Pengantar
Paten merupakan instrumen hukum fundamental dalam ekosistem inovasi global,
yang dirancang untuk memberikan hak eksklusif kepada inventor atas hasil
invensinya di bidang teknologi.[1]
Sebagai imbalan atas pengungkapan invensinya kepada publik, negara
memberikan perlindungan hukum dalam jangka waktu tertentu, yang memungkinkan
inventor atau pemegang paten untuk mengontrol penggunaan komersial dari
teknologinya.[2]
Sistem ini, pada hakikatnya, merupakan sebuah titik temu dari berbagai
kepentingan yang saling terkait yaitu antara lain seperti kepentingan
inventor untuk memperoleh imbalan ekonomis, kepentingan investor untuk
mendapatkan kepastian hukum atas investasinya, kepentingan industri untuk
melakukan alih teknologi, dan kepentingan masyarakat luas untuk menikmati
kemajuan teknologi dan pembangunan ekonomi.
Artikel ini bertujuan untuk melakukan telaah historis dan yuridis yang
komprehensif terhadap evolusi hukum paten di Indonesia. Tulisan ini
bukan sekadar pemaparan kronologis atas perubahan teks perundang-undangan,
melainkan sebuah upaya untuk membedah politik hukum yang mendasarinya.
Perkembangan hukum paten di Indonesia adalah cerminan dari perjalanan
bangsa itu sendiri—sebuah narasi yang merefleksikan transformasi dari
subordinasi ekonomi pada masa kolonial, pergulatan dalam membangun
kedaulatan hukum dan ekonomi pasca-kemerdekaan, implementasi kebijakan
industrialisasi yang berorientasi nasional, hingga proses integrasi yang
kompleks ke dalam tatanan ekonomi global.[3]
Seluruh perjalanan legislatif ini dapat dipahami sebagai sebuah negosiasi
berkelanjutan antara tiga kekuatan utama yang membentuk arah kebijakan.
Pertama, dorongan untuk menegakkan kedaulatan ekonomi nasional dan
kemandirian industri. Kedua, kebutuhan pragmatis untuk menarik
investasi dan teknologi asing sebagai akselerator pembangunan.
Ketiga, kewajiban untuk mematuhi norma-norma hukum internasional yang
terus berkembang, terutama dalam konteks perdagangan global.
Setiap undang-undang paten yang lahir di Indonesia merepresentasikan titik
keseimbangan yang berbeda di antara ketiga kekuatan ini, mencerminkan
prioritas dan tantangan zaman yang dihadapinya.[4]
Dengan menelusuri jejak historis ini, mulai dari era Hindia Belanda hingga
kerangka hukum kontemporer di era digital, kita dapat memahami secara
mendalam bagaimana Indonesia merumuskan, menegosiasikan, dan menegakkan
sistem perlindungan inovasi teknologinya.
Fondasi Kolonial: Era Hindia Belanda dan Octrooiwet 1910
Jejak formal perlindungan kekayaan intelektual di Indonesia berakar pada
masa pemerintahan kolonial Belanda. Sejak tahun 1840-an, pemerintah kolonial
telah memperkenalkan serangkaian peraturan di bidang ini, yang kemudian
dikodifikasi secara lebih sistematis pada awal abad ke-20. Tiga pilar utama
legislasi kekayaan intelektual pada masa itu adalah
Auteurswet 1912 (Undang-Undang Hak Cipta),
Reglement Industriele Eigendom 1912 (Regulasi Hak Milik Industri
untuk Merek), dan yang paling relevan untuk pembahasan ini,
Octrooiwet 1910 (Undang-Undang Paten).
Dasar hukum utama untuk perlindungan paten di Hindia Belanda adalah
Octrooiwet 1910, yang diundangkan melalui Lembaran Negara Belanda
(Staatsblad) Tahun 1910 Nomor 313 dan mulai berlaku efektif di
wilayah koloni sejak 1 Juli 1912. Pemberlakuan undang-undang ini merupakan
manifestasi dari asas konkordansi, di mana hukum yang berlaku di negara
induk (Belanda) diterapkan pula di wilayah jajahannya. Sejak periode ini
pula, Indonesia yang saat itu masih berstatus sebagai Hindia Belanda (Netherlands East-Indies), telah diikutsertakan dalam konvensi internasional, salah satunya adalah Paris Convention for the Protection of Industrial Property
sejak tahun 1888, yang menandai keterlibatan awal wilayah ini dalam kerangka
hukum HKI global.
