Pertanyaan
Selamat Pagi, saya ingin bertanya. Terkait dengan
topik yang dibahas oleh Mardigu Wowiek, saya tertarik untuk mendapatkan analisis
yang lebih mendalam khusus dari perspektif hukum ya. Dalam salah satu
diskusinya, ia mengemukakan beberapa klaim yang cukup provokatif.
Pertama, ia
menyatakan bahwa penunjukan Sri Mulyani oleh tiga presiden berbeda bukanlah
keputusan politik domestik, melainkan sebuah “keputusan geopolitik” yang
didikte oleh kepentingan IMF dan World Bank. Sejauh mana klaim ini dapat
divalidasi jika kita melihat arsitektur kebijakan fiskal yang Sri Mulyani
bangun melalui peraturan-peraturan konkret?
Kedua,
Mardigu secara kontroversial mengaitkan gender dengan kapabilitas kepemimpinan
ekonomi di era “peperangan”. Ia berargumen bahwa karena perempuan lemah dalam “kemampuan
spasial”, seorang menteri keuangan perempuan tidak dapat memahami lanskap
ekonomi perang, yang menurutnya dimulai sejak Perang Dagang AS-Tiongkok tahun
2017. Akibatnya, ia mengklaim kebijakan Indonesia menjadi “telat tujuh tahun”.
Bagaimana kita bisa membedah argumen ini secara objektif dan akademis,
melampaui bias gender, dengan membandingkan gaya kepemimpinan dan hasil
kebijakan yang nyata antara era Sri Mulyani dan suksesornya?
Ketiga, ia
memuji langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menggelontorkan Rp200
triliun ke Himbara sebagai kebijakan “easy money” yang tepat untuk
menstimulus ekonomi yang lesu, sebuah antitesis dari kebijakan “tight money”
era sebelumnya. Bagaimana kita seharusnya menganalisis kebijakan terobosan ini?
Apakah ini benar-benar solusi jenius yang akan menghasilkan multiplier
effect masif, atau sebuah pertaruhan berisiko tinggi yang membawa potensi
bahaya moral (moral hazard) dan kredit macet, terutama jika melihat
perannya yang dikoordinasikan dengan Danantara?
Terakhir,
bagaimana semua pergeseran paradigma kebijakan ini (dari yang berbasis aturan
ketat ke tindakan eksekutif yang cepat, dari stabilitas ke pertumbuhan agresif)
berdampak pada kerangka hukum perkreditan perbankan di Indonesia? Apakah ada
potensi konflik norma antara mandat UU Perbankan yang menekankan prinsip
kehati-hatian dengan dorongan kebijakan baru untuk mempermudah penyaluran
kredit?
Saya mohon analisis yang komprehensif, kritis, dan
didukung oleh dasar hukum yang kuat untuk menjawab kerumitan ini.
Jawaban
Selamat Pagi, terima kasih atas pertanyaannya yang
sangat tajam dan relevan. Pertanyaan Anda menyentuh inti dari perdebatan
kebijakan ekonomi kontemporer di Indonesia, sekaligus menyoroti implikasi hukum
yang tak terpisahkan dari setiap keputusan fiskal dan moneter. Hal ini
memungkinkan kita untuk menggunakan narasi yang beredar di ruang publik sebagai
batu loncatan untuk sebuah analisis yang lebih dalam dan berbasis bukti, yang
tidak hanya menguji rasionalitas ekonomi tetapi juga membedah landasan yuridis dari
setiap kebijakan yang ada. Begini penjelasannya.
Membedah Narasi Ekonomi Alternatif Mardigu Wowiek
Latar Belakang dan Konteks
Dalam lanskap diskursus ekonomi publik Indonesia,
muncul fenomena Mardigu Wowiek Prasantyo, yang lebih dikenal dengan persona “Bossman
Mardigu”. Melalui platform media sosial seperti YouTube, ia membangun narasi
ekonomi alternatif yang secara signifikan berbeda dari kebijakan arus utama.
Narasi ini, yang kerap dibalut dengan kerangka geopolitik dan teori konspirasi,
telah menarik perhatian publik yang luas dan menjadi titik tolak yang relevan
untuk melakukan analisis kebijakan ekonomi yang lebih mendalam, sistematis, dan
berbasis bukti.
Pokok-Pokok Pikiran Mardigu
Gagasan-gagasan Mardigu yang menjadi fokus analisis
ini, terutama yang diekspresikan dalam video-videonya, mencakup beberapa pilar
utama. Pertama, advokasi kuat terhadap penerapan Modern Monetary
Theory (MMT), yang diterjemahkannya sebagai kebijakan “cetak uang” (printing
money). Menurutnya, kebijakan ini memungkinkan Indonesia untuk
membiayai pembangunan secara mandiri tanpa harus bergantung pada utang luar
negeri yang didominasi Dolar Amerika Serikat. Ia mengklaim telah
mempromosikan gagasan ini sejak 2016-2017, dengan argumen bahwa risiko inflasi
yang sering diasosiasikan dengan pencetakan uang hanya relevan dalam kondisi ekonomi normal, bukan dalam situasi krisis.
Kedua, kritik
tajam yang diarahkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Kebijakannya dinilai terlalu pro-dolar, berorientasi pada utang, dan menganut
mazhab ekonomi Keynesian yang dianggapnya konvensional. Lebih jauh, ia
mengklaim bahwa penunjukan Sri Mulyani oleh tiga presiden berbeda bukanlah
keputusan politik murni, melainkan sebuah “keputusan geopolitik” yang
dipengaruhi oleh lembaga seperti IMF dan World Bank karena mereka lebih
nyaman bekerja dengan figur yang sudah mereka kenal. Mardigu memposisikan dirinya
sebagai penganut mazhab Post-Keynesian yang lebih progresif.
