Pertanyaan
Selamat malam bang Eka, mau nanya bang.
Saya ini perempuan yang baru menikah, belum genap 1 (satu) bulan, tapi
rasanya sudah seperti di neraka. Saya bingung sekali dan tidak tahu harus
berbuat apa. Sebelum kami menikah, calon suami saya menunjukkan citra yang
sangat baik, bertanggung jawab, dan punya visi masa depan yang jelas. Namun,
semua itu berubah drastis setelah kami sah menjadi suami-istri.
Sifat aslinya baru terungkap sekarang. Ternyata, dia memiliki utang yang
sangat besar akibat judi online (judol), fakta yang tidak pernah dia
sebutkan sebelumnya. Setiap hari, dia menekan dan menuntut saya untuk
melunasi utangnya menggunakan tabungan pribadi saya. Jika saya menolak, dia
akan marah besar, membentak, dan mengeluarkan kata-kata yang sangat
menyakitkan hati. Bahkan, dia mengancam akan menyebarkan aib pribadi saya
jika saya tidak menuruti kemauannya. Dia sama sekali tidak mau bekerja dan
seolah-olah menganggap saya hanya sebagai sumber keuangannya.
Rumah tangga kami yang baru seumur jagung ini sudah tidak ada lagi
komunikasi yang sehat. Setiap hari isinya hanya pertengkaran hebat, tekanan
psikologis, dan ketakutan dari pihak saya. Tujuan pernikahan yang saya
bayangkan untuk membangun keluarga yang rukun dan bahagia rasanya sudah
mustahil.
Pertanyaan saya, Bang:
1.
Melihat usia pernikahan kami yang sangat singkat, apakah secara hukum saya
bisa mengajukan gugatan cerai? Apakah ada aturan mengenai jangka waktu
minimal pernikahan sebelum boleh bercerai? Saya khawatir hakim akan
menganggap saya main-main dengan lembaga perkawinan.
2.
Jika memang bisa, dasar hukum atau alasan apa yang paling kuat yang bisa
saya gunakan di pengadilan? Apakah “perselisihan dan pertengkaran
terus-menerus” dapat dibuktikan meskipun baru terjadi dalam kurun waktu satu
bulan?
3.
Bagaimana status hukum barang-barang yang kami dapatkan setelah menikah?
Misalnya, hadiah pernikahan (angpau) yang sudah kami gunakan untuk membeli
beberapa perabotan. Apakah itu otomatis menjadi harta bersama yang harus
dibagi?
4.
Langkah konkret apa yang harus saya ambil pertama kali? Saya harus pergi ke
mana, dan bukti apa saja yang perlu saya siapkan? Apakah rekaman percakapan
atau tangkapan layar pesan WhatsApp yang berisi makian dan ancaman bisa
dijadikan alat bukti yang sah?
5.
Saya juga sempat berpikir, apakah kasus saya ini lebih tepat untuk
mengajukan pembatalan perkawinan karena saya merasa tertipu? Apa perbedaan
mendasar antara perceraian dan pembatalan perkawinan, serta apa konsekuensi
hukumnya bagi status saya ke depan?
Mohon pencerahannya, Bang. Saya benar-benar sudah tidak tahan dan merasa
sangat tertekan. Terima kasih.
Jawaban
Pengantar
Selamat malam. Saya memahami sepenuhnya kebingungan dan tekanan yang Anda
rasakan. Menemukan diri Anda dalam situasi di mana rumah tangga yang baru
saja dibangun sudah terasa seperti neraka adalah sebuah beban yang luar
biasa berat. Pertanyaan Anda, “Apakah saya bisa bercerai padahal pernikahan baru seumur jagung?” adalah pertanyaan yang sangat valid dan krusial. Banyak yang
khawatir bahwa pengadilan akan memandang sebelah mata atau menganggap
gugatan semacam ini tidak serius.
Mari kita luruskan satu hal mendasar sejak awal yaitu aturan
hukum di Indonesia tidak pernah menetapkan syarat durasi atau jangka
waktu minimal sebuah perkawinan untuk dapat diajukan perceraian.
Filosofi hukum perkawinan kita memang luhur.
Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, selanjutnya disebut dengan “UU Perkawinan”, mendefinisikan
perkawinan sebagai ikatan lahir batin dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal. Namun, hukum juga realistis. Ketika tujuan “bahagia dan kekal” itu secara
fundamental mustahil tercapai (bahkan sejak hari pertama) hukum menyediakan
jalan keluar yang adil.
Fokus pengadilan bukanlah pada tempus (waktu), melainkan pada
causa (sebab). Hakim tidak akan bertanya, “Sudah berapa lama Anda menikah?”, melainkan, “Apakah ada alasan hukum yang sah yang membuat perkawinan ini tidak dapat
dipertahankan lagi?”. Artikel ini akan membedah setiap pertanyaan Anda secara mendalam,
memberikan dasar hukum yang kokoh, dan menyajikan strategi yang paling tepat
untuk situasi yang sedang Anda hadapi.
