layananhukum

Menteri Keuangan Berganti, Haluan Ekonomi Berubah: Arah Hukum dan Risiko Kebijakan Fiskal Baru di Indonesia

 

Pertanyaan

Selamat Pagi, saya ingin bertanya. Terkait dengan topik yang dibahas oleh Mardigu Wowiek, saya tertarik untuk mendapatkan analisis yang lebih mendalam khusus dari perspektif hukum ya. Dalam salah satu diskusinya, ia mengemukakan beberapa klaim yang cukup provokatif.

Pertama, ia menyatakan bahwa penunjukan Sri Mulyani oleh tiga presiden berbeda bukanlah keputusan politik domestik, melainkan sebuah “keputusan geopolitik” yang didikte oleh kepentingan IMF dan World Bank. Sejauh mana klaim ini dapat divalidasi jika kita melihat arsitektur kebijakan fiskal yang Sri Mulyani bangun melalui peraturan-peraturan konkret?

Kedua, Mardigu secara kontroversial mengaitkan gender dengan kapabilitas kepemimpinan ekonomi di era “peperangan”. Ia berargumen bahwa karena perempuan lemah dalam “kemampuan spasial”, seorang menteri keuangan perempuan tidak dapat memahami lanskap ekonomi perang, yang menurutnya dimulai sejak Perang Dagang AS-Tiongkok tahun 2017. Akibatnya, ia mengklaim kebijakan Indonesia menjadi “telat tujuh tahun”. Bagaimana kita bisa membedah argumen ini secara objektif dan akademis, melampaui bias gender, dengan membandingkan gaya kepemimpinan dan hasil kebijakan yang nyata antara era Sri Mulyani dan suksesornya?

Ketiga, ia memuji langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menggelontorkan Rp200 triliun ke Himbara sebagai kebijakan “easy money” yang tepat untuk menstimulus ekonomi yang lesu, sebuah antitesis dari kebijakan “tight money” era sebelumnya. Bagaimana kita seharusnya menganalisis kebijakan terobosan ini? Apakah ini benar-benar solusi jenius yang akan menghasilkan multiplier effect masif, atau sebuah pertaruhan berisiko tinggi yang membawa potensi bahaya moral (moral hazard) dan kredit macet, terutama jika melihat perannya yang dikoordinasikan dengan Danantara?

Terakhir, bagaimana semua pergeseran paradigma kebijakan ini (dari yang berbasis aturan ketat ke tindakan eksekutif yang cepat, dari stabilitas ke pertumbuhan agresif) berdampak pada kerangka hukum perkreditan perbankan di Indonesia? Apakah ada potensi konflik norma antara mandat UU Perbankan yang menekankan prinsip kehati-hatian dengan dorongan kebijakan baru untuk mempermudah penyaluran kredit?

Saya mohon analisis yang komprehensif, kritis, dan didukung oleh dasar hukum yang kuat untuk menjawab kerumitan ini.

Jawaban

Selamat Pagi, terima kasih atas pertanyaannya yang sangat tajam dan relevan. Pertanyaan Anda menyentuh inti dari perdebatan kebijakan ekonomi kontemporer di Indonesia, sekaligus menyoroti implikasi hukum yang tak terpisahkan dari setiap keputusan fiskal dan moneter. Hal ini memungkinkan kita untuk menggunakan narasi yang beredar di ruang publik sebagai batu loncatan untuk sebuah analisis yang lebih dalam dan berbasis bukti, yang tidak hanya menguji rasionalitas ekonomi tetapi juga membedah landasan yuridis dari setiap kebijakan yang ada. Begini penjelasannya.

Membedah Narasi Ekonomi Alternatif Mardigu Wowiek

Latar Belakang dan Konteks

Dalam lanskap diskursus ekonomi publik Indonesia, muncul fenomena Mardigu Wowiek Prasantyo, yang lebih dikenal dengan persona “Bossman Mardigu”. Melalui platform media sosial seperti YouTube, ia membangun narasi ekonomi alternatif yang secara signifikan berbeda dari kebijakan arus utama. Narasi ini, yang kerap dibalut dengan kerangka geopolitik dan teori konspirasi, telah menarik perhatian publik yang luas dan menjadi titik tolak yang relevan untuk melakukan analisis kebijakan ekonomi yang lebih mendalam, sistematis, dan berbasis bukti.  

Pokok-Pokok Pikiran Mardigu

Gagasan-gagasan Mardigu yang menjadi fokus analisis ini, terutama yang diekspresikan dalam video-videonya, mencakup beberapa pilar utama. Pertama, advokasi kuat terhadap penerapan Modern Monetary Theory (MMT), yang diterjemahkannya sebagai kebijakan “cetak uang” (printing money). Menurutnya, kebijakan ini memungkinkan Indonesia untuk membiayai pembangunan secara mandiri tanpa harus bergantung pada utang luar negeri yang didominasi Dolar Amerika Serikat. Ia mengklaim telah mempromosikan gagasan ini sejak 2016-2017, dengan argumen bahwa risiko inflasi yang sering diasosiasikan dengan pencetakan uang hanya relevan dalam kondisi ekonomi normal, bukan dalam situasi krisis.

Kedua, kritik tajam yang diarahkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Kebijakannya dinilai terlalu pro-dolar, berorientasi pada utang, dan menganut mazhab ekonomi Keynesian yang dianggapnya konvensional. Lebih jauh, ia mengklaim bahwa penunjukan Sri Mulyani oleh tiga presiden berbeda bukanlah keputusan politik murni, melainkan sebuah “keputusan geopolitik” yang dipengaruhi oleh lembaga seperti IMF dan World Bank karena mereka lebih nyaman bekerja dengan figur yang sudah mereka kenal. Mardigu memposisikan dirinya sebagai penganut mazhab Post-Keynesian yang lebih progresif.