Namun, struktur dan implementasi Octrooiwet 1910 secara
inheren mencerminkan relasi kuasa kolonial. Meskipun permohonan paten dapat
diajukan secara administratif di kantor yang berlokasi di Batavia (kini
Jakarta), kewenangan untuk melakukan pemeriksaan substantif (yaitu evaluasi
teknis dan hukum untuk menentukan apakah suatu invensi memenuhi syarat
kebaruan, langkah inventif, dan penerapan industry) sepenuhnya berada di
tangan Octrooiraad (Dewan Paten) yang berkedudukan di Belanda.
Struktur yurisdiksi yang terpusat di negara induk ini bukanlah sekadar
detail administratif,
melainkan fondasi dari sistem yang dirancang bukan untuk menumbuhkan
inovasi lokal, melainkan untuk memfasilitasi eksploitasi ekonomi koloni
oleh kepentingan modal Eropa, khususnya Belanda. Sistem ini berfungsi sebagai alat hukum untuk melindungi teknologi yang
diimpor ke Hindia Belanda, memastikan bahwa perusahaan-perusahaan Eropa
dapat mempertahankan monopoli atas proses industri dan meraup keuntungan
maksimal dari pasar kolonial.
Dengan sentralisasi pemeriksaan di Belanda, kontrol atas teknologi secara
fisik dan yuridis tetap berada di tangan penjajah. Akibatnya, Octrooiwet 1910 beroperasi sebagai pagar hukum
yang melindungi dominasi ekonomi kolonial, bukan sebagai mesin pendorong
pembangunan dan kreativitas teknologi bagi masyarakat pribumi.
Masa Transisi dan Kekosongan Hukum (1942-1989)
Periode transisi kekuasaan dari Belanda ke Jepang dan berlanjut hingga
proklamasi kemerdekaan Indonesia membawa implikasi signifikan terhadap
status hukum peraturan-peraturan kolonial. Selama masa pendudukan Jepang
dari tahun 1942 hingga 1945, seluruh peraturan perundang-undangan
peninggalan Belanda, termasuk Octrooiwet 1910,
secara de jure dinyatakan tetap berlaku untuk menjaga ketertiban
hukum.
Titik balik yang sesungguhnya terjadi setelah Proklamasi Kemerdekaan pada
17 Agustus 1945. Sebagaimana diamanatkan dalam Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945,
semua badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Prinsip ini memungkinkan banyak hukum kolonial, seperti UU Hak Cipta,
untuk terus digunakan.
Namun, nasib berbeda menimpa Octrooiwet 1910. Undang-undang ini
dianggap secara fundamental bertentangan dengan kedaulatan negara
Indonesia yang baru merdeka.
Alasan utama penolakan ini terletak pada mekanisme intinya yaitu keharusan
pemeriksaan substantif permohonan paten oleh Octrooiraad di
Belanda. Bagi sebuah negara yang berdaulat, menyerahkan kewenangan yudisial dan
teknis untuk memberikan hak monopoli di wilayahnya sendiri kepada sebuah
lembaga di negara lain (terlebih lagi negara bekas penjajah) adalah suatu
hal yang tidak dapat diterima. Keputusan ini, meskipun logis dari sudut
pandang kedaulatan nasional, secara efektif menciptakan sebuah kekosongan
hukum (legal vacuum) di bidang paten.
Untuk mengisi kekosongan ini, pada tahun 1953, Menteri Kehakiman Republik
Indonesia mengeluarkan dua pengumuman yang menjadi perangkat peraturan
nasional pertama yang mengatur tentang paten. Kedua pengumuman tersebut
adalah:
1.
Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten dalam negeri.
2.
Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G. 1/2/17, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.
Kedua regulasi ini pada dasarnya hanya berfungsi sebagai mekanisme
“penitipan” atau pencatatan permohonan. Tidak ada sistem pemeriksaan
substantif yang mapan untuk menilai kelayakan paten. Ini adalah solusi administratif minimalis yang menandakan bahwa
perlindungan kekayaan intelektual belum menjadi prioritas utama di tengah
berbagai tantangan besar yang dihadapi bangsa pada era awal kemerdekaan,
seperti konsolidasi politik, stabilitas ekonomi, dan pembangunan
infrastruktur dasar.