Perceraian atau Pembatalan Perkawinan? Memilih Jalan Hukum yang Tepat
Sebelum melangkah lebih jauh, penting bagi Anda untuk memahami dua jalur
hukum yang berbeda untuk mengakhiri perkawinan yaitu perceraian dan
pembatalan perkawinan. Pilihan ini sangat strategis, terutama dalam
kasus Anda di mana ada unsur penipuan atau salah sangka.
Membedakan Definisi Yuridis Perceraian dan Pembatalan Perkawinan
Perceraian adalah
pemutusan ikatan perkawinan yang sah melalui putusan pengadilan.
Artinya, perkawinan Anda diakui pernah ada dan sah,
namun diakhiri sejak putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Ini
diatur dalam Pasal 38 UU Perkawinan. Konsekuensinya,
semua akibat hukum yang timbul selama perkawinan, seperti lahirnya konsep
harta bersama, tetap diakui.
Sedangkan, pembatalan perkawinan, di sisi lain, adalah putusan pengadilan
yang menyatakan perkawinan tersebut batal demi hukum dan
dianggap tidak pernah ada sejak semula (void ab initio).
Ini bukan mengakhiri perkawinan, melainkan menyatakan bahwa perkawinan
itu dari awal sudah cacat hukum.
Dasar pengajuannya adalah karena tidak terpenuhinya syarat-syarat sahnya
perkawinan pada saat akad nikah dilangsungkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 hingga
Pasal 28 UU Perkawinan. Bagi Anda yang beragama Islam, ketentuan ini diperinci dalam
Pasal 70 sampai dengan
Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam, selanjutnya disebut dengan “KHI”. Alasan yang relevan dengan
kasus Anda adalah Pasal 72 ayat (2) KHI, yang menyatakan:
“Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
penipuan
atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri.”
Fakta bahwa suami Anda menyembunyikan sifat aslinya, kebiasaan berjudi, dan
utang yang
sangat besar dapat dikategorikan sebagai bentuk penipuan atau
salah sangka yang fundamental.
Jadi, apakah memungkinkan dan mengapa Anda tidak selalu memilih jalur
ini?
Kembali ke Anda lagi. Mengingat, beban pembuktiannya bisa lebih sulit. Anda
harus membuktikan kepada hakim bahwa:
a.
Penipuan itu benar-benar terjadi sebelum menikah;
b.
Anda tidak mengetahui sama sekali tentang kondisi tersebut;
c.
Kondisi tersebut (judi dan utang) sudah ada sebelum akad nikah,
bukan baru muncul setelahnya.
Membuktikan keadaan pikiran atau kondisi seseorang di masa lalu bisa
menjadi tantangan di pengadilan jika tidak ada bukti dokumenter yang
kuat.
Selain itu, berikut dasar utama pembatalan perkawinan diatur dalam
Pasal 22 UU Perkawinan, yang menyatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Berikut adalah rincian syarat-syarat yang dapat menjadi dasar permohonan
pembatalan:
1.
Perkawinan Dilangsungkan di Bawah Ancaman
Apabila perkawinan terjadi karena adanya ancaman yang melanggar
hukum, pihak yang diancam dapat mengajukan permohonan pembatalan. Hak ini
gugur jika ancaman telah berhenti dan dalam jangka waktu 6 bulan setelahnya,
pasangan tersebut tetap hidup sebagai suami-istri dan tidak menggunakan
haknya untuk mengajukan permohonan;
2.
Terjadi Salah Sangka Mengenai Diri Pasangan
Permohonan pembatalan dapat diajukan jika pada saat perkawinan terjadi
salah sangka mengenai diri suami atau istri. Sama seperti alasan ancaman,
hak ini akan gugur jika setelah 6 bulan menyadari keadaan sebenarnya,
pasangan tersebut tetap hidup bersama dan tidak mengajukan permohonan;
3.
Poligami Tanpa Izin Pengadilan
Seorang suami yang beristri lebih dari seorang tanpa adanya izin dari
Pengadilan dapat menjadi dasar bagi istri-istrinya untuk mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan (berlaku untuk perkawinan kedua, ketiga,
atau keempat);
4.
Melanggar Batas Usia Minimal Perkawinan
Perkawinan yang dilangsungkan oleh pihak yang belum mencapai batas usia
minimal (19 tahun untuk pria dan wanita) tanpa adanya dispensasi dari
Pengadilan dapat dimintakan pembatalannya;
5.
Masih Terikat Perkawinan Lain
Apabila salah satu pihak yang menikah ternyata masih terikat dalam ikatan
perkawinan dengan orang lain yang belum putus, perkawinan yang baru dapat
dibatalkan;
6.
