Pengantar
Paten bukan sekadar instrumen yuridis yang memberikan
hak eksklusif, melainkan merupakan katalisator strategis yang dirancang untuk
mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Kerangka hukum
paten di Indonesia sendiri bersifat dinamis, terus berevolusi untuk menjawab
tantangan zaman. Titik tolak modernnya adalah Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, yang secara komprehensif
menggantikan legislasi sebelumnya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan
hukum nasional dan standar internasional, terutama Agreement on
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (Perjanjian TRIPS).
Namun, dinamika tidak berhenti di situ. Dalam beberapa
tahun terakhir, rezim paten Indonesia mengalami serangkaian pembaruan
signifikan, yang dipicu oleh klaster Kekayaan Intelektual dalam Undang-Undang
Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya. Puncak dari evolusi ini adalah
pengundangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2024 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.
Serangkaian perubahan legislatif yang cepat ini bukanlah sekadar pembaruan
teknis, melainkan cerminan dari strategi kebijakan ekonomi nasional yang lebih
besar.
Perubahan-perubahan tersebut secara konsisten didorong
oleh tujuan untuk menyederhanakan perizinan, menciptakan kemudahan berusaha,
meningkatkan ekosistem investasi, serta memberdayakan Usaha Mikro dan Kecil
(UMK). Hal ini menandakan bahwa hukum paten di Indonesia tidak lagi dipandang
sebagai suatu rezim hukum yang terisolasi, tetapi telah terintegrasi erat
sebagai instrumen kebijakan ekonomi. Implikasinya, interpretasi dan penerapan
hukum paten ke depan harus senantiasa mempertimbangkan tujuan-tujuan ekonomi
tersebut.
Namun, dialektika antara tujuan efisiensi ekonomi (yang
menuntut proses cepat dan mudah) dengan tujuan fundamental perlindungan
kekayaan intelektual (yang memerlukan pemeriksaan substantif yang teliti demi
menjamin kualitas paten) menciptakan sebuah tantangan inheren. Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) kini dihadapkan pada tugas krusial untuk
menyeimbangkan kecepatan layanan dengan rigoritas pemeriksaan, sebuah
keseimbangan yang jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi mendegradasi
nilai dan kepastian hukum dari paten itu sendiri di mata komunitas domestik dan
internasional.
Artikel ini akan mengupas secara komprehensif dan
mendalam mengenai prosedur pendaftaran paten di Indonesia berdasarkan kerangka
hukum termutakhir. Pembahasan akan mencakup fondasi yuridis, kriteria
substantif sebuah invensi, alur pendaftaran yang terperinci, hingga rezim
pasca-pemberian paten yang meliputi hak, kewajiban, dan mekanisme penegakan
hukumnya, yang diperkaya dengan analisis yurisprudensi relevan.
Fondasi Yuridis Perlindungan Paten di Indonesia
Pemahaman yang kokoh terhadap prosedur pendaftaran
paten harus dimulai dari identifikasi dan pemetaan kerangka hukum yang
mengaturnya. Berikut adalah hierarki peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukum sistem paten di Indonesia, disajikan sesuai dengan format penulisan
yang baku:
1.
Undang-Undang
Induk dan Perubahannya
-
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922), sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor
251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 7002), yang selanjutnya
disebut “UU Paten”.
2.
Peraturan
Pelaksana Tingkat Pemerintah:
-
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2005 tentang Konsultan Hak Kekayaan
Intelektual yang selanjutnya
disebut “PP 22/2005”;
-
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2020 tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 1991 tentang Tata Cara Permintaan Paten dan Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 1993 tentang Bentuk dan Isi Surat Paten, yang selanjutnya disebut “PP 69/2020”.
3.
Peraturan
Pelaksana Tingkat Presiden
-
Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengangkatan
Konsultan Hak Kekayaan Intelektual,
yang selanjutnya disebut “Perpres 84/2006”;
-
Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Paten oleh Pemerintah, yang
selanjutnya disebut “Perpres 77/2020”.
4.
Peraturan
Pelaksana Tingkat Menteri
-
Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2018
tentang Permohonan Paten,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 38 Tahun 2018 tentang Permohonan
Paten, yang selanjutnya disebut “Permenkumham tentang Permohonan
Paten”;
-
Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2018
tentang Tata Cara Pemberian Lisensi-Wajib Paten yang selanjutnya disebut “Permekumham tentang
Tata Cara Pemberian Lisensi-Wajib Paten”;
-
Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 136/PMK.02/2021 tentang Pedoman
Pemberian Imbalan yang Berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Paten
kepada Inventor.