Ketiga, interpretasi
unik terhadap dinamika geopolitik global, khususnya Perang Dagang antara
Amerika Serikat dan Tiongkok. Dalam narasinya, konflik tarif ini bukanlah
sekadar sengketa ekonomi, melainkan bagian dari perang biologi dan perang
proksi yang pada akhirnya akan bereskalasi menjadi konflik militer terbuka. Ia
secara provokatif menyatakan, “the end of trade war is the beginning of
military war” (berakhirnya perang dagang adalah saat dimulainya perang
militer), sebuah klaim yang menggeser analisis dari ranah ekonomi ke
eskatologi geopolitik.
Tulisan lawyerpontianak.com kali ini tidak
bertujuan untuk memvalidasi klaim-klaim konspiratif yang dikemukakan oleh
Mardigu. Sebaliknya, narasi dari Mardigu dapat digunakan sebagai heuristic
device atau alat bantu analisis untuk secara kritis menguji dan membedah
realitas kebijakan ekonomi Indonesia. Tujuannya adalah untuk:
(1)
Menganalisis
konteks geopolitik Perang Dagang AS-Tiongkok dan dampaknya yang nyata bagi
Indonesia berdasarkan data dan studi empiris;
(2)
Membandingkan dua
paradigma kebijakan fiskal yang kontras, yang direpresentasikan oleh era
kepemimpinan Sri Mulyani dan Purbaya Yudhi Sadewa di Kementerian Keuangan; dan
(3)
Mengevaluasi
dasar hukum, mekanisme, serta potensi dampak dari setiap kebijakan yang
diambil.
Pendekatan analisis yang kami gunakan adalah
pendekatan hukum-ekonomi (law and economics) yang mengintegrasikan
analisis regulasi dengan dampak ekonominya, serta pendekatan studi kebijakan
publik untuk memahami proses dan implikasi dari keputusan pemerintah.
Konteks Geopolitik dan Dampak Perang Dagang AS-Tiongkok terhadap Perekonomian Indonesia
Eskalasi Perang Dagang Sejak 2017-2018 dan Mekanismenya
Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, yang secara signifikan bereskalasi sejak 2018,
dipicu oleh kebijakan proteksionis pemerintahan Presiden Donald Trump yang
memberlakukan tarif impor tinggi terhadap produk-produk Tiongkok senilai
ratusan miliar dolar. Kebijakan ini kemudian dibalas oleh Tiongkok dengan tarif
serupa terhadap produk AS.
Namun, konflik ini melampaui sekadar sengketa tarif.
Ia merupakan manifestasi dari kompetisi strategis yang lebih luas antara dua
kekuatan ekonomi terbesar dunia, yang mencakup dimensi perebutan supremasi
teknologi, pengaruh geopolitik, dan perbedaan sistem nilai. Mengingat
kontribusi gabungan AS dan Tiongkok yang sangat besar terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) dan volume perdagangan global, setiap ketegangan di antara
keduanya secara inheren menciptakan efek rambatan (spillover effect) ke
seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Dampak Negatif terhadap Indonesia
Perekonomian Indonesia yang bersifat terbuka tidak
luput dari dampak negatif konflik ini. Beberapa dampak utama yang
teridentifikasi adalah:
-
Gangguan
Rantai Pasok dan Pelemahan Ekspor
Sebagai negara yang signifikan dalam rantai pasok
global, terutama sebagai pengekspor bahan baku dan komoditas ke Tiongkok,
Indonesia menghadapi penurunan permintaan. Data menunjukkan adanya penurunan
nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok pada tahun 2019 sebesar 2,6% dibandingkan
tahun sebelumnya;
-
Volatilitas
Harga Komoditas
Pelemahan ekonomi global akibat perang dagang menekan
harga komoditas andalan ekspor Indonesia. Harga batu bara, misalnya, mengalami
penurunan signifikan dari 101 Dolar AS per ton pada 2018 menjadi 69 Dolar AS
per ton pada 2019, yang secara langsung berdampak pada penerimaan negara dari
sektor ekspor;
-
Tekanan
terhadap Nilai Tukar Rupiah
Ketidakpastian di pasar keuangan global memicu
pelemahan nilai tukar Rupiah, yang pada puncaknya mengalami depresiasi hingga
10-11%. Volatilitas ini memaksa Bank Indonesia untuk melakukan intervensi guna
menjaga stabilitas, salah satunya melalui kebijakan triple intervention di pasar valuta asing.
-
Perlambatan
Pertumbuhan Ekonomi
Berbagai lembaga dan studi mengkonfirmasi bahwa perang
dagang berkontribusi pada perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Analisis
memprediksi bahwa tarif AS dapat mengurangi pertumbuhan PDB Indonesia sebesar
0,3 hingga 0,5 poin persentase, sebuah angka yang signifikan dalam konteks target pertumbuhan nasional.
Peluang Strategis bagi Indonesia
Di tengah berbagai tantangan, perang dagang juga
membuka jendela peluang strategis bagi Indonesia, terutama melalui dua
mekanisme utama:
-
Relokasi
Investasi (Investment Diversion): kebijakan tarif AS terhadap produk Tiongkok mendorong banyak perusahaan
multinasional untuk merelokasi basis produksinya ke negara lain guna
menghindari biaya tambahan. Fenomena ini menciptakan peluang bagi negara-negara
ASEAN, termasuk Indonesia, untuk menarik Foreign Direct Investment
(FDI). Pemerintah Indonesia merespons peluang ini dengan menawarkan berbagai
insentif fiskal, seperti pembebasan pajak (tax holiday) hingga 20 tahun
dan pengurangan pajak untuk kegiatan penelitian dan pengembangan hingga 300%;
-
Diversifikasi
Pasar Ekspor (Trade Diversion):
ketika produk-produk Tiongkok menjadi lebih mahal di pasar AS akibat tarif,
terbuka ruang bagi produk dari negara lain untuk mengisi kekosongan tersebut.
Indonesia berhasil memanfaatkan peluang ini di beberapa sektor. Data
menunjukkan adanya peningkatan ekspor Indonesia ke AS, terutama pada produk
elektronik yang nilainya meningkat sebesar 23,5% pada tahun 2021.