Perkawinan Dilangsungkan Antara Pihak yang Dilarang Menikah
Perkawinan yang terjadi di antara dua orang yang memiliki hubungan yang
dilarang oleh hukum untuk menikah, sebagaimana diatur dalam
Pasal 8 UU Perkawinan, dapat dibatalkan. Larangan tersebut meliputi:
-
Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah (orang
tua, anak, cucu);
-
Hubungan darah dalam garis keturunan menyamping (saudara kandung,
paman/bibi dengan keponakan);
-
Hubungan semenda (mertua, anak tiri, menantu);
-
Hubungan susuan; dan
-
Hubungan lain yang oleh agama atau peraturan lain dilarang untuk kawin.
Sedangkan, dalam KHI mengatur pembatalan perkawinan secara lebih terperinci
dan membedakannya menjadi dua kategori.
Perkawinan Batal Demi Hukum (vide Pasal 70 KHI)
Perkawinan dianggap tidak sah sejak awal dan batal demi hukum apabila:
1.
Suami menikah lagi padahal sudah memiliki empat orang istri, sekalipun
salah satunya masih dalam masa iddah talak raj'i.
2.
Seseorang menikahi kembali bekas istrinya yang telah di-li'an
(sumpah kutukan karena tuduhan zina).
3.
Seseorang menikahi kembali bekas istrinya yang telah ditalak tiga kali,
kecuali jika mantan istri tersebut sudah menikah dengan pria lain, bercerai
setelah berhubungan badan (ba'da al dukhul), dan telah habis masa
iddahnya.
4.
Perkawinan dilakukan antara dua orang yang memiliki hubungan darah,
semenda, atau sesusuan yang dilarang menurut Pasal 8 UU Perkawinan.
5.
Istri yang dinikahi adalah saudara kandung, bibi, atau kemenakan dari istri
atau istri-istri yang sudah ada.
Perkawinan Dapat Dibatalkan (vide Pasal 71 & 72 KHI)
Suatu perkawinan dapat dimohonkan pembatalannya kepada Pengadilan Agama
apabila:
1.
Seorang suami melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama.
2.
Perempuan yang dinikahi ternyata masih berstatus sebagai istri dari pria
lain yang hilang (mafqud).
3.
Perempuan yang dinikahi ternyata masih dalam masa iddah dari suami
sebelumnya.
4.
Perkawinan melanggar batas usia minimal perkawinan (19 tahun) tanpa adanya
dispensasi dari pengadilan.
5.
Perkawinan dilangsungkan tanpa wali nikah atau dilaksanakan oleh wali yang
tidak berhak.
6.
Perkawinan dilaksanakan karena adanya paksaan.
7.
Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
8.
Pada waktu berlangsungnya perkawinan, terjadi
penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Sama seperti dalam UU Perkawinan,
hak untuk mengajukan pembatalan karena alasan ancaman atau salah sangka
akan gugur apabila setelah 6 bulan ancaman berhenti atau keadaan
sebenarnya disadari, pasangan tersebut masih tetap hidup bersama sebagai suami-istri.
Berikut kami jabarkan dalam tabel yang semoga dapat
dengan mudah Anda pahami “konsekuensi hukum” perbedaan atas keduanya, sebagai
berikut:
Aspek Pembeda |
Perceraian (Divorce) |
Pembatalan Perkawinan (Annulment) |
Fokus Gugatan |
Peristiwa yang
terjadi setelah perkawinan yang membuat rumah
tangga tidak rukun (misalnya, pertengkaran terus-menerus). |
Cacat hukum yang
sudah ada pada saat perkawinan dilangsungkan (misalnya, penipuan mengenai identitas atau kondisi suami). |
Akibat Hukum |
Status Anda
menjadi “janda/cerai hidup”. Perkawinan dianggap pernah ada. |
Status Anda
kembali seperti sebelum menikah. Perkawinan dianggap tidak pernah ada. |
Harta Benda |
Memicu adanya harta
bersama yang harus dibagi, termasuk hadiah pernikahan yang diperoleh
selama perkawinan. |
Secara teoretis tidak
ada harta bersama. Harta kembali ke statusnya masing-masing sebelum
menikah. |
Relevansi Kasus
Anda |
Sangat relevan,
karena tekanan psikologis dan pertengkaran hebat yang terjadi setelah menikah
adalah alasan sah untuk bercerai. |
Sangat relevan,
karena Anda merasa tertipu dengan kondisi suami yang disembunyikan sebelum
dan saat menikah. |
Apabila Anda dapat membuktikan unsur penipuan
tersebut, mengajukan pembatalan perkawinan bisa menjadi pilihan yang
lebih “bersih” karena seolah-olah pernikahan itu tidak pernah terjadi.
Namun, apabila pembuktian penipuan dirasa sulit, jalur perceraian tetap
merupakan opsi yang sangat kuat dan sangat mungkin untuk dikabulkan.
Semuanya akan kembali ke situ.