Ketiga, interpretasi unik terhadap dinamika geopolitik global, khususnya Perang Dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Dalam narasinya, konflik tarif ini bukanlah sekadar sengketa ekonomi, melainkan bagian dari perang biologi dan perang proksi yang pada akhirnya akan bereskalasi menjadi konflik militer terbuka. Ia secara provokatif menyatakan, “the end of trade war is the beginning of military war” (berakhirnya perang dagang adalah saat dimulainya perang militer), sebuah klaim yang menggeser analisis dari ranah ekonomi ke eskatologi geopolitik.  

Tulisan lawyerpontianak.com kali ini tidak bertujuan untuk memvalidasi klaim-klaim konspiratif yang dikemukakan oleh Mardigu. Sebaliknya, narasi dari Mardigu dapat digunakan sebagai heuristic device atau alat bantu analisis untuk secara kritis menguji dan membedah realitas kebijakan ekonomi Indonesia. Tujuannya adalah untuk:

(1)      Menganalisis konteks geopolitik Perang Dagang AS-Tiongkok dan dampaknya yang nyata bagi Indonesia berdasarkan data dan studi empiris;

(2)     Membandingkan dua paradigma kebijakan fiskal yang kontras, yang direpresentasikan oleh era kepemimpinan Sri Mulyani dan Purbaya Yudhi Sadewa di Kementerian Keuangan; dan

(3)    Mengevaluasi dasar hukum, mekanisme, serta potensi dampak dari setiap kebijakan yang diambil.

Pendekatan analisis yang kami gunakan adalah pendekatan hukum-ekonomi (law and economics) yang mengintegrasikan analisis regulasi dengan dampak ekonominya, serta pendekatan studi kebijakan publik untuk memahami proses dan implikasi dari keputusan pemerintah.

Konteks Geopolitik dan Dampak Perang Dagang AS-Tiongkok terhadap Perekonomian Indonesia

Eskalasi Perang Dagang Sejak 2017-2018 dan Mekanismenya

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, yang secara signifikan bereskalasi sejak 2018, dipicu oleh kebijakan proteksionis pemerintahan Presiden Donald Trump yang memberlakukan tarif impor tinggi terhadap produk-produk Tiongkok senilai ratusan miliar dolar. Kebijakan ini kemudian dibalas oleh Tiongkok dengan tarif serupa terhadap produk AS.

Namun, konflik ini melampaui sekadar sengketa tarif. Ia merupakan manifestasi dari kompetisi strategis yang lebih luas antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, yang mencakup dimensi perebutan supremasi teknologi, pengaruh geopolitik, dan perbedaan sistem nilai. Mengingat kontribusi gabungan AS dan Tiongkok yang sangat besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan volume perdagangan global, setiap ketegangan di antara keduanya secara inheren menciptakan efek rambatan (spillover effect) ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.  

Dampak Negatif terhadap Indonesia

Perekonomian Indonesia yang bersifat terbuka tidak luput dari dampak negatif konflik ini. Beberapa dampak utama yang teridentifikasi adalah:

-        Gangguan Rantai Pasok dan Pelemahan Ekspor

Sebagai negara yang signifikan dalam rantai pasok global, terutama sebagai pengekspor bahan baku dan komoditas ke Tiongkok, Indonesia menghadapi penurunan permintaan. Data menunjukkan adanya penurunan nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok pada tahun 2019 sebesar 2,6% dibandingkan tahun sebelumnya;

-        Volatilitas Harga Komoditas

Pelemahan ekonomi global akibat perang dagang menekan harga komoditas andalan ekspor Indonesia. Harga batu bara, misalnya, mengalami penurunan signifikan dari 101 Dolar AS per ton pada 2018 menjadi 69 Dolar AS per ton pada 2019, yang secara langsung berdampak pada penerimaan negara dari sektor ekspor;

-        Tekanan terhadap Nilai Tukar Rupiah

Ketidakpastian di pasar keuangan global memicu pelemahan nilai tukar Rupiah, yang pada puncaknya mengalami depresiasi hingga 10-11%. Volatilitas ini memaksa Bank Indonesia untuk melakukan intervensi guna menjaga stabilitas, salah satunya melalui kebijakan triple intervention di pasar valuta asing.  

-        Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi

Berbagai lembaga dan studi mengkonfirmasi bahwa perang dagang berkontribusi pada perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Analisis memprediksi bahwa tarif AS dapat mengurangi pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 0,3 hingga 0,5 poin persentase, sebuah angka yang signifikan dalam konteks target pertumbuhan nasional.

Peluang Strategis bagi Indonesia

Di tengah berbagai tantangan, perang dagang juga membuka jendela peluang strategis bagi Indonesia, terutama melalui dua mekanisme utama:

-        Relokasi Investasi (Investment Diversion): kebijakan tarif AS terhadap produk Tiongkok mendorong banyak perusahaan multinasional untuk merelokasi basis produksinya ke negara lain guna menghindari biaya tambahan. Fenomena ini menciptakan peluang bagi negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, untuk menarik Foreign Direct Investment (FDI). Pemerintah Indonesia merespons peluang ini dengan menawarkan berbagai insentif fiskal, seperti pembebasan pajak (tax holiday) hingga 20 tahun dan pengurangan pajak untuk kegiatan penelitian dan pengembangan hingga 300%;

-        Diversifikasi Pasar Ekspor (Trade Diversion): ketika produk-produk Tiongkok menjadi lebih mahal di pasar AS akibat tarif, terbuka ruang bagi produk dari negara lain untuk mengisi kekosongan tersebut. Indonesia berhasil memanfaatkan peluang ini di beberapa sektor. Data menunjukkan adanya peningkatan ekspor Indonesia ke AS, terutama pada produk elektronik yang nilainya meningkat sebesar 23,5% pada tahun 2021.  

