Pertanyaan
Selamat sore bang, saya sudah baca Artikel Hukum yang
judulnya: “Prosedur
Pendaftaran Paten yang Wajib Kamu Pahami” kebetulan saya aktif juga di
Kantor Hukum yang fokus sama case-case Kekayaan Intelektual, saya mau sedikit
tanya pandangan abang, sama kasus Thaler
di Australia yang abang ada singgung dalam artikel abang, menurut abanglah,
apakah revisi dari UU 65/2024 kira kira bisa ngga menjangkau ke sana bang?
Selain itu, dalam Yurisprudensi internasional dari suatu yurisdiksi korelasinya
dengan sistem HKI yang matang, yang saya pahami pasti menawarkan cermin
berharga bagi kita di Indonesia ini untuk merefleksikan, menguji, dan
memperkuat kerangka hukum paten kita dong harusnya kan? Nah dari tiga kasus di
luar negeri yang abang kutip itu, utamanya kasus Thaler, kebetulan kami kemarin sempat bahas itu juga
dan saya juga mau ambil itu jadi thesis terkait Paten dan kajian strategis AI menjadi
inventor itu sendiri, berkaca sama kasus Thaler di Australia, menurut
abang apakah aturan paten kita sudah menyentuh aspek fundamental yang
sangat relevan dengan arah pengembangan hukum paten Indonesia pasca-UU 65/2024?
Itu aja bang terima kasih.
Jawaban
Selamat sore juga, Mas/Mbak. Terima kasih banyak atas
pertanyaannya yang sangat tajam dan relevan. Saya senang artikel tersebut bisa
menjadi bahan diskusi, terutama bagi Anda yang berkecimpung langsung di dunia
praktik hukum Kekayaan Intelektual.
Pertanyaan Anda menyentuh inti dari tantangan hukum
paten di era modern yaitu Apakah legislasi kita, khususnya pasca-UU 65/2024,
sudah cukup adaptif untuk menghadapi inovasi radikal seperti invensi yang
dihasilkan oleh Kecerdasan Buatan (AI), dan bagaimana yurisprudensi
internasional dapat menjadi cermin bagi arah pengembangan hukum kita?
Ini adalah topik yang sangat menarik dan krusial, terutama untuk kajian tesis Anda. Mari kita bedah bersama.
Jawaban singkatnya adalah belum secara eksplisit.
Meskipun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016
tentang Paten, yang selanjutnya disebut dengan “UU 65/2024”,
merupakan sebuah langkah maju yang progresif dalam banyak hal,
undang-undang tersebut belum menyentuh atau mengubah definisi fundamental
mengenai “Inventor”. Mari kita lihat dasarnya:
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 3 UU Paten
masih mendefinisikan Inventor sebagai
“seorang
atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang
dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi.”
Dalam tradisi hukum sipil (civil law) yang
dianut Indonesia, istilah “orang” (persoon) memiliki makna yuridis yang
sangat spesifik. Ia merujuk pada subjek hukum, yaitu pribadi yang dapat
memiliki hak dan kewajiban. Subjek hukum ini hanya terbagi dua:
1.
Manusia Pribadi (Natuurlijk
Persoon) yaitu individu manusia sejak lahir hingga meninggal dunia;
2.
Badan Hukum (Rechtspersoon),
yaitu kumpulan orang atau modal yang oleh hukum diberikan status sebagai “pribadi”
mandiri, seperti Perseroan Terbatas (PT) atau Yayasan.
Artinya jelas bahwa dalam doktrin hukum
Indonesia, istilah “orang” secara konsisten diartikan sebagai subjek
hukum, yang terdiri dari manusia pribadi (natuurlijk persoon)
dan badan hukum (rechtspersoon). Sedangkan, sebuah
sistem AI seperti DABUS, pada saat ini, tidak memiliki status sebagai subjek
hukum.
Sebuah sistem AI seperti DABUS, secanggih apa pun
kemampuannya dalam menghasilkan invensi, tidak masuk ke dalam salah satu dari
dua kategori tersebut untuk dapat dikategori sebagai subjek hukum. Pada
intinya, AI bukanlah manusia, dan hingga saat ini, belum ada undang-undang di
Indonesia yang memberikannya status sebagai subjek hukum. Dengan demikian,
secara hukum, AI adalah objek hukum (benda), bukan subjek hukum. Ia
tidak dapat “memiliki” ide atau “melaksanakan” ide tersebut dalam suatu
kegiatan dalam pengertian hukum.
