pada
praktiknya diisi oleh yurisprudensi dan doktrin hukum, di mana hakim dalam
memeriksa sengketa akan menilai eksistensi reputasi sebuah merek tidak
terdaftar berdasarkan serangkaian bukti, seperti intensitas penggunaan merek
dalam perdagangan, jangkauan dan biaya promosi yang telah dikeluarkan, serta
tingkat pengakuan merek tersebut di kalangan konsumen yang relevan.
Mekanisme Perlindungan Represif
Perlindungan yang diberikan oleh UU MIG tidak hanya bersifat preventif
(melalui penolakan permohonan pendaftaran), tetapi juga bersifat represif,
yaitu melalui mekanisme pembatalan merek yang telah terdaftar.
Pasal 76 ayat (2) UU MIG secara khusus memberikan hak kepada
pemilik merek tidak terdaftar untuk mengajukan gugatan pembatalan terhadap
merek terdaftar yang didasarkan pada alasan pendaftaran dengan itikad tidak
baik.
Kekuatan perlindungan ini semakin dipertegas oleh
Pasal 77 ayat (2) UU MIG, yang menyatakan bahwa gugatan pembatalan yang didasarkan pada unsur
itikad tidak baik dapat diajukan tanpa batas waktu. Hal ini merupakan
sebuah pengecualian penting dari ketentuan umum dalam Pasal 77 ayat (1) yang
membatasi pengajuan gugatan pembatalan dalam jangka waktu 5 tahun sejak
tanggal pendaftaran merek. Ketentuan ini menggarisbawahi bahwa tindakan yang
didasari oleh itikad buruk tidak akan pernah mendapatkan legitimasi hukum,
tidak peduli berapa lama waktu telah berlalu.
Doktrin Passing Off: Instrumen Perlindungan bagi Merek Tidak Terdaftar di Indonesia
Definisi dan Tiga Unsur Klasik (The Classic Trinity)
Passing off
adalah sebuah doktrin yang lahir dari tradisi hukum common law, yang
secara esensial merupakan sebuah tort (perbuatan melawan hukum) yang
dirancang khusus untuk melindungi properti tak berwujud dalam bentuk
goodwill atau reputasi bisnis dari tindakan misrepresentasi oleh
pihak lain yang dapat merugikan. Untuk berhasil dalam gugatan
passing off, penggugat harus membuktikan tiga elemen fundamental yang
dikenal sebagai “the classic trinity”:
1.
Goodwill atau Reputasi
Penggugat wajib membuktikan bahwa merek, nama, atau “get-up”
(tampilan visual produk, termasuk kemasan dan warna) miliknya telah
memperoleh reputasi yang signifikan di pasar, sehingga konsumen secara
mental mengasosiasikannya dengan produk atau jasa yang ditawarkan oleh
penggugat;
2.
Misrepresentation (Salah Representasi)
Tergugat, melalui tindakannya (baik disengaja maupun tidak), telah membuat
sebuah representasi yang salah kepada publik. Misrepresentasi ini
menyebabkan atau berpotensi menyebabkan publik percaya bahwa produk atau
jasa yang ditawarkan oleh tergugat berasal dari, disetujui oleh, atau
memiliki afiliasi komersial dengan penggugat;
3.
Damage (Kerugian)
Penggugat harus dapat membuktikan bahwa ia telah mengalami atau sangat
mungkin akan mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari misrepresentasi
yang dilakukan oleh tergugat. Kerugian ini dapat bermanifestasi dalam
berbagai bentuk, seperti hilangnya volume penjualan, kerusakan pada reputasi
merek, atau dilusi (penurunan daya pembeda) dari merek tersebut.
Dasar Hukum Passing Off dalam Konteks Hukum Indonesia
Sebagaimana telah diuraikan, UU MIG tidak secara eksplisit mengadopsi atau
mengatur doktrin passing off. Namun, substansi dan tujuan dari
doktrin ini—yaitu melindungi reputasi dari persaingan curang—tetap dapat
ditegakkan dalam sistem hukum Indonesia melalui kombinasi dua pilar hukum
yang saling melengkapi:
1.