Perang dagang ini secara fundamental menciptakan sebuah persimpangan jalan bagi perekonomian Indonesia. Di satu sisi, ia memberikan tekanan signifikan pada model ekonomi yang berbasis ekspor komoditas mentah yang sangat bergantung pada permintaan global yang stabil. Di sisi lain, ia menyajikan peluang emas bagi sektor manufaktur bernilai tambah untuk menarik investasi asing dan memperluas akses ke pasar negara maju. Namun, realisasi dari peluang ini tidak terjadi secara otomatis.

Data menunjukkan bahwa dari 33 perusahaan besar yang merelokasi produksinya dari Tiongkok pada 2020, hanya 7 yang memilih Indonesia, sementara 19 perusahaan memilih Vietnam. Fakta ini menggarisbawahi bahwa dampak akhir dari perang dagang bagi Indonesia (apakah akan menjadi keuntungan bersih atau kerugian bersih) tidak ditentukan oleh faktor eksternal semata.

Faktor penentu utamanya adalah efektivitas kebijakan domestik dalam melakukan reformasi struktural, seperti penyederhanaan birokrasi, peningkatan kepastian hukum, dan perbaikan infrastruktur logistik, agar lebih kompetitif dibandingkan negara-negara tetangga.  

Paradigma Kebijakan Fiskal Era Sri Mulyani Indrawati: Kehati-hatian Berlandaskan Hukum (Rule-Based Prudence)

Filosofi Dasar: Stabilitas Makroekonomi dan Kredibilitas Fiskal

Era kepemimpinan Sri Mulyani Indrawati di Kementerian Keuangan ditandai oleh sebuah filosofi kebijakan yang berpusat pada pencapaian stabilitas makroekonomi melalui pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kredibel, transparan, dan berkelanjutan. Pendekatan ini secara diametral berlawanan dengan narasi Mardigu yang mengkritik kebijakan berbasis utang dan mengklaimnya sebagai perpanjangan tangan kepentingan asing. Fokus utama Sri Mulyani adalah menjaga disiplin fiskal, terutama melalui pengendalian defisit anggaran dan rasio utang pemerintah agar tetap berada dalam batas aman yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Klaim ini bukan sekadar retorika pemerintah, melainkan sebuah realitas yang divalidasi secara konsisten oleh berbagai lembaga keuangan dan pemeringkat internasional. Lembaga pemeringkat kredit seperti Standard & Poor's (S&P) secara eksplisit menjadikan “pengaturan kebijakan yang hati-hati” (prudent policy settings) dan komitmen pemerintah terhadap batas defisit 3% dari PDB sebagai “jangkar kebijakan penting” (important policy anchor) dalam mempertahankan peringkat investment grade (BBB/Stabil) untuk Indonesia. Dalam laporannya, S&P berulang kali menegaskan bahwa disiplin fiskal ini, terutama setelah konsolidasi cepat pasca-pandemi, menjadi fondasi kepercayaan global terhadap resiliensi ekonomi Indonesia. Bahkan, S&P menaikkan peringkat Indonesia menjadi investment grade pada tahun 2017, salah satunya karena “fokus yang meningkat pada penganggaran yang realistis” di bawah kepemimpinan Sri Mulyani, yang dinilai mengurangi risiko fiskal secara signifikan.

Pandangan ini diamini oleh institusi global lainnya. Pihak International Monetary Fund (IMF), dalam sebuah wawancara, mengakui peran Sri Mulyani dalam “memperkuat fondasi makroekonomi negara” dan memuji langkah-langkahnya yang “bijaksana secara fiskal” (fiscally prudent). Laporan-laporan dari World Bank juga secara berkala menyoroti bahwa ketahanan ekonomi Indonesia ditopang oleh “kebijakan makroekonomi yang kuat” dan “kepatuhan yang ketat terhadap aturan fiskal” (strict adherence to fiscal rules).

Kepercayaan ini tercermin di pasar keuangan. Analis dari berbagai media finansial internasional seperti Bloomberg dan Finimize menjulukinya sebagai “penjaga fiskal” (fiscal guardian) Indonesia. Reaksi pasar terhadap kepergiannya dari jabatan (baik pada tahun 2017 maupun 2025) selalu sama: arus modal keluar yang signifikan, pelemahan nilai tukar Rupiah, dan penurunan indeks saham. Hal ini menunjukkan bahwa bagi investor global, figurnya identik dengan kredibilitas dan prediktabilitas kebijakan fiskal. Stabilitas yang ia ciptakan inilah yang menjadi prasyarat bagi masuknya investasi jangka panjang dan terlaksananya transaksi-transaksi kompleks bernilai miliaran dolar yang ditangani oleh firma-firma hukum internasional di Indonesia. Dengan demikian, dapat disimpulkan secara objektif bahwa filosofi kebijakan Sri Mulyani yang berfokus pada stabilitas dan kredibilitas fiskal bukanlah klaim sepihak, melainkan sebuah reputasi yang dibangun dan diakui secara luas oleh komunitas finansial dan hukum internasional.

Arsitektur Hukum Kebijakan Fiskal yang Terstruktur dan Prosedural

Kebijakan fiskal pada masa ini sangat terikat pada kerangka hukum formal yang ketat. Instrumen utama yang digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK), sebuah produk hukum bersifat regeling (mengatur) yang berlaku secara umum. Penggunaan PMK yang sangat detail dan prosedural menunjukkan preferensi pada kebijakan yang terstruktur, dapat diprediksi, dan akuntabel. Pendekatan ini tecermin dalam berbagai aspek, mulai dari manajemen utang hingga pemberian insentif fiskal.

