Pengantar
Rekayasa genetik merupakan manifestasi kulminasi dari
kemajuan ilmu pengetahuan di bidang bioteknologi, sebuah lompatan peradaban
yang memungkinkan manusia untuk memodifikasi cetak biru (blueprint)
kehidupan itu sendiri. Teknologi ini menjanjikan revolusi di berbagai sektor,
mulai dari ketahanan pangan melalui tanaman unggul, terapi gen untuk penyakit
mematikan, hingga solusi lingkungan yang inovatif.
Namun, di balik potensi kemajuan (potential
benefits) yang tak terbatas, tersimpan pula potensi risiko (potential
risks) yang fundamental, mencakup keamanan hayati, pergeseran ekologis,
serta dilema etika dan moral yang kompleks. Dialektika antara inovasi dan
regulasi ini menempatkan hukum pada posisi sentral sebagai instrumen untuk
menavigasi masa depan bioteknologi.
Kerangka hukum Indonesia, dalam merespons kehadiran
teknologi rekayasa genetik, secara sadar memilih landasan filosofis yang
fundamental, yaitu prinsip kehati-hatian (precautionary principle).
Prinsip ini termanifestasi dalam sebuah arsitektur peraturan perundang-undangan
yang komprehensif, bertujuan utama untuk mengelola dan memitigasi risiko
terhadap keamanan hayati—meliputi keamanan lingkungan, pangan, dan pakan.
Meskipun demikian, arsitektur yang telah dibangun ini
kini menghadapi tantangan signifikan pada dua front utama. Pertama,
tantangan adaptasi terhadap akselerasi inovasi teknologi yang eksponensial,
seperti kemunculan teknik penyuntingan genom (misalnya, CRISPR-Cas9)
yang menguji relevansi definisi hukum yang ada. Kedua, tantangan
harmonisasi antara rezim keamanan hayati yang ketat dengan rezim perlindungan
kekayaan intelektual (paten) yang masih menyisakan zona abu-abu yuridis,
sehingga berpotensi menghambat inovasi domestik.
Paradigma regulasi di Indonesia cenderung bersifat
reaktif terhadap risiko daripada proaktif dalam memfasilitasi inovasi. Hal ini
tecermin dari penekanan yang sangat kuat pada aspek “keamanan hayati” dalam
peraturan-peraturan utamanya, sebagai respons terhadap kekhawatiran global.
Sementara itu, kerangka untuk memberikan insentif inovasi, seperti kejelasan
mengenai invensi bioteknologi yang dapat dipatenkan, masih kurang terdefinisi
dengan baik.
Terjadi sebuah dikotomi dalam kebijakan hukum yaitu di
satu sisi, negara mengakui keberadaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) dan
mengatur peredarannya dengan sangat ketat; di sisi lain, negara belum
sepenuhnya membuka keran perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk
mendorong penciptaan PRG di dalam negeri. Pendekatan ini berisiko menjadikan
Indonesia lebih sebagai pasar bagi produk rekayasa genetik impor daripada
sebagai produsen inovasi bioteknologi domestik.
Dalam konteks ini, adagium hukum “lex semper dabit
remedium” (hukum selalu memberikan obat) menegaskan bahwa hukum tidak boleh
hanya menjadi penghalang, melainkan harus berfungsi sebagai instrumen yang
memberikan solusi, kepastian, dan arah di tengah disrupsi teknologi.
Pada saat yang sama, adagium “lex dura, sed tamen
scripta” (hukum itu keras, tetapi begitulah yang tertulis) mengingatkan
akan pentingnya kepatuhan terhadap kerangka yang ada, sembari membuka ruang
untuk mengkritisi kekakuan dan celah yang dimilikinya dalam menghadapi realitas
ilmiah yang terus berubah.
Artikel ini akan menelaah secara komprehensif dan
kritis lanskap hukum rekayasa genetik di Indonesia. Analisis akan mencakup
definisi fundamental, rezim pengawasan keamanan hayati, hingga tantangan
kontemporer yang dihadapi. Secara khusus, artikel ini akan membongkar bagaimana
perubahan fundamental dalam Undang-Undang Paten melalui diundangkannya
Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2024 secara dramatis mengubah kalkulasi dan
dinamika dalam dilema antara mitigasi risiko dan fasilitasi inovasi.