Perang dagang ini secara fundamental menciptakan
sebuah persimpangan jalan bagi perekonomian Indonesia. Di satu sisi, ia
memberikan tekanan signifikan pada model ekonomi yang berbasis ekspor komoditas
mentah yang sangat bergantung pada permintaan global yang stabil. Di sisi
lain, ia menyajikan peluang emas bagi sektor manufaktur bernilai tambah
untuk menarik investasi asing dan memperluas akses ke pasar negara maju.
Namun, realisasi dari peluang ini tidak terjadi secara otomatis.
Data menunjukkan bahwa dari 33 perusahaan besar yang
merelokasi produksinya dari Tiongkok pada 2020, hanya 7 yang memilih Indonesia,
sementara 19 perusahaan memilih Vietnam. Fakta ini menggarisbawahi bahwa
dampak akhir dari perang dagang bagi Indonesia (apakah akan menjadi keuntungan
bersih atau kerugian bersih) tidak ditentukan oleh faktor eksternal semata.
Faktor penentu utamanya adalah efektivitas
kebijakan domestik dalam melakukan reformasi struktural, seperti penyederhanaan
birokrasi, peningkatan kepastian hukum, dan perbaikan infrastruktur logistik,
agar lebih kompetitif dibandingkan negara-negara tetangga.
Paradigma Kebijakan Fiskal Era Sri Mulyani Indrawati: Kehati-hatian Berlandaskan Hukum (Rule-Based Prudence)
Filosofi Dasar: Stabilitas Makroekonomi dan Kredibilitas Fiskal
Era kepemimpinan Sri Mulyani Indrawati di Kementerian
Keuangan ditandai oleh sebuah filosofi kebijakan yang berpusat pada
pencapaian stabilitas makroekonomi melalui pengelolaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang kredibel, transparan, dan berkelanjutan.
Pendekatan ini secara diametral berlawanan dengan narasi Mardigu yang
mengkritik kebijakan berbasis utang dan mengklaimnya sebagai perpanjangan
tangan kepentingan asing. Fokus utama Sri Mulyani adalah menjaga disiplin
fiskal, terutama melalui pengendalian defisit anggaran dan rasio utang
pemerintah agar tetap berada dalam batas aman yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Klaim ini bukan sekadar retorika pemerintah, melainkan
sebuah realitas yang divalidasi secara konsisten oleh berbagai lembaga keuangan
dan pemeringkat internasional. Lembaga pemeringkat kredit seperti Standard
& Poor's (S&P) secara eksplisit menjadikan “pengaturan kebijakan
yang hati-hati” (prudent policy settings) dan komitmen pemerintah
terhadap batas defisit 3% dari PDB sebagai “jangkar kebijakan penting” (important
policy anchor) dalam mempertahankan peringkat investment grade
(BBB/Stabil) untuk Indonesia. Dalam laporannya, S&P
berulang kali menegaskan bahwa disiplin fiskal ini, terutama setelah
konsolidasi cepat pasca-pandemi, menjadi fondasi kepercayaan global terhadap
resiliensi ekonomi Indonesia. Bahkan, S&P menaikkan peringkat Indonesia
menjadi investment grade pada tahun 2017, salah satunya karena “fokus
yang meningkat pada penganggaran yang realistis” di bawah kepemimpinan Sri
Mulyani, yang dinilai mengurangi risiko
fiskal secara signifikan.
Pandangan ini diamini oleh institusi global lainnya. Pihak
International Monetary Fund (IMF), dalam sebuah wawancara, mengakui peran
Sri Mulyani dalam “memperkuat fondasi makroekonomi negara” dan memuji
langkah-langkahnya yang “bijaksana secara fiskal” (fiscally prudent).
Laporan-laporan dari World Bank juga secara berkala menyoroti bahwa ketahanan
ekonomi Indonesia ditopang oleh “kebijakan makroekonomi yang kuat” dan “kepatuhan
yang ketat terhadap aturan fiskal” (strict adherence to fiscal rules).
Kepercayaan ini tercermin di pasar keuangan. Analis
dari berbagai media finansial internasional seperti Bloomberg dan Finimize menjulukinya sebagai “penjaga
fiskal” (fiscal guardian) Indonesia. Reaksi pasar terhadap kepergiannya
dari jabatan (baik pada tahun 2017 maupun 2025) selalu sama: arus modal
keluar yang signifikan, pelemahan nilai tukar Rupiah, dan penurunan indeks
saham. Hal ini menunjukkan bahwa bagi investor global, figurnya identik
dengan kredibilitas dan prediktabilitas kebijakan fiskal. Stabilitas
yang ia ciptakan inilah yang menjadi prasyarat bagi masuknya investasi jangka
panjang dan terlaksananya transaksi-transaksi
kompleks bernilai miliaran dolar yang ditangani oleh firma-firma
hukum internasional di Indonesia. Dengan demikian, dapat disimpulkan secara
objektif bahwa filosofi kebijakan Sri Mulyani yang berfokus pada stabilitas dan
kredibilitas fiskal bukanlah klaim sepihak, melainkan sebuah reputasi yang
dibangun dan diakui secara luas oleh komunitas finansial dan hukum
internasional.
Arsitektur Hukum Kebijakan Fiskal yang Terstruktur dan Prosedural
Kebijakan fiskal pada masa ini sangat terikat pada
kerangka hukum formal yang ketat. Instrumen utama yang digunakan untuk
mengimplementasikan kebijakan adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK),
sebuah produk hukum bersifat regeling (mengatur) yang berlaku secara
umum. Penggunaan PMK yang sangat detail dan prosedural menunjukkan preferensi
pada kebijakan yang terstruktur, dapat diprediksi, dan akuntabel. Pendekatan
ini tecermin dalam berbagai aspek, mulai dari manajemen utang hingga pemberian
insentif fiskal.
Pendekatan rule-based yang menjadi ciri khas
Sri Mulyani paling jelas terlihat dalam manajemen defisit dan utang,
baik di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat daerah, disiplin fiskal
dilembagakan melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
83 Tahun 2023 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
dan Batas Maksimal Kumulatif Pembiayaan Utang Daerah Tahun Anggaran 2024,
yang selanjutnya disebut “PMK 83/2023”. Peraturan ini adalah
cetak biru (blueprint) dari pendekatan kehati-hatian fiskal.
Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK
83/2023 secara tegas menyatakan bahwa:
“Batas
Maksimal Kumulatif Defisit APBD tahun anggaran 2024 ditetapkan sebesar 0,24%
(nol koma dua empat persen) dari proyeksi PDB tahun anggaran 2024”.
Tidak hanya itu, Pasal 3 PMK 83/2023
menetapkan batas defisit individual untuk setiap daerah yang besarannya
disesuaikan secara berjenjang berdasarkan kategori Kapasitas Fiskal Daerah,
mulai dari 4,65% untuk kategori sangat tinggi hingga 4,25% untuk kategori
sangat rendah. Lebih lanjut, setiap usulan pelampauan batas tersebut,
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 PMK 83/2023, harus melalui
proses persetujuan berlapis yang melibatkan pertimbangan dari berbagai
kementerian dan memenuhi rasio keuangan yang ketat, seperti rasio kemampuan
membayar kembali utang minimal 2,5.
Di tingkat pusat, mekanisme formal untuk mengelola
deviasi dari target defisit APBN dilembagakan melalui Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2024 tentang Perkiraan Defisit dan
Pembiayaan Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang
selanjutnya disebut “PMK 125/2024”. Melalui Asset and
Liability Committee (ALCO), sebagaimana diatur dalam Pasal 3
dan Pasal 4 PMK 125/2024, pemerintah memiliki prosedur yang jelas
untuk memutakhirkan proyeksi dan menentukan sumber pembiayaan tambahan jika
defisit diperkirakan melampaui target, seperti penggunaan Saldo Anggaran Lebih
(SAL) atau penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
Filosofi yang sama juga diterapkan dalam adaptasi
terhadap ekonomi digital. Upaya sistematis untuk memformalkan sektor ini ke
dalam sistem perpajakan nasional diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas
Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce),
yang selanjutnya disebut “PMK 210/2018”. Peraturan ini, antara
lain, mewajibkan penyedia platform marketplace untuk memungut PPN/PPh
dan melaporkan rekapitulasi transaksi pedagang, demi memastikan adanya
kesetaraan perlakuan (level playing field) antara pelaku usaha
konvensional dan digital.
Bahkan dalam memberikan stimulus fiskal,
pendekatan yang digunakan sangat terukur dan berbasis aturan. Contohnya adalah Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pajak
Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang
Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2025, yang selanjutnya disebut “PMK
13/2025”. PMK ini adalah contoh kebijakan insentif yang sangat
spesifik, dengan batasan harga jual properti, periode waktu yang jelas (Masa
Pajak Januari 2025 sampai dengan Desember 2025), dan mekanisme pelaporan yang
ketat melalui pembuatan Faktur Pajak dengan kode transaksi khusus.
Pencabutan PMK Pajak E-Commerce dan Pragmatisme Kebijakan
Meskipun dikenal dengan pendekatan rule-based,
terdapat episode penting yang menunjukkan sisi pragmatis dari kebijakan Sri
Mulyani, yaitu pencabutan PMK 210/2018 tentang pajak e-commerce.
Diterbitkan pada 31 Desember 2018 dan dijadwalkan berlaku efektif 1 April 2019,
peraturan ini secara tiba-tiba dicabut hanya tiga hari sebelum implementasinya
melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
31/PMK.010/2019 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
210/PMK.010/2018.
Secara substansi, PMK 210/2018 tidak menciptakan jenis
pajak baru, melainkan mengatur tata cara pemajakan untuk menciptakan kesetaraan
antara pelaku usaha digital dan konvensional. Peraturan ini mewajibkan marketplace
untuk melaporkan rekapitulasi transaksi para pedagangnya dan meminta pedagang
untuk memberitahukan NPWP mereka. Namun, niat baik untuk menciptakan level
playing field ini justru memicu reaksi negatif yang luas.
Alasan utama pencabutan ini bersifat multifaset.
Secara resmi, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa keputusan ini
diambil karena adanya “begitu banyak simpang siur” di masyarakat yang
menganggap peraturan ini sebagai pajak baru. Namun, analisis yang lebih
dalam menunjukkan adanya tekanan dari berbagai arah. Asosiasi E-commerce
Indonesia (idEA) dan para pelaku industri menyuarakan keprihatinan serius.
Mereka berargumen bahwa kewajiban pelaporan NPWP dan
data transaksi akan menjadi “entry barrier” atau penghalang bagi jutaan
UMKM mikro yang baru memulai usaha secara daring. Timbul kekhawatiran bahwa
para pedagang kecil akan meninggalkan platform marketplace formal dan
beralih ke media sosial yang lebih sulit dilacak, yang pada akhirnya akan
kontraproduktif terhadap tujuan pemerintah. Selain itu, para pelaku industri
merasa waktu sosialisasi yang diberikan terlalu singkat untuk mengedukasi
jutaan merchant.
Konteks politik saat itu juga tidak dapat diabaikan.
Pencabutan dilakukan pada 29 Maret 2019, hanya beberapa minggu sebelum
Pemilihan Presiden 17 April 2019. Sejumlah analis menilai langkah ini “terkesan
politis,” di mana pemerintah petahana tidak ingin mengambil risiko
dengan kebijakan yang tidak populer dan berpotensi digoreng menjadi isu negatif
yang dapat merugikan elektabilitas. Episode ini menunjukkan bahwa dalam
praktik pemerintahan, pembuatan kebijakan yang ideal secara teknokratis harus
selalu mempertimbangkan dan terkadang tunduk pada dinamika sosial dan
pragmatisme politik.
Gaya kebijakan Sri Mulyani dapat diidentifikasi
sebagai pendekatan institutionalist. Prioritasnya bukan sekadar mencapai
target-target ekonomi jangka pendek, melainkan membangun institusi, prosedur,
dan kerangka kerja hukum yang kuat, dapat diprediksi, dan tahan lama. Penekanan pada APBN yang sehat dan kredibel adalah
fondasi dari strategi ini. Di pasar keuangan global, kredibilitas sangat
bergantung pada prediktabilitas dan kepatuhan terhadap aturan.