Oleh karena itu, jika permohonan paten seperti yang
diajukan Dr. Thaler (dengan menamai AI sebagai inventor) diajukan di
Indonesia hari ini, kemungkinan besar akan ditolak pada tahap pemeriksaan
formalitas karena tidak memenuhi definisi yuridis “Inventor”.
Ini menarik juga, memang penting untuk diakui bahwa UU
65/2024 sangat progresif. Dengan mengakomodasi “invensi yang
diimplementasikan komputer” yang memiliki “efek teknis”, legislator
Indonesia telah menunjukkan kesadaran akan pentingnya melindungi inovasi di
bidang perangkat lunak dan teknologi digital. Namun, pembaruan ini secara
fundamental berfokus pada objek yang dapat dipatenkan (yaitu apa yang
bisa dilindungi), bukan pada subjek yang menciptakannya (siapa
yang bisa menjadi inventor).
Akibatnya, terciptalah sebuah kekosongan hukum (legislative
gap) yang signifikan. Apabila permohonan paten seperti yang diajukan Dr.
Thaler diajukan di Indonesia, DJKI hampir pasti akan menolaknya pada
tahap pemeriksaan formalitas, bahkan sebelum substansi invensinya yang mungkin
brilian itu sempat diperiksa. Alasannya sederhana yaitu formulir
pendaftaran tidak diisi oleh “orang” yang diakui oleh hukum.
Sebuah Konsensus Global (untuk Saat Ini)
Kasus Thaler di Australia bukanlah anomali; ia
memicu serangkaian litigasi serupa di yurisdiksi utama lainnya di luar
Indonesia. Hasilnya, hingga saat ini, membentuk sebuah konsensus yudisial yang
menarik. Di Australia sendiri dengan adanya Kasus Thaler v
Commissioner of Patents FCA 879, seperti yang sudah saya bahas dalam
tulisan sebelumnya, putusan tingkat pertama yang progresif dari Justice
Beach, yang menyatakan bahwa kata “inventor” adalah kata benda
agen (agent noun) yang tidak harus merujuk pada manusia, akhirnya dibatalkan
oleh Full Bench of the Federal Court. Dalam tahapan Pengadilan
banding menegaskan bahwa interpretasi historis dan sistematis
dari UU Paten Australia menghendaki inventor haruslah seorang manusia.
Sehingga, UU 65/2024, dengan segala kemajuannya, belum
secara proaktif mempersiapkan kerangka hukum untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan krusial yang dipicu oleh kasus Thaler, antara
lain:
1.
Kepemilikan
Hak
Siapa
yang seharusnya diakui sebagai pemilik hak atas invensi yang dihasilkan secara
otonom oleh AI? Apakah pemilik AI, programmer yang menciptakan algoritmanya,
atau pengguna yang memberikan input data dan mengarahkan prosesnya?;
2.
Standar
Inventif
Jika
AI diakui sebagai inventor, apakah standar “langkah inventif” (yang saat ini
diukur dari perspektif “person having ordinary skill in the art”
(seseorang dengan keahlian biasa di bidangnya)) masih relevan? Haruskah
standarnya ditingkatkan karena AI dapat memproses data dan “mencoba” jutaan
permutasi dalam hitungan detik?;
3.
Insentif
Inovasi
Tujuan
utama sistem paten adalah memberikan insentif untuk berinovasi dan
mengungkapkan inovasi tersebut kepada public. Jika invensi yang dihasilkan AI
tidak dapat dipatenkan, perusahaan mungkin akan memilih untuk melindunginya
sebagai rahasia dagang (masih masuk juga sebagai bagian dari Kekayaan
Intelektual meski beda Kamar). Tetapi, hal ini akan kontraproduktif terhadap tujuan
sistem paten karena pengetahuan baru tersebut tidak akan diungkapkan kepada
publik, sehingga menghambat kemajuan teknologi secara keseluruhan.
Kegagalan untuk mengatur isu ini secara jelas akan
menciptakan ketidakpastian hukum yang serius, yang pada akhirnya dapat
menghambat investasi dan pengembangan teknologi AI di Indonesia. Pelajaran dari
Thaler v Commissioner of Patents FCA 879 adalah bahwa Indonesia
memiliki kesempatan emas untuk belajar dari perdebatan yudisial di negara lain
dan merumuskan solusi legislatif yang jelas, komprehensif, dan antisipatif,
daripada menunggu sengketa serupa muncul di Pengadilan Niaga dan memaksa hakim
untuk menafsirkan undang-undang yang dirancang untuk era teknologi yang berbeda.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.