Pemahaman terhadap struktur regulasi ini menyingkap
adanya pergeseran signifikan dalam pendelegasian kewenangan pengaturan teknis. Apabila
undang-undang sebelumnya cenderung mengamanatkan pengaturan detail pada
tingkat Peraturan Pemerintah (PP), UU Paten yang baru secara eksplisit
mendelegasikan banyak aspek prosedural, seperti tata cara permohonan, ke
tingkat Peraturan Menteri (Permen). Pergeseran ini, yang ditandai dengan
pencabutan beberapa PP lama, ini patut dinilai menjadi dugaan awal bahwa upaya
untuk menciptakan kerangka regulasi yang lebih fleksibel dan responsif.
Proses pembentukan Permen secara inheren lebih cepat
dan tidak memerlukan koordinasi antar-kementerian yang sekompleks penyusunan
PP. Hal ini memberikan DJKI kelincahan untuk menyesuaikan prosedur teknis
dengan cepat sebagai respons terhadap perkembangan teknologi atau kebutuhan
administratif. Namun, fleksibilitas ini memiliki dua sisi.
Di satu sisi, ia memungkinkan adaptasi yang efisien.
Di sisi lain, ia dapat menimbulkan potensi ketidakpastian hukum apabila
perubahan peraturan di tingkat menteri terjadi terlalu sering, sehingga
menuntut kewaspadaan yang konstan dari para pemohon dan praktisi HKI.
Membedah Syarat Sahnya Sebuah Invensi
Perlu dicatat bahwa tidak semua hasil pemikiran di
bidang teknologi dapat memperoleh perlindungan paten. UU Paten menetapkan
serangkaian kriteria substantif yang ketat yang harus dipenuhi oleh sebuah
invensi. Sistem hukum Indonesia mengenal dua bentuk perlindungan, yaitu Paten
dan Paten Sederhana, yang memiliki standar patentabilitas yang
berbeda.
Berdasarkan Pasal 3 UU Paten, Paten
(biasa) diberikan untuk invensi yang memenuhi tiga pilar utama antara lain baru,
mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam
industri. Sementara itu, Paten Sederhana diberikan untuk setiap
invensi baru, merupakan pengembangan dari produk atau proses yang telah ada,
dan dapat diterapkan dalam industri.
Perbedaan krusial terletak pada pilar kedua: Paten
biasa menuntut “langkah inventif” yang bersifat non-obvious, sedangkan
Paten Sederhana hanya mensyaratkan adanya “pengembangan” dari teknologi yang
sudah ada, yang merupakan standar yang lebih rendah dan ditujukan untuk
inovasi-inovasi inkremental.
Tiga Pilar Patentabilitas (Paten Biasa)
1.
Kebaruan (Novelty)
Sebuah
invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan (tanggal pengajuan
permohonan), invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang telah
diungkapkan sebelumnya (prior art). Prinsip kebaruan yang dianut adalah
kebaruan absolut atau universal, artinya invensi tersebut tidak boleh pernah
diungkapkan di mana pun di dunia, baik melalui publikasi tertulis, uraian
lisan, peragaan, maupun cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk
melaksanakannya. Namun, UU Paten memberikan pengecualian berupa
masa tenggang pengungkapan (grace period) selama 12 bulan sebelum
Tanggal Penerimaan, apabila pengungkapan tersebut dilakukan oleh inventor
sendiri dalam forum ilmiah resmi atau akibat adanya pihak lain yang melanggar
kewajiban kerahasiaan;
2.
Langkah
Inventif (Inventive Step)
Ini
adalah kriteria yang paling kompleks dan sering menjadi titik sengketa. Sebuah
invensi dianggap mengandung langkah inventif jika invensi tersebut merupakan
hal yang tidak dapat diduga sebelumnya (non-obvious) bagi seseorang yang
memiliki keahlian biasa di bidang teknik yang relevan (person having
ordinary skill in the art). Penilaian ini bukan tentang apakah invensi
tersebut baru, melainkan apakah lompatan dari prior art ke invensi
yang diajukan merupakan sebuah langkah yang trivial ataukah sebuah terobosan
kreatif yang tidak terduga;
3.
Dapat
Diterapkan dalam Industri (Industrial Applicability)
Kriteria
ini mensyaratkan bahwa invensi harus memiliki kegunaan praktis dan dapat diproduksi
atau digunakan secara massal dalam suatu jenis industri. Aspek ini menekankan
pada utilitas dan kemanfaatan nyata dari sebuah invensi, bukan sekadar konsep
teoretis. Tujuan akhir dari perlindungan paten adalah untuk mendorong
lahirnya inovasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat luas, sejalan dengan
adagium yang berakar dari aliran utilitarianisme, “salus populi suprema lex
esto”, yang berarti “kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi”.
