layananhukum

Apa itu Perjanjian Lisensi dalam Paten Kenapa Harus Tertulis dan Terdaftar Dalam Daftar Umum Paten?

 

Pertanyaan

Selamat pagi Pak Eka, saya mau nanya. Belakangan ini saya mengamati meningkatnya sengketa paten global yang dampaknya terasa hingga ke Indonesia, salah satu contohnya yang cukup menonjol adalah kasus antara raksasa teknologi Nokia melawan perusahaan domestik PT Bright Mobile Telecommunication (vide Putusan Mahkamah Agung Nomor 132 K/Pdt.Sus-HKI/2023).

Kasus ini membuat saya berpikir tentang risiko signifikan yang dihadapi para pelaku usaha di sini. Yang menjadi pertanyaan saya, mengapa sebuah perusahaan yang mungkin sudah dalam tahap negosiasi atau bahkan merasa telah mencapai kesepakatan lisan untuk menggunakan suatu teknologi, pada akhirnya tetap dapat dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran paten dengan konsekuensi hukum yang begitu berat?

Dan lebih lanjut, bagaimana sebenarnya kerangka hukum di Indonesia, khususnya melalui Undang-Undang Paten, secara spesifik mengatur mekanisme perjanjian lisensi untuk memberikan kepastian hukum, mencegah sengketa semacam ini, dan yang terpenting, memberikan perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang berkepentingan? Demikian, sekian dan terima kasih. Mohon dapat dijawab dengan sederhana namun lengkap.

Jawaban

Pengantar

Sebelumnya Anda boleh membaca terlebih dahulu Artikel kami sebelumnya yang berjudul “Begini Aturan tentang Paten yang Wajib Kamu Ketahui” agar pemahaman yang Anda dapatkan komprehensif mengenai tulisan kami ini. Ya, sebagai hukum ekonomi yang berbasis pengetahuan, paten memegang peranan strategis sebagai instrumen yuridis yang melindungi invensi di bidang teknologi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten selanjutnya disebut “UU Paten” secara tegas mengakui paten sebagai kekayaan intelektual yang diberikan oleh negara untuk mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.

Paten memberikan hak eksklusif kepada inventor atau pemegang paten, sebuah monopoli temporer yang sah untuk mengimplementasikan invensinya. Namun, hak eksklusif ini seringkali menjadi laten dan tidak menghasilkan nilai ekonomi optimal jika hanya dimiliki secara pasif. 

Jembatan yang menghubungkan antara invensi sebagai hak eksklusif dan inovasi sebagai manfaat ekonomi adalah komersialisasi, dan instrumen hukum yang paling fundamental dalam proses ini adalah perjanjian lisensi.  

Perjanjian lisensi memungkinkan pemegang paten untuk memberikan izin kepada pihak lain guna memanfaatkan invensinya secara komersial, sebagai imbalan atas royalti atau bentuk kompensasi lainnya. Mekanisme ini tidak hanya mempercepat difusi teknologi ke pasar, tetapi juga menjadi sumber pendapatan signifikan bagi pemegang paten.

Meskipun demikian, praktik komersialisasi ini sarat dengan potensi sengketa yang kompleks, mulai dari perselisihan mengenai ruang lingkup hak yang dilisensikan, wanprestasi pembayaran royalti, hingga konflik dengan pihak ketiga yang turut berkepentingan dalam lanskap industri. Menyadari kompleksitas ini, pembentuk undang-undang di Indonesia tidak menyerahkan pengaturan perjanjian lisensi paten semata-mata pada ranah kebebasan berkontrak dalam hukum perdata. Sebaliknya, UU Paten menetapkan dua imperatif yang bersifat wajib yaitu perjanjian lisensi harus dibuat dalam bentuk tertulis dan dicatatkan pada Daftar Umum Paten yang diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Artikel ini akan mengupas secara komprehensif dan kritis mengenai urgensi kedua kewajiban tersebut. Tesis sentral yang diajukan adalah bahwa kewajiban formalitas (bentuk tertulis) dan publisitas (pendaftaran) bagi perjanjian lisensi paten bukanlah sekadar beban administratif. Keduanya merupakan konstruksi yuridis yang secara fundamental dirancang untuk mentransformasikan sebuah kesepakatan privat (antara pemberi dan penerima lisensi) menjadi sebuah fakta hukum yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna dan akibat hukum yang mengikat pihak ketiga. Kepatuhan terhadap kedua syarat ini adalah fondasi dari kepastian hukum, perlindungan para pihak, dan tertib hukum dalam lalu lintas komersialisasi paten di Indonesia.