Kekosongan hukum substantif yang berlangsung selama 36 tahun (dari 1953
hingga 1989) bukanlah sekadar kelalaian legislatif. Periode panjang ini mencerminkan prioritas
pembangunan nasional pada era Orde Lama dan awal Orde Baru yang lebih
terfokus pada pembangunan bangsa, stabilitas politik, dan eksploitasi
sumber daya alam. Fokus ekonomi saat itu tertuju pada sektor agraria dan ekstraktif,
sementara industrialisasi masih berada pada tahap awal.
Akibatnya, permintaan domestik untuk sebuah sistem paten yang canggih
masih sangat rendah. Dengan demikian, kekosongan hukum itu sendiri menjadi
sebuah data historis yang menunjukkan bahwa hukum paten dianggap sebagai
isu sekunder dibandingkan dengan persoalan kedaulatan dan pembangunan
ekonomi fundamental lainnya.
Kelahiran Undang-Undang Paten Nasional Pertama: UU Nomor 6 Tahun 1989
Memasuki dekade 1980-an, seiring dengan meningkatnya fokus pemerintah Orde
Baru pada pembangunan industri, kebutuhan akan sebuah kerangka hukum paten
nasional yang komprehensif menjadi semakin mendesak. Proses ini berpuncak
pada lahirnya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (UU
Paten 1989), yang menjadi undang-undang paten nasional pertama di Indonesia.
Latar belakang politik hukum dari UU ini adalah untuk mendukung program
industrialisasi dengan menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan
penemuan teknologi dan memberikan perlindungan hukum yang pasti bagi para
inventor.
Namun, proses pembentukannya tidak berjalan mulus. Penyusunan UU Paten 1989
diwarnai oleh perdebatan publik dan resistensi yang kuat, bahkan dari
kalangan akademisi.
Kritik utama tertuju pada karakter paten yang bersifat monopolistik.
Hak eksklusif yang diberikan kepada individu atau perusahaan dianggap
berpotensi bertentangan dengan nilai-nilai kolektif masyarakat Indonesia,
seperti gotong royong, dan dikhawatirkan belum sesuai dengan tingkat
perkembangan ekonomi dan teknologi bangsa saat itu.[5]
Pemerintah merespons kritik ini dengan argumentasi bahwa UU Paten dirancang
dengan semangat perlindungan kepentingan nasional, di mana arah kebijakannya
didasarkan pada kondisi dan kemampuan riil bangsa untuk mendorong
kemandirian industri.
UU Paten 1989 merupakan sebuah kompromi politik yang dirancang sebagai
hukum paten “developmentalis”. Undang-undang ini mengadopsi struktur sistem paten modern namun
menyematkan beberapa klausul proteksionis yang kuat untuk meredam
kekhawatiran akan dominasi asing dan menyelaraskannya dengan strategi
industrialisasi yang dipimpin oleh negara. Analisis terhadap
ketentuan-ketentuan pokoknya menunjukkan karakteristik hibrida ini:
-
Definisi dan Syarat Patentabilitas
UU ini mendefinisikan paten sebagai
hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di
bidang teknologi. Untuk dapat diberikan paten, sebuah invensi harus memenuhi tiga syarat
substantify aitu baru, mengandung langkah inventif, dan
dapat diterapkan dalam industry;
-
Sistem Pendaftaran
Indonesia secara tegas memilih sistem first-to-file, di mana
perlindungan hukum diberikan kepada pihak yang pertama kali mengajukan
permohonan paten, bukan kepada pihak yang pertama kali menemukan invensi
tersebut;[6]
-
Jangka Waktu Paten
Jangka waktu perlindungan ditetapkan selama 14 tahun terhitung sejak
tanggal penerimaan permohonan dan tidak dapat diperpanjang. Durasi yang
lebih pendek dari standar internasional (20 tahun) yang mulai mengemuka saat
itu dapat ditafsirkan sebagai kebijakan yang disengaja untuk membatasi
periode monopoli asing dan mempercepat masuknya teknologi ke ranah publik
(public domain) agar dapat diadopsi oleh industri local;
-
Kewajiban Pelaksanaan di Indonesia
Pasal 18 UU Paten 1989
secara tegas mewajibkan pemegang paten untuk melaksanakan patennya di
wilayah Negara Republik Indonesia. Ketentuan ini merupakan cerminan semangat
nasionalisme ekonomi dan berfungsi sebagai alat untuk mendorong alih
teknologi, investasi manufaktur lokal, dan mencegah pemegang paten hanya
menggunakan haknya untuk memblokir produksi lokal sambil mengimpor produk
jadi;
-
Paten Sederhana
Pasal 6 mengakomodasi perlindungan hukum dalam bentuk Paten Sederhana untuk
setiap invensi baru yang karena bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau
komposisinya memiliki nilai kegunaan praktis.