Invensi yang Dikecualikan dari Perlindungan
Selain harus memenuhi tiga pilar di atas, sebuah
invensi juga tidak boleh termasuk dalam kategori yang secara eksplisit
dikecualikan oleh undang-undang. Berdasarkan Pasal 4 dan Pasal
9 UU Paten (sebagaimana telah diubah oleh UU 65/2024),
invensi yang tidak dapat diberi paten meliputi:
-
Proses atau
produk yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
-
Metode
pemeriksaan, perawatan, pengobatan, dan/atau pembedahan yang diterapkan
terhadap manusia dan/atau hewan;
-
Teori dan metode
di bidang ilmu pengetahuan dan matematika;
-
Semua makhluk
hidup, kecuali jasad renik;
-
Proses biologis
yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis
atau proses mikrobiologis;
-
Kreasi estetika,
skema, aturan dan metode untuk melakukan kegiatan yang melibatkan kegiatan
mental, permainan, dan bisnis (yang tidak memiliki karakter dan efek teknis);
-
Program komputer,
kecuali invensi yang diimplementasikan melalui komputer dan memiliki karakter
serta efek teknis.
Perubahan signifikan pada Pasal 4 UU Paten
melalui UU 65/2024, khususnya terkait program komputer dan penghapusan
larangan “penggunaan baru” (second medical use), merupakan langkah
strategis Indonesia. Kebijakan ini menyelaraskan kerangka hukum domestik dengan
praktik di yurisdiksi teknologi maju seperti Eropa dan Amerika Serikat,
sekaligus membuka peluang inovasi yang lebih besar di sektor farmasi dan
teknologi digital.
Pengecualian untuk program komputer yang memiliki “efek
teknis” memberikan kepastian hukum yang lebih besar bagi industri perangkat
lunak. Sementara itu, penghapusan larangan second medical use memberikan
insentif bagi perusahaan farmasi untuk melakukan riset lebih lanjut pada obat-obatan
yang sudah ada, yang bisa lebih cepat dan murah daripada mengembangkan molekul
baru. Namun, kebijakan ini juga membawa implikasi terhadap aksesibilitas, di
mana perpanjangan monopoli efektif atas suatu obat dapat menunda ketersediaan
versi generik dan menjaga harga tetap tinggi, sehingga menuntut keseimbangan
dengan kebijakan kesehatan publik.
Prinsip First-to-File
Sistem paten Indonesia, seperti mayoritas negara di
dunia, menganut sistem pendaftaran first-to-file. Prinsip ini
berlandaskan pada adagium hukum “qui prior est tempore, potior est jure”,
yang berarti “siapa yang lebih dulu waktunya, lebih kuat haknya”.
Artinya, hak paten akan diberikan kepada pihak yang pertama kali mengajukan
permohonan yang memenuhi syarat, bukan kepada pihak yang pertama kali menemukan
invensi tersebut. Prinsip ini menggarisbawahi urgensi bagi para inventor
untuk segera mendaftarkan invensinya guna mengamankan prioritas dan hak
hukumnya.
Alur Komprehensif Pendaftaran Paten: Dari Permohonan hingga Pemberian
Proses untuk memperoleh paten di Indonesia merupakan
serangkaian tahapan yang terstruktur dan diatur secara rinci, mulai dari
pengajuan permohonan hingga keputusan akhir oleh DJKI. Alur ini dirancang
sebagai sebuah proses dialektis yang melibatkan tiga aktor utama: pemohon
(inventor/kuasanya), negara (melalui DJKI sebagai pemeriksa), dan publik.
Tahap Pengajuan Permohonan
Proses pendaftaran modern sangat dianjurkan untuk
dilakukan secara elektronik melalui portal resmi DJKI di paten.dgip.go.id.
Pemohon atau kuasanya harus terlebih dahulu membuat akun dan kemudian mengisi
formulir permohonan secara daring. Langkah krusial pada tahap ini adalah
mengunggah dokumen-dokumen esensial yang menjadi jantung dari permohonan paten,
yang meliputi:
1.
Spesifikasi
Paten, yang terdiri dari: Deskripsi,
Klaim, dan Abstrak;
2.
Gambar, jika diperlukan untuk memperjelas invensi;
3.
Surat
Pernyataan Kepemilikan Invensi yang
ditandatangani oleh seluruh inventor;
4.
Surat
Pengalihan Hak, jika pemohon adalah
pihak yang berbeda dari inventor (misalnya, perusahaan tempat inventor bekerja);
5.
Surat Kuasa, jika permohonan diajukan melalui Konsultan Kekayaan
Intelektual; dan
6.
Dokumen
Pendukung Lainnya, seperti Surat
Keterangan UMK untuk mendapatkan keringanan biaya, atau bukti pembayaran biaya
permohonan.
Penyusunan Spesifikasi Paten (Dokumen Teknis)
Kualitas dari spesifikasi paten sangat menentukan
keberhasilan permohonan. Dokumen ini harus disusun dengan presisi teknis dan
yuridis yang tinggi.