UU MIG (melalui Itikad Tidak Baik)
Seperti yang telah dianalisis secara mendalam, ketentuan mengenai itikad
tidak baik dalam UU MIG berfungsi sebagai dasar hukum spesialis (lex specialis) di bidang Kekayaan Intelektual. Jalur ini digunakan ketika pelaku
persaingan curang telah mendaftarkan mereknya, sehingga upaya hukum yang
ditempuh adalah gugatan pembatalan pendaftaran merek tersebut.
2.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (melalui Perbuatan Melawan Hukum)
Untuk kasus di mana pelaku belum atau tidak mendaftarkan mereknya, namun
tindakannya di pasar telah merusak reputasi dan menyesatkan konsumen,
pemilik merek tidak terdaftar dapat menggunakan dasar gugatan umum (lex generalis). Dasar hukumnya adalah
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, selanjutnya disebut dengan
“KUHPerdata”, yang menyatakan:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.”. Tindakan “membonceng reputasi” yang menyesatkan konsumen dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan yang melanggar kepatutan dan kejujuran
dalam masyarakat, sehingga memenuhi unsur perbuatan melawan hukum.
Dualisme jalur hukum ini memberikan fleksibilitas strategis bagi pemilik
merek tidak terdaftar. Jika peniru telah mendaftarkan mereknya, jalur UU MIG
melalui gugatan pembatalan adalah yang paling tepat. Namun, jika peniru
hanya menggunakan merek tersebut di pasar tanpa mendaftarkannya, gugatan
Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan KUHPerdata menjadi satu-satunya jalan
untuk menuntut ganti rugi dan penghentian perbuatan.
Kegunaan dan Relevansi Passing Off
Pemahaman terhadap prinsip-prinsip passing off tetap sangat relevan
dalam konteks hukum Indonesia. Pertama, doktrin ini memberikan perlindungan
yang lebih luas, tidak hanya pada nama merek, tetapi juga pada elemen-elemen
lain yang membentuk identitas bisnis, seperti desain kemasan
(get-up), slogan, atau skema warna khas, yang mungkin tidak semuanya
dapat didaftarkan sebagai merek.
Kedua, pemahaman atas tiga elemen klasik passing off memberikan
kerangka konseptual yang solid bagi hakim dan praktisi hukum dalam
menafsirkan dan membuktikan unsur “itikad tidak baik” dan “persaingan usaha
tidak sehat” dalam sengketa merek di pengadilan. Ia membantu menjawab
pertanyaan fundamental yaitu apakah suatu tindakan benar-benar merupakan
upaya tidak jujur untuk mengambil keuntungan dari reputasi yang dibangun
oleh pihak lain?
Analisis Komparatif Doktrin Passing Off di Berbagai Yurisdiksi
Untuk memahami posisi hukum Indonesia secara lebih komprehensif, penting
untuk melakukan analisis perbandingan dengan yurisdiksi lain yang memiliki
tradisi hukum berbeda.
-
Indonesia
Perlindungan terhadap reputasi merek tidak terdaftar di Indonesia bersifat
implisit, ditegakkan melalui konsep “itikad tidak baik” dalam UU MIG dan
“Perbuatan Melawan Hukum” dalam KUHPerdata. Fokus utama pembuktian adalah
pada niat atau motif dari pendaftar atau pengguna kedua, yaitu adanya “niat
untuk meniru atau membonceng” ketenaran. Kelemahannya terletak pada potensi
subjektivitas dalam interpretasi hakim dan ketiadaan kerangka tiga elemen
yang terstruktur seperti di negara-negara common law;
-
Australia
Menganut passing off sebagai common law tort yang melindungi
properti dalam bentuk goodwill. Sebuah konsep kunci yang sangat
relevan di era global adalah “spillover reputation” (reputasi yang
melintas batas). Dalam putusan penting
ConAgra Inc v McCain Foods (Aust) Pty Ltd, pengadilan Australia
mengakui bahwa reputasi sebuah merek dapat eksis di suatu negara meskipun
perusahaan tersebut belum memiliki kehadiran bisnis fisik di sana, asalkan
reputasi tersebut telah “melintas” melalui media internasional, pariwisata,
atau internet;
-
Singapura:
Mengadopsi “Classic Trinity” (Goodwill, Misrepresentation, Damage)
secara ketat. Yurisprudensi Singapura, terutama dalam kasus
Novelty Pte Ltd v Amanresorts Ltd, menunjukkan bahwa pembuktian
goodwill tidak harus mencakup masyarakat umum. Goodwill dapat
diakui eksis meskipun hanya terbatas pada segmen pasar yang sangat spesifik
dan terbatas (niche market), seperti kalangan konsumen produk mewah.
