Pertanyaan
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Pak Eka, semoga
selalu sehat dan diberikan kelancaran di setiap urusannya, selamat Malam, saya
mau nanya, terkait isu HKI yang sedang kami hadapi di perusahaan. Perkenalkan,
saya Budi, manajer pengembangan bisnis dari PT SF, sebuah perusahaan importir
dan distributor farmasi di Jakarta. Saat ini, kami sedang menjajaki peluang
untuk mengimpor obat terapi kanker inovatif yang sangat dibutuhkan oleh pasien
di Indonesia. Masalahnya, obat asli yang dipatenkan oleh korporasi multinasional
PharmaGlobal harganya sangat mahal, sehingga sulit dijangkau oleh sebagian
besar masyarakat.
Baru-baru ini, kami mendapatkan informasi bahwa sebuah
perusahaan farmasi generik terkemuka di India, yaitu IndoGenerics, telah
berhasil memperoleh Lisensi Wajib dari Pemerintah India untuk memproduksi dan
menjual versi generik dari obat kanker tersebut dengan harga yang jauh lebih
murah. Paten atas obat yang sama juga terdaftar dan berlaku di Indonesia atas
nama PharmaGlobal.
Rencana kami adalah mengimpor obat generik yang lebih
terjangkau tersebut dari IndoGenerics untuk kami pasarkan di Indonesia. Tentu
kami tidak ingin melanggar paten milik PharmaGlobal yang ada di sini. Rekan
saya berpendapat bahwa karena IndoGenerics sudah memegang Lisensi Wajib yang
sah dari India, maka PT kami hanya perlu melakukan semacam “pencatatan” atau “pendaftaran”
atas Lisensi Wajib dari India tersebut ke Ditjen HAKI Kemenkumham RI agar kami
memiliki dasar hukum yang kuat untuk melakukan impor dan distribusi di
Indonesia. Logikanya, ini akan lebih cepat daripada harus memulai proses
permohonan Lisensi Wajib yang baru dari nol di Indonesia.
Pertanyaan saya, Pak:
1.
Apakah asumsi
kami ini benar secara hukum? Apakah hukum paten Indonesia memungkinkan kami
untuk sekadar mendaftarkan atau mencatatkan Lisensi Wajib yang sudah terbit di
luar negeri untuk mendapatkan legalitas impor?
2.
Apabila memang
bisa, bagaimana prosedurnya? Dan jika tidak bisa, mengapa demikian? Apa dasar
hukum yang melarangnya, dan langkah hukum apa yang seharusnya kami tempuh untuk
dapat mengedarkan obat generik tersebut secara sah di Indonesia tanpa melanggar
paten yang ada?
Mohon pencerahannya, Pak. Terima kasih banyak.
Jawaban
Pengantar
Terima kasih kembali, Pak Budi, atas pertanyaan Anda
yang sangat relevan dan menggambarkan dilema praktis yang sering dihadapi oleh
para pelaku usaha di era perdagangan global saat ini. Pertanyaan Anda mengenai kemungkinan
“mencatatkan” Lisensi Wajib dari India untuk mengimpor produk farmasi generik
ke Indonesia menyentuh inti dari prinsip kedaulatan hukum dan perlindungan hak
kekayaan intelektual.
Permasalahan yang diajukan
oleh PT SF, sebuah perusahaan importir dan distributor farmasi, mencerminkan
dilema yang semakin umum dalam lanskap perdagangan global, di mana realitas
komersial lintas batas bersinggungan dengan kerangka hukum kekayaan intelektual
(HKI) yang secara fundamental bersifat teritorial.
PT SF menghadapi tantangan
signifikan dalam menyediakan obat terapi kanker inovatif yang dipatenkan oleh
PharmaGlobal dengan harga terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Harga obat asli
yang sangat mahal memicu PT SF untuk menjajaki impor obat generik yang
diproduksi oleh IndoGenerics, sebuah perusahaan di India yang telah memperoleh
Lisensi Wajib (Compulsory License) dari Pemerintah India untuk produk
yang sama.
Asumsi awal yang
dipertimbangkan oleh PT SF adalah bahwa Lisensi Wajib yang sah dari India
dapat digunakan sebagai dasar hukum di Indonesia dengan hanya “mencatatkan”
atau “mendaftarkannya” pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual
(Ditjen HKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Premis ini didasarkan pada logika yang bersifat efisiensi, yaitu menghindari
proses permohonan Lisensi Wajib yang baru di Indonesia. Namun, seperti
yang akan diuraikan dalam artikel ini, asumsi tersebut keliru dan berpotensi
menimbulkan risiko hukum dan komersial yang serius, termasuk gugatan
pelanggaran paten.
Prinsip Fundamentalisme Paten
Sebuah Lisensi Wajib yang
diberikan oleh Pemerintah India adalah sebuah tindakan hukum administratif
yang dilakukan oleh negara tersebut terhadap objek hukum yang berada dalam
yurisdiksinya, yaitu paten India. Keputusan tersebut tidak memiliki
daya laku (rechtskracht) atau relevansi hukum apapun terhadap paten
Indonesia, meskipun keduanya melindungi invensi yang sama.