-
Deskripsi: Bagian ini harus mengungkapkan invensi secara
lengkap dan jelas (sufficient disclosure) sehingga seorang ahli di
bidangnya (person skilled in the art) dapat melaksanakannya tanpa perlu
melakukan eksperimen yang berlebihan. Strukturnya harus mengikuti format baku:
Judul Invensi, Bidang Teknik Invensi, Latar Belakang Invensi (menguraikan
teknologi terdahulu atau prior art terdekat beserta kelemahannya),
Ringkasan Invensi, Uraian Singkat Gambar (jika ada), dan Uraian Lengkap Invensi
yang menjelaskan cara kerja dan contoh pelaksanaannya;
-
Klaim: Ini adalah bagian terpenting dari spesifikasi karena
mendefinisikan lingkup monopoli atau perlindungan hukum yang diminta. Setiap
kata dalam klaim memiliki bobot hukum yang signifikan. Klaim harus didukung
sepenuhnya oleh uraian dalam deskripsi, dinyatakan secara jelas dan singkat,
serta tidak boleh mengandung ambiguitas. Terdapat dua jenis klaim utama: klaim
mandiri (independent claim) yang mendefinisikan inti invensi, dan klaim
turunan (dependent claim) yang memperjelas atau menambahkan fitur pada
klaim mandiri;
-
Abstrak: Merupakan ringkasan teknis singkat dari invensi
(tidak lebih dari 200 kata) yang bertujuan untuk memberikan informasi teknis
secara cepat dan tidak memiliki efek hukum dalam menentukan lingkup
perlindungan;
-
Gambar: Jika invensi lebih mudah dipahami dengan ilustrasi,
gambar teknik harus disertakan. Gambar harus dibuat sesuai standar yang
ditetapkan, seperti menggunakan tinta hitam, tanpa skala, dan diberi penomoran
yang konsisten dengan yang dirujuk dalam deskripsi.
Pemeriksaan Formalitas dan Periode Publikasi
Setelah permohonan diajukan, DJKI akan melakukan pemeriksaan
administrasi (formalitas) dalam jangka waktu 14 hari kerja untuk memastikan
semua dokumen persyaratan telah lengkap dan sesuai format. Jika ditemukan
kekurangan, DJKI akan memberitahukannya kepada pemohon, yang diberi waktu untuk
melengkapi. Apabila dalam batas waktu yang ditentukan kekurangan tersebut tidak
dipenuhi, permohonan akan dianggap ditarik kembali.
Setelah permohonan dinyatakan lengkap secara
administratif, permohonan akan memasuki tahap publikasi atau pengumuman.
Untuk paten biasa, periode pengumuman ini berlangsung selama 6 bulan. Tujuannya
adalah untuk memberikan transparansi dan kesempatan kepada masyarakat luas
untuk mengetahui adanya permohonan paten baru dan mengajukan pandangan atau
keberatan jika dirasa perlu.
Mekanisme Keberatan dan Sanggahan
Selama periode pengumuman, setiap pihak yang
berkepentingan dapat mengajukan keberatan (oposisi) secara tertulis
kepada Menteri. Keberatan ini harus disertai dengan alasan yang kuat, misalnya
bukti bahwa invensi yang dimohonkan tidak memenuhi unsur kebaruan atau langkah
inventif karena sudah ada teknologi serupa sebelumnya. DJKI kemudian akan memberitahukan
adanya keberatan ini kepada pemohon. Pemohon diberikan hak untuk mengajukan penjelasan
dan/atau sanggahan secara tertulis dalam jangka waktu yang telah
ditentukan. Seluruh dokumen keberatan dan sanggahan ini akan menjadi bahan
pertimbangan tambahan yang krusial bagi Pemeriksa Paten pada tahap pemeriksaan
substantif.
Mekanisme oposisi oleh publik ini seringkali kurang
dimanfaatkan secara optimal, padahal ia berfungsi sebagai sistem checks and
balances yang vital. Ia merupakan “filter” kedua setelah pemeriksaan formalitas
oleh DJKI, yang memungkinkan partisipasi publik untuk mencegah pemberian paten
yang tidak layak (weak patents). Efektivitasnya sangat bergantung pada
kesadaran dan kapasitas teknis para pelaku industri untuk secara proaktif
memantau publikasi paten dan menganalisisnya. Kurangnya pemanfaatan fitur ini
dapat menyebabkan lolosnya paten berkualitas rendah, yang berpotensi
disalahgunakan untuk mengancam kompetitor secara tidak sah dan menghambat
inovasi di pasar.