Alasan Gugatan Cerai: Membangun Argumen di Atas Undang-Undang
Untuk menjawab pertanyaan kedua Anda, mari kita fokus pada alasan
perceraian yang paling kuat dan relevan. Hukum telah menyediakan katalog
alasan yang limitatif. Alasan yang paling sering digunakan adalah
Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, selanjutnya disebut dengan “PP 9/1975”, yang menyatakan:
“Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.”
Bagi yang beragama Islam, dasar ini identik dan tertuang dalam
Pasal 116 huruf (f) KHI.
Secara normatif, frasa “terus-menerus” tidak diartikan sebagai durasi
waktu yang panjang. Maknanya lebih menekankan pada
intensitas dan frekuensi konflik.
Namun, dalam praktiknya, ada sebuah pedoman internal bagi hakim yang
harus kita pahami.
Poin krusial yang perlu dipahami adalah bahwa Mahkamah Agung, melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 (SEMA 1/2022), telah memberikan pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara perceraian.
Ketentuan ini kemudian diperbarui melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 (SEMA 3/2023), hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung pada 19–21 November 2023 di
Hotel Intercontinental Bandung. Dalam rumusan hukum tersebut ditegaskan,
alasan perceraian karena perselisihan dan pertengkaran terus-menerus
hanya dapat dikabulkan apabila terbukti telah menyebabkan pisah rumah
(tempat tinggal bersama) sekurang-kurangnya selama 6 (enam) bulan.
SEMA ini, meskipun hierarkinya di bawah Undang-Undang, memiliki kekuatan
mengikat secara internal bagi seluruh hakim di Indonesia, baik di lingkungan
Peradilan Agama (PA) maupun Peradilan Umum (PN).
-
Bagi Anda yang Beragama Islam (di PA),
Hakim akan sangat terikat pada rumusan SEMA ini. Apabila Anda hanya
mendalilkan pertengkaran, hakim akan mencari fakta pisah rumah selama
minimal 6 bulan;
-
Bagi Anda yang Non-Islam (di PN), rumusan ini seringkali menjadi rujukan atau
best practice bagi hakim di Pengadilan Negeri untuk memberikan
standar pembuktian yang seragam.
Ini menciptakan sebuah tantangan. Lantas, apakah gugatan Anda pasti akan
ditolak? Tidak selalu. Kuncinya adalah strategi.
1.
Fokus pada Intensitas dan Kualitas Konflik
Tekankan dalam gugatan bahwa konflik yang terjadi bukan sekadar
pertengkaran biasa, melainkan sudah mencapai level yang
destruktif dan membahayakan, cenderung biasanya ini akan mengarahkan pada kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT); atau
2.
Gunakan Alasan Perceraian Lain yang Lebih Kuat
Jangan hanya bergantung pada alasan “pertengkaran terus-menerus”.
Situasi Anda sangat mungkin memenuhi unsur dari alasan perceraian lain yang
tidak terikat syarat waktu 6 bulan, yaitu:
-
“Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain”
(vide Pasal 19 huruf (d) PP 9/1975 atau
Pasal 116 huruf (d) KHI). Ancaman untuk menyebarkan aib dan
tekanan psikologis yang intens dapat dikategorikan sebagai kekejaman
psikis;
-
“Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan”
(vide Pasal 19 huruf (a) PP 9/1975 atau
Pasal 116 huruf (a) KHI).
Fakta bahwa suami adalah penjudi berat adalah alasan yang berdiri sendiri
dan sangat kuat.
Dengan mendalilkan alasan-alasan ini, Anda tidak terikat pada syarat pisah
rumah 6 bulan dan dapat langsung membuktikan pokok penderitaan yang Anda
alami.
Tetapi, catatan penting yang harus kami ingatkan bahwa untuk membuktikan
alasan-alasan ini memiliki kompleksitasnya sendiri.
Membuktikan Unsur “Kekejaman”
Kekejaman tidak selalu meninggalkan bekas luka fisik.
Ancaman, makian, dan tekanan psikologis yang Anda alami adalah
bentuk kekejaman psikis. Namun, membuktikannya di pengadilan lebih sulit dari pada yang kita duga karena sifatnya yang tidak kasat mata. Sehingga,
Hakim memerlukan bukti yang sangat kuat bahwa tindakan verbal atau
psikologis tersebut benar-benar terjadi, bersifat
sistematis, dan secara nyata membahayakan kejiwaan Anda. Satu atau
dua kali pertengkaran hebat mungkin belum dianggap memenuhi unsur
“kekejaman”.
Selain itu, Anda memerlukan saksi-saksi yang tidak hanya mendengar
pertengkaran (testimonium de auditu),
tetapi idealnya juga melihat langsung dampak psikologisnya pada Anda
(misalnya, melihat Anda menangis ketakutan setelah diancam).
Rekaman atau pesan teks ancaman sangat membantu sebagai bukti petunjuk,
namun kesaksian langsung dari orang-orang terdekat seringkali menjadi
penentu.