Oleh karena itu, Lisensi
Wajib yang dimiliki IndoGenerics di India tidak memberikan hak apa pun kepada
PT SF untuk mengimpor atau mengedarkan produk di Indonesia. Upaya PT
SF untuk “mencatatkan” lisensi asing ini di Indonesia secara
fundamental bertentangan dengan prinsip kedaulatan hukum negara.
Penting untuk dipahami
bahwa meskipun Lisensi Wajib adalah instrumen yang diakui secara global sebagai
bagian dari fleksibilitas perjanjian internasional, setiap negara menerapkan
mekanisme implementasi yang berbeda, yang terikat pada kedaulatan hukumnya
masing-masing. Perbedaan antara landasan filosofis (mengapa suatu instrumen
ada) dan mekanisme praktis (bagaimana instrumen tersebut diterapkan)
sangat esensial.
Bahwa PT SF untuk mencari “jalan
pintas” melalui “pencatatan” lisensi asing menunjukkan pemahaman yang keliru
terhadap mekanisme praktis ini, meskipun mungkin secara intuitif benar dalam
memahami bahwa ada landasan global untuk transfer produk berlisensi wajib. Oleh
karenanya dalam Artikel kami akan menunjukkan mengapa jalur yang
dipertimbangkan PT SF tidak sah dan mengapa kedaulatan negara dalam
mengatur HKI tidak dapat dinegosiasikan.
Definisi Lisensi Wajib Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Untuk dapat menjawab permasalahan utama secara akurat,
langkah pertama yang fundamental adalah memahami “terminology” dan “konsep
hukum” yang digunakan dalam sistem hukum paten Indonesia. Kerangka hukum primer
yang menjadi rujukan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2016 tentang Paten, sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2024
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten,
yang selanjutnya disebut dengan “UU Paten”.[1]
UU Paten
secara tegas membedakan antara dua jenis lisensi yaitu Lisensi yang
bersifat sukarela (voluntary license) dan Lisensi Wajib (compulsory
license). Pembedaan ini krusial karena keduanya lahir dari sumber
hukum dan memiliki sifat yuridis yang berbeda secara diametral.
Definisi Lisensi (Lisensi Sukarela)
Sebelum mendalami Lisensi Wajib, penting untuk
terlebih dahulu memahami konsep dasar dari lisensi dalam konteks paten. Lisensi
pada hakikatnya adalah sebuah izin yang bersifat kontraktual. Ia lahir dari
kehendak bebas (vrijwillig) para pihak, yaitu antara pemegang paten
sebagai pemberi lisensi (licensor) dan pihak lain sebagai penerima
lisensi (licensee). Sifat kontraktual ini ditegaskan dalam Pasal
76 ayat (1) UU Paten yang menyatakan:
“Pemegang
Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian
Lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1).”
Interpretasi dari pasal ini menegaskan bahwa Lisensi
adalah produk dari hukum perdata, khususnya hukum perjanjian, yang tunduk
pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Para pihak bebas menentukan syarat dan
ketentuan lisensi, seperti ruang lingkup (eksklusif atau non-eksklusif), jangka
waktu, wilayah, dan besaran royalti. Dengan demikian, Lisensi sukarela
merupakan manifestasi dari pelaksanaan hak eksklusif pemegang paten untuk
mengkomersialkan invensinya melalui kerja sama dengan pihak lain.
Definisi Lisensi Wajib
Berbeda secara fundamental dengan Lisensi sukarela, Lisensi
Wajib bukanlah sebuah perjanjian. Ia adalah suatu instrumen hukum
publik yang lahir dari intervensi negara. Lisensi Wajib merupakan
suatu otorisasi yang diberikan oleh pemerintah kepada pihak ketiga (atau
pemerintah sendiri) untuk melaksanakan suatu invensi yang dilindungi paten
tanpa memerlukan persetujuan dari pemegang paten.
Mekanisme ini merupakan salah satu bentuk
fleksibilitas (flexibilities) yang diakui dalam perjanjian
internasional, seperti Agreement on
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (Perjanjian TRIPS),
yang diadopsi ke dalam hukum nasional untuk menyeimbangkan hak eksklusif
pemegang paten dengan kepentingan publik yang lebih luas, seperti kesehatan,
keamanan, dan pembangunan ekonomi nasional.
Sehingga, perlu dicatat di
sini bahwa Lisensi Wajib dari India tidak memiliki daya laku di Indonesia,
konteks internasional memberikan pemahaman yang lebih luas tentang isu ini.
Perjanjian TRIPS (Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual
Property Rights) dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mewajibkan
negara-negara anggota untuk memberikan perlindungan paten, namun juga mengakui
fleksibilitas untuk mengatasi masalah kesehatan publik. Fleksibilitas ini
secara resmi ditegaskan melalui Deklarasi
Doha tentang Perjanjian TRIPS dan Kesehatan Publik (2001).