Ujian Substantif oleh Pemeriksa Paten
Ini adalah tahap paling krusial dalam penentuan
kelayakan sebuah invensi. Untuk memasuki tahap ini, pemohon harus mengajukan permohonan
pemeriksaan substantif yang disertai dengan pembayaran biaya. Jika permohonan
ini tidak diajukan dalam batas waktu yang ditentukan, maka permohonan paten
dianggap ditarik kembali.
Dalam pemeriksaan substantif, seorang Pemeriksa Paten
yang memiliki keahlian di bidang teknik terkait akan melakukan analisis
mendalam untuk menilai apakah invensi tersebut memenuhi seluruh kriteria
patentabilitas: kebaruan, langkah inventif, dan penerapan industri. Proses ini
bisa memakan waktu hingga 30 bulan untuk paten biasa. Hasil dari pemeriksaan
ini dapat berupa:
1.
Persetujuan: Invensi dinyatakan memenuhi syarat dan akan diberi
paten;
2.
Permintaan
Perbaikan/Amandemen: Pemeriksa
menemukan beberapa kekurangan dan memberikan kesempatan kepada pemohon untuk
memperbaiki deskripsi atau klaim; atau
3.
Penolakan: Invensi dinilai tidak memenuhi syarat
patentabilitas.
Jika permohonan ditolak, pemohon masih memiliki upaya
hukum, yaitu dengan mengajukan permohonan banding kepada Komisi Banding Paten.
Rezim Pasca-Pemberian Paten: Hak, Kewajiban, dan Durasi Perlindungan
Setelah melalui seluruh proses pendaftaran dan
dinyatakan memenuhi syarat, Menteri akan menerbitkan Sertifikat Paten. Sejak
saat itu, pemegang paten secara resmi memiliki serangkaian hak eksklusif, namun
juga dibebani dengan kewajiban-kewajiban tertentu untuk menjaga agar patennya
tetap berlaku.
Hak Eksklusif Pemegang Paten
Inti dari perlindungan paten adalah hak eksklusif yang
bersifat teritorial. Berdasarkan Pasal 19 UU Paten (sebagaimana
diubah oleh UU 65/2024), pemegang paten memiliki hak untuk
melaksanakan sendiri paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tidak
memiliki persetujuannya untuk melakukan tindakan-tindakan komersial. Lingkup
pelarangan ini dibedakan berdasarkan jenis paten:
-
Untuk
Paten-produk
Melarang
pihak lain untuk membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan,
menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan produk yang telah
diberi paten;
-
Untuk
Paten-proses
Melarang
pihak lain untuk menggunakan proses produksi yang telah diberi paten untuk
membuat barang, serta melakukan tindakan komersial lainnya terhadap produk
hasil proses tersebut.
Hak eksklusif ini memberikan pemegang paten sebuah
monopoli terbatas dalam jangka waktu tertentu, yang memungkinkan mereka untuk
memperoleh keuntungan ekonomi dari investasinya dalam riset dan pengembangan.
Kewajiban Pemegang Paten
Kepemilikan paten tidak bersifat pasif. UU Paten
mengamanatkan beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang paten:
1.
Terdapat
kewajiban bagi pemegang paten untuk melaksanakan patennya di wilayah Indonesia.
Semangat dari kewajiban ini adalah agar paten tidak hanya didaftarkan untuk
memblokir teknologi (patent squatting), tetapi juga memberikan manfaat
ekonomi dan teknologi bagi negara. UU Cipta Kerja menghapus kewajiban spesifik
untuk “membuat produk atau menggunakan proses” di Indonesia, yang sebelumnya
dikenal sebagai local working requirement yang ketat. Sebagai gantinya,
UU 65/2024 menyisipkan Pasal 20A yang mewajibkan Pemegang Paten
untuk membuat “pernyataan pelaksanaan Paten” dan memberitahukannya kepada
Menteri setiap akhir tahun. Perubahan ini merupakan sebuah deregulasi
signifikan yang mencerminkan pergeseran paradigma dari proteksionisme industri
ke fasilitasi transfer teknologi dan investasi. Dengan melunakkan kewajiban
ini, Indonesia menjadi lebih menarik bagi pemegang paten asing karena “pelaksanaan”
kini dapat diartikan lebih luas, mencakup lisensi kepada pihak lokal atau impor
produk. Kewajiban pelaporan berfungsi sebagai alat monitoring bagi pemerintah
untuk memastikan paten tetap produktif;
2.
Untuk menjaga
agar paten tetap berlaku (in force), pemegang paten wajib membayar biaya
pemeliharaan tahunan atau annuity kepada negara. Kegagalan dalam
membayar biaya tahunan hingga melewati batas waktu yang ditentukan akan
mengakibatkan paten tersebut dinyatakan dihapus atau batal demi hukum, dan
invensi tersebut menjadi milik publik (public domain).