Definisi dan Ruang Lingkup Rekayasa Genetik dalam Kerangka Hukum Nasional
Fondasi yuridis bagi pengaturan rekayasa genetik di
Indonesia diletakkan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, yang
selanjutnya disebut dengan “PP 21/2005”. Sebagaimana ketentuan
Pasal 1 dari peraturan ini menyediakan definisi-definisi kunci yang menjadi
batu penjuru (cornerstone) bagi seluruh bangunan regulasi turunannya.
Definisi fundamental tersebut adalah sebagai berikut:
-
Produk
Rekayasa Genetik (PRG) atau Organisme
Hasil Modifikasi didefinisikan sebagai: “organisme hidup, bagian-bagiannya
dan/atau hasil olahannya yang mempunyai susunan genetik baru dari hasil
penerapan bioteknologi moderen.”;
-
Bioteknologi
Modern didefinisikan sebagai: “aplikasi
dari teknik perekayasaan genetik yang meliputi teknik Asam Nukleat in-vitro dan
fusi sel dari dua jenis atau lebih organisme di luar kekerabatan taksonomis.”;
-
Keamanan
Hayati Produk Rekayasa Genetik
didefinisikan sebagai: “keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau
keamanan pakan produk rekayasa genetik.”
Definisi-definisi ini secara tegas mengarahkan fokus
regulasi pada produk yang dihasilkan dari intervensi bioteknologi modern yang
mengubah susunan genetik asli suatu organisme. Berdasarkan fondasi ini,
kerangka hukum rekayasa genetik di Indonesia bersifat lintas sektoral, mencakup
berbagai bidang yang diatur oleh peraturan perundang-undangan spesifik, antara
lain:
1)
Pangan, pengaturan utama terdapat dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Peraturan
pelaksana yang paling mutakhir dan komprehensif adalah Peraturan Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 19 Tahun 2024 tentang Pengawasan Pangan Produk
Rekayasa Genetik, yang mengatur secara rinci prosedur persetujuan keamanan,
pengawasan, dan pelabelan pangan PRG;
2)
Lingkungan
Hidup, aspek keamanan lingkungan
diatur dalam payung hukum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Secara
teknis, prosedur pengujian keamanan lingkungan untuk tanaman PRG diatur dalam Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.69/MenLHK/Setjen/Kum.1/8/2016 tentang Tata Cara Pengujian Keamanan Lingkungan
Tanaman Produk Rekayasa Genetik di Lapangan Uji Terbatas;
3)
Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
secara eksplisit mengakui dan mengatur penggunaan bioteknologi modern dan
rekayasa genetik untuk perbaikan kualitas benih dan bibit ternak, serta untuk
penelitian dan pengembangan, dengan syarat tidak merugikan keanekaragaman
hayati dan Kesehatan;
4)
Kesehatan
Manusia, meskipun belum ada peraturan
yang secara spesifik mengatur rekayasa genetik pada manusia untuk tujuan
terapeutik, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang
Kesehatan memberikan landasan umum melalui pengaturan mengenai “Teknologi
Kesehatan”, yang dapat diinterpretasikan mencakup produk dan metode berbasis
bioteknologi.
Namun, definisi “Bioteknologi Modern” dalam PP
21/2005 yang menjadi acuan utama berpotensi menjadi usang (obsolete).
Definisi tersebut, yang berfokus pada “teknik Asam Nukleat in-vitro dan fusi
sel dari dua jenis atau lebih organisme”, sangat merefleksikan teknologi
DNA rekombinan generasi awal yang bersifat transgenik (memindahkan gen
antarspesies). Teknologi yang lebih baru seperti genome editing
(penyuntingan genom) melalui CRISPR-Cas9 memungkinkan modifikasi gen (seperti
menghapus atau mengubah urutan DNA) tanpa harus menyisipkan gen dari organisme
lain. Hal ini menciptakan ambiguitas yuridis yaitu apakah produk
hasil penyuntingan genom termasuk “PRG” menurut definisi hukum yang ada?