Deklarasi Doha menegaskan
bahwa setiap negara anggota WTO memiliki hak untuk menggunakan fleksibilitas
dalam Perjanjian TRIPS, termasuk penerbitan Lisensi Wajib, untuk melindungi
kesehatan publik dan mempromosikan akses ke obat-obatan. Namun, muncul masalah
bagi negara-negara yang tidak memiliki kapasitas manufaktur farmasi untuk
memanfaatkan Lisensi Wajib secara efektif. Untuk mengatasi masalah ini,
dibentuklah Sistem Paragraf 6 dalam Deklarasi Doha. Sistem ini menyediakan
mekanisme bagi negara-negara dengan “kapasitas manufaktur yang tidak memadai
atau tidak ada” untuk mengimpor produk farmasi yang diproduksi berdasarkan
Lisensi Wajib di negara pengekspor.
Sistem Paragraf 6 secara
internasional mengakui prinsip transfer produk semacam itu. Namun,
implementasinya harus tetap melalui kerangka hukum domestik yang sah dari
negara pengimpor. Dengan kata lain, Deklarasi Doha dan Paragraf 6 bukanlah “paspor”
yang memungkinkan impor secara otomatis, melainkan “izin” bagi negara-negara
anggota untuk menciptakan dan menggunakan mekanisme hukum domestik mereka
sendiri untuk tujuan tersebut. Dalam konteks kasus PT SF, Lisensi Wajib
IndoGenerics di India lahir dari kerangka hukum India, namun hak untuk
mengimpor produk tersebut ke Indonesia hanya dapat diperoleh melalui mekanisme
hukum Indonesia yang relevan.
Selanjutnya mari kita lihat, definisi yuridis Lisensi
Wajib di Indonesia diatur dalam Pasal 1 Angka 14 UU Paten, yang
mendefinisikannya sebagai:
“Lisensi-wajib
adalah Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan oleh Menteri
berdasarkan permohonan.”
Selanjutnya, Pasal 82 ayat (1) UU Paten
mengatur dasar pemberiannya:
“Lisensi-wajib
merupakan Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan oleh Menteri atas
dasar permohonan, dengan alasan:
a.
Pemegang Paten
tidak melaksanakan kewajiban untuk membuat produk atau menggunakan proses di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dalam jangka waktu 36 (tiga
puluh enam) bulan setelah Paten diberikan;
b.
Paten telah
dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan
cara yang merugikan kepentingan masyarakat; atau
c.
Paten hasil
pengembangan dari Paten yang telah diberikan sebelumnya tidak dapat
dilaksanakan tanpa menggunakan Paten pihak lain yang masih dalam pelindungan.”
Dari ketentuan-ketentuan tersebut, dapat ditarik
beberapa kesimpulan konseptual yang esensial. Pertama, Lisensi Wajib
tidak lahir dari kesepakatan para pihak, melainkan dari sebuah keputusan
administratif (beschikking) yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia. Kedua, pemberiannya tidak didasarkan pada kehendak
bebas, melainkan pada pemenuhan syarat-syarat limitatif yang telah
ditetapkan secara tegas oleh undang-undang. Ketiga, Lisensi
Wajib adalah sebuah pengecualian terhadap hak eksklusif pemegang paten,
yang diberlakukan sebagai instrumen kebijakan publik.
Perbedaan mendasar ini (Lisensi sukarela sebagai
produk hukum perdata dan Lisensi Wajib sebagai produk hukum administrasi negara)
menjadi kunci untuk memahami mengapa sebuah Lisensi Wajib yang
diterbitkan oleh otoritas negara asing tidak dapat diperlakukan sebagai sebuah
perjanjian yang cukup untuk “dicatatkan” di Indonesia. Ia adalah sebuah
tindakan kedaulatan negara asing yang tidak memiliki daya laku (rechtskracht)
di dalam yurisdiksi (kekuasaan hukum) Indonesia.
Prosedur dan Syarat Pengajuan Permohonan Lisensi Wajib di Indonesia
Kemudian, pemahaman kita juga terhadap prosedur
pengajuan Lisensi Wajib di Indonesia semakin mempertegas bahwa mekanisme ini
bukanlah sekadar formalitas pendaftaran, melainkan sebuah proses administratif
yang bersifat quasi-judicial. Proses ini melibatkan pemeriksaan
substantif yang mendalam, pembuktian, dan penyeimbangan kepentingan antara
pemohon, pemegang paten, dan kepentingan publik. Tata cara pengajuan
Lisensi Wajib diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2019 tentang Tata Cara
Pemberian Lisensi-Wajib Paten, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 30
Tahun 2019 Tentang Tata Cara Pemberian Lisensi-Wajib Paten, yang
selanjutnya disebut dengan “Permenkumham 30/2019”.
Proses pengajuan Lisensi Wajib di Indonesia dapat
dijabarkan dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.