Dengan mengikat pemerintah, baik pusat maupun daerah,
pada aturan-aturan fiskal yang jelas dan rinci seperti yang tertuang dalam PMK
83/2023, ia secara efektif mengurangi ruang untuk kebijakan yang
bersifat diskresioner atau arbitrer. Langkah ini mengirimkan sinyal kuat kepada
investor dan lembaga pemeringkat internasional bahwa Indonesia adalah pengelola
fiskal yang bertanggung jawab.
Konsekuensi kausal dari strategi ini dalam jangka
panjang adalah peningkatan kepercayaan pasar, yang pada gilirannya dapat
menurunkan premi risiko dan biaya pinjaman (yield SBN) bagi pemerintah. Dengan
demikian, kebijakan yang terkesan kaku dan birokratis sebenarnya merupakan
sebuah strategi yang diperhitungkan untuk mencapai stabilitas makroekonomi yang
berkelanjutan.
Purbaya Yudhi Sadewa dan Haluan Baru Ekonomi: Analisis Kebijakan Stimulus Rp200 Triliun
Pergeseran Paradigma: Dari Stabilitas ke Pertumbuhan Agresif
Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri
Keuangan pada 8 September 2025 diinterpretasikan secara luas sebagai sinyal
pergeseran fundamental dalam mazhab kebijakan ekonomi Indonesia. Pernyataan
mantan Presiden Joko Widodo yang menyebut Purbaya berasal dari “mazhab
pemikiran ekonomi yang berbeda” dari Sri Mulyani memperkuat persepsi ini. Gaya
komunikasi Purbaya yang lebih lugas dan ceplas-ceplos, yang ia sebut “seperti
koboi”, serta penetapan target pertumbuhan PDB yang agresif di level 6-7%, menandakan
pergeseran prioritas dari kehati-hatian fiskal menuju akselerasi pertumbuhan
ekonomi.
Pasar keuangan merespons pergantian ini dengan
volatilitas; Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) tercatat turun 1,28% sesaat setelah pengumumannya, mencerminkan
adanya ketidakpastian investor terhadap arah kebijakan yang baru.
Bedah Kebijakan Penempatan Dana Rp200 Triliun di Himbara
Langkah kebijakan pertama yang paling signifikan dari
Purbaya adalah penempatan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun ke Himpunan
Bank Milik Negara (Himbara). Kebijakan ini dieksekusi dengan sangat cepat
melalui penerbitan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025
tentang Penempatan Uang Negara Dalam Rangka Pengelolaan Kelebihan Dan
Kekurangan Kas Untuk Mendukung Pelaksanaan Program Pemerintah Dalam Mendorong
Pertumbuhan Ekonomi pada 12 September 2025. Pilihan instrumen hukum ini
sangat penting. Berbeda dengan PMK yang bersifat regeling (pengaturan
umum yang melalui proses pembentukan lebih panjang), KMK adalah sebuah beschikking
(penetapan individual dan konkret) yang memungkinkan eksekusi kebijakan secara
instan oleh eksekutif.
Dana yang bersumber dari Saldo Anggaran Lebih (SAL)
sebesar Rp 200 triliun dipindahkan dari penempatannya di Bank Indonesia ke
lima bank BUMN, yaitu Bank Mandiri, BNI, dan BRI yang masing-masing
menerima Rp 55 triliun, BTN sebesar Rp 25 triliun, serta Bank Syariah Indonesia
(BSI) sebesar Rp 10 triliun. Tujuan eksplisit dari kebijakan ini adalah
untuk membanjiri sistem perbankan dengan likuiditas guna mendorong penyaluran
kredit ke sektor riil, yang pada akhirnya diharapkan dapat mengakselerasi
pertumbuhan ekonomi. Purbaya secara terbuka menyatakan bahwa tujuannya
adalah untuk memindahkan tekanan dari pemerintah ke perbankan, dengan
mengatakan, “Kasih ke
sana semua, biar mereka mikir. Jadi bukan saya lagi yang mikir, mereka yang
mikir”. Kebijakan ini juga bertujuan untuk menurunkan suku bunga
pinjaman dan deposito, mengakhiri “perang bunga” antar bank.
Untuk memastikan dana tersebut tidak hanya berputar di
sektor keuangan, KMK tersebut secara eksplisit melarang bank menggunakan
dana tersebut untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN). Selain itu, bank
penerima dana diwajibkan untuk menyampaikan laporan penggunaan dana secara
berkala setiap bulan kepada Menteri Keuangan.
Peran Danantara sebagai Koordinator dan Pengarah Investasi
Meskipun kebijakan ini merupakan inisiatif Kementerian
Keuangan, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), sebuah sovereign
wealth fund yang baru dibentuk pada Februari 2025, memainkan peran penting
sebagai pengarah strategis.
CEO
Danantara, Rosan Roeslani, secara aktif tampil di publik untuk memberikan
justifikasi dan arahan mengenai penggunaan dana tersebut. Danantara secara
spesifik mengarahkan agar dana Rp 200 triliun tersebut difokuskan untuk
membiayai sektor-sektor yang dianggap strategis bagi agenda pembangunan
nasional, seperti industri berorientasi ekspor, sektor padat karya untuk
penciptaan lapangan kerja, dan pembiayaan perumahan. Keterlibatan aktif ini
menunjukkan bahwa Danantara diposisikan bukan hanya sebagai sovereign wealth
fund yang pasif, melainkan sebagai sovereign development fund yang
berperan sebagai koordinator investasi negara.
Analisis Risiko dan Kritik
Kebijakan yang bersifat terobosan ini tidak luput dari
kritik dan sorotan risiko. Indonesian
Audit Watch (IAW) mengkritik potensi kurangnya transparansi dan landasan
hukum yang kuat. Menurut IAW, penggunaan SAL dalam jumlah masif seharusnya
melalui mekanisme APBN yang melibatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), bukan hanya melalui keputusan menteri, untuk menjamin akuntabilitas
publik.