Kelemahan definisi dalam PP 21/2005 ini
tampaknya mulai disadari oleh regulator. Peraturan Badan POM Nomor 19
Tahun 2024 secara inovatif memasukkan bab khusus mengenai “Pengeditan
Genom”. Pasal 9 peraturan tersebut menyatakan bahwa pangan
yang dihasilkan melalui proses ini dapat dikategorikan sebagai Pangan PRG atau
non-PRG, dan penetapannya dilakukan sesuai mekanisme yang ditetapkan oleh
Komisi Keamanan Hayati (KKH) PRG.
Langkah ini merupakan manifestasi dari fenomena yang
dapat disebut sebagai asinkronisitas legislative yaitu di mana
regulator teknis di hilir (BPOM), yang berhadapan langsung dengan realitas
inovasi, terbukti lebih gesit dan responsif dibandingkan lembaga pembuat
peraturan di tingkat yang lebih tinggi. Terobosan yang dilakukan BPOM ini
adalah sebuah respons pragmatis untuk mengisi kekosongan norma yang
ditinggalkan oleh kerangka hukum di atasnya yang lebih lambat beradaptasi.
Ketergantungan pada keputusan ad hoc dari KKH
PRG untuk menentukan status hukum produk hasil genome editing tidak
hanya menciptakan ketidakpastian insidental bagi peneliti dan industri, tetapi
juga memperkuat argumen inti bahwa hukum seringkali berada dalam posisi
reaktif, terus-menerus 'mengejar' akselerasi teknologi alih-alih
mengantisipasinya.
Rezim Pengawasan dan Keamanan Hayati PRG di Indonesia
Untuk memastikan bahwa pemanfaatan Produk Rekayasa
Genetik (PRG) tidak menimbulkan dampak negatif, Indonesia telah membangun rezim
pengawasan dan keamanan hayati yang terstruktur dan berlapis. Sentral dari
rezim ini adalah keberadaan lembaga, prosedur, dan standar yang ketat.
Pilar utama dalam arsitektur kelembagaan ini adalah Komisi
Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH PRG). Dibentuk berdasarkan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2010, KKH PRG merupakan
lembaga non-struktural yang bertugas memberikan rekomendasi ilmiah dan teknis
mengenai keamanan hayati kepada menteri atau kepala lembaga yang berwenang.
Regulasi di Indonesia mengatur alur pemanfaatan PRG
secara bertahap, mulai dari penelitian di fasilitas tertutup, pengujian
keamanan lingkungan di Lapangan Uji Terbatas (LUT), hingga prosedur pemasukan
dari luar negeri. Untuk produk pangan, pengawasan yang lebih spesifik dilakukan
oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui Peraturan Badan POM
Nomor 19 Tahun 2024. Peraturan ini memuat ketentuan krusial seperti kewajiban
persetujuan keamanan pangan, kewajiban pelabelan dengan tulisan “PRODUK
REKAYASA GENETIK”, dan mekanisme penarikan produk jika terbukti menimbulkan
dampak negatif.
Kebijakan ambang batas pelabelan 5% (lima) dan
pengecualian untuk produk yang telah dimurnikan menciptakan sebuah “paradoks
informasi” bagi konsumen. Di satu sisi, kebijakan ini praktis dari sudut
pandang teknis pengujian dan harmonisasi internasional. Namun, di sisi lain,
hal ini berarti konsumen yang memiliki preferensi etis, agama, atau
kehati-hatian untuk menghindari seluruh produk yang berasal dari rantai pasok
rekayasa genetik tidak mendapatkan informasi yang utuh. Sebagai contoh, minyak
goreng yang berasal dari kedelai PRG atau sirup jagung fruktosa tinggi dari
jagung PRG tidak akan memiliki label “PRODUK REKAYASA GENETIK” karena produk
akhirnya tidak lagi mengandung DNA atau protein PRG yang terdeteksi.
Hal ini menunjukkan bahwa fokus regulasi lebih tertuju
pada keamanan substansi akhir produk (ada atau tidaknya materi genetik asing)
daripada pada transparansi mengenai asal-usul proses produksinya, yang dapat
berpotensi tidak sepenuhnya memenuhi hak konsumen atas informasi (the right
to know).