Pemenuhan
Syarat Prasyarat: Upaya Negosiasi
Sebelum
dapat mengajukan permohonan Lisensi Wajib, hukum Indonesia mensyaratkan adanya
itikad baik dari pemohon. Sebagaimana ketentuan Pasal 83 ayat (1) huruf b
UU Paten dan penjelasannya, serta dielaborasi dalam Pasal
13 ayat (1) huruf b Permenkumham 30/2019, mewajibkan pemohon untuk
terlebih dahulu berusaha mendapatkan lisensi sukarela dari pemegang paten “atas
dasar persyaratan dan kondisi yang wajar”. Upaya ini harus dilakukan secara
sungguh-sungguh dalam jangka waktu yang cukup, yang ditetapkan maksimal selama
12 bulan, namun tidak membuahkan hasil. Kewajiban ini menunjukkan bahwa Lisensi
Wajib adalah jalan terakhir (ultimum remedium), yang hanya dapat
ditempuh setelah upaya komersial yang wajar mengalami kegagalan. Pengecualian
terhadap syarat ini hanya berlaku dalam kondisi kedaruratan nasional atau
situasi mendesak lainnya, atau untuk mengatasi praktik anti-persaingan;
2.
Pengajuan
Permohonan kepada Menteri
Apabila
upaya negosiasi gagal, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan
tertulis kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Permohonan ini harus
disertai dengan serangkaian dokumen pendukung yang komprehensif, yang berfungsi
sebagai bukti awal untuk mendukung dalil-dalil permohonan. Sebagaimana ketentuan
Pasal 84 UU Paten dan Pasal 18 serta Pasal 19
Permenkumham 30/2019, permohonan tersebut harus memuat dan melampirkan:
a.
Alasan
Permohonan, yaitu penjelasan rinci
mengenai alasan pengajuan Lisensi Wajib, yang harus merujuk pada salah satu
dari tiga dasar hukum yang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) UU Paten
(tidak dilaksanakannya paten, pelaksanaan yang merugikan masyarakat, atau paten
dependen).
b.
Bukti
Kemampuan, yaitu bukti yang
meyakinkan bahwa pemohon memiliki kapabilitas teknis dan finansial, serta
fasilitas yang memadai untuk melaksanakan paten tersebut secara penuh dan
komersial di Indonesia;
c.
Bukti Upaya
Negosiasi, berupa dokumentasi yang
membuktikan bahwa pemohon telah melakukan upaya untuk memperoleh lisensi
sukarela dari pemegang paten, seperti surat-menyurat, notulensi rapat, atau
bukti korespondensi lainnya;
d. Bukti Pembayaran Biaya, dengan melalui permohonan dikenai biaya sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
3.
Pemeriksaan Administratif dan Substantif
Setelah
permohonan diterima, Ditjen HKI akan melakukan pemeriksaan kelengkapan
administratif. Jika dinyatakan lengkap, proses berlanjut ke tahap pemeriksaan
substantif. Tahap ini merupakan inti dari proses quasi-judicial. Sebagaimana
ketentuan Pasal 23 Permenkumham 30/2019, Menteri akan membentuk
Tim Ahli yang bersifat ad hoc untuk setiap permohonan. Tim Ahli ini,
yang diketuai oleh Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, bertugas untuk:
-
Memberikan
salinan permohonan beserta seluruh lampirannya kepada pemegang paten, untuk
memberikan kesempatan menyusun sanggahan atau pembelaan;
-
Melakukan
Pemeriksaan Mendalam, dengan memverifikasi kebenaran dari alasan-alasan dan
bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon;
-
Menggelar Dengar
Pendapat (Hearing), dimana Tim Ahli wajib mendengarkan keterangan
dari kedua belah pihak, baik pemohon Lisensi Wajib maupun pemegang paten. Ini
adalah manifestasi dari asas audi et alteram partem (dengarkan juga
pihak lain); serta
-
Tim Ahli dapat
meminta pandangan dari instansi pemerintah terkait atau para ahli di bidang
teknologi yang relevan untuk memberikan pertimbangan yang objektif.
4.
Keputusan Menteri
Berdasarkan
laporan dan rekomendasi dari Tim Ahli, Menteri akan mengeluarkan keputusan yang
dapat berupa mengabulkan, menolak, atau menunda permohonan Lisensi Wajib. Sebagaimana
ketentuan Pasal 88 UU Paten, apabila permohonan dikabulkan,
keputusan Menteri tersebut harus memuat setidaknya:
-
Lisensi Wajib
yang diberikan tidak bersifat eksklusif;
-
Dasar
pertimbangan dan bukti-bukti yang menjadi landasan dikabulkannya permohonan;
-
Menetapkan durasi
dan batasan pelaksanaan paten;
-
Menetapkan jumlah
royalti yang wajar yang harus dibayarkan oleh penerima Lisensi Wajib kepada
pemegang paten, beserta tata cara pembayarannya; dan
-
Syarat-syarat
lain yang dianggap perlu untuk melindungi kepentingan para pihak secara adil.
Rangkaian prosedur yang rigid dan substantif ini
secara jelas menunjukkan bahwa pemberian Lisensi Wajib di Indonesia adalah
sebuah proses penilaian yang berorientasi pada kondisi domestik. Setiap
elemen (mulai dari pembuktian kemampuan pemohon untuk berproduksi di
Indonesia, analisis dampak pelaksanaan paten terhadap masyarakat
Indonesia, hingga penetapan royalti yang wajar dalam konteks ekonomi
Indonesia) secara inheren terikat pada yurisdiksi dan kepentingan nasional
Indonesia.