Kami ambil contoh saja, sebagaimana
Putusan Pengadilan Negeri Sukabumi Nomor 27/Pdt.G/2010/PN.Smi, tertanggal
21 Februari 2011, dalam putusan ini, terungkap beberapa fakta dari keterangan saksi-saksi :
1.
Adanya Masalah Ekonomi
Sebagaimana Keterangan Saksi Tonny Ganjar dan Saksi Dodi Nuryadi menyatakan
bahwa akar masalah utama adalah ekonomi, di mana Tergugat (suami) tidak
bekerja;
2.
Ketidakharmonisan Sejak Awal
Kemudian berdasarkan Keterangan Saksi Ana (kakak Penggugat)
memberikan kesaksian kunci bahwa ketidakharmonisan
sudah terjadi sejak 3 (tiga) bulan setelah perkawinan;
3.
Adanya Kekerasan Fisik
Kemudian, Keterangan Saksi Ana juga bersaksi bahwa
Penggugat “tidak henti-hentinya dianiaya oleh Tergugat dengan
dilempari pakai kaleng susu kena kepalanya”;
4.
Pisah Rumah
Keterangan Saksi Dodi Nuryadi menyatakan
bahwa Penggugat dan Tergugat sudah pisah rumah selama 1 (satu) tahun.
Di sinilah hal penting yang harus Anda pahami. Meskipun ada kesaksian yang
jelas mengenai
adanya kekerasan fisik (dilempar kaleng susu) yang juga merupakan bentuk
kekejaman, yang secara teoretis bisa masuk ke dalam alasan “kekejaman atau
penganiayaan berat” (vide Pasal 19 huruf d PP 9/1975), hakim dalam pertimbangan hukumnya
tidak menggunakan pasal tersebut. Sebaliknya, hakim menyimpulkan
seluruh fakta (masalah ekonomi, tidak adanya tanggung jawab, pisah rumah,
dan insiden kekerasan) sebagai satu kesatuan yang membuktikan bahwa:
“...fakta yang demikian ini telah pula menunjukkan terjadinya
ketidakharmonisan serta lunturnya rasa cinta kasih antara Penggugat dan
Tergugat, oleh karena itu tidak ada alasan bagi Pengadilan Negeri untuk
mempertahankan perkawinan Penggugat dan Tergugat karena secara terus menerus
akan terjadi percekcokan (tidak harmonis) dan tidak ada harapan lagi untuk
hidup rukun dalam satu rumah tangga;”
Kemudian, hakim secara eksplisit mengabulkan gugatan berdasarkan :
“...sesuai dengan
pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975, maka petitum
angka 2 gugatan Penggugat beralasan hukum untuk dikabulkan;”
Selain itu, bukan hanya di Pengadilan Negeri, di Pengadilan Agama juga,
kami menemukan Putusan yang relevan sebagai berikut yaitu
Putusan Pengadilan Agama Situbondo Nomor 525/Pdt.G/2024/PA.Sit.,
tertanggal 24 September 2024.
Putusan ini merupakan contoh konkret bagaimana pengadilan agama mengolah
dalil kekejaman atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi dasar
pertimbangan untuk perceraian karena “perselisihan terus-menerus”.
Berikut adalah rinciannya:
Fakta Perkara: Rincian Dalil KDRT yang Terungkap di Persidangan
Dalam surat gugatannya, Penggugat tidak hanya mendalilkan KDRT secara umum,
tetapi juga memberikan rincian spesifik mengenai bentuk kekerasan yang
dialaminya. Dalil-dalil ini kemudian diperkuat oleh bukti dan keterangan
saksi di persidangan :
-
Dalil Penggugat:
Penggugat menyatakan bahwa Tergugat sering marah, berkata kasar (seperti
menyuruh Penggugat menjual diri), dan
berulang kali melakukan KDRT fisik. Kekerasan tersebut meliputi
pemukulan di bagian wajah, perut, kaki, dan kepala hingga menyebabkan
pendarahan, yang dipicu oleh masalah-masalah sepele.
-
Keterangan Saksi:
Dalil ini didukung kuat oleh dua saksi keluarga yang memberikan kesaksian
langsung:
a.
Saksi 1 (Kakek Penggugat):
Memberikan kesaksian bahwa ia “melihat dan mendengar sendiri sewaktu mereka bertengkar lalu Tergugat
memukul Penggugat sampai keluar darah di bagian kepala depan”.
b.
Saksi 2 (Keponakan Penggugat):
Memberikan kesaksian yang lebih detail, menyatakan bahwa ia “melihat Tergugat memukul Penggugat lebih dari 10 kali, setiap terjadi
pertengkaran Tergugat sering memukul Penggugat”. Saksi ini juga mengonfirmasi bahwa KDRT terakhir terjadi sekitar 6 bulan
sebelum gugatan dan bahwa Tergugat sebelumnya pernah dipenjara karena kasus
KDRT.