Kemudian juga, terdapat kekhawatiran bahwa pemaksaan
penyaluran kredit secara agresif dapat meningkatkan risiko kredit macet atau Non-Performing
Loan (NPL), terutama jika analisis kelayakan kredit diabaikan demi mencapai
target penyaluran. Selain itu, injeksi likuiditas secara masif ke dalam
perekonomian juga membawa risiko tekanan inflasi.
Kebijakan ini juga berpotensi menciptakan moral
hazard, di mana bank-bank BUMN mungkin terdorong untuk mengambil risiko
yang berlebihan dalam penyaluran kredit dengan asumsi bahwa mereka akan selalu diselamatkan
oleh dana pemerintah jika terjadi masalah. Sehingga, pergeseran dari penggunaan
PMK ke KMK untuk kebijakan berdampak masif ini bukanlah sekadar pilihan teknis
hukum, melainkan cerminan dari pergeseran filosofi pemerintahan. Ini
menandakan transisi dari governance by regulation (pemerintahan berbasis
aturan) yang menjadi ciri era Sri Mulyani, menjadi governance by executive
action (pemerintahan berbasis tindakan eksekutif) di era Purbaya.
Preferensi ini jelas mengutamakan kecepatan dan dampak langsung di atas proses
deliberasi dan kehati-hatian institusional yang lebih lambat. Pilihan ini
merupakan langkah strategis untuk mencapai tujuan politik (pertumbuhan ekonomi
tinggi) dengan konsekuensi berkurangnya potensi pengawasan legislatif yang
lebih ketat.
Lebih jauh, muncul sebuah arsitektur ekonomi baru yang
menunjukkan pembagian kerja yang jelas. Kementerian Keuangan di bawah Purbaya
bertindak sebagai penyedia “otot” finansial melalui injeksi likuiditas masif.
Sementara itu, Danantara berfungsi sebagai “otak” strategis yang memberikan
arahan investasi. Pernyataan Purbaya yang seolah lepas tangan (“biar bank yang
pusing”) dan pernyataan CEO Danantara yang merinci sektor prioritas bukanlah
sebuah kontradiksi, melainkan dua sisi dari satu strategi terkoordinasi. Kemenkeu
RI menciptakan urgensi bagi bank untuk mencari proyek, dan Danantara
menyediakan peta jalan ke mana energi finansial baru tersebut harus diarahkan.
Ini adalah model state-led development yang lebih terpusat dan
intervensionis.
Pengaruh Gender Pejabat Publik Terhadap Arah Kebijakan: Studi Komparatif Sri Mulyani dan Purbaya Yudhi Sadewa
Kerangka Teoretis: Gender, Gaya Kepemimpinan, dan Pengambilan Keputusan
Analisis terhadap perbedaan kebijakan antara Sri
Mulyani dan Purbaya Yudhi Sadewa dapat diperkaya dengan menggunakan lensa
teoretis dari studi kepemimpinan dan gender. Klaim Mardigu bahwa dunia ekonomi
saat ini adalah dunia “peperangan” yang hanya bisa dipahami oleh laki-laki
karena perempuan dianggap lemah dalam “kemampuan spasial” merupakan sebuah
generalisasi yang problematis dan berisiko terjatuh pada kekeliruan logika (logical
fallacy).
Namun, alih-alih menolaknya mentah-mentah, klaim
tersebut dapat didekonstruksi sebagai sebuah persepsi awam mengenai perbedaan
gaya kepemimpinan yang dapat diuji secara akademis.
Literatur di bidang ini secara konsisten menemukan
adanya kecenderungan perbedaan gaya kepemimpinan. Studi-studi
meta-analisis menunjukkan bahwa pemimpin perempuan lebih sering menunjukkan
gaya
kepemimpinan transformasional dan interaktif, yang dicirikan dengan
mendorong partisipasi, berbagi informasi dan kekuasaan, serta fokus pada
pemberdayaan dan pengembangan bawahan.
Sebaliknya, gaya
kepemimpinan transaksional, yang berfokus pada penggunaan otoritas formal,
pertukaran imbalan, dan pencapaian target yang jelas, lebih sering
diasosiasikan dengan pemimpin laki-laki. Penting untuk menggarisbawahi bahwa
ini adalah temuan berbasis kecenderungan rata-rata dan bukan sebuah
determinisme biologis. Analisis ini akan menghindari stereotip dengan berfokus
pada perilaku dan hasil kebijakan yang dapat diamati secara objektif.
Jika ditelaah melalui kerangka teoretis tersebut,
perbedaan gaya kebijakan antara kedua menteri menjadi lebih jelas, sebagai
berikut:
-
Sri Mulyani
(Pendekatan Institusional-Transformatif)
Gaya kepemimpinannya sangat selaras dengan model
transformasional. Fokusnya adalah pada pembangunan sistem, aturan main (rules
of the game), dan institusi yang kuat, seperti yang tecermin dari
penggunaan PMK yang detail dan reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan.
Komunikasinya cenderung bersifat teknokratis, berbasis data, dan edukatif,
dengan tujuan membangun pemahaman dan konsensus. Kebijakannya, seperti
manajemen defisit yang ketat, dirancang untuk stabilitas jangka panjang dan
keberlanjutan fiskal, sebuah cerminan dari pendekatan yang
mempertimbangkan dampak sistemik dan berupaya mentransformasi kapabilitas
institusional negara;
-
Purbaya Yudhi
Sadewa (Pendekatan Diskrisioner-Transaksional)
Gayanya lebih mendekati model kepemimpinan yang
direktif dan transaksional. Fokusnya adalah pada tindakan eksekutif yang
cepat dan memiliki dampak tinggi, seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan KMK
untuk kebijakan Rp 200 triliun. Komunikasinya bersifat asertif, sangat
percaya diri, dan terkadang konfrontatif, seperti saat ia menyarankan para
pengkritiknya untuk “belajar lagi”. Kebijakan penempatan dana di Himbara dapat
dilihat sebagai sebuah “transaksi” yang jelas yaitu pemerintah memberikan
likuiditas (input), dan sebagai gantinya, bank diharapkan memberikan
pertumbuhan kredit (output). Ini adalah pertukaran langsung yang
dirancang untuk mencapai hasil jangka pendek yang spesifik.