Jangka Waktu Perlindungan
Perlindungan paten diberikan untuk jangka waktu yang
terbatas dan tidak dapat diperpanjang, terhitung sejak Tanggal Penerimaan:
-
Paten Biasa diberikan perlindungan selama 20 tahun; dan
-
Paten
Sederhana diberikan perlindungan
selama 10 tahun.
Setelah jangka waktu perlindungan berakhir, invensi
tersebut menjadi milik publik, dan siapa pun bebas untuk memanfaatkannya secara
komersial tanpa memerlukan izin dari mantan pemegang paten.
Litigasi Perdata dan Sanksi Pidana
Pemberian hak eksklusif tidak akan berarti tanpa
adanya mekanisme penegakan hukum yang efektif. UU Paten menyediakan dua jalur
utama untuk menegakkan hak, yaitu melalui gugatan perdata di Pengadilan Niaga
dan melalui laporan pidana.
Gugatan Pelanggaran dan Pembatalan Paten di Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang
memiliki yurisdiksi untuk memeriksa dan memutus sengketa di bidang kekayaan
intelektual, termasuk paten.
1)
Gugatan
Pelanggaran
Pemegang
paten yang merasa hak eksklusifnya dilanggar oleh pihak lain dapat mengajukan
gugatan ganti rugi dan/atau permintaan penghentian kegiatan pelanggaran ke
Pengadilan Niaga. Beban pembuktian berada pada penggugat (pemegang paten) untuk
menunjukkan bahwa produk atau proses tergugat masuk dalam lingkup klaim paten
miliknya.
2)
Gugatan
Pembatalan
Sebaliknya,
pihak ketiga yang berkepentingan (misalnya kompetitor yang merasa dirugikan)
dapat mengajukan gugatan pembatalan suatu paten ke Pengadilan Niaga. Alasan
gugatan biasanya adalah bahwa paten tersebut seharusnya tidak pernah diberikan
sejak awal karena tidak memenuhi satu atau lebih syarat patentabilitas
(misalnya, tidak baru atau tidak inventif). Proses peradilan di Pengadilan
Niaga dirancang untuk berlangsung cepat, dengan batas waktu yang ketat untuk
setiap tahapannya, termasuk untuk upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.
Aspek Pidana dalam Pelanggaran Paten
Selain jalur perdata, UU Paten juga memuat sanksi
pidana yang berat sebagai upaya untuk memberikan efek jera. Pasal 160
hingga Pasal 164 UU Paten mengatur berbagai perbuatan yang
dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
-
Setiap
orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan yang melanggar hak
eksklusif pemegang paten biasa
dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 1.000.000.000;
-
Untuk pelanggaran
paten sederhana, ancamannya adalah pidana penjara paling lama 2 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,-;
-
Sanksi pidana
dapat diperberat hingga 10 tahun penjara jika pelanggaran tersebut
mengakibatkan gangguan kesehatan, kerusakan lingkungan, atau bahkan kematian
manusia.
Penting untuk dicatat bahwa tindak pidana pelanggaran
paten ini merupakan delik aduan
(delik aduan). Artinya, proses penyidikan oleh aparat penegak hukum
hanya dapat dimulai jika ada pengaduan atau laporan resmi dari pemegang hak
yang merasa dirugikan.
Meskipun UU Paten menyediakan sanksi pidana yang
berat, penegakannya di Indonesia terbilang sangat jarang. Penelusuran
yurisprudensi menunjukkan dominasi kasus-kasus perdata, sementara putusan
pidana pelanggaran paten yang berkekuatan hukum tetap sulit ditemukan. Hal ini
disebabkan karena sengketa paten pada esensinya adalah sengketa bisnis. Fokus
utama pemegang hak adalah kompensasi ekonomi dan penghentian pelanggaran untuk
melindungi pangsa pasar, tujuan yang lebih efektif dicapai melalui gugatan perdata
di Pengadilan Niaga.
Sifat delik aduan juga menempatkan seluruh beban
inisiasi proses hukum pada pemegang paten. Akibatnya, efek jera dari ancaman
pidana menjadi kurang optimal, dan beban pembuktian serta biaya litigasi yang
tinggi di jalur perdata dapat menjadi penghalang, terutama bagi inventor
perorangan atau UMK, untuk menegakkan hak mereka.
Pembelajaran dari Ruang Sidang
Analisis terhadap putusan pengadilan memberikan
pemahaman praktis tentang bagaimana norma-norma dalam undang-undang
diinterpretasikan dan diterapkan dalam sengketa konkret. Yurisprudensi, baik
domestik maupun internasional, menunjukkan bahwa sengketa paten merupakan
perpaduan kompleks antara interpretasi hukum, pembuktian teknis, dan isu
prosedural.