Fakta-fakta ini secara jelas memenuhi unsur “kekejaman atau penganiayaan
berat” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 huruf (d) KHI.
Pertimbangan Hukum Hakim: Transformasi Fakta KDRT menjadi Alasan “Perselisihan Terus-Menerus”
Di sinilah letak inti dari strategi yudisial hakim. Majelis Hakim tidak
berhenti pada pembuktian KDRT saja, melainkan menganalisis
dampak dari KDRT tersebut terhadap keutuhan rumah tangga.
Hakim menilai bahwa perpisahan yang terjadi antara Penggugat dan Tergugat,
di mana mereka tidak lagi saling mempedulikan hak dan kewajiban, adalah
manifestasi dari konflik yang lebih dalam. Dalam pertimbangannya, hakim
menyatakan:
“...hal ini juga bisa dikatakan bentuk suatu perselisihan dan pertengkaran
terus menerus dalam rumah tangga selain pertengkaran secara fisik...”.
Dengan kata lain, KDRT fisik adalah puncak dari gunung es “perselisihan dan
pertengkaran” yang membuat rumah tangga tidak mungkin lagi disatukan.
Tergugat mengajukan eksepsi (keberatan) bahwa gugatan
Penggugat prematur karena perpisahan mereka belum mencapai 6 bulan,
sebagaimana disyaratkan oleh
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2023 untuk alasan
perselisihan. Namun, Majelis Hakim menolak eksepsi ini dengan merujuk pada klausul
pengecualian dalam SEMA itu sendiri. Hakim menyatakan bahwa
syarat pisah 6 bulan tidak berlaku jika “ditemukan fakta hukum adanya
Kekerasan Dalam Rumah Tangga”. Karena fakta KDRT yang berulang telah terbukti di persidangan,
maka gugatan Penggugat dapat dipertimbangkan meskipun perpisahan belum genap
6 bulan.
Langkah ini menunjukkan bagaimana hakim secara cerdas menggunakan fakta
KDRT tidak hanya sebagai alasan perceraian, tetapi juga untuk mengatasi
hambatan prosedural yang diajukan oleh pihak lawan.
Setelah membangun argumen bahwa KDRT telah menyebabkan perselisihan yang
tidak terdamaikan, Majelis Hakim secara eksplisit menyimpulkan bahwa syarat
hukum untuk perceraian telah terpenuhi, namun bukan di bawah pasal tentang
kekejaman. Pertimbangan akhir hakim menyatakan:
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian fakta-fakta hukum tersebut, Majelis
Hakim berpendapat bahwa ketentuan
Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116
huruf f Kompilasi Hukum Islam telah terpenuhi
karenanya tuntutan pokok Penggugat untuk bercerai dengan Tergugat beralasan
menurut hukum”.
Amar putusan pun mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya, menegaskan bahwa
dasar hukum akhir adalah “perselisihan dan pertengkaran terus-menerus”.
Untuk memberikan landasan filosofis dan keadilan Islam pada putusannya,
hakim mengutip sebuah kaidah fikih fundamental. Hakim berpendapat bahwa
mempertahankan perkawinan yang diwarnai kekerasan akan mendatangkan lebih
banyak keburukan (mudharat) daripada kebaikan (maslahat).
Pertimbangannya berbunyi:
“...jika keutuhan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat terus
dipertahankan, dikhawatirkan akan menimbulkan kemudharatan bagi kedua belah
pihak... atas keadaan ini Majelis Hakim memandang perlu mengutip Kaidah
Fiqih... yang berbunyi: درء المفاسد اولى من جلب المصالح
Artinya:
'Menghindari mafsadat (kerusakan) lebih diutamakan dari pada mengambil
maslahat (manfaat)'“.
Dengan menerapkan kaidah ini, hakim menegaskan bahwa membubarkan perkawinan
dalam kasus ini bukanlah untuk merusak lembaga pernikahan, melainkan untuk
mencegah kerusakan yang lebih besar yang akan menimpa para pihak jika
dipaksa untuk terus bersama.
Kasus Pengadilan Agama Situbondo ini secara gamblang mengilustrasikan bahwa
dalam praktik peradilan, KDRT (yang secara teknis diatur dalam Pasal 116(d)
KHI) seringkali tidak digunakan sebagai pasal yang berdiri sendiri.
Sebaliknya, KDRT berfungsi sebagai
bukti faktual utama dan terkuat untuk membuktikan terpenuhinya
unsur-unsur dalam Pasal 116(f) KHI—yaitu bahwa telah terjadi “perselisihan
dan pertengkaran terus-menerus” yang menyebabkan “tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi”. Pendekatan ini memberikan pemahaman strategis yang
penting: untuk memenangkan gugatan cerai berbasis KDRT, pembuktian harus
difokuskan untuk menunjukkan bagaimana tindak kekerasan tersebut telah
secara permanen dan fundamental menghancurkan harapan untuk rukun
kembali.