Ini memberikan perlindungan yang kuat bagi merek-merek premium atau
business-to-business (B2B);
-
Amerika Serikat:
Passing off merupakan bagian dari kerangka hukum yang lebih luas yang
disebut Unfair Competition (persaingan tidak sehat), yang diatur di
tingkat federal melalui Lanham Act (15 U.S.C. § 1125(a)) dan hukum di
tingkat negara bagian. Fokus utamanya adalah mencegah kebingungan di benak
konsumen (likelihood of confusion) dan praktik dagang yang tidak
jujur secara umum. Namun, perlindungan ini memiliki batasan penting. Doktrin
fungsionalitas, sebagaimana ditegaskan dalam kasus legendaris
Kellogg Co. v. National Biscuit Co., menyatakan bahwa fitur produk
yang bersifat fungsional dan nama yang telah menjadi generik tidak dapat
dimonopoli melalui hukum merek setelah paten terkait berakhir. Hal ini
menciptakan keseimbangan antara perlindungan HKI dan kepentingan publik
untuk terciptanya persaingan yang sehat.
Yurisprudensi sebagai Cerminan Penegakan Hukum: Studi Kasus di Indonesia
Analisis terhadap putusan-putusan pengadilan di Indonesia memberikan
gambaran nyata mengenai bagaimana prinsip-prinsip di atas diterapkan dalam
praktik, sekaligus menyoroti adanya dinamika dan terkadang inkonsistensi
dalam penegakan hukum.
Kasus IKEA: Dilema Merek Terkenal vs. Kewajiban Penggunaan
Dalam
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 264 K/Pdt.Sus-HKI/2015.,
tertanggal 12 Mei 2015
, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari Inter IKEA System B.V.
(Swedia) dan menguatkan putusan pengadilan sebelumnya yang menghapuskan
pendaftaran merek “IKEA” di Indonesia untuk kelas barang tertentu. Gugatan
penghapusan ini diajukan oleh PT Ratania Khatulistiwa, sebuah perusahaan
lokal, dengan dalil bahwa merek IKEA tidak digunakan secara komersial di
Indonesia selama tiga tahun berturut-turut, sesuai dengan ketentuan UU Merek
yang berlaku saat itu (kini diatur dalam Pasal 74 UU MIG). Putusan
ini menjadi preseden penting yang menegaskan bahwa status sebagai merek
terkenal global tidak memberikan imunitas terhadap kewajiban hukum domestik.
Reputasi internasional saja tidak cukup untuk mempertahankan hak atas merek
terdaftar jika kewajiban esensial seperti penggunaan merek diabaikan.
Kasus Pierre Cardin: Pertarungan Asas First-to-File vs. Ketenaran Internasional
Kasus ini, yang diputus melalui
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 557 K/Pdt.Sus-HKI/2015.,
tertanggal 30 November 2015, menjadi contoh kontroversial mengenai penerapan asas
first-to-file. Mahkamah Agung menolak gugatan pembatalan yang
diajukan oleh Pierre Cardin dari Prancis terhadap seorang pengusaha
Indonesia yang telah mendaftarkan merek “Pierre Cardin” jauh lebih dahulu,
yaitu pada tahun 1977. Pertimbangan utama hakim adalah bahwa pada saat
pendaftaran lokal dilakukan, merek Pierre Cardin belum dapat dibuktikan
keterkenalannya di Indonesia, sehingga pendaftar pertama dianggap berhak
atas merek tersebut. Putusan ini menunjukkan betapa kaku penerapan asas
first-to-file dapat mengalahkan perlindungan terhadap merek dengan
reputasi global, menyoroti risiko bagi merek internasional yang tidak
proaktif dalam melakukan pendaftaran di yurisdiksi kunci seperti
Indonesia.