Tulisan ini kami rangkum agar menunjukkan kepada Anda bahwa kewajiban ganda ini menandakan adanya pergeseran paradigma dalam hukum paten Indonesia. Hukum tidak lagi memandang lisensi sebagai kontrak perdata biasa yang sepenuhnya tunduk pada asas kebebasan berkontrak, melainkan sebagai perbuatan hukum yang memiliki dimensi publik dan berdampak pada ekosistem ekonomi yang lebih luas. Pada dasarnya, sebuah perjanjian lisensi berakar pada hukum perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata).

Namun, UU Paten, sebagai lex specialis, menyimpangi dari asas konsensualisme murni dengan menambahkan syarat formalitas dan publisitas. Penyimpangan ini diperlukan karena objek perjanjian (yaitu paten) adalah hak eksklusif yang bersifat monopoli temporer dan diberikan oleh negara. Hak ini memiliki dampak langsung terhadap publik, termasuk kompetitor, konsumen, dan kepentingan nasional secara umum.

Oleh karena itu, negara, melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), memiliki kepentingan untuk mengetahui, mengawasi, dan mempublikasikan setiap bentuk pemanfaatan hak eksklusif tersebut. Pendaftaran berfungsi sebagai mekanisme pengawasan negara untuk memastikan perjanjian tidak memuat klausula yang merugikan kepentingan nasional sebagaimana dilarang dalam Pasal 78 UU Paten, sekaligus memberikan kepastian hukum kepada pihak ketiga.

Dengan demikian, perjanjian lisensi paten dapat dipandang sebagai sebuah kontrak hibrida yaitu Dimana ia berakar pada hukum privat, tetapi memiliki konsekuensi dan persyaratan hukum publik yang kuat. Kegagalan memenuhi syarat publik ini akan “menurunkan derajat” perjanjian tersebut, membuatnya tidak efektif terhadap dunia luar.  

Hakikat Paten sebagai Hak Eksklusif Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016

Menurut ketentuan Pasal 1 Angka 1 UU Paten:

“Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya”.

Definisi ini mengandung beberapa elemen fundamental. Pertama, paten adalah hak yang bersifat eksklusif, artinya hanya pemegang paten yang berhak secara hukum untuk mengeksploitasi invensi tersebut secara komersial. Kedua, hak ini diberikan oleh negara, yang menegaskan bahwa paten bukanlah hak yang timbul secara alamiah, melainkan melalui proses permohonan dan pemeriksaan substantif yang ketat oleh otoritas negara. Ketiga, objek perlindungannya adalah invensi di bidang teknologi yang memenuhi syarat kebaruan, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri.  

Sifat eksklusif ini dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 19 UU Paten, yang memberikan hak kepada pemegang paten untuk melaksanakan paten yang dimilikinya dan untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan serangkaian perbuatan, antara lain  membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, atau menyerahkan produk yang diberi paten. Hak untuk melarang inilah yang menjadi inti dari nilai ekonomi sebuah paten.

Sebagai sebuah hak milik perseorangan yang tidak berwujud, paten dapat dialihkan, diwariskan, atau bahkan dijadikan objek jaminan fidusia, yang menegaskan posisinya sebagai aset berharga dalam dunia bisnis.  

Definisi, Sifat, dan Ruang Lingkup Perjanjian Lisensi Paten

Jika hak eksklusif adalah benteng pertahanan yuridis, maka perjanjian lisensi adalah gerbang yang memungkinkan pemanfaatan ekonomi dari invensi yang dilindungi. Pasal 1 Angka 11 UU Paten mendefinisikan lisensi sebagai

“izin yang diberikan oleh pemegang paten, baik yang bersifat eksklusif maupun non-eksklusif, kepada penerima lisensi berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Paten yang masih dilindungi dalam jangka waktu dan syarat tertentu”.  

Dari definisi ini, terlihat bahwa lisensi pada hakikatnya adalah sebuah izin atau privilese yang bersifat kontraktual. Melalui lisensi, perbuatan yang semula dilarang oleh Pasal 19 UU Paten menjadi sah untuk dilakukan oleh penerima lisensi. Tanpa lisensi, setiap pemanfaatan komersial atas invensi yang dipatenkan oleh pihak lain akan terkualifikasi sebagai pelanggaran paten. Sebagai imbalan atas izin ini, penerima lisensi umumnya diwajibkan membayar royalti atau memberikan manfaat ekonomi lain kepada pemegang paten.  