Telaah ini dapat diperluas untuk mencakup implikasi
yang lebih luas di arena perdagangan internasional. Kebijakan pelabelan suatu
negara tidak hanya berdampak pada konsumen domestik, tetapi juga secara
langsung memengaruhi posisi tawar dan daya saing produk negara tersebut di
pasar global. Yurisdiksi lain, terutama Uni Eropa, menerapkan rezim pelabelan
yang jauh lebih ketat yang menuntut ketertelusuran (traceability) penuh
dari ladang hingga meja makan.
Kebijakan Indonesia yang relatif lebih longgar,
meskipun mungkin praktis dari sudut pandang industri domestik, berpotensi
menjadi hambatan non-tarif yang signifikan ketika produk pangan olahan
Indonesia hendak diekspor ke pasar-pasar dengan standar transparansi dan
perlindungan konsumen yang lebih tinggi. Ini adalah konsekuensi ekonomi-politik
dari sebuah kebijakan teknis keamanan pangan.
Rekayasa Genetik sebagai Objek Perlindungan Paten: Batasan dan Peluang
Perlindungan hukum atas inovasi di bidang rekayasa
genetik bersinggungan langsung dengan rezim Hak Kekayaan Intelektual, khususnya
paten. Di Indonesia, kerangka hukum yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2016 tentang Paten, yang selanjutnya disebut dengan “UU Paten”.
UU Paten yang baru ini mencoba menyeimbangkan antara pemberian
insentif bagi inovasi teknologi dengan perlindungan terhadap moralitas,
ketertiban umum, dan sumber daya hayati nasional.
Pergeseran Paradigma: Invensi yang Dapat dan Tidak Dapat Diberi Paten
Secara umum, paten diberikan untuk invensi yang baru,
mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri. Namun, UU
Paten secara eksplisit menetapkan beberapa pengecualian (exclusions)
terhadap invensi yang tidak dapat diberi paten. Pasal 9 UU Paten
menjadi pasal krusial yang menentukan batas-batas patentable subject matter
di bidang bioteknologi.
UU Nomor 65 Tahun 2024 membawa perubahan signifikan
pada pasal ini. Perubahan paling menonjol adalah pada Pasal 9 huruf a,
yang kini menyatakan invensi yang tidak dapat diberi paten meliputi:
proses,
produk, metode, sistem, dan penggunaan, yang pengumuman, penggunaan, atau
pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama,
ketertiban umum, atau kesusilaan;
Perubahan ini menggantikan klausul lama yang lebih
sempit dengan sebuah klausul moralitas yang bersifat umum dan luas. Ini
menandakan sebuah pergeseran paradigma, di mana penilaian patentabilitas
tidak lagi hanya didasarkan pada larangan-larangan teknis yang kaku, tetapi
juga pada penilaian substantif yang berbasis nilai. Pendekatan ini mendekatkan
Indonesia pada kerangka hukum di yurisdiksi lain, seperti Uni Eropa, yang
melarang invensi yang eksploitasi komersialnya bertentangan dengan ordre
public atau moralitas.
Sementara itu, dua ketentuan yang secara historis
menjadi pusat perdebatan dalam paten bioteknologi tetap dipertahankan tanpa
perubahan dalam UU Paten yang baru:
1.
Pasal 9
huruf d, yang menyatakan invensi
yang tidak dapat diberi paten meliputi: “makhluk hidup, kecuali jasad renik”.
Ketentuan ini pada dasarnya mempertahankan larangan paten atas hewan dan
tumbuhan. Namun, pengecualian untuk “jasad renik” tetap menjadi pintu masuk
yang krusial. Penjelasan Pasal 9 huruf d dalam UU No. 65 Tahun 2024 masih
memberikan interpretasi yang luas terhadap istilah “jasad renik”, yang mencakup
“sel terekayasa, dan material genetik terekayasa lainnya”. Frasa inilah
yang membuka ruang bagi perlindungan paten atas produk rekayasa genetik pada
level molekuler;
2.
Pasal 9
huruf e, yang menyatakan invensi
yang tidak dapat diberi paten meliputi: “proses biologis yang esensial untuk
memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses
mikrobiologis.” Penjelasan pasal ini memperjelas bahwa larangan ini merujuk
pada proses penyilangan konvensional, sementara proses yang melibatkan
intervensi teknis seperti “bentuk rekayasa genetika” secara eksplisit
dikecualikan dari larangan tersebut. Dengan demikian, metode atau proses untuk
menciptakan organisme transgenik secara tegas dapat dilindungi paten.