Hubungan Gender dengan Pembangunan Ekonomi di Indonesia
Data menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi
tantangan signifikan dalam kesetaraan gender, yang tercermin dari Indeks
Ketimpangan Gender (GII) yang relatif tinggi di kawasan ASEAN. Berbagai
studi empiris, baik di tingkat global maupun nasional, menunjukkan adanya
korelasi positif yang kuat antara peningkatan kesetaraan gender dengan
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Kehadiran pemimpin
perempuan seperti Sri Mulyani di posisi strategis dapat menjadi simbol kemajuan
dan inspirasi. Namun, tantangan struktural
seperti bias gender yang mengakar dalam proses penyusunan kebijakan
publik dan implementasi yang tidak optimal di lapangan masih menjadi hambatan
nyata.
Perbedaan fundamental dalam pendekatan kebijakan
antara Sri Mulyani dan Purbaya Yudhi Sadewa, oleh karena itu, dapat dipahami
tidak hanya sebagai perbedaan mazhab ekonomi, tetapi juga sebagai manifestasi
dari dua filosofi kepemimpinan yang berbeda. Sri Mulyani memimpin dengan
membangun sistem yang dirancang untuk berfungsi secara otonom dan
berkelanjutan. Sebaliknya, Purbaya memimpin dengan melakukan intervensi
langsung untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Pendekatan Sri Mulyani, yang konsisten dengan
literatur tentang kepemimpinan transformasional, secara inheren membutuhkan
waktu lebih lama untuk menunjukkan hasil, namun berpotensi menciptakan
stabilitas yang lebih besar. Pendekatan Purbaya, yang lebih direktif, mampu
menghasilkan dampak lebih cepat namun dengan tingkat risiko yang juga lebih
tinggi. Pilihan instrumen kebijakan mereka (PMK yang rumit versus KMK yang
lugas) bukanlah pilihan acak, melainkan konsekuensi logis dari gaya
kepemimpinan fundamental masing-masing. Lensa analisis gender di sini
berfungsi untuk memberikan lapisan penjelasan yang lebih dalam mengenai mengapa
dan bagaimana mereka membuat keputusan dengan cara yang berbeda,
melampaui sekadar penjelasan teknis ekonomi.
Implikasi Pergantian Menteri Terhadap Kebijakan Kredit Perbankan Domestik
Landasan Hukum Kredit Perbankan: Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle)
Fondasi hukum yang menopang seluruh aktivitas
perbankan di Indonesia, khususnya dalam penyaluran kredit, adalah prinsip
kehati-hatian (prudential banking principle). Prinsip ini secara
eksplisit diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, yang selanjutnya disebut “UU Perbankan”.
Beberapa pasal kunci menjadi pilar dari prinsip ini, sebagaimana berikut:
-
Pasal 2 UU
Perbankan secara tegas
menyatakan: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. Pasal ini
menempatkan kehati-hatian sebagai asas fundamental;
-
Pasal 8
ayat (1) UU Perbankan mewajibkan
bank, dalam memberikan kredit, untuk “mempunyai keyakinan berdasarkan
analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah
Debitur untuk melunasi utangnya”. Ini adalah mandat hukum untuk
melakukan uji tuntas (due diligence) yang cermat;
-
Pasal 29
ayat (2) dan (3) UU Perbankan mengamanatkan bank
untuk “wajib memelihara tingkat kesehatan bank” dan dalam
memberikan kredit, “wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank
dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank”.
Secara historis, pasal-pasal ini berfungsi sebagai
benteng pertahanan utama sistem keuangan untuk mencegah risiko kredit macet
yang dapat memicu krisis sistemik.
Era Baru: Relaksasi Regulasi untuk Mendorong Ekspansi Kredit
Pergantian kepemimpinan di Kementerian Keuangan
menandai era baru yang ditandai dengan pergeseran penekanan kebijakan. Kebijakan
Purbaya yang menyuntikkan likuiditas masif sebesar Rp 200 triliun ke Himbara
secara efektif memberikan tekanan kuat kepada perbankan untuk melonggarkan
keran kreditnya.
Dorongan dari eksekutif ini kemudian diperkuat dan
dilegitimasi oleh regulator sektor keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
melalui penerbitan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2025 tentang Kemudahan Akses Pembiayaan Kepada Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UMKM), yang selanjutnya disebut “POJK
19/2025”. POJK ini, yang merupakan amanat dari Pasal 249 ayat (3)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan
Penguatan Sektor Keuangan, secara spesifik mengamanatkan Bank dan
Lembaga Keuangan Nonbank untuk memberikan kemudahan akses pembiayaan melalui
berbagai cara, termasuk penyederhanaan persyaratan, percepatan proses bisnis,
dan penggunaan skema pembiayaan inovatif yang sesuai dengan karakteristik UMKM.
Secara kolektif, kebijakan Kemenkeu dan OJK ini secara efektif menggeser
pendulum penekanan dari yang semula berfokus pada manajemen risiko
(kehati-hatian) menjadi akselerasi penyaluran kredit (pertumbuhan).
Analisis Dampak dan Potensi Konflik Norma Hukum
Pergeseran paradigma ini menciptakan potensi friksi,
atau bahkan konflik, antara semangat UU Perbankan yang sangat menekankan
kehati-hatian dengan semangat kebijakan baru dari Kemenkeu dan POJK 19/2025 yang mendorong pengambilan risiko.
Sebagai contoh konkret:
1)
Sebelum September
2025, sebuah bank, dalam mematuhi semangat Pasal 8 UU Perbankan,
akan sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit kepada UMKM yang tidak
memiliki agunan aset tetap yang memadai. Proses analisis kredit akan berjalan
panjang dan mendalam;
2)
Setelah September
2025, dengan adanya dorongan likuiditas dari Kemenkeu dan mandat “kemudahan”
dari POJK 19/2025, bank yang sama didorong untuk menjadi lebih fleksibel. Bank
mungkin akan lebih cepat menyetujui kredit dengan analisis yang lebih sederhana
atau bahkan menerima agunan non-tradisional seperti hak atas kekayaan
intelektual, sebagaimana diakomodasi dalam POJK baru.