Ruang lingkup perjanjian lisensi bersifat fleksibel. Pasal 76 UU Paten menyatakan bahwa perjanjian lisensi dapat mencakup semua atau sebagian dari perbuatan yang termasuk dalam hak eksklusif pemegang paten. Sebagai contoh, sebuah lisensi dapat terbatas hanya untuk memproduksi di wilayah tertentu, atau hanya untuk menjual produk di pasar domestik, atau kombinasi keduanya. Perjanjian ini juga dibatasi oleh jangka waktu dan berlaku di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali diperjanjikan lain.  

Tipologi Perjanjian Lisensi dalam Praktik dan Regulasi

Hukum paten Indonesia mengakui beberapa jenis lisensi yang dapat diklasifikasikan berdasarkan sumber atau dasar pemberiannya, yaitu atas dasar kesepakatan para pihak (sukarela) atau atas dasar keputusan pemerintah.

Lisensi yang lahir dari negosiasi dan kesepakatan bebas antara pemegang paten dan calon pengguna teknologi dikenal sebagai Lisensi Sukarela (Voluntary Licensing). Ini adalah bentuk lisensi yang paling umum dan terbagi menjadi dua jenis utama. Pertama, Lisensi Eksklusif, di mana pemegang paten memberikan izin hanya kepada satu penerima lisensi tunggal untuk melaksanakan paten dalam wilayah dan jangka waktu tertentu. Konsekuensinya, pemegang paten sendiri tidak lagi dapat memberikan lisensi kepada pihak lain di wilayah yang sama. Kedua, Lisensi Non-Eksklusif, di mana pemegang paten memberikan izin kepada satu pihak, namun tetap berhak untuk memberikan izin serupa kepada pihak-pihak lain secara bersamaan. Dalam skema ini, pemegang paten juga secara otomatis tetap berhak melaksanakan sendiri patennya, kecuali diperjanjikan sebaliknya, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU Paten.  

Dalam situasi tertentu, negara dapat mengintervensi hak eksklusif pemegang paten demi kepentingan publik yang lebih besar. Intervensi ini dapat berupa Lisensi Wajib (Compulsory License), yaitu lisensi untuk melaksanakan paten yang diberikan berdasarkan Keputusan Menteri tanpa memerlukan persetujuan dari pemegang paten. Permohonan lisensi wajib dapat diajukan oleh pihak ketiga dengan alasan bahwa pemegang paten tidak melaksanakan patennya di Indonesia dalam jangka waktu 36 bulan setelah paten diberikan, atau paten dilaksanakan dalam bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat.

Selain itu, terdapat pula mekanisme Pelaksanaan oleh Pemerintah (Government Use), di mana Pemerintah dapat melaksanakan sendiri suatu paten yang ada di Indonesia tanpa persetujuan pemegang paten. Hal ini dapat dilakukan jika berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara atau untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak bagi kepentingan masyarakat, seperti penanggulangan wabah penyakit. Dalam kedua mekanisme ini, pemerintah akan menetapkan imbalan yang wajar kepada pemegang paten.  

Di luar klasifikasi tersebut, dalam praktik bisnis dikenal pula Lisensi Silang (Cross-Licensing). Mekanisme ini terjadi ketika dua atau lebih pemegang paten saling memberikan lisensi atas paten yang mereka miliki. Hal ini sering terjadi dalam industri teknologi kompleks di mana suatu produk baru mungkin memerlukan penggunaan beberapa paten yang dimiliki oleh entitas yang berbeda.  

Scripta Manent: Urgensi Kewajiban Perjanjian Lisensi dalam Bentuk Tertulis

Adagium Latin verba volant, scripta manent yang berarti “kata-kata lisan terbang hilang, tulisan tetap abadi” menangkap esensi mengapa hukum modern sangat menekankan pentingnya dokumentasi tertulis. Dalam konteks perjanjian lisensi paten di Indonesia, kewajiban bentuk tertulis bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah syarat hukum yang imperatif dan menjadi jawaban fundamental mengapa negosiasi atau kesepakatan lisan tidak memiliki kekuatan hukum di pengadilan.