Membuktikan “Penjudi yang Sukar Disembuhkan”
Alasan sebagaimana ketentuan Pasal 19 huruf a PP 9/1975
jo. Pasal 116 huruf a KHI, ini
memiliki dua unsur kumulatif yang harus dibuktikan antara lain:
(1)
bahwa suami adalah seorang penjudi; dan
(2)
bahwa kebiasaan itu “sukar disembuhkan”.
Untuk Membuktikan unsur pertama (penjudi) relatif lebih mudah. Anda
bisa menunjukkan bukti transfer ke situs judi, mutasi rekening yang tidak
wajar, atau menghadirkan saksi yang tahu kebiasaan judinya.
Beban Pembuktian Terberat yaitu unsur kedua, “sukar disembuhkan”, adalah bagian yang paling sulit. Ini mengimplikasikan sebuah
kecanduan yang bersifat patologis. Anda tidak cukup hanya membuktikan bahwa
suami berjudi dan berutang.
Anda harus meyakinkan hakim bahwa kebiasaan ini sudah menjadi penyakit
yang tidak bisa lagi diperbaiki. Pembuktian ini idealnya didukung oleh:
-
Riwayat panjang perilaku judi yang merusak keuangan keluarga;
-
Bukti bahwa upaya untuk menghentikannya (misalnya, nasihat keluarga,
terapi) telah gagal;
-
Kesaksian yang menunjukkan bahwa perilaku ini telah menjadi bagian dari
karakternya yang tidak terpisahkan dan merusak.
Kami mengambil contoh,
Putusan Pengadilan Agama Karanganyar Nomor 801/Pdt.G/2025/PA.Kra,
tertanggal 15 Juli 2025. Dalam perkara ini, Penggugat (istri) mengajukan gugatan cerai dengan
mendalilkan
bahwa Tergugat (suami) memiliki kebiasaan buruk bermain judi. Akibat
dari kebiasaan tersebut, Tergugat tidak pernah memberikan nafkah wajib
kepada Penggugat dan keluarga.
Perilaku Tergugat ini menjadi sumber utama perselisihan dan pertengkaran
yang terjadi secara terus-menerus, yang pada akhirnya membuat rumah tangga tidak lagi harmonis dan para
pihak telah berpisah rumah (pisah ranjang dan tempat tinggal) sejak
Mei 2023. Penggugat secara eksplisit mendasarkan gugatannya pada ketentuan
Pasal 19 huruf (a) PP 9/1975 jo.
Pasal 116 huruf (a) KHI.
Pertimbangan Hukum Hakim
Pertimbangan hukum majelis hakim dalam putusan ini dapat dianalisis dari
tiga aspek utama:
1.
Aspek Prosedural (Putusan Verstek)
Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut oleh juru sita pengadilan,
namun ia tidak pernah hadir di persidangan dan tidak pula mengirimkan wakil
atau kuasanya tanpa alasan yang sah. Berdasarkan ketentuan Pasal 125 HIR,
karena ketidakhadiran Tergugat, perkara ini diperiksa dan diputus secara
verstek (putusan tanpa kehadiran Tergugat);
2.
Aspek Pembuktian
Meskipun perkara diputus secara verstek, hakim tidak serta-merta
mengabulkan gugatan. Sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor
3 Tahun 2015, beban pembuktian tetap berada pada Penggugat. Dalam hal ini,
Penggugat berhasil menghadirkan dua orang saksi di persidangan. Majelis
hakim menilai bahwa keterangan kedua saksi tersebut di bawah sumpah adalah
saling bersesuaian dan menguatkan dalil-dalil Penggugat.
Para saksi membenarkan bahwa Tergugat memiliki kebiasaan bermain judi,
tidak memberikan nafkah, dan fakta bahwa hal tersebut menjadi penyebab
pertengkaran hebat yang terus-menerus antara Penggugat dan Tergugat;
3.
Aspek Substantif
Poin krusial dalam pertimbangan hakim adalah pembentukan rantai kausalitas
yang jelas.
Hakim tidak berhenti pada pembuktian fakta bahwa Tergugat adalah seorang
penjudi. Lebih dari itu,
hakim menghubungkan fakta tersebut dengan akibat yang ditimbulkannya.
Pertimbangan hukumnya secara logis mengalir sebagai berikut:
“kebiasaan berjudi Tergugat (vide memenuhi unsur Pasal 116(a))
secara langsung menyebabkan Tergugat lalai dalam memberikan nafkah, yang
kemudian memicu “perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus”
(memenuhi unsur Pasal 116(f)). Keadaan ini pada akhirnya bermuara pada
kesimpulan bahwa tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah sudah tidak mungkin lagi dipertahankan. Dengan
demikian, dalil Penggugat dianggap beralasan dan terbukti menurut
hukum.”