Oleh karena itu, secara logis maupun yuridis, tidak
dimungkinkan untuk menggantikan proses domestik yang komprehensif ini hanya
dengan “mencatatkan” sebuah keputusan yang dibuat oleh otoritas negara lain
berdasarkan kondisi dan hukum yang berlaku di negara tersebut.
Preseden Kebijakan Government Use di Indonesia
Pemerintah Indonesia
sendiri telah menunjukkan kesediaan untuk memprioritaskan kepentingan kesehatan
publik di atas hak paten eksklusif. Sebagai contoh, pemerintah telah
memanfaatkan kebijakan Government Use (penggunaan oleh pemerintah) atau
Lisensi Wajib untuk mengatasi masalah akses terhadap obat-obatan esensial.
Salah satu contoh paling
terkenal adalah penggunaan kebijakan ini untuk obat-obatan HIV/AIDS dan
Hepatitis B. Keputusan ini menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia memiliki
sejarah dan kemauan politik untuk mengimplementasikan fleksibilitas TRIPS dalam
menghadapi krisis kesehatan publik. Hal ini memperkuat argumen bahwa hukum
paten Indonesia bukanlah sistem yang kaku, melainkan sistem yang secara sengaja
dirancang untuk memiliki “fleksibilitas” guna menyeimbangkan hak privat dengan
kepentingan publik.
Kewajiban Pencatatan Perjanjian Lisensi dan Konsekuensi Hukumnya
Setelah memahami perbedaan fundamental antara lisensi
sukarela dan Lisensi Wajib, serta prosedur pemberian Lisensi
Wajib, perlu untuk dipahami lebih lanjut mengenai kewajiban pencatatan
lisensi pada Ditjen HKI. Asumsi bahwa Lisensi Wajib dari luar negeri dapat “didaftarkan”
atau “dicatatkan” perlu diluruskan dengan memahami fungsi sebenarnya
dari mekanisme pencatatan dalam UU Paten. Di sini nanti Anda akan memahami bahwa
konsekuensi dari tidak dilakukannya pencatatan bukanlah sanksi pidana,
melainkan berkaitan dengan daya laku hukum terhadap pihak ketiga.
Kewajiban Pencatatan
UU Paten
secara eksplisit mengatur kewajiban untuk mencatatkan semua bentuk lisensi
paten, baik yang lahir dari perjanjian sukarela maupun yang
diberikan melalui keputusan Lisensi Wajib. Coba lihat ketentuan Pasal
78 ayat (1) UU Paten yang jelas-jelas menyatakan:
“Perjanjian
Lisensi dan keputusan penghapusan pencatatan perjanjian Lisensi wajib
dicatatkan dalam daftar umum Paten dan diumumkan.”
Selanjutnya, sebagaimana ketentuan Pasal 92 UU
Paten secara spesifik menegaskan kewajiban yang sama untuk Lisensi
Wajib yaitu:
“Pemberian
Lisensi-wajib dicatat dalam daftar umum Paten dengan dikenai biaya dan
diumumkan.”
Kewajiban pencatatan ini memiliki fungsi publisitas
dan kepastian hukum. Dengan dicatatkannya sebuah lisensi dalam daftar
umum paten yang dapat diakses oleh publik, maka status hukum dari paten
tersebut menjadi transparan. Pihak ketiga yang berkepentingan, seperti calon
investor atau mitra bisnis, dapat memverifikasi siapa saja yang memiliki hak
untuk melaksanakan paten tersebut di Indonesia. Ini mencegah timbulnya
sengketa di kemudian hari dan melindungi pihak ketiga yang beritikad baik.
Konsekuensi Hukum Apabila Tidak Dicatatkan
UU Paten
tidak merumuskan sanksi pidana atau denda administratif bagi para pihak yang
lalai mencatatkan perjanjian lisensinya. Konsekuensi hukumnya diatur secara
spesifik dalam Pasal 78 ayat (3) UU Paten, yang berbunyi:
“Perjanjian
Lisensi yang tidak dicatatkan dalam daftar umum Paten sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berakibat hukum terhadap pihak ketiga.”
Frasa “tidak berakibat hukum terhadap pihak
ketiga” adalah kunci dari pemahaman ini. Maknanya adalah sebagai
berikut:
1.
Validitas Inter
Partes, yaitu Perjanjian lisensi yang tidak dicatatkan tetap sah dan
mengikat bagi para pihak yang membuatnya, yaitu pemberi lisensi dan
penerima lisensi. Penerima lisensi tetap wajib membayar royalti, dan
pemberi lisensi tidak dapat menggugat penerima lisensi atas pelanggaran
paten selama lisensi tersebut masih berlaku di antara mereka;
2.