Kewajiban bentuk tertulis termaktub secara eksplisit dalam definisi “Lisensi” pada Pasal 1 Angka 11 UU Paten, yang menyatakan bahwa lisensi diberikan “berdasarkan perjanjian tertulis”. Diperkuat lagi dalam Pasal 76, ketentuan ini menegaskan bahwa pemberian lisensi dilakukan “berdasarkan perjanjian Lisensi” yang wujudnya harus tertulis. Implikasi dari norma ini sangat tegas yaitu tanpa adanya dokumen tertulis yang membuktikan adanya kesepakatan, maka secara yuridis tidak pernah ada perjanjian lisensi paten yang sah.

Kesepakatan lisan, meskipun mungkin terjadi dan disaksikan, tidak akan diakui oleh hukum paten sebagai dasar pemberian lisensi. Ini merupakan syarat konstitutif, yang berarti keberadaan dokumen tertulis adalah elemen yang melahirkan perjanjian lisensi itu sendiri di mata hukum.  

Korelasi dengan Prinsip Hukum Perjanjian

Meskipun perjanjian lisensi paten tergolong sebagai perjanjian tidak bernama (innominaat) karena tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, maka ia tetap tunduk pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Salah satu syaratnya adalah adanya “suatu sebab yang halal”. Kewajiban tertulis dalam UU Paten berfungsi untuk mempertegas dan memformalkan kesepakatan para pihak, sehingga lebih mudah untuk dinilai apakah kausa dari perjanjian tersebut halal dan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.  

Lebih jauh, kewajiban ini memperkuat asas fundamental dalam hukum kontrak, yaitu Pacta Sunt Servanda, yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Bentuk tertulis memberikan wujud fisik pada “undang-undang privat” yang diciptakan oleh para pihak. Dengan adanya naskah perjanjian, ruang lingkup hak dan kewajiban masing-masing pihak menjadi jelas, terukur, dan dapat ditegakkan secara pasti, layaknya sebuah peraturan perundang-undangan.  

Fungsi Bentuk Tertulis sebagai Alat Bukti Absolut dalam Sengketa

Dari perspektif hukum acara, fungsi utama dari bentuk tertulis adalah sebagai alat bukti. Dalam sistem hukum Indonesia, akta otentik maupun akta di bawah tangan merupakan alat bukti tulisan yang memiliki kekuatan pembuktian yang signifikan. Perjanjian lisensi tertulis berfungsi sebagai bukti sempurna (volledig bewijs) mengenai apa yang telah disepakati oleh para pihak, sehingga dapat mencegah atau menyelesaikan sengketa yang timbul dari perbedaan interpretasi, ingatan yang keliru, atau bahkan itikad buruk.  

Dokumen tertulis secara definitif mengklarifikasi elemen-elemen krusial yang sering menjadi sumber konflik, seperti objek lisensi, sifat lisensi (eksklusif atau non-eksklusif), durasi dan wilayah, besaran royalti, serta hak dan kewajiban lainnya. Adagium hukum facta sunt potentiora verbis (perbuatan atau fakta lebih kuat dari kata-kata) dan cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbis? (ketika bukti dari fakta-fakta ada, apa gunanya kata-kata?) sangat relevan di sini. Dalam sebuah sengketa pelanggaran paten, perjanjian tertulis adalah  facta atau testimonia rerum yang paling kuat, yang akan mengalahkan klaim-klaim lisan (verba) mengenai adanya negosiasi atau izin verbal. Inilah alasan mengapa sebuah perusahaan, meskipun telah bernegosiasi, akan tetap dinyatakan bersalah jika tidak dapat menunjukkan bukti perjanjian lisensi tertulis di hadapan pengadilan.

Lebih dari sekadar alat bukti, kewajiban tertulis ini secara inheren berfungsi sebagai “gerbang formalitas” pertama yang memaksa para pihak untuk melakukan negosiasi yang cermat dan uji tuntas (due diligence). Proses menuangkan kesepakatan lisan ke dalam sebuah dokumen hukum yang terstruktur memaksa para pihak untuk berpikir secara mendetail tentang setiap aspek perjanjian.