Dengan demikian, UU Paten 1989 bukanlah instrumen HKI liberal murni.
Ia adalah produk hukum yang dirancang secara cermat untuk melayani
ideologi politik-ekonomi pada masanya
yaitu
merangkul modernisasi dan sistem paten global, namun tetap berupaya keras
mempertahankan kontrol nasional atas arah pembangunan industri.
Era Harmonisasi Global: Pengaruh WTO-TRIPs dan Lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2001
Dekade 1990-an menandai pergeseran fundamental dalam lanskap ekonomi dan
hukum global. Puncaknya adalah pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization
- WTO) pada tahun 1995. Indonesia, sebagai salah satu negara yang
berpartisipasi, meratifikasi Agreement Establishing the WTO melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Konsekuensi terpenting dari
ratifikasi ini adalah kewajiban untuk tunduk pada seluruh perjanjian yang
melekat padanya, termasuk
Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights
(TRIPs).[7]
Perjanjian TRIPs menetapkan standar minimum perlindungan HKI yang harus
dipatuhi oleh semua negara anggota WTO. Hal ini menciptakan tekanan eksternal yang kuat bagi Indonesia untuk
melakukan reformasi legislasi HKI secara menyeluruh, termasuk undang-undang
patennya, agar selaras dengan norma-norma global. Proses harmonisasi ini
menghasilkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (UU
Paten 2001), yang secara eksplisit ditetapkan untuk menggantikan UU Nomor 6 Tahun
1989.
Lahirnya UU Paten 2001 menandai pergeseran paradigma dalam
filosofi hukum paten Indonesia, dari yang tadinya berorientasi pada “HKI untuk pembangunan nasional” menjadi “HKI untuk kepatuhan perdagangan global”.
Perubahan-perubahan fundamental yang diperkenalkan dalam UU ini mencerminkan
penerimaan pragmatis bahwa partisipasi dalam ekonomi global menuntut
kepatuhan terhadap seperangkat aturan yang sebagian besar dibentuk oleh
negara-negara maju.
Analisis terhadap perubahan-perubahan utama menunjukkan pergeseran ini
dengan jelas:
-
Perpanjangan Jangka Waktu Paten
Perubahan yang paling signifikan adalah perpanjangan masa perlindungan
paten dari 14 tahun menjadi 20 tahun, terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan, sesuai dengan standar yang diamanatkan oleh Perjanjian TRIPs
(Pasal 8). Perpanjangan ini secara langsung menguntungkan pemegang
paten—yang mayoritas adalah entitas asing—dengan memperpanjang periode
monopoli mereka di pasar Indonesia.
-
Pengaturan Paten Sederhana yang Lebih Jelas
UU ini memberikan kepastian hukum yang lebih baik bagi Paten Sederhana
dengan menetapkan jangka waktu perlindungannya selama 10 tahun sejak tanggal
penerimaan dan tidak dapat diperpanjang (Pasal 9).
-
Penegasan Hak Impor
Pasal 16 secara eksplisit mencantumkan hak untuk “mengimpor” produk yang
diberi paten sebagai bagian dari hak eksklusif pemegang paten. Ini
memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi pemegang paten untuk
mengontrol pasar melalui impor, sebuah perubahan dari semangat UU sebelumnya
yang sangat menekankan produksi lokal.
-
Kewajiban Pelaksanaan Tetap Dipertahankan
Meskipun terjadi banyak penyesuaian, UU Paten 2001 tetap mempertahankan
kewajiban bagi pemegang paten untuk membuat produk atau menggunakan proses
yang dipatenkan di Indonesia (Pasal 20). Namun, dalam kerangka hukum yang
lebih liberal, efektivitas klausul ini menjadi bahan perdebatan.
Konsiderans menimbang dalam UU Paten 2001 yang secara eksplisit merujuk
pada ratifikasi perjanjian internasional dan perkembangan perdagangan global
menjadi bukti bahwa
reformasi ini lebih bersifat externally mandated (didorong oleh
kewajiban eksternal) daripada internally driven (didorong oleh
kebutuhan domestik). Transisi ini mencerminkan melemahnya ideologi nasionalis-developmentalis
Orde Baru dan menguatnya prinsip-prinsip neoliberal dan globalisasi pada era
Reformasi.