Dengan demikian, dalam praktiknya hakim pada akhirnya cenderung memutuskan
dan mendasarkan putusan perceraian pada alasan ‘perselisihan atau pertengkaran terus-menerus’. Namun, alasan tersebut kini harus memenuhi syarat tambahan sebagaimana
ditentukan dalam SEMA, yakni adanya pisah rumah sekurang-kurangnya 6 (enam)
bulan, kecuali apabila terdapat unsur Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Langkah Hukum Konkret dan Persiapan Alat Bukti
Apabila Anda beragama Islam, gugatan diajukan ke Pengadilan Agama.
Jika non-Islam, ke Pengadilan Negeri. Setelah itu, uraikan
secara kronologis.
Prioritaskan dalil mengenai kebiasaan judi suami dan kekejaman psikis
sebagai penyebab terjadinya pertengkaran terus-menerus.
Setelah itu, persiapkan Alat Bukti:
-
Bukti Surat:
KTP, Buku Nikah/Kutipan Akta Perkawinan/Pernikahan, Kutipan Akta Kelahiran
Anak (Apabila sudah punya anak);
-
Bukti Saksi:
Siapkan minimal dua orang saksi yang dapat menjelaskan penderitaan Anda atau
kasus Anda;
-
Bukti Elektronik:
Rekaman atau screenshot pesan dapat berfungsi sebagai
alat bukti petunjuk yang sangat kuat;
-
Status Harta dan Hadiah Pernikahan:
Menurut Pasal 35 UU Perkawinan, harta yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama, termasuk hadiah pernikahan.
Menegakkan Keadilan untuk Diri Anda
Berdasarkan seluruh telaah, jawaban atas pertanyaan
inti Anda tetap YA, perceraian dapat dilangsungkan. Namun penting
dipahami bahwa jalan hukum Anda kini menuntut strategi yang lebih matang yaitu memenangkan
gugatan perceraian bukan lagi sekadar mendalilkan “pertengkaran” semata.
Dalam kerangka norma baru yang berlaku, Anda harus membangun argumen yang kokoh
atas alasan-alasan substantif, misalnya kekejaman psikis, pola
perlakuan yang merusak (habits of cruelty), atau kebiasaan buruk
suami yang nyata merusak kehidupan rumah tangga, sambil menyadari kompleksitas
pembuktiannya di muka pengadilan.
Perlu ditekankan pula bahwa syarat pisah rumah
selama 6 (enam) bulan yang kini dipertegas sebagai kriteria untuk
menerima alasan perceraian karena perselisihan/pertengkaran bukanlah
semata-mata hambatan prosedural. Secara normatif dan filosofis syarat ini
berfungsi sebagai norma positif dengan tujuan yang jelas yaitu memberi
ruang dan waktu untuk rekonsiliasi, mencegah perceraian impulsif, serta menjaga
kepentingan keluarga (terutama anak) sesuai semangat Pasal 1 UU Perkawinan
yang menempatkan pernikahan sebagai institusi yang hendak membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal. Dengan kata lain, syarat 6 bulan adalah pembatas
substantif yang menguatkan tujuan perlindungan keluarga, bukan sekadar
rintangan teknis bagi pihak yang ingin berpisah.
Praktisnya, untuk menghadapi persyaratan tersebut Anda
perlu menyiapkan bukti yang dapat memperkuat klaim atas alasan-alasan yang
lebih mendasar:
-
Dokumentasi
kronologis (catatan kejadian,
tanggal, waktu, tempat);
-
Saksi mata (tetangga, keluarga, rekan kerja) yang siap memberi
keterangan terkait pola perilaku atau insiden spesifik;
-
Bukti
medis/psikologis bila ada kekejaman
fisik atau dampak psikis (laporan visum, surat rujukan psikolog);
-
Bukti
komunikasi (chat, rekaman, email)
yang menunjukkan penghinaan, ancaman, atau pola pelecehan psikologis;
-
Bukti
kebiasaan buruk (mis. catatan
perjudian, laporan pemakaian obat, bukti pengabaian ekonomi rumah tangga) yang
menunjukkan pola berulang;
-
Catatan
mediasi atau upaya rekonsiliasi (apabila
ada), untuk menunjukkan bahwa upaya mempertahankan rumah tangga telah dilakukan
atau sebaliknya, tidak membuahkan hasil.
Kemudian, jika terdapat unsur Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) yang jelas, jalur hukum bisa lebih cepat diambil tanpa harus
terpaku pada masa pisah rumah, namun pembuktian dan tindakan perlindungan awal
(laporan kepolisian, permintaan perlindungan) tetap penting.
Ringkasnya, Anda bisa mengajukan perceraian,
tetapi jangan menganggap syarat “pertengkaran” lama lagi cukup. Bangun gugatan yang substantif dan bukti yang terukur; gunakan syarat 6 bulan sebagai landasan
normative yang mendukung tujuan perlindungan keluarga, bukan sebagai hambatan
semata.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.