Kesepakatan lisan yang seringkali bersifat umum dan ambigu harus dikristalkan menjadi klausula-klausula yang presisi. Proses ini secara tidak langsung mengungkap area-area yang belum disepakati atau yang masih berpotensi menimbulkan sengketa. Dengan demikian, syarat tertulis memiliki fungsi preventif yang krusial, yaitu meningkatkan kualitas dan kejelasan perjanjian itu sendiri, yang pada akhirnya mengurangi kemungkinan terjadinya perselisihan di masa depan.

Alasan dan Akibat Hukum Kewajiban Pendaftaran Perjanjian Lisensi

Jika kewajiban tertulis adalah fondasi internal yang mengikat para pihak, maka kewajiban pendaftaran adalah pilar eksternal yang memproyeksikan kekuatan perjanjian tersebut kepada dunia luar. Asas publisitas, yang diwujudkan melalui pendaftaran, merupakan jantung dari kepastian hukum dalam rezim kekayaan intelektual dan menjadi kunci untuk memahami perlindungan terhadap pihak ketiga.

Dasar Hukum dan Tujuan Kewajiban Pendaftaran

Kewajiban pendaftaran secara tegas diatur dalam Pasal 79 ayat (1) UU Paten, yang berbunyi:

Perjanjian Lisensi harus dicatat dan diumumkan oleh Menteri dengan dikenai biaya”.

Kewajiban ini bersifat mandatori, bukan opsional. Tujuan utama di balik norma ini adalah untuk mewujudkan  asas publisitas, yang pada gilirannya melahirkan kepastian hukum (rechtszekerheid). Dengan dicatatkannya perjanjian lisensi dalam Daftar Umum Paten yang dikelola DJKI, status hukum dari pemanfaatan paten tersebut menjadi informasi publik yang dapat diakses dan diverifikasi oleh siapa pun yang berkepentingan.  

Selain kepastian hukum, pendaftaran juga memiliki tujuan lain yang tidak kalah penting:

1.       Perlindungan Pihak Ketiga

Memberikan informasi yang andal kepada pihak ketiga (seperti investor, kreditur, atau calon mitra bisnis) mengenai siapa saja yang berhak secara sah untuk melaksanakan suatu paten;

2.       Transparansi dan Pengawasan Negara

Pendaftaran memungkinkan pemerintah untuk memeriksa isi perjanjian lisensi sebelum dicatat. Sesuai Pasal 79 ayat (3) UU Paten, Menteri akan menolak permohonan pencatatan jika perjanjian tersebut memuat ketentuan yang dilarang dalam Pasal 78, seperti yang dapat merugikan perekonomian Indonesia, menghambat pengembangan teknologi nasional, atau mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Ini adalah bentuk pengawasan negara untuk melindungi kepentingan publik.  

Analisis Kritis Akibat Hukum Kegagalan Pendaftaran

Konsekuensi dari pengabaian kewajiban pendaftaran diatur secara lugas dalam Pasal 79 ayat (2) UU Paten:

“Jika perjanjian Lisensi tidak dicatat dan tidak diumumkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian Lisensi dimaksud tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga”.

Frasa ini adalah sanksi hukum yang paling signifikan dan perlu dianalisis secara mendalam.  

Artinya, meskipun perjanjian lisensi tersebut (dalam bentuk tertulis) tetap sah dan mengikat antara pemberi lisensi dan penerima lisensi (inter partes), perjanjian tersebut dianggap tidak ada di mata pihak ketiga.

“Pihak ketiga” dalam konteks ini mencakup spektrum yang luas, antara lain:

-        Pihak yang dituduh melakukan pelanggaran paten

Pelanggar dapat berdalih bahwa penerima lisensi tidak memiliki locus standi (kedudukan hukum) untuk menggugat karena haknya tidak terdaftar dan tidak diakui secara publik;

-        Calon investor atau pembeli paten

Mereka tidak terikat untuk mengakui hak penerima lisensi jika lisensi tersebut tidak tercatat dalam Daftar Umum Paten saat mereka melakukan uji tuntas;

-        Kreditur

Jika paten dijadikan jaminan fidusia, kreditur hanya terikat pada hak-hak yang tercatat secara resmi;

-        Kurator

Dalam hal pemberi lisensi pailit, kurator mungkin tidak terikat untuk melanjutkan perjanjian lisensi yang tidak terdaftar.

Kegagalan mendaftarkan lisensi menciptakan apa yang dapat disebut sebagai “hak yang timpang” (a limping right). Hak tersebut kuat secara internal antara para pihak yang terikat oleh asas pacta sunt servanda, tetapi menjadi lemah dan tidak berdaya ketika dihadapkan dengan dunia luar. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang signifikan dan secara drastis merendahkan nilai komersial dari lisensi itu sendiri. Bagi penerima lisensi, ini adalah risiko yang fatal.