Regulasi Kontemporer: Analisis Kritis UU Nomor 13 Tahun 2016
Setelah lima belas tahun berlaku, UU Nomor 14 Tahun 2001 dinilai tidak lagi
sepenuhnya relevan untuk menjawab dinamika perkembangan teknologi, praktik
hukum internasional, dan kebutuhan strategis nasional. Latar belakang ini
mendorong lahirnya kerangka hukum paten yang berlaku saat ini, yaitu
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU
Paten 2016). Tujuan utama dari undang-undang baru ini adalah untuk meningkatkan
pelindungan bagi inventor, memotivasi lahirnya lebih banyak inovasi
domestik, menciptakan iklim usaha yang sehat, dan pada akhirnya mendukung
pembangunan bangsa serta kesejahteraan umum.
UU Paten 2016 dapat dilihat sebagai upaya Indonesia untuk merebut kembali
ruang kebijakan (policy space) dalam batasan-batasan rezim HKI global
yang ada. Sambil tetap menjaga kepatuhan terhadap Perjanjian TRIPs,
undang-undang ini secara strategis memperkenalkan sejumlah ketentuan baru
yang merefleksikan prioritas sebuah negara berkembang yang kaya akan
keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional. Ini menandai sebuah evolusi dari sikap kepatuhan pasif menjadi penegasan
aktif atas kepentingan nasional.
Beberapa inovasi dan perubahan signifikan dalam UU Paten 2016 antara
lain:
-
Perlindungan Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan Tradisional
Salah satu terobosan terpenting adalah pengenalan Pasal 26, yang mewajibkan
pemohon paten untuk menjelaskan asal Sumber Daya Genetik dan/atau
Pengetahuan Tradisional dalam deskripsi invensinya, apabila invensi tersebut
berkaitan atau bersumber dari keduanya. Ketentuan ini merupakan langkah
proaktif untuk memerangi biopiracy (pembajakan sumber daya hayati)
dan sejalan dengan semangat protokol internasional seperti Protokol Nagoya
yang mendorong pembagian keuntungan yang adil dan merata;
-
Penguatan Kewajiban Pelaksanaan Paten
Pasal 20 mengenai kewajiban pelaksanaan paten di Indonesia diperkuat dan
diperjelas. Pemegang paten tidak hanya wajib “membuat produk atau menggunakan proses,” tetapi pelaksanaannya juga harus “menunjang alih teknologi, penyerapan investasi, dan/atau penyediaan
lapangan kerja”. Klausul ini menegaskan ekspektasi Indonesia bahwa pemberian hak monopoli
harus diimbangi dengan kontribusi ekonomi yang nyata dan terukur bagi
negara, bukan sekadar untuk menguasai pasar
-
Imbalan yang Layak bagi Inventor
UU ini memberikan perhatian khusus pada inventor yang bekerja dalam
hubungan dinas, misalnya peneliti di lembaga pemerintah atau universitas
negeri. Pasal 13 mengatur bahwa inventor berhak mendapatkan imbalan yang
layak atas invensi yang dihasilkannya setelah paten tersebut berhasil
dikomersialkan. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan insentif dan
menstimulasi kegiatan riset dan pengembangan di institusi publik, yang
merupakan salah satu tulang punggung ekosistem inovasi nasional;
-
Kejelasan Paten Terkait Program Komputer
Meskipun program komputer sebagai sebuah karya tulis tetap dilindungi oleh
rezim hak cipta, UU Paten 2016 memberikan kejelasan bahwa invensi yang
diimplementasikan menggunakan komputer (computer-implemented invention) dapat memperoleh perlindungan paten, asalkan invensi tersebut memiliki
karakter teknis, memecahkan masalah di bidang teknologi, dan memberikan efek
teknis;
-
Perluasan Definisi Invensi
Definisi invensi diperluas dari sekadar “produk atau proses” menjadi
mencakup pula “penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses,” yang
memberikan fleksibilitas interpretasi yang lebih luas untuk mengakomodasi
berbagai jenis inovasi teknologi modern.