Penguatan Kewajiban Pengungkapan Asal Sumber Daya Genetik
UU Nomor 65 Tahun 2024 juga secara signifikan
memperkuat mekanisme untuk mencegah praktik biopirasi melalui perubahan pada Pasal
26 UU Paten. Ketentuan baru ini tidak hanya mewajibkan pemohon paten
untuk menyebutkan asal Sumber Daya Genetik (SDG) dan/atau Pengetahuan
Tradisional (PT), tetapi juga menambahkan bahwa:
-
Informasi asal
SDG/PT tersebut akan dicatat dan diumumkan secara elektronik dan/atau
non-elektronik;
-
Informasi
tersebut secara eksplisit dimaksudkan untuk menjadi pertimbangan dalam
pembagian hasil dan/atau akses pemanfaatan SDG/PT;
-
Pelaksanaan
pembagian hasil tersebut harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan perjanjian
internasional yang relevan.
Perubahan ini menciptakan hubungan yang jauh lebih
kuat dan formal antara sistem paten dengan rezim access and benefit
sharing, memberikan landasan hukum yang lebih kokoh untuk menuntut
pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatan kekayaan hayati nasional.
Ambiguitas yang Bertahan dan Transformasi Ketidakpastian Hukum
Meskipun telah diperbarui, kerangka hukum paten ini
masih menyisakan ambiguitas fundamental. Penjelasan Pasal 9 huruf d
yang memasukkan “material genetik terekayasa lainnya” sebagai jasad
renik yang dapat dipatenkan tetap menciptakan peluang sekaligus ketidakpastian
hukum. Frasa ini sangat luas dan dapat ditafsirkan secara beragam. Apakah
ini mencakup sekuens gen manusia yang diisolasi? Ataukah complementary DNA
(cDNA) yang bersifat sintetik?
Ambiguitas ini menjadi sangat krusial jika ditempatkan
dalam konteks perdebatan yurisprudensi internasional. Mahkamah Agung Amerika
Serikat dalam kasus Myriad
Genetics membedakan secara tegas antara DNA yang diisolasi (dianggap
produk alam dan tidak dapat dipatenkan) dengan cDNA (dianggap buatan manusia
dan dapat dipatenkan). Sementara itu, Pengadilan
Tinggi Australia dalam kasus yang sama menolak paten untuk keduanya dengan
alasan bahwa substansi esensial dari invensi tersebut adalah informasi genetik
yang merupakan produk alam. Posisi hukum Indonesia melalui frasa “material
genetik terekayasa” tidak secara eksplisit memihak pada salah satu interpretasi
tersebut.
Diundangkannya UU Nomor 65 Tahun 2024 tidak
menghilangkan ketidakpastian ini, melainkan mentransformasikannya. Kini, selain
ambiguitas teknis pada Pasal 9 huruf d, muncul pula potensi
ketidakpastian interpretasi pada klausul moralitas di Pasal 9 huruf a.
Pertanyaan kuncinya bukan lagi sekadar “apakah materi genetik ini termasuk
jasad renik?”, tetapi juga “apakah eksploitasi komersial dari invensi
genetik ini bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan menurut tafsir
Indonesia?”. Tanpa adanya pedoman pemeriksaan yang jelas, ketidakpastian
hukum ini dapat menjadi disinsentif bagi investasi dan inovasi di sektor
bioteknologi.
Yurisprudensi dan Sengketa Hukum: Perspektif Domestik dan Komparatif
Analisis terhadap putusan pengadilan (yurisprudensi)
memberikan gambaran nyata mengenai bagaimana norma hukum diinterpretasikan dan
ditegakkan dalam praktik. Dalam konteks rekayasa genetik, perbandingan antara
yurisprudensi domestik dan internasional menyoroti perbedaan fundamental dalam
fokus dan kematangan diskursus hukum.