Kasus Superman: Model Pembuktian Itikad Tidak Baik
Berbeda dengan dua kasus sebelumnya,
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
29/Pdt.Sus/Merek/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst., tertanggal 25 November 2020, menjadi contoh bagaimana pengadilan dapat secara efektif menerapkan
doktrin itikad tidak baik. Dalam kasus ini, DC Comics (pemilik karakter dan
merek “Superman”) berhasil menggugat pembatalan merek “Superman” yang
didaftarkan oleh PT Marxing Fam Makmur untuk produk wafer. Majelis Hakim
secara cermat mengidentifikasi unsur-unsur peniruan yang menunjukkan niat
buruk tergugat, yaitu penggunaan nama “SUPERMAN”, logo “S” yang ikonik, dan
gambar karakter yang secara kumulatif tidak mungkin bersifat kebetulan dan
jelas bertujuan untuk membonceng ketenaran yang telah dibangun oleh DC
Comics. Putusan ini berfungsi sebagai yurisprudensi penting yang memberikan
panduan praktis tentang bagaimana unsur itikad tidak baik dapat dibuktikan
di pengadilan, menunjukkan bahwa jika bukti peniruan kuat dan sistematis,
pengadilan bersedia mengesampingkan formalitas pendaftaran pertama.
Yurisprudensi Internasional: Preseden Penting dalam Sengketa Passing Off
Australia - ConAgra Inc v McCain Foods (Aust) Pty Ltd FCA 176
Dalam kasus ini, ConAgra memiliki merek makanan beku “Healthy Choice” yang
sangat sukses di Amerika Serikat tetapi belum dijual di Australia. McCain
Foods Australia kemudian meluncurkan produk serupa dengan nama dan kemasan
yang mirip. Pengadilan Federal Australia menetapkan sebuah prinsip yang
sangat berpengaruh yaitu untuk memiliki reputasi yang dapat dilindungi
melalui passing off, sebuah perusahaan tidak diwajibkan untuk telah
melakukan kegiatan bisnis di yurisdiksi tersebut. Reputasi dapat “melintas”
(spill over) melalui media, perjalanan internasional, dan iklan.
Kunci pembuktiannya adalah apakah ada “sejumlah besar yang tidak signifikan”
dari konsumen potensial di Australia yang mengenali merek tersebut. Putusan
ini sangat relevan dalam konteks ekonomi global, di mana reputasi sebuah
merek seringkali mendahului kehadiran fisiknya di suatu negara.
Singapura - Novelty Pte Ltd v Amanresorts Ltd 3 SLR(R) 216
Amanresorts, operator resor ultra-mewah, menggunakan nama “Amanusa” untuk
salah satu resornya di Bali. Sebuah pengembang properti di Singapura,
Novelty Pte Ltd, menamai proyek kondominiumnya “Amanusa”. Pengadilan Banding
Singapura menguatkan bahwa Amanresorts memiliki goodwill yang dapat
dilindungi di Singapura, meskipun basis pelanggannya adalah segmen pasar
yang sangat kecil dan eksklusif (kalangan sangat kaya).
Putusan ini menegaskan bahwa goodwill tidak perlu dimiliki oleh
masyarakat umum; cukup jika ia eksis di “sektor publik yang relevan” dengan
bisnis penggugat. Penggunaan nama yang sama oleh Novelty dianggap sebagai
misrepresentasi yang berpotensi merusak goodwill Amanresorts melalui
dilusi merek dan hilangnya peluang lisensi.
Amerika Serikat - Kellogg Co. v. National Biscuit Co., 305 U.S.
111 (1938)
Kasus ini menetapkan batas-batas penting dalam perlindungan merek. National
Biscuit Co. (Nabisco) adalah produsen sereal “Shredded Wheat” dan memegang
paten atas mesin dan desain produknya yang berbentuk bantal. Setelah paten
tersebut berakhir, Kellogg mulai memproduksi sereal yang identik. Mahkamah
Agung AS memutuskan bahwa setelah paten berakhir, baik bentuk fungsional
produk (bentuk bantal) maupun nama generiknya (“shredded wheat”)
menjadi milik domain publik dan dapat digunakan oleh siapa saja. Kewajiban
kompetitor hanyalah untuk secara jelas mengidentifikasi diri sebagai
produsen pada kemasan untuk menghindari kebingungan.