Tidak Dapat
Ditegakkan Terhadap Pihak Ketiga, ya, perjanjian tersebut tidak dapat “ditegakkan”
atau “dipertahankan” terhadap pihak ketiga. Sebagai contoh, apabila
pemegang paten (A) memberikan lisensi kepada (B) namun tidak dicatatkan,
kemudian (A) menjual patennya kepada pihak ketiga (C) yang tidak mengetahui
adanya lisensi tersebut, maka (C) sebagai pemilik paten yang baru tidak terikat
oleh perjanjian lisensi antara (A) dan (B). (C) berhak melarang (B) untuk terus
melaksanakan paten tersebut. Sebaliknya, jika lisensi tersebut dicatatkan, maka
(C) sebagai pemilik baru wajib menghormati hak-hak (B) sebagai penerima
lisensi.
Dengan demikian, “sanksi” yang dimaksud
bukanlah hukuman, melainkan hilangnya daya laku eksternal dari lisensi
tersebut. Pencatatan berfungsi untuk “memperkuat” hak penerima
lisensi, membuatnya menjadi hak yang dapat dipertahankan terhadap siapapun (erga
omnes), bukan hanya terhadap pemberi lisensi. Ini sangat berbeda dengan
sanksi pidana atas pelanggaran paten yang diatur dalam Bab XV UU Paten, yang
dapat berupa pidana penjara dan denda miliaran rupiah.
Kesimpulannya, pencatatan adalah suatu mekanisme
untuk mempublikasikan dan menyempurnakan hak yang telah ada (yang diperoleh
melalui perjanjian atau keputusan Lisensi Wajib), bukan mekanisme untuk
menciptakan hak itu sendiri di yurisdiksi Indonesia.
Prinsip Teritorialitas Paten sebagai Landasan Jawaban Atas Permasalahan Utama
Setelah seluruh elemen yuridis (definisi, prosedur,
dan kewajiban pencatatan) sebagaimana yang telah dibedah, jawaban atas
pertanyaan yang dihadapi PT SFdapat dirumuskan secara kokoh dengan berpijak
pada salah satu prinsip paling fundamental dalam hukum HKI yaitu prinsip
teritorialitas (principle of territoriality).
Eksplanasi Prinsip Teritorialitas
Prinsip teritorialitas menyatakan bahwa hak kekayaan
intelektual, termasuk paten, adalah hak yang diberikan oleh negara dan
perlindungan hukumnya terbatas secara eksklusif pada wilayah kedaulatan negara
yang memberikannya. Artinya,
sebuah paten yang didaftarkan dan diberikan oleh Kantor Paten Indonesia
hanya memberikan hak eksklusif yang berlaku di dalam wilayah hukum Republik
Indonesia. Paten yang sama, meskipun untuk invensi yang identik, apabila
didaftarkan di India, akan menjadi hak hukum yang terpisah dan hanya berlaku di
wilayah India. Keduanya tidak saling terkait dan tidak saling memberikan efek
hukum lintas batas.
Prinsip ini merupakan konsekuensi logis dari konsep kedaulatan
negara (state sovereignty). Setiap negara berhak untuk menentukan
sendiri syarat-syarat perlindungan HKI, ruang lingkup hak yang diberikan, serta
pengecualian dan batasan terhadap hak tersebut, sesuai dengan kepentingan
nasional dan kebijakan publiknya masing-masing. Meskipun perjanjian
internasional seperti TRIPS menetapkan standar minimum perlindungan,
implementasi dan penegakannya tetap berada dalam ranah kedaulatan hukum
domestik.
Aplikasi Prinsip Teritorialitas pada Kasus Lisensi Wajib
Dengan memahami prinsip teritorialitas, implikasinya
terhadap kasus Lisensi Wajib yang dimiliki IndoGenerics di India menjadi sangat
jelas dan tidak dapat ditawar:
1)
Sumber
Hak yang Berbeda
Paten
milik PharmaGlobal yang terdaftar di Indonesia adalah objek hukum yang tunduk
sepenuhnya pada UU Paten Indonesia.
Hak eksklusif yang melekat padanya adalah hak yang lahir dari hukum Indonesia;
2)
Lisensi
sebagai Hak Derivatif
Setiap
lisensi, baik sukarela maupun wajib, adalah hak derivatif yang “menumpang”
pada hak paten utama. Sebuah lisensi atas paten Indonesia hanya dapat lahir
dari mekanisme yang diatur dalam hukum Indonesia;
3)
Lisensi
Wajib Asing adalah Tindakan Hukum Asing
Keputusan
Lisensi Wajib yang dikeluarkan oleh Pemerintah India adalah sebuah tindakan
hukum administratif yang dilakukan oleh negara tersebut terhadap objek hukum
yang berada dalam yurisdiksinya, yaitu paten India. Keputusan tersebut
tidak memiliki relevansi hukum atau daya laku apapun terhadap paten
Indonesia, meskipun keduanya melindungi invensi yang sama.