Sengketa di Indonesia: Menganalisis Kekosongan Yurisprudensi
Dalam Penelusuran yang saksama terhadap Direktori
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia menunjukkan ketiadaan putusan yang
substantif mengadili sengketa paten bioteknologi. Fenomena ‘kekosongan
yurisprudensi’ ini, alih-alih menunjukkan ketiadaan masalah, justru bisa
menjadi gejala dari persoalan struktural yang lebih dalam. Ketiadaan kasus ini
kemungkinan besar bukan disebabkan oleh ketiadaan sengketa, melainkan oleh faktor-faktor
seperti:
(1)
inovasi
bioteknologi domestik yang siap dikomersialkan mungkin masih relatif rendah;
(2)
biaya
litigasi HKI yang tinggi menjadi disinsentif kuat bagi para pihak; dan
(3)
ketidakpastian
hukum yang ada membuat investor enggan memasuki arena yang berisiko tinggi akan
sengketa.
Dengan demikian, ketiadaan yurisprudensi adalah sebuah
akibat yang perlu dianalisis penyebabnya, bukan sekadar cerminan dari
fokus isu. Sengketa yang muncul di Indonesia, salah satu kasus yang paling
dikenal adalah gugatan yang diajukan oleh Koalisi Organisasi Non-Pemerintah
untuk Keamanan Hayati dan Pangan pada tahun 2001. Gugatan tersebut menentang Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Terbatas Kapas
Transgenik Bt. Para penggugat berargumen bahwa pelepasan tersebut
melanggar prinsip kehati-hatian dan berpotensi merusak lingkungan. Setelah
melalui proses peradilan yang panjang, Mahkamah Agung pada tahun 2005 akhirnya
menolak permohonan kasasi dari para penggugat. Kasus ini menjadi
preseden penting yang menunjukkan bahwa pertentangan hukum seputar rekayasa
genetik di Indonesia lebih banyak berfokus pada isu kebijakan publik, dampak
lingkungan, dan keamanan hayati, daripada perebutan hak eksklusif melalui
mekanisme hukum paten.
Studi Komparatif: Evolusi Sengketa dari Myriad ke CRISPR
Berbeda dengan Indonesia, yurisprudensi internasional
telah membentuk lanskap hukum paten global. Kasus-kasus historis seperti Diamond v.
Chakrabarty dan Association for
Molecular Pathology v. Myriad Genetics, Inc. di AS menjadi fondasi
penting yang menjawab pertanyaan “apakah gen dapat dipatenkan?”.
Namun, untuk memperkaya analisis, sengketa paten
mengenai CRISPR-Cas9 antara Broad Institute dan University of
California merupakan studi kasus yang jauh lebih relevan
untuk tantangan kontemporer. Sengketa CRISPR tidak lagi mempersoalkan “apakah
gen dapat dipatenkan?”, melainkan bergeser ke pertanyaan yang jauh
lebih subtil dan kompleks:
“Siapa
yang lebih dulu memiliki conception (konsepsi penemuan) yang definitif
dan permanen, bahkan sebelum penemuan itu berhasil dibuktikan secara
eksperimental di laboratorium (reduction to practice)?”
Putusan U.S.
Court of Appeals for the Federal Circuit dalam sengketa ini memberikan
pelajaran krusial. Pengadilan mengklarifikasi bahwa conception (yaitu
pembentukan ide yang definitif dan permanen mengenai penemuan yang lengkap dan
operatif di benak penemu) tidak mensyaratkan kepastian bahwa ide tersebut
akan berhasil. Selama ide tersebut cukup jelas sehingga seorang ahli di
bidangnya dapat mereduksinya menjadi praktik dengan keterampilan rutin tanpa
perlu penelitian atau eksperimen yang ekstensif, maka konsepsi telah terjadi.
Pelajaran ini sangat relevan bagi Indonesia yaitu seiring
dengan semakin kompleksnya bioteknologi, sengketa HKI akan bergeser dari ranah
material ke ranah yang sangat konseptual, menguji kedalaman pemahaman hukum
terhadap proses inovasi itu sendiri.