Ia mungkin telah membayar royalti yang besar, namun tidak dapat melindungi investasinya dari persaingan ilegal oleh pihak ketiga, karena di mata hukum publik, haknya untuk melaksanakan paten tersebut tidak eksis. Oleh karena itu, pendaftaran adalah tindakan hukum esensial untuk mengkonversi hak kontraktual privat menjadi hak komersial yang dapat dipertahankan secara publik.

Keterkaitan dengan Asas Fiksi Hukum

Tindakan pendaftaran dan pengumuman dalam Daftar Umum Paten dan Berita Resmi Paten secara otomatis mengaktifkan asas fiksi hukum, yang dalam adagium dikenal sebagai presumptio Iures de Iure. Asas ini menyatakan bahwa ketika suatu informasi telah diundangkan atau diumumkan secara resmi oleh negara, maka setiap orang dianggap mengetahuinya. Tidak ada seorang pun yang dapat berdalih atau membela diri dengan alasan ketidaktahuan atas fakta hukum yang telah dipublikasikan tersebut.  

Dengan demikian, setelah perjanjian lisensi dicatat dan diumumkan, seluruh pihak ketiga dianggap telah mengetahui keberadaan dan ruang lingkup lisensi tersebut. Ini memberikan perlindungan hukum yang maksimal bagi penerima lisensi yang patuh terhadap kewajiban pendaftaran. Haknya menjadi kuat tidak hanya terhadap pemberi lisensi, tetapi juga terhadap seluruh dunia (erga omnes).

Mekanisme Pendaftaran Perjanjian Lisensi di Indonesia

Untuk mengimplementasikan kewajiban pendaftaran, pemerintah telah menetapkan prosedur teknis yang diatur secara rinci dalam peraturan pelaksana. Pemahaman terhadap mekanisme ini sangat penting bagi para pihak agar dapat memenuhi kewajiban hukumnya secara efektif.

Landasan hukum prosedural utama untuk pencatatan perjanjian lisensi adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual selanjutnya disebut “PP 36/2018”. Peraturan ini bersifat lintas rezim, artinya berlaku untuk pencatatan lisensi berbagai jenis kekayaan intelektual, termasuk hak cipta, merek, dan paten, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 PP 36/2018.  

Alur Permohonan Pendaftaran dan Persyaratan Dokumen

Seiring dengan modernisasi layanan publik, permohonan pencatatan perjanjian lisensi kini dapat dilakukan secara elektronik melalui laman resmi DJKI. Proses ini dirancang untuk lebih efisien dan transparan. Secara naratif, alur permohonannya dimulai dengan pemesanan kode billing untuk pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui portal simpaki.dgip.go.id. Setelah pembayaran dilakukan, pemohon, baik pemberi lisensi, penerima lisensi, maupun kuasanya, dapat mengajukan permohonan secara online dengan melampirkan dokumen-dokumen persyaratan wajib.  

Berdasarkan Pasal 10 PP 36/2018, dokumen yang harus dilampirkan meliputi salinan perjanjian lisensi, salinan sertifikat paten yang bersangkutan, surat kuasa jika diajukan melalui konsultan KI, dan bukti identitas para pihak. Penting untuk dicatat, jika perjanjian dibuat dalam bahasa asing, maka wajib diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah.  

Setelah permohonan diajukan, DJKI akan melakukan pemeriksaan kelengkapan dan kesesuaian dokumen. Menurut Pasal 12 PP 36/2018, pemeriksaan ini dilakukan pada saat permohonan diterima. Jika terdapat kekurangan, pemohon akan diberitahukan secara tertulis dan diberi waktu paling lama 30 hari untuk melengkapi atau menyesuaikan dokumen. Apabila batas waktu ini terlampaui, permohonan dianggap ditarik kembali. Apabila semua persyaratan dinyatakan lengkap dan sesuai, Menteri (melalui DJKI) akan menerbitkan surat pencatatan perjanjian lisensi dalam jangka waktu paling lambat 2 hari kerja, yang kemudian dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.  