Secara kolektif, perubahan-perubahan ini menunjukkan sebuah strategi hukum
yang lebih matang dan canggih. Indonesia tidak lagi hanya menjadi penerima
pasif dari norma HKI global, melainkan secara aktif membentuk dan
menyesuaikan kerangka hukum patennya untuk memaksimalkan manfaat bagi
kepentingan nasional strategis.
Proyeksi Masa Depan
Perjalanan hukum paten Indonesia adalah sebuah epik legislatif yang
merefleksikan evolusi bangsa. Dari instrumen kontrol ekonomi kolonial dalam
wujud Octrooiwet 1910, ia bertransformasi menjadi simbol kedaulatan
yang kosong pasca-kemerdekaan, lalu menjadi alat pembangunan nasionalis
melalui UU Paten 1989. Selanjutnya, ia beradaptasi menjadi wujud kepatuhan
terhadap tatanan perdagangan global dengan UU Paten 2001, dan akhirnya,
melalui UU Paten 2016, menjadi arena untuk menegaskan kepentingan strategis
nasional dalam kerangka hukum internasional. Narasi ini menunjukkan
pergeseran paradigma yang dinamis, dari subordinasi, proteksionisme,
kepatuhan, hingga asersi strategis.
Di jantung seluruh evolusi ini terletak sebuah tantangan abadi: bagaimana
menyeimbangkan kepentingan yang saling bersaing. Di satu sisi, ada kebutuhan
untuk memberikan hak eksklusif yang kuat guna memotivasi inovasi, menarik
investasi, dan mendorong alih teknologi. Di sisi lain, ada keharusan untuk
melindungi dan memajukan kepentingan publik yang lebih luas, seperti akses
terhadap obat-obatan, ketahanan pangan, dan pelestarian pengetahuan
tradisional.
Dalam konteks inilah, adagium hukum klasik,
Salus Populi Suprema Lex Esto (yang berarti “keselamatan rakyat
adalah hukum tertinggi”) menemukan relevansinya yang mendalam. Adagium ini
berfungsi sebagai pengingat filosofis bahwa hak kekayaan intelektual,
termasuk paten, bukanlah hak yang absolut. Ia adalah sebuah konstruksi hukum
yang diciptakan untuk melayani tujuan sosial yang lebih besar, dan
karenanya, harus senantiasa tunduk pada kemaslahatan umum. Fleksibilitas
yang diatur dalam Perjanjian TRIPs dan diimplementasikan dalam UU Paten
nasional, seperti lisensi wajib (compulsory license) dan pelaksanaan
paten oleh pemerintah, adalah manifestasi konkret dari prinsip ini.
Menatap ke depan, hukum paten Indonesia akan menghadapi tantangan baru yang semakin kompleks. Disrupsi teknologi di bidang kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), bioteknologi canggih, dan ekonomi digital akan menguji batas-batas definisi “invensi”, “inventor”, dan lingkup perlindungan yang ada saat ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah AI dapat menjadi inventor, bagaimana melindungi invensi yang dihasilkan oleh algoritma, dan bagaimana mengatur paten untuk terapi gen akan menuntut adaptasi hukum yang cepat dan bijaksana. Kerangka hukum paten Indonesia harus terus berevolusi agar tidak hanya tetap relevan dan kompetitif secara global, tetapi juga adil dan berpihak pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.
[1]
Muhammad Citra Ramadhan, Paten Jilid I, (Medan: Merdeka Kreasi,
2020), hlm. 1.
[2]
Andi Muhammad Reza Pahlevi Nugraha, “Tinjauan Yuridis Hak Paten di Dalam
Kerangka Hukum Nasional di Indonesia”, Binamulia Hukum, Vol. 11 No. 1
(2022), hlm. 1.
[3]
M. Zulfa Aulia, “Politik Hukum Pembentukan UU Paten di Indonesia:
Industrialisasi, Liberalisasi, dan Harmonisasi”, Jurnal Hukum IUS QUIA
IUSTUM, Vol. 22 No. 2 (2015), hlm. 224.
[4]
Wukir Prayitno, Modernitas Hukum Berwawasan Indonesia, (Semarang: CV
Agung, 1990), hlm. 61
[5]
M. Zulfa Aulia, “Politik Hukum Pembentukan UU Paten di Indonesia:
Industrialisasi, Liberalisasi, dan Harmonisasi”, Jurnal Hukum IUS QUIA
IUSTUM, Vol. 22 No. 2 (2015), hlm. 227
[6] Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta,
cet. 1 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997)
[7] Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan
Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003).