Proyeksi dan Arah Kebijakan Hukum Rekayasa Genetik di Masa Depan
Sehingga dalam suatu analisa komprehensif terhadap
kerangka hukum rekayasa genetik di Indonesia menyingkap sebuah lanskap yang
kompleks dan penuh tantangan. Di satu sisi, Indonesia telah berhasil membangun
fondasi regulasi yang kuat berbasis prinsip kehati-hatian. Di sisi lain, kerangka
hukum paten, bahkan setelah diperbarui melalui UU Nomor 65 Tahun 2024, masih
menyisakan ambiguitas yang perlu segera diatasi untuk mendorong kemajuan
bioteknologi domestik.
Dengan telah diundangkannya UU Paten yang baru, fokus
kebijakan harus bergeser dari advokasi legislasi ke aksi implementasi yang
cepat dan efektif. Rekomendasi kebijakan yang sebelumnya relevan kini perlu
disesuaikan secara fundamental.
Berdasarkan temuan tersebut, berikut adalah beberapa
rekomendasi kebijakan yang telah diperbarui:
Untuk Lembaga Eksekutif (Pemerintah, khususnya DJKI)
1.
Penerbitan
Peraturan Pelaksana dan Pedoman Pemeriksaan Paten (Prioritas Utama)
Mendesak
pemerintah untuk segera menerbitkan Peraturan Pelaksana dan Pedoman
Pemeriksaan Paten di Bidang Bioteknologi yang komprehensif. Pedoman ini
menjadi krusial untuk dua hal:
-
Memberikan
panduan interpretatif yang jelas dan terukur terhadap klausul baru yang
bersifat umum, yaitu “ketertiban umum atau kesusilaan” sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 huruf a UU Paten. Tanpa panduan ini, pasal
tersebut berisiko menjadi “pasal karet” yang implementasinya subjektif dan
menciptakan ketidakpastian hukum;
-
Memberikan
klarifikasi teknis mengenai interpretasi frasa ambigu yang dipertahankan, yaitu
“material genetik terekayasa lainnya” dalam penjelasan Pasal 9
huruf d. Pedoman ini harus merujuk pada praktik dan yurisprudensi
internasional untuk memberikan kepastian hukum maksimal bagi inovator dan
pemeriksa paten.
2.
Peningkatan
Kapasitas Regulator (KKH PRG dan BPOM)
Terus
meningkatkan kapasitas kelembagaan untuk melakukan pengkajian dan pengawasan
terhadap produk-produk hasil teknologi baru seperti genome editing,
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan industri.
Untuk Lembaga Legislatif (DPR dan Pemerintah)
Mendorong Undang-Undang Payung Bioteknologi, dalam
jangka panjang, tetap mendorong penyusunan undang-undang payung tentang
bioteknologi yang mengintegrasikan berbagai aspek secara holistik, mencakup
keamanan hayati, pertimbangan etika (bioetika), rezim HKI, mekanisme access
and benefit sharing yang kini telah diperkuat dalam UU Paten, serta
perumusan sanksi pidana yang spesifik untuk penyalahgunaan teknologi hayati.
Untuk Lembaga Yudikatif (Mahkamah Agung)
Peningkatan Kapasitas Hakim (Semakin Mendesak), rekomendasi
ini menjadi semakin krusial dan mendesak pasca-UU No. 65 Tahun 2024.
Dengan adanya klausul yang bersifat terbuka untuk interpretasi seperti “ketertiban
umum atau kesusilaan”, hakim di Pengadilan Niaga akan menjadi penafsir akhir
dari batas-batas etis paten bioteknologi di Indonesia. Oleh karena itu, program
pelatihan berkelanjutan yang melibatkan ahli teknis, ahli etika, dan ahli hukum
HKI komparatif menjadi sebuah keniscayaan.
Pada akhirnya, masa depan pengaturan rekayasa genetik
di Indonesia tidak hanya bergantung pada teks hukum yang telah diperbarui,
tetapi pada kemampuan seluruh sistem hukum (legislatif, eksekutif, dan
yudikatif) untuk membangun dialog yang dinamis dan berkelanjutan dengan
komunitas ilmiah, industri, dan masyarakat luas. Hanya dengan cara itulah hukum
dapat menunaikan fungsinya, tidak hanya sebagai penjaga keamanan, tetapi juga
sebagai pemandu menuju masa depan inovasi yang adil, etis, dan bermanfaat bagi
kemanusiaan.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.