Pendekatan rule-based yang menjadi ciri khas Sri Mulyani paling jelas terlihat dalam manajemen defisit dan utang, baik di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat daerah, disiplin fiskal dilembagakan melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2023 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Batas Maksimal Kumulatif Pembiayaan Utang Daerah Tahun Anggaran 2024, yang selanjutnya disebut “PMK 83/2023”. Peraturan ini adalah cetak biru (blueprint) dari pendekatan kehati-hatian fiskal.

Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK 83/2023 secara tegas menyatakan bahwa:

“Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD tahun anggaran 2024 ditetapkan sebesar 0,24% (nol koma dua empat persen) dari proyeksi PDB tahun anggaran 2024”.

Tidak hanya itu, Pasal 3 PMK 83/2023 menetapkan batas defisit individual untuk setiap daerah yang besarannya disesuaikan secara berjenjang berdasarkan kategori Kapasitas Fiskal Daerah, mulai dari 4,65% untuk kategori sangat tinggi hingga 4,25% untuk kategori sangat rendah. Lebih lanjut, setiap usulan pelampauan batas tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 PMK 83/2023, harus melalui proses persetujuan berlapis yang melibatkan pertimbangan dari berbagai kementerian dan memenuhi rasio keuangan yang ketat, seperti rasio kemampuan membayar kembali utang minimal 2,5.

Di tingkat pusat, mekanisme formal untuk mengelola deviasi dari target defisit APBN dilembagakan melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2024 tentang Perkiraan Defisit dan Pembiayaan Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disebut “PMK 125/2024”. Melalui Asset and Liability Committee (ALCO), sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 PMK 125/2024, pemerintah memiliki prosedur yang jelas untuk memutakhirkan proyeksi dan menentukan sumber pembiayaan tambahan jika defisit diperkirakan melampaui target, seperti penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) atau penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).

Filosofi yang sama juga diterapkan dalam adaptasi terhadap ekonomi digital. Upaya sistematis untuk memformalkan sektor ini ke dalam sistem perpajakan nasional diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce), yang selanjutnya disebut “PMK 210/2018”. Peraturan ini, antara lain, mewajibkan penyedia platform marketplace untuk memungut PPN/PPh dan melaporkan rekapitulasi transaksi pedagang, demi memastikan adanya kesetaraan perlakuan (level playing field) antara pelaku usaha konvensional dan digital.  

Bahkan dalam memberikan stimulus fiskal, pendekatan yang digunakan sangat terukur dan berbasis aturan. Contohnya adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2025, yang selanjutnya disebut “PMK 13/2025”. PMK ini adalah contoh kebijakan insentif yang sangat spesifik, dengan batasan harga jual properti, periode waktu yang jelas (Masa Pajak Januari 2025 sampai dengan Desember 2025), dan mekanisme pelaporan yang ketat melalui pembuatan Faktur Pajak dengan kode transaksi khusus.  

Pencabutan PMK Pajak E-Commerce dan Pragmatisme Kebijakan

Meskipun dikenal dengan pendekatan rule-based, terdapat episode penting yang menunjukkan sisi pragmatis dari kebijakan Sri Mulyani, yaitu pencabutan PMK 210/2018 tentang pajak e-commerce. Diterbitkan pada 31 Desember 2018 dan dijadwalkan berlaku efektif 1 April 2019, peraturan ini secara tiba-tiba dicabut hanya tiga hari sebelum implementasinya melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 31/PMK.010/2019 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018.  

Secara substansi, PMK 210/2018 tidak menciptakan jenis pajak baru, melainkan mengatur tata cara pemajakan untuk menciptakan kesetaraan antara pelaku usaha digital dan konvensional. Peraturan ini mewajibkan marketplace untuk melaporkan rekapitulasi transaksi para pedagangnya dan meminta pedagang untuk memberitahukan NPWP mereka. Namun, niat baik untuk menciptakan level playing field ini justru memicu reaksi negatif yang luas.

Alasan utama pencabutan ini bersifat multifaset. Secara resmi, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa keputusan ini diambil karena adanya “begitu banyak simpang siur” di masyarakat yang menganggap peraturan ini sebagai pajak baru. Namun, analisis yang lebih dalam menunjukkan adanya tekanan dari berbagai arah. Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) dan para pelaku industri menyuarakan keprihatinan serius.

Mereka berargumen bahwa kewajiban pelaporan NPWP dan data transaksi akan menjadi “entry barrier” atau penghalang bagi jutaan UMKM mikro yang baru memulai usaha secara daring. Timbul kekhawatiran bahwa para pedagang kecil akan meninggalkan platform marketplace formal dan beralih ke media sosial yang lebih sulit dilacak, yang pada akhirnya akan kontraproduktif terhadap tujuan pemerintah. Selain itu, para pelaku industri merasa waktu sosialisasi yang diberikan terlalu singkat untuk mengedukasi jutaan merchant.  

Konteks politik saat itu juga tidak dapat diabaikan. Pencabutan dilakukan pada 29 Maret 2019, hanya beberapa minggu sebelum Pemilihan Presiden 17 April 2019. Sejumlah analis menilai langkah ini “terkesan politis,” di mana pemerintah petahana tidak ingin mengambil risiko dengan kebijakan yang tidak populer dan berpotensi digoreng menjadi isu negatif yang dapat merugikan elektabilitas. Episode ini menunjukkan bahwa dalam praktik pemerintahan, pembuatan kebijakan yang ideal secara teknokratis harus selalu mempertimbangkan dan terkadang tunduk pada dinamika sosial dan pragmatisme politik.  

Gaya kebijakan Sri Mulyani dapat diidentifikasi sebagai pendekatan institutionalist. Prioritasnya bukan sekadar mencapai target-target ekonomi jangka pendek, melainkan membangun institusi, prosedur, dan kerangka kerja hukum yang kuat, dapat diprediksi, dan tahan lama. Penekanan pada APBN yang sehat dan kredibel adalah fondasi dari strategi ini. Di pasar keuangan global, kredibilitas sangat bergantung pada prediktabilitas dan kepatuhan terhadap aturan.