4)
Ketiadaan
Validitas Hukum di Indonesia
Konsekuensinya,
Lisensi Wajib yang dimiliki IndoGenerics di India adalah sebuah legal
nullity atau batal demi hukum di dalam wilayah Indonesia. Ia tidak
memberikan hak apapun kepada IndoGenerics maupun PT Sehat Farma untuk membuat,
menggunakan, menjual, atau mengimpor produk yang dilindungi oleh paten
Indonesia ke dalam wilayah Indonesia. Melakukan hal tersebut tanpa izin dari
PharmaGlobal atau tanpa melalui prosedur Lisensi Wajib Indonesia akan merupakan
tindakan pelanggaran paten.
Dengan demikian, jawaban yang tegas dan final atas
pertanyaan “Bagaimana Apabila Lisensi Wajib didaftarkan atau Terdaftar di
Luar Negeri, Apa Masih Perlu didaftarkan ke Ditjen HAKI Kemenkumham RI?”
Sebuah Lisensi Wajib yang terdaftar atau diberikan di
luar negeri tidak dapat dan tidak perlu “didaftarkan”
atau “dicatatkan” ke Ditjen HKI Kemenkumham RI karena ia tidak memiliki
status hukum apapun di Indonesia.
Pihak yang ingin melaksanakan paten di Indonesia
berdasarkan mekanisme Lisensi Wajib wajib mengajukan sebuah
permohonan yang baru dan terpisah (de novo) kepada Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI, serta harus melalui seluruh tahapan prosedur dan
memenuhi semua syarat substantif yang diatur dalam UU Paten dan Permenkumham
30/2019. Bukti kepemilikan Lisensi Wajib dari luar negeri secara yuridis tidak
relevan dan tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk memperoleh Lisensi Wajib
di Indonesia. Sampai di sini semoga dapat dimengerti.
Alternatif Solusi Lain
Selain Lisensi Wajib
domestik, terdapat jalur hukum lain yang berpotensi menjadi opsi yang lebih
relevan dan efisien bagi PT SF yaitu Impor Paralel. Pembahasan mengenai
jalur ini tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang doktrin kelelahan hak (exhaustion
of rights).
Doktrin kelelahan hak
menyatakan bahwa hak eksklusif pemegang paten “lelah” atau berakhir setelah
produk yang dipatenkan pertama kali dijual secara sah. Setelah penjualan
pertama, pemegang paten tidak dapat lagi mengontrol distribusi produk tersebut,
seperti penjualan kembali atau penyewaan. Namun, terdapat perbedaan signifikan
antara doktrin national exhaustion (kelelahan hak hanya terjadi setelah
penjualan di dalam negeri) dan international exhaustion (kelelahan hak
terjadi setelah penjualan di mana pun di dunia). Indonesia secara umum menganut
doktrin national exhaustion, yang berarti penjualan suatu produk paten
di luar negeri tidak akan mengakhiri hak pemegang paten untuk mengontrol impor
produk tersebut ke Indonesia.
Pengecualian Impor Paralel untuk Produk Farmasi
Meskipun secara umum
Indonesia menganut doktrin national exhaustion, terdapat pengecualian
penting yang secara spesifik berlaku untuk produk farmasi. Penjelasan Pasal
167 huruf (a) UU Paten secara eksplisit memperkenalkan konsep impor
paralel sebagai tindakan yang tidak melanggar hukum, dengan syarat bahwa produk
farmasi tersebut diimpor sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Syarat
mutlak dari pengecualian ini adalah bahwa harga produk paten di Indonesia “sangat
mahal dibandingkan dengan harga yang telah beredar secara sah di pasar
internasional”.
Pengecualian ini adalah
sebuah instrumen kebijakan yang secara sengaja dirancang untuk mengatasi
masalah akses terhadap obat-obatan esensial yang disebabkan oleh disparitas
harga yang signifikan. Bagi PT SF, jalur ini memberikan alternatif yang
sah yang tidak memerlukan proses pengajuan Lisensi Wajib yang rumit dan
berfokus pada produksi. Sebaliknya, jalur ini lebih berfokus pada pembuktian
adanya disparitas harga di pasar, yang lebih sesuai dengan model bisnis PT SF
sebagai importir.
Sintesis dan Implikasi Hukum
Telaah komprehensif terhadap kerangka hukum paten di
Indonesia telah memberikan jawaban yang jelas dan tidak ambigu atas
permasalahan yang diajukan. Dengan memadukan telaah atas definisi yuridis,
prosedur administratif, konsekuensi hukum pencatatan, dan prinsip fundamental
hukum HKI, dapat ditarik sintesis dan kesimpulan yang kokoh.
Pertama,
hukum Indonesia secara tegas membedakan antara Lisensi sukarela yang
bersifat kontraktual dan Lisensi Wajib yang merupakan keputusan administratif
negara. Perbedaan ini menghapuskan kemungkinan untuk memperlakukan
Lisensi Wajib sebagai sebuah “perjanjian” yang dapat dialihkan atau dicatatkan
lintas yurisdiksi. Kedua, prosedur pengajuan Lisensi Wajib di
Indonesia adalah sebuah proses kuasi-yudisial yang substantif, yang dirancang
untuk menilai kelayakan permohonan berdasarkan kondisi dan kepentingan domestik
Indonesia, sehingga tidak dapat digantikan oleh keputusan otoritas negara lain.