Studi Kasus Perdata di Indonesia
a)
Pembatalan
Paten Sederhana (Isu Kebaruan dan Prosedural), dalam Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor 61/Pdt.Sus-Paten/2018/PN.Niaga.Jkt.Pst., tertanggal 15 Mei 2019,
sengketa terjadi antara PT. Lintas Promosi Global (Penggugat) melawan PT. Karta
Indonesia Global (Tergugat). Penggugat mengajukan gugatan pembatalan
dua paten sederhana milik Tergugat, yaitu “Papan Iklan Pada Sepeda Motor” dan “Kotak
Iklan Pada Sepeda Motor”. Dalil utama Penggugat adalah bahwa invensi-invensi
tersebut tidak memenuhi syarat kebaruan (lack of novelty) sebagaimana
diamanatkan Pasal 3 dan Pasal 5 UU Paten, karena
teknologi serupa telah menjadi pengetahuan umum dan digunakan di berbagai
negara sebelum tanggal permohonan paten Tergugat. Namun, Majelis Hakim tidak
masuk ke dalam substansi pembuktian mengenai kebaruan invensi tersebut.
Sebaliknya, hakim menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet-ontvankelijke
verklaard) dengan pertimbangan formalitas, yaitu gugatan dianggap kurang
pihak (plurium litis consortium). Hakim menemukan bahwa dalam sertifikat
paten Tergugat, tercantum nama-nama inventor lain selain pihak yang digugat,
yang seharusnya turut ditarik sebagai pihak dalam perkara. Putusan ini,
yang kemudian dikuatkan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung, mengundang
kritik karena mengabaikan argumen substantif yang krusial mengenai kelayakan
paten itu sendiri. Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa keberhasilan
litigasi paten tidak hanya bergantung pada kekuatan argumen teknis, tetapi juga
pada ketelitian dalam memenuhi hukum acara perdata.
b)
Pelanggaran
Paten Farmasi (Interpretasi Klaim), kasus
yang melibatkan Apotex Inc. melawan PT Novell Pharmaceutical Laboratories, yang
diputus oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1101
K/Pdt.Sus-HKI/2021, tertanggal 29 September 2021, menyoroti kompleksitas
sengketa pelanggaran paten di industri farmasi. Sengketa ini berpusat pada
dugaan pelanggaran paten milik Apotex terkait formulasi obat. Dalam putusannya,
Mahkamah Agung melakukan analisis mendalam terhadap interpretasi klaim paten (claim
construction) untuk menentukan lingkup perlindungan yang sebenarnya.
Pengadilan harus membedah setiap elemen dalam klaim paten Penggugat dan
membandingkannya dengan komposisi dan proses yang digunakan oleh Tergugat.
Kasus ini mengilustrasikan bahwa dalam sengketa pelanggaran, pertarungan
yuridis seringkali berfokus pada detail teknis yang terkandung dalam klaim dan
bagaimana pengadilan menafsirkannya. Ini menegaskan kembali betapa
krusialnya penyusunan klaim yang presisi dan tidak ambigu pada saat pengajuan
permohonan paten.
Studi Kasus Pidana di Indonesia
Meskipun penegakan hukum pidana paten terbilang
jarang, terdapat preseden yang menunjukkan bahwa sanksi pidana dapat
diterapkan. Salah satu contoh konkret adalah Putusan Pengadilan Negeri
Surabaya Nomor 3779/Pid.B/2008/P.N.Sby, tertanggal 28 April 2009.
Dalam kasus ini, Terdakwa, L. Hadi Pujiono, adalah
mantan kepala produksi di PT. Alfa Mandiri, sebuah perusahaan milik saksi
korban, Hendro Susanto Yonathan, SE. Perusahaan tersebut memegang hak paten
atas invensi “selang lentur tahan panas dan dingin” yang telah terdaftar sejak
tahun 2002. Setelah keluar dari perusahaan, Terdakwa dengan sengaja memproduksi
dan menjual selang yang identik dengan merek “Ductflex” tanpa izin dari
pemegang paten. Akibat perbuatannya, pemegang paten mengalami kerugian
finansial yang signifikan.
Terdakwa didakwa melanggar Pasal 130 jo.
Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
(undang-undang yang berlaku saat itu) karena dengan sengaja dan tanpa hak telah
“membuat” dan “menjual” produk yang diberi paten. Majelis Hakim menyatakan
Terdakwa terbukti bersalah dan menjatuhkan sanksi pidana bersyarat berupa
pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dengan masa percobaan 1 (satu) tahun.
Putusan ini menjadi yurisprudensi penting yang menegaskan bahwa ketentuan
pidana dalam undang-undang paten bukanlah macan kertas dan dapat ditegakkan
untuk memberikan efek jera serta melindungi hak ekonomi pemegang paten.