Berbagi goodwill dari sebuah artikel yang tidak lagi dilindungi
paten atau merek dagang bukanlah bentuk persaingan tidak sehat. Putusan ini
menjadi pilar doktrin fungsionalitas, yang menegaskan bahwa hukum merek
tidak boleh disalahgunakan untuk memperpanjang monopoli paten secara tidak
terbatas demi menjaga persaingan yang sehat.
Sintesis dan Arah Perlindungan Hukum di Masa Depan
Analisis komprehensif ini menunjukkan bahwa reputasi sebuah merek yang
belum terdaftar di Indonesia, meskipun secara formal tidak mendapatkan
pengakuan hak eksklusif di bawah asas konstitutif, pada kenyataannya
dilindungi secara substansial. Perlindungan ini terwujud melalui dua
instrumen hukum utama: doktrin itikad tidak baik yang tertanam kuat dalam UU
MIG, dan prinsip umum Perbuatan Melawan Hukum yang diatur dalam KUHPerdata.
Keduanya berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap praktik persaingan
usaha tidak sehat yang merugikan.
Namun, yurisprudensi di Indonesia menunjukkan adanya sebuah tensi yang
berkelanjutan antara dua kutub: di satu sisi, keinginan untuk menegakkan
kepastian hukum yang rigid melalui asas first-to-file (seperti dalam
kasus Pierre Cardin), dan di sisi lain, dorongan untuk mencapai
keadilan substantif dengan menghukum pendaftaran yang didasari niat buruk
(seperti dalam kasus Superman). Sementara itu, analisis komparatif
dengan yurisdiksi common law menunjukkan bahwa meskipun pendekatan
Indonesia unik karena sistem hukumnya, tujuannya tetap sejalan, yaitu untuk
melindungi goodwill dari perampasan yang tidak adil.
Rekomendasi Strategis
Berdasarkan temuan di atas, beberapa rekomendasi strategis dapat
dirumuskan:
-
Bagi Pelaku Usaha:
Langkah paling krusial dan preventif adalah pendaftaran dini. Jangan
menunggu hingga reputasi terbangun dan menjadi target pihak lain.
Pendaftaran merek harus dipandang sebagai investasi fundamental, bukan biaya
administratif. Namun, jika pendaftaran terlambat dilakukan, pelaku usaha
harus secara cermat dan sistematis mengumpulkan segala bentuk bukti yang
menunjukkan penggunaan awal, intensitas promosi, investasi, dan tingkat
pengakuan publik. Bukti-bukti ini akan menjadi amunisi utama untuk membangun
argumen itikad tidak baik terhadap peniru di kemudian hari;
-
Bagi Praktisi Hukum:
Dalam menangani sengketa merek, terutama yang melibatkan merek tidak
terdaftar, fokus utama litigasi harus diarahkan pada pembuktian unsur niat
buruk atau itikad tidak baik dari pihak lawan. Argumen tidak boleh hanya
berhenti pada klaim sebagai “pemakai pertama”, tetapi harus secara detail
menunjukkan bagaimana tindakan pendaftar kedua merupakan upaya sistematis
untuk “meniru, menjiplak, atau mengikuti” ketenaran yang telah ada.
Prinsip-prinsip dari yurisprudensi passing off internasional dapat
digunakan sebagai argumen persuasif untuk memperkaya penafsiran mengenai apa
yang dimaksud dengan “persaingan usaha tidak sehat” dan “menyesatkan
konsumen” dalam konteks UU MIG;
-
Arah Legislasi di Masa Depan:
Ke depan, perlu adanya refleksi mengenai apakah Indonesia perlu
mempertimbangkan untuk mengadopsi ketentuan yang lebih eksplisit mengenai
perlindungan terhadap pemakai pertama yang beritikad baik atau pengaturan
yang lebih detail mengenai persaingan curang dalam konteks merek. Hal ini
tidak harus berarti meninggalkan asas konstitutif sepenuhnya, tetapi dapat
berupa penyempurnaan yang memberikan kepastian hukum lebih besar dan
memperkuat perlindungan terhadap aset reputasi yang vital bagi kesehatan dan
keadilan ekosistem ekonomi nasional.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda
melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.