Ketiga,
kewajiban pencatatan lisensi di Ditjen HKI berfungsi untuk memberikan kepastian
hukum dan daya laku terhadap pihak ketiga, bukan sebagai mekanisme untuk
memberikan validitas hukum pada instrumen asing.
Keempat, dan
yang paling fundamental, prinsip teritorialitas paten menegaskan bahwa hak
paten dan segala hak derivatif yang melekat padanya, termasuk Lisensi Wajib,
memiliki daya laku yang terbatas secara ketat pada wilayah kedaulatan negara
yang memberikannya.
Jawaban Konklusif
Berdasarkan seluruh argumentasi yuridis tersebut,
dapat disimpulkan secara definitif bahwa sebuah Lisensi Wajib yang
didaftarkan atau terdaftar di luar negeri tidak memiliki akibat hukum apapun
di wilayah Republik Indonesia. Instrumen hukum tersebut tidak dapat
dan tidak perlu “didaftarkan” atau “dicatatkan” ke Ditjen HKI Kemenkumham
RI.
Pihak manapun yang berkeinginan untuk melaksanakan
suatu invensi yang dilindungi paten di Indonesia melalui mekanisme Lisensi
Wajib, terlepas dari lisensi apapun yang dimilikinya di negara lain, wajib
menempuh proses permohonan yang baru dan menyeluruh sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Paten dan peraturan pelaksananya.
Selain itu, ini juga catatan penting yang perlu
diperhatikan, bahwa meskipun Pasal 167 huruf (a) UU Paten
memberikan landasan hukum, implementasi praktis Impor Paralel menghadapi
tantangan birokrasi yang substansial. Untuk mengimpor dan mengedarkan obat di
Indonesia, PT SF tidak hanya harus mematuhi UU Paten, tetapi juga harus
memenuhi serangkaian persyaratan yang diatur oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Menurut Peraturan Badan POM dan peraturan Kemenkes,
impor obat untuk diedarkan wajib memiliki izin edar. Proses registrasi untuk
mendapatkan izin edar ini mensyaratkan pendaftar harus memiliki persetujuan
tertulis dari industri farmasi di luar negeri atau pemilik paten. Dalam kasus
PT SF, PharmaGlobal, sebagai pemegang paten, kecil kemungkinannya akan
memberikan persetujuan tersebut, karena hal itu akan memungkinkan masuknya
kompetitor generik.
Hal ini menciptakan sebuah kontradiksi regulasi yang
signifikan. Undang-Undang Paten secara eksplisit mengizinkan Impor Paralel
untuk obat-obatan dengan tujuan mengatasi harga yang mahal, namun peraturan
teknis dari otoritas kesehatan mensyaratkan izin dari pihak yang justru menjadi
sasaran kebijakan ini. Ketidakselarasan ini secara efektif dapat memblokir
jalur Impor Paralel, meskipun secara hukum paten jalur ini diperbolehkan.
PT SF harus mengambil langkah-langkah strategis yang
matang:
1.
PT SF harus
segera menghentikan asumsi keliru bahwa mereka dapat sekadar “mencatatkan”
lisensi asing. Meneruskan rencana impor berdasarkan Lisensi Wajib India akan
menyebabkan pelanggaran paten yang serius;
2.
Lakukan Studi
Kelayakan Lisensi Wajib Domestik, dimana PT SF harus menganalisis apakah
pengajuan Lisensi Wajib domestik merupakan pilihan yang realistis. Ini
melibatkan evaluasi kemampuan finansial dan teknis untuk berproduksi di
Indonesia, serta kesiapan untuk melalui proses hukum yang panjang dan kompleks.
3.
PT SF perlu
melakukan studi kelayakan terperinci untuk mengidentifikasi apakah tantangan
regulasi dari BPOM dapat diatasi. Tanpa persetujuan dari pemegang paten asli,
jalur ini secara praktis sulit untuk ditempuh. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun ada niat politik untuk mempromosikan akses obat melalui Impor Paralel,
implementasinya terhalang oleh birokrasi dan persyaratan yang bertentangan;
serta
4.
PT SF dapat
menjajaki kemungkinan untuk berkolaborasi dengan perusahaan farmasi domestik
yang telah memiliki pengalaman dan kapasitas untuk mengajukan Lisensi Wajib,
atau mencari jalur lisensi sukarela yang lebih fleksibel.
Pada akhirnya, permasalahan ini menegaskan kembali
sebuah adagium hukum yang menjadi pilar hukum internasional privat dan HKI
yaitu lex loci protectionis, yang berarti hukum dari negara
tempat perlindungan HKI dimintakan adalah hukum yang berlaku. Dalam
konteks paten di Indonesia, hanya hukum Indonesialah yang berdaulat untuk
menciptakan, membatasi, dan menegakkan hak-hak yang lahir dari sistem patennya.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.
[1] Catatan: Undang-Undang
Nomor 65 Tahun 2024 bukanlah kerangka hukum yang berdiri sendiri, melainkan Undang-Undang
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.