Wawasan dari Yurisprudensi Internasional
-
Di Australia –
Definisi “Inventor” di Era Kecerdasan Buatan (AI), kasus Thaler
v Commissioner of Patents FCA 879
mengguncang dunia HKI. Dr. Stephen Thaler mengajukan permohonan paten dengan
menamai sistem AI ciptaannya, DABUS, sebagai inventor. Pengadilan Federal
Australia pada tingkat pertama membuat putusan progresif dengan menyatakan
bahwa “inventor” dalam undang-undang paten tidak harus manusia. Namun,
putusan ini kemudian dibatalkan oleh Full
Bench of the Federal Court dalam putusan banding, yang menegaskan
bahwa berdasarkan interpretasi historis dan sistematis, inventor haruslah
seorang manusia (pribadi kodrati). Kasus ini memaksa kita untuk
merefleksikan definisi “Inventor” dalam Pasal 1 angka 3 UU Paten
Indonesia, yang menyatakan “seorang atau beberapa orang”. Apakah
definisi ini cukup fleksibel untuk menghadapi invensi yang dihasilkan secara
otonom oleh AI di masa depan?
-
Singapura –
Pentingnya Konstruksi Klaim Purposif dalam
kasus Lee Tat
Cheng v Maka GPS Technologies Pte Ltd SGCA 18,
sengketa berpusat pada paten kamera dasbor mobil. Pengadilan Banding Singapura
melakukan interpretasi klaim paten secara purposif (purposive construction),
tidak hanya terpaku pada makna literal kata-kata, tetapi mencari tujuan dan
esensi teknis dari invensi sebagaimana dipahami oleh seorang ahli di bidangnya.
Mereka menolak untuk mengadopsi “doktrin ekuivalen” ala Amerika yang lebih
luas, dan memilih pendekatan yang lebih seimbang. Kasus
ini memberikan pelajaran berharga bagi para pemohon paten di Indonesia
tentang pentingnya menyusun klaim yang tidak hanya akurat secara literal tetapi
juga kuat secara konseptual untuk melindungi inti dari invensi;
-
Amerika
Serikat – Batasan Objek yang Dapat Dipatenkan, sebagaimana Putusan Mahkamah Agung AS dalam Diamond v.
Chakrabarty, 447 U.S. 303 (1980)
adalah sebuah tonggak sejarah. Kasus ini
memutuskan bahwa mikroorganisme hasil rekayasa genetika dapat dipatenkan.
Mahkamah Agung menyatakan bahwa Kongres, dalam merumuskan undang-undang paten,
bermaksud agar subjek yang dapat dipatenkan mencakup “anything under the sun
that is made by man” (segala sesuatu di bawah matahari yang dibuat oleh
manusia). Putusan ini membuka pintu bagi industri bioteknologi modern.
Kasus ini relevan untuk memahami batasan filosofis dari apa yang dapat
dipatenkan dan menjadi pembanding kritis terhadap daftar pengecualian dalam
Pasal 9 UU Paten Indonesia, terutama yang berkaitan dengan
makhluk hidup.
Arah Baru Perlindungan Paten Indonesia Pasca-Reformasi
Prosedur pendaftaran paten di Indonesia, yang dikawal
oleh kerangka hukum yang terus berevolusi, mencerminkan upaya berkelanjutan
negara untuk menyeimbangkan perlindungan terhadap inovasi dengan kepentingan
publik yang lebih luas dan tujuan pembangunan ekonomi nasional. Dari analisis
yang telah dipaparkan, terlihat jelas bahwa sistem paten adalah sebuah
ekosistem yang kompleks, di mana keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh
kualitas invensi itu sendiri, tetapi juga oleh pemahaman mendalam terhadap prosedur
yuridis, ketelitian dalam penyusunan dokumen teknis, dan kesiapan dalam
menempuh jalur penegakan hukum.
Pengesahan Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2024
menandai sebuah babak baru yang progresif. Di satu sisi, undang-undang ini
menunjukkan visi ke depan dengan mengakomodasi perkembangan teknologi mutakhir
seperti invensi yang diimplementasikan komputer dan membuka ruang bagi inovasi
farmasi melalui second medical use. Pengakuan dan kewajiban pencantuman
Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan Tradisional juga merupakan langkah penting
dalam melindungi kekayaan hayati dan budaya bangsa. Namun, di sisi lain,
implementasi dari norma-norma baru ini akan menghadirkan tantangan. DJKI
memerlukan peningkatan kapasitas pemeriksa paten dengan keahlian di
bidang-bidang baru tersebut, dan kompleksitas sengketa di pengadilan
kemungkinan akan meningkat seiring dengan meluasnya lingkup objek yang dapat
dipatenkan.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin
dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang
tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto
& Rekan di sini.