Dengan mengikat pemerintah, baik pusat maupun daerah, pada aturan-aturan fiskal yang jelas dan rinci seperti yang tertuang dalam PMK 83/2023, ia secara efektif mengurangi ruang untuk kebijakan yang bersifat diskresioner atau arbitrer. Langkah ini mengirimkan sinyal kuat kepada investor dan lembaga pemeringkat internasional bahwa Indonesia adalah pengelola fiskal yang bertanggung jawab.

Konsekuensi kausal dari strategi ini dalam jangka panjang adalah peningkatan kepercayaan pasar, yang pada gilirannya dapat menurunkan premi risiko dan biaya pinjaman (yield SBN) bagi pemerintah. Dengan demikian, kebijakan yang terkesan kaku dan birokratis sebenarnya merupakan sebuah strategi yang diperhitungkan untuk mencapai stabilitas makroekonomi yang berkelanjutan.

Purbaya Yudhi Sadewa dan Haluan Baru Ekonomi: Analisis Kebijakan Stimulus Rp200 Triliun

Pergeseran Paradigma: Dari Stabilitas ke Pertumbuhan Agresif

Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan pada 8 September 2025 diinterpretasikan secara luas sebagai sinyal pergeseran fundamental dalam mazhab kebijakan ekonomi Indonesia. Pernyataan mantan Presiden Joko Widodo yang menyebut Purbaya berasal dari “mazhab pemikiran ekonomi yang berbeda” dari Sri Mulyani memperkuat persepsi ini. Gaya komunikasi Purbaya yang lebih lugas dan ceplas-ceplos, yang ia sebut “seperti koboi”, serta penetapan target pertumbuhan PDB yang agresif di level 6-7%, menandakan pergeseran prioritas dari kehati-hatian fiskal menuju akselerasi pertumbuhan ekonomi.

Pasar keuangan merespons pergantian ini dengan volatilitas; Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat turun 1,28% sesaat setelah pengumumannya, mencerminkan adanya ketidakpastian investor terhadap arah kebijakan yang baru.  

Bedah Kebijakan Penempatan Dana Rp200 Triliun di Himbara

Langkah kebijakan pertama yang paling signifikan dari Purbaya adalah penempatan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Kebijakan ini dieksekusi dengan sangat cepat melalui penerbitan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025 tentang Penempatan Uang Negara Dalam Rangka Pengelolaan Kelebihan Dan Kekurangan Kas Untuk Mendukung Pelaksanaan Program Pemerintah Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi pada 12 September 2025. Pilihan instrumen hukum ini sangat penting. Berbeda dengan PMK yang bersifat regeling (pengaturan umum yang melalui proses pembentukan lebih panjang), KMK adalah sebuah beschikking (penetapan individual dan konkret) yang memungkinkan eksekusi kebijakan secara instan oleh eksekutif.

Dana yang bersumber dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 200 triliun dipindahkan dari penempatannya di Bank Indonesia ke lima bank BUMN, yaitu Bank Mandiri, BNI, dan BRI yang masing-masing menerima Rp 55 triliun, BTN sebesar Rp 25 triliun, serta Bank Syariah Indonesia (BSI) sebesar Rp 10 triliun. Tujuan eksplisit dari kebijakan ini adalah untuk membanjiri sistem perbankan dengan likuiditas guna mendorong penyaluran kredit ke sektor riil, yang pada akhirnya diharapkan dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Purbaya secara terbuka menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk memindahkan tekanan dari pemerintah ke perbankan, dengan mengatakan, “Kasih ke sana semua, biar mereka mikir. Jadi bukan saya lagi yang mikir, mereka yang mikir”. Kebijakan ini juga bertujuan untuk menurunkan suku bunga pinjaman dan deposito, mengakhiri “perang bunga” antar bank.

Untuk memastikan dana tersebut tidak hanya berputar di sektor keuangan, KMK tersebut secara eksplisit melarang bank menggunakan dana tersebut untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN). Selain itu, bank penerima dana diwajibkan untuk menyampaikan laporan penggunaan dana secara berkala setiap bulan kepada Menteri Keuangan.  

Peran Danantara sebagai Koordinator dan Pengarah Investasi

Meskipun kebijakan ini merupakan inisiatif Kementerian Keuangan, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), sebuah sovereign wealth fund yang baru dibentuk pada Februari 2025, memainkan peran penting sebagai pengarah strategis.

CEO Danantara, Rosan Roeslani, secara aktif tampil di publik untuk memberikan justifikasi dan arahan mengenai penggunaan dana tersebut. Danantara secara spesifik mengarahkan agar dana Rp 200 triliun tersebut difokuskan untuk membiayai sektor-sektor yang dianggap strategis bagi agenda pembangunan nasional, seperti industri berorientasi ekspor, sektor padat karya untuk penciptaan lapangan kerja, dan pembiayaan perumahan. Keterlibatan aktif ini menunjukkan bahwa Danantara diposisikan bukan hanya sebagai sovereign wealth fund yang pasif, melainkan sebagai sovereign development fund yang berperan sebagai koordinator investasi negara.

Analisis Risiko dan Kritik

Kebijakan yang bersifat terobosan ini tidak luput dari kritik dan sorotan risiko. Indonesian Audit Watch (IAW) mengkritik potensi kurangnya transparansi dan landasan hukum yang kuat. Menurut IAW, penggunaan SAL dalam jumlah masif seharusnya melalui mekanisme APBN yang melibatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bukan hanya melalui keputusan menteri, untuk menjamin akuntabilitas publik.