Klausula Esensial dan Larangan dalam Perjanjian Lisensi

Agar dapat dicatatkan, perjanjian lisensi harus memuat informasi minimum yang dianggap esensial. Pasal 7 PP 36/2018 menetapkan bahwa perjanjian lisensi paling sedikit harus memuat tanggal dan tempat penandatanganan, nama dan alamat para pihak, objek perjanjian (nomor paten), ketentuan mengenai sifat lisensi (eksklusif atau non-eksklusif), jangka waktu, wilayah berlaku, dan penentuan pihak yang membayar biaya pemeliharaan paten.  

Selain itu, DJKI akan menolak permohonan pencatatan jika perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang dilarang oleh Pasal 78 UU Paten dan Pasal 6 PP 36/2018, yaitu ketentuan yang dapat merugikan perekonomian Indonesia, menghambat alih teknologi, mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, nilai-nilai agama, kesusilaan, dan ketertiban umum.  

Yurisprudensi Sengketa Paten

Sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomo 132 K/Pdt.Sus-HKI/2023, yang Anda sebutkan, Mahkamah Agung secara tegas menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Nokia. Artinya, dalam putusan akhir ini, Nokia adalah pihak yang kalah. Putusan ini menguatkan vonis pengadilan sebelumnya yang menyatakan gugatan Nokia “tidak dapat diterima” (niet onvankelijke verklaard).  

Lebih penting lagi, kekalahan Nokia sama sekali tidak berkaitan dengan substansi sengketa lisensi paten. Pengadilan tidak pernah sampai pada tahap memeriksa apakah BMT melanggar paten Nokia atau tidak. Alasan utama penolakan gugatan Nokia murni bersifat prosedural, yaitu karena gugatan dianggap kurang pihak (plurium litis consortium).  

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa Nokia telah gagal menyertakan pihak-pihak prinsipal yang memiliki kepentingan langsung dalam perkara ini, yaitu Guangdong OPPO Mobile Telecommunications Corp., Ltd. dan Realme Chongqing Mobile Telecommunications Corp., Ltd.. Menurut pengadilan, BMT hanya bertindak sebagai distributor “atas penunjukan” dari kedua perusahaan tersebut. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan sengketa secara tuntas, kedua prinsipal asing itu mutlak harus ditarik sebagai pihak tergugat. Karena cacat formal ini, gugatan Nokia dianggap tidak memenuhi syarat untuk diperiksa pokok perkaranya.

Pelajaran Hukum yang Sebenarnya

Kasus ini memberikan pelajaran hukum yang berbeda dari narasi awal. Poin utamanya bukanlah tentang pentingnya pencatatan lisensi, melainkan tentang krusialnya kepatuhan terhadap hukum acara perdata dalam sengketa HKI. Kemenangan BMT menunjukkan bahwa keunggulan teknologi dan bukti pelanggaran substantif dapat menjadi sia-sia jika penggugat melakukan kesalahan fatal dalam merumuskan gugatan.

Bagi pemegang paten, kasus ini menjadi peringatan bahwa sebelum melayangkan gugatan, investigasi mendalam untuk memetakan seluruh struktur korporasi dan rantai pasok pihak lawan adalah sebuah keharusan. Sementara bagi distributor lokal, putusan ini menegaskan bahwa mereka berada di garis depan sengketa, namun juga menunjukkan bahwa celah prosedural dalam gugatan lawan bisa menjadi strategi pembelaan yang sangat efektif.

Penutup

Perjanjian lisensi paten adalah instrumen vital dalam mentransformasikan hak eksklusif atas invensi menjadi inovasi yang bernilai komersial. Namun, untuk memastikan proses ini berjalan dengan tertib dan memberikan kepastian hukum, kerangka hukum Indonesia secara tegas mensyaratkan dua hal yang tidak dapat ditawar: perjanjian lisensi harus dibuat dalam bentuk tertulis dan wajib dicatatkan pada Daftar Umum Paten.

Analisis dalam artikel ini telah menunjukkan bahwa kedua imperatif tersebut bukanlah formalitas belaka. Kewajiban bentuk tertulis berfungsi sebagai fondasi pembuktian dan kejelasan internal antara para pihak, yang secara preventif mengurangi potensi sengketa. Sementara itu, kewajiban pendaftaran adalah pilar kepastian hukum dan perlindungan eksternal. Melalui asas publisitas, pendaftaran mentransformasikan perjanjian privat menjadi fakta hukum yang diakui dan harus dihormati oleh pihak ketiga.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.