Kemudian juga, terdapat kekhawatiran bahwa pemaksaan penyaluran kredit secara agresif dapat meningkatkan risiko kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL), terutama jika analisis kelayakan kredit diabaikan demi mencapai target penyaluran. Selain itu, injeksi likuiditas secara masif ke dalam perekonomian juga membawa risiko tekanan inflasi.

Kebijakan ini juga berpotensi menciptakan moral hazard, di mana bank-bank BUMN mungkin terdorong untuk mengambil risiko yang berlebihan dalam penyaluran kredit dengan asumsi bahwa mereka akan selalu diselamatkan oleh dana pemerintah jika terjadi masalah. Sehingga, pergeseran dari penggunaan PMK ke KMK untuk kebijakan berdampak masif ini bukanlah sekadar pilihan teknis hukum, melainkan cerminan dari pergeseran filosofi pemerintahan. Ini menandakan transisi dari governance by regulation (pemerintahan berbasis aturan) yang menjadi ciri era Sri Mulyani, menjadi governance by executive action (pemerintahan berbasis tindakan eksekutif) di era Purbaya. Preferensi ini jelas mengutamakan kecepatan dan dampak langsung di atas proses deliberasi dan kehati-hatian institusional yang lebih lambat. Pilihan ini merupakan langkah strategis untuk mencapai tujuan politik (pertumbuhan ekonomi tinggi) dengan konsekuensi berkurangnya potensi pengawasan legislatif yang lebih ketat.

Lebih jauh, muncul sebuah arsitektur ekonomi baru yang menunjukkan pembagian kerja yang jelas. Kementerian Keuangan di bawah Purbaya bertindak sebagai penyedia “otot” finansial melalui injeksi likuiditas masif. Sementara itu, Danantara berfungsi sebagai “otak” strategis yang memberikan arahan investasi. Pernyataan Purbaya yang seolah lepas tangan (“biar bank yang pusing”) dan pernyataan CEO Danantara yang merinci sektor prioritas bukanlah sebuah kontradiksi, melainkan dua sisi dari satu strategi terkoordinasi. Kemenkeu RI menciptakan urgensi bagi bank untuk mencari proyek, dan Danantara menyediakan peta jalan ke mana energi finansial baru tersebut harus diarahkan. Ini adalah model state-led development yang lebih terpusat dan intervensionis.

Pengaruh Gender Pejabat Publik Terhadap Arah Kebijakan: Studi Komparatif Sri Mulyani dan Purbaya Yudhi Sadewa

Kerangka Teoretis: Gender, Gaya Kepemimpinan, dan Pengambilan Keputusan

Analisis terhadap perbedaan kebijakan antara Sri Mulyani dan Purbaya Yudhi Sadewa dapat diperkaya dengan menggunakan lensa teoretis dari studi kepemimpinan dan gender. Klaim Mardigu bahwa dunia ekonomi saat ini adalah dunia “peperangan” yang hanya bisa dipahami oleh laki-laki karena perempuan dianggap lemah dalam “kemampuan spasial” merupakan sebuah generalisasi yang problematis dan berisiko terjatuh pada kekeliruan logika (logical fallacy).

Namun, alih-alih menolaknya mentah-mentah, klaim tersebut dapat didekonstruksi sebagai sebuah persepsi awam mengenai perbedaan gaya kepemimpinan yang dapat diuji secara akademis.

Literatur di bidang ini secara konsisten menemukan adanya kecenderungan perbedaan gaya kepemimpinan. Studi-studi meta-analisis menunjukkan bahwa pemimpin perempuan lebih sering menunjukkan gaya kepemimpinan transformasional dan interaktif, yang dicirikan dengan mendorong partisipasi, berbagi informasi dan kekuasaan, serta fokus pada pemberdayaan dan pengembangan bawahan.

Sebaliknya, gaya kepemimpinan transaksional, yang berfokus pada penggunaan otoritas formal, pertukaran imbalan, dan pencapaian target yang jelas, lebih sering diasosiasikan dengan pemimpin laki-laki. Penting untuk menggarisbawahi bahwa ini adalah temuan berbasis kecenderungan rata-rata dan bukan sebuah determinisme biologis. Analisis ini akan menghindari stereotip dengan berfokus pada perilaku dan hasil kebijakan yang dapat diamati secara objektif.  

Jika ditelaah melalui kerangka teoretis tersebut, perbedaan gaya kebijakan antara kedua menteri menjadi lebih jelas, sebagai berikut:

-        Sri Mulyani (Pendekatan Institusional-Transformatif)

Gaya kepemimpinannya sangat selaras dengan model transformasional. Fokusnya adalah pada pembangunan sistem, aturan main (rules of the game), dan institusi yang kuat, seperti yang tecermin dari penggunaan PMK yang detail dan reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan. Komunikasinya cenderung bersifat teknokratis, berbasis data, dan edukatif, dengan tujuan membangun pemahaman dan konsensus. Kebijakannya, seperti manajemen defisit yang ketat, dirancang untuk stabilitas jangka panjang dan keberlanjutan fiskal, sebuah cerminan dari pendekatan yang mempertimbangkan dampak sistemik dan berupaya mentransformasi kapabilitas institusional negara;

-        Purbaya Yudhi Sadewa (Pendekatan Diskrisioner-Transaksional)

Gayanya lebih mendekati model kepemimpinan yang direktif dan transaksional. Fokusnya adalah pada tindakan eksekutif yang cepat dan memiliki dampak tinggi, seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan KMK untuk kebijakan Rp 200 triliun. Komunikasinya bersifat asertif, sangat percaya diri, dan terkadang konfrontatif, seperti saat ia menyarankan para pengkritiknya untuk “belajar lagi”. Kebijakan penempatan dana di Himbara dapat dilihat sebagai sebuah “transaksi” yang jelas yaitu pemerintah memberikan likuiditas (input), dan sebagai gantinya, bank diharapkan memberikan pertumbuhan kredit (output). Ini adalah pertukaran langsung yang dirancang untuk mencapai hasil jangka pendek yang spesifik.

Hubungan Gender dengan Pembangunan Ekonomi di Indonesia

Data menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan signifikan dalam kesetaraan gender, yang tercermin dari Indeks Ketimpangan Gender (GII) yang relatif tinggi di kawasan ASEAN. Berbagai studi empiris, baik di tingkat global maupun nasional, menunjukkan adanya korelasi positif yang kuat antara peningkatan kesetaraan gender dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Kehadiran pemimpin perempuan seperti Sri Mulyani di posisi strategis dapat menjadi simbol kemajuan dan inspirasi. Namun, tantangan struktural seperti bias gender yang mengakar dalam proses penyusunan kebijakan publik dan implementasi yang tidak optimal di lapangan masih menjadi hambatan nyata.

Perbedaan fundamental dalam pendekatan kebijakan antara Sri Mulyani dan Purbaya Yudhi Sadewa, oleh karena itu, dapat dipahami tidak hanya sebagai perbedaan mazhab ekonomi, tetapi juga sebagai manifestasi dari dua filosofi kepemimpinan yang berbeda. Sri Mulyani memimpin dengan membangun sistem yang dirancang untuk berfungsi secara otonom dan berkelanjutan. Sebaliknya, Purbaya memimpin dengan melakukan intervensi langsung untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Pendekatan Sri Mulyani, yang konsisten dengan literatur tentang kepemimpinan transformasional, secara inheren membutuhkan waktu lebih lama untuk menunjukkan hasil, namun berpotensi menciptakan stabilitas yang lebih besar. Pendekatan Purbaya, yang lebih direktif, mampu menghasilkan dampak lebih cepat namun dengan tingkat risiko yang juga lebih tinggi. Pilihan instrumen kebijakan mereka (PMK yang rumit versus KMK yang lugas) bukanlah pilihan acak, melainkan konsekuensi logis dari gaya kepemimpinan fundamental masing-masing. Lensa analisis gender di sini berfungsi untuk memberikan lapisan penjelasan yang lebih dalam mengenai mengapa dan bagaimana mereka membuat keputusan dengan cara yang berbeda, melampaui sekadar penjelasan teknis ekonomi.

Implikasi Pergantian Menteri Terhadap Kebijakan Kredit Perbankan Domestik

Landasan Hukum Kredit Perbankan: Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle)

Fondasi hukum yang menopang seluruh aktivitas perbankan di Indonesia, khususnya dalam penyaluran kredit, adalah prinsip kehati-hatian (prudential banking principle). Prinsip ini secara eksplisit diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang selanjutnya disebut “UU Perbankan”. Beberapa pasal kunci menjadi pilar dari prinsip ini, sebagaimana berikut:

-        Pasal 2 UU Perbankan secara tegas menyatakan: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Pasal ini menempatkan kehati-hatian sebagai asas fundamental;

-        Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan mewajibkan bank, dalam memberikan kredit, untuk mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya. Ini adalah mandat hukum untuk melakukan uji tuntas (due diligence) yang cermat;

-        Pasal 29 ayat (2) dan (3) UU Perbankan mengamanatkan bank untuk wajib memelihara tingkat kesehatan bank dan dalam memberikan kredit, wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.

Secara historis, pasal-pasal ini berfungsi sebagai benteng pertahanan utama sistem keuangan untuk mencegah risiko kredit macet yang dapat memicu krisis sistemik.

Era Baru: Relaksasi Regulasi untuk Mendorong Ekspansi Kredit

Pergantian kepemimpinan di Kementerian Keuangan menandai era baru yang ditandai dengan pergeseran penekanan kebijakan. Kebijakan Purbaya yang menyuntikkan likuiditas masif sebesar Rp 200 triliun ke Himbara secara efektif memberikan tekanan kuat kepada perbankan untuk melonggarkan keran kreditnya.  

Dorongan dari eksekutif ini kemudian diperkuat dan dilegitimasi oleh regulator sektor keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), melalui penerbitan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2025 tentang Kemudahan Akses Pembiayaan Kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang selanjutnya disebut “POJK 19/2025”. POJK ini, yang merupakan amanat dari Pasal 249 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, secara spesifik mengamanatkan Bank dan Lembaga Keuangan Nonbank untuk memberikan kemudahan akses pembiayaan melalui berbagai cara, termasuk penyederhanaan persyaratan, percepatan proses bisnis, dan penggunaan skema pembiayaan inovatif yang sesuai dengan karakteristik UMKM. Secara kolektif, kebijakan Kemenkeu dan OJK ini secara efektif menggeser pendulum penekanan dari yang semula berfokus pada manajemen risiko (kehati-hatian) menjadi akselerasi penyaluran kredit (pertumbuhan).  

Analisis Dampak dan Potensi Konflik Norma Hukum

Pergeseran paradigma ini menciptakan potensi friksi, atau bahkan konflik, antara semangat UU Perbankan yang sangat menekankan kehati-hatian dengan semangat kebijakan baru dari Kemenkeu dan POJK 19/2025 yang mendorong pengambilan risiko.

Sebagai contoh konkret:

1)        Sebelum September 2025, sebuah bank, dalam mematuhi semangat Pasal 8 UU Perbankan, akan sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit kepada UMKM yang tidak memiliki agunan aset tetap yang memadai. Proses analisis kredit akan berjalan panjang dan mendalam;

2)       Setelah September 2025, dengan adanya dorongan likuiditas dari Kemenkeu dan mandat “kemudahan” dari POJK 19/2025, bank yang sama didorong untuk menjadi lebih fleksibel. Bank mungkin akan lebih cepat menyetujui kredit dengan analisis yang lebih sederhana atau bahkan menerima agunan non-tradisional seperti hak atas kekayaan intelektual, sebagaimana diakomodasi dalam POJK baru.  

Potensi konflik norma ini dapat berimplikasi hukum di masa depan. Apabila terjadi lonjakan NPL akibat kebijakan ini, sengketa hukum dapat timbul. Debitur yang gagal bayar mungkin akan berargumen bahwa bank telah lalai karena memberikan kredit tanpa analisis yang cukup, melanggar Pasal 8 UU Perbankan. Sebaliknya, bank dapat membela diri dengan menyatakan bahwa mereka hanya mengikuti arahan kebijakan dari pemerintah dan regulator (OJK). Putusan-putusan pengadilan di masa depan akan menjadi preseden krusial dalam menafsirkan keseimbangan antara kewajiban hukum untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dan mandat kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Secara kolektif, kebijakan Kemenkeu dan OJK ini dapat diinterpretasikan sebagai bentuk regulatory forbearance yang terkoordinasi. Istilah ini merujuk pada situasi di mana regulator secara sadar melonggarkan pengawasan atau penegakan aturan untuk mencapai tujuan kebijakan lain, dalam kasus ini, pertumbuhan ekonomi. OJK tidak secara formal menghapus prinsip kehati-hatian, namun sinyal kebijakannya sangat jelas yaitu bank diharapkan untuk lebih toleran terhadap risiko demi mengakselerasi penyaluran kredit. Ini adalah sebuah pertaruhan kebijakan berisiko tinggi. Tekanan politik untuk pertumbuhan (sebagai penyebab) dieksekusi melalui injeksi likuiditas (sebagai alat), yang dimungkinkan oleh pelonggaran regulasi dari OJK (sebagai mekanisme pemungkin). Hasil yang diharapkan adalah peningkatan penyaluran kredit, namun dengan risiko inheren berupa potensi kenaikan NPL di masa depan.

Sintesis Temuan

Sehingga menurut hemat penulis  ini menunjukkan bahwa narasi ekonomi yang disuarakan oleh Mardigu Wowiek, terlepas dari akurasi teknis dan balutan konspirasinya, secara intuitif berhasil menangkap adanya sebuah pergeseran fundamental dalam arah kebijakan ekonomi Indonesia. Terjadi transisi dari paradigma ortodoks yang menekankan stabilitas, kredibilitas fiskal, dan kepatuhan pada aturan (rule-based), menuju paradigma yang lebih heterodox yang mengutamakan intervensi negara, diskresi eksekutif, dan akselerasi pertumbuhan.

Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa bukan sekadar pergantian personel, melainkan sebuah policy pivot atau perubahan haluan kebijakan yang signifikan dan terkoordinasi. Perubahan ini dimanifestasikan melalui pergeseran instrumen hukum (dari PMK ke KMK), perubahan filosofi kepemimpinan (dari institusional-transformatif ke diskresioner-transaksional), dan pelibatan aktor-aktor baru dalam arsitektur ekonomi (seperti peran sentral Danantara) yang bekerja secara sinergis dengan regulator (OJK) untuk mencapai tujuan pertumbuhan yang agresif.

Evaluasi Trade-Off Kebijakan

Kebijakan ekonomi yang baru ini secara sadar melakukan pertukaran (trade-off) antara stabilitas jangka panjang dengan potensi pertumbuhan jangka pendek yang lebih tinggi. Pendekatan era Sri Mulyani memprioritaskan fondasi fiskal yang kokoh dan kredibilitas di mata pasar internasional, yang berpotensi menghasilkan pertumbuhan yang moderat namun stabil. Sebaliknya, pendekatan era Purbaya berpotensi membebaskan Indonesia dari jebakan pertumbuhan 5% melalui stimulus masif, namun dengan menanggung risiko yang lebih besar, terutama dalam bentuk potensi tekanan inflasi, peningkatan kredit macet (NPL), dan kemungkinan instabilitas keuangan jika tidak dikelola dengan tingkat kehati-hatian yang luar biasa.

Sehingga menurut penulis di sini untuk Pemerintah dan Kementerian Keuangan, perlu dibentuk mekanisme pengawasan yang transparan dan independen untuk memantau penyaluran dan efektivitas dana Rp 200 triliun, memastikan dana tersebut benar-benar mengalir ke sektor produktif dan tidak hanya meningkatkan risiko sistemik. Untuk kebijakan fiskal berskala masif yang menggunakan dana publik seperti SAL di masa depan, pertimbangkan untuk menggunakan instrumen hukum yang memiliki legitimasi politik dan hukum yang lebih kuat, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atau melalui mekanisme APBN-Perubahan, guna memastikan adanya proses check and balances yang memadai.

Sedangkan, untuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), OJK perlu memperkuat pengawasan mikroprudensial secara intensif terhadap bank-bank penerima dana stimulus untuk mengantisipasi potensi lonjakan risiko kredit. Harus dipastikan bahwa mandat “kemudahan” dalam POJK 19/2025 tidak diterjemahkan oleh industri sebagai “kelalaian” dalam analisis kelayakan kredit.

Bank Indonesia perlu waspada dan siap menggunakan instrumen kebijakan makroprudensial dan moneter untuk meredam potensi tekanan inflasi yang mungkin timbul dari peningkatan likuiditas yang signifikan di pasar.

Kemudian, untuk Legislatif/anggota DPR RI yang terhormat, perlu melakukan peningkatkan pelaksanaan fungsi pengawasan anggaran (Pasal 20A UUD 1945) terhadap penggunaan dana-dana non-APBN seperti SAL, terutama ketika digunakan untuk kebijakan yang memiliki dampak fiskal dan moneter yang signifikan, serta memastikan bahwa setiap kebijakan diskresioner eksekutif yang berdampak luas tetap berada dalam koridor akuntabilitas dan pengawasan legislatif yang efektif untuk menjaga keseimbangan kekuasaan.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.