Potensi konflik norma ini dapat berimplikasi hukum di
masa depan. Apabila terjadi lonjakan NPL akibat kebijakan ini, sengketa hukum
dapat timbul. Debitur yang gagal bayar mungkin akan berargumen bahwa bank telah
lalai karena memberikan kredit tanpa analisis yang cukup, melanggar Pasal
8 UU Perbankan. Sebaliknya, bank dapat membela diri dengan menyatakan
bahwa mereka hanya mengikuti arahan kebijakan dari pemerintah dan regulator
(OJK). Putusan-putusan pengadilan di masa depan akan menjadi preseden krusial
dalam menafsirkan keseimbangan antara kewajiban hukum untuk menerapkan prinsip
kehati-hatian dan mandat kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Secara kolektif, kebijakan Kemenkeu dan OJK ini dapat
diinterpretasikan sebagai bentuk regulatory forbearance yang
terkoordinasi. Istilah ini merujuk pada situasi di mana regulator secara sadar
melonggarkan pengawasan atau penegakan aturan untuk mencapai tujuan kebijakan
lain, dalam kasus ini, pertumbuhan ekonomi. OJK tidak secara formal menghapus
prinsip kehati-hatian, namun sinyal kebijakannya sangat jelas yaitu bank
diharapkan untuk lebih toleran terhadap risiko demi mengakselerasi penyaluran
kredit. Ini adalah sebuah pertaruhan kebijakan berisiko tinggi. Tekanan
politik untuk pertumbuhan (sebagai penyebab) dieksekusi melalui injeksi
likuiditas (sebagai alat), yang dimungkinkan oleh pelonggaran regulasi dari OJK
(sebagai mekanisme pemungkin). Hasil yang diharapkan adalah peningkatan
penyaluran kredit, namun dengan risiko inheren berupa potensi kenaikan NPL di
masa depan.
Sintesis Temuan
Sehingga menurut hemat penulis ini menunjukkan bahwa narasi ekonomi yang
disuarakan oleh Mardigu Wowiek, terlepas dari akurasi teknis dan balutan
konspirasinya, secara intuitif berhasil menangkap adanya sebuah pergeseran
fundamental dalam arah kebijakan ekonomi Indonesia. Terjadi transisi dari
paradigma ortodoks yang menekankan stabilitas, kredibilitas fiskal, dan
kepatuhan pada aturan (rule-based), menuju paradigma yang lebih heterodox
yang mengutamakan intervensi negara, diskresi eksekutif, dan akselerasi
pertumbuhan.
Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati
ke Purbaya Yudhi Sadewa bukan sekadar pergantian personel, melainkan sebuah policy
pivot atau perubahan haluan kebijakan yang signifikan dan terkoordinasi.
Perubahan ini dimanifestasikan melalui pergeseran instrumen hukum (dari PMK ke
KMK), perubahan filosofi kepemimpinan (dari institusional-transformatif ke
diskresioner-transaksional), dan pelibatan aktor-aktor baru dalam arsitektur
ekonomi (seperti peran sentral Danantara) yang bekerja secara sinergis dengan
regulator (OJK) untuk mencapai tujuan pertumbuhan yang agresif.
Evaluasi Trade-Off Kebijakan
Kebijakan ekonomi yang baru ini secara sadar melakukan
pertukaran (trade-off) antara stabilitas jangka panjang dengan potensi
pertumbuhan jangka pendek yang lebih tinggi. Pendekatan era Sri Mulyani
memprioritaskan fondasi fiskal yang kokoh dan kredibilitas di mata pasar
internasional, yang berpotensi menghasilkan pertumbuhan yang moderat namun
stabil. Sebaliknya, pendekatan era Purbaya berpotensi membebaskan Indonesia
dari jebakan pertumbuhan 5% melalui stimulus masif, namun dengan menanggung
risiko yang lebih besar, terutama dalam bentuk potensi tekanan inflasi,
peningkatan kredit macet (NPL), dan kemungkinan instabilitas keuangan jika
tidak dikelola dengan tingkat kehati-hatian yang luar biasa.
Sehingga menurut penulis di sini untuk Pemerintah dan
Kementerian Keuangan, perlu dibentuk mekanisme pengawasan yang transparan dan
independen untuk memantau penyaluran dan efektivitas dana Rp 200 triliun,
memastikan dana tersebut benar-benar mengalir ke sektor produktif dan tidak
hanya meningkatkan risiko sistemik. Untuk kebijakan fiskal berskala masif yang
menggunakan dana publik seperti SAL di masa depan, pertimbangkan untuk
menggunakan instrumen hukum yang memiliki legitimasi politik dan hukum yang
lebih kuat, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atau
melalui mekanisme APBN-Perubahan, guna memastikan adanya proses check and
balances yang memadai.
Sedangkan, untuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank
Indonesia (BI), OJK perlu memperkuat pengawasan mikroprudensial secara intensif
terhadap bank-bank penerima dana stimulus untuk mengantisipasi potensi lonjakan
risiko kredit. Harus dipastikan bahwa mandat “kemudahan” dalam POJK 19/2025
tidak diterjemahkan oleh industri sebagai “kelalaian” dalam analisis kelayakan
kredit.
Bank Indonesia perlu waspada dan siap menggunakan
instrumen kebijakan makroprudensial dan moneter untuk meredam potensi tekanan
inflasi yang mungkin timbul dari peningkatan likuiditas yang signifikan di
pasar.
Kemudian, untuk Legislatif/anggota DPR RI yang terhormat,
perlu melakukan peningkatkan pelaksanaan fungsi pengawasan anggaran (Pasal 20A
UUD 1945) terhadap penggunaan dana-dana non-APBN seperti SAL, terutama ketika
digunakan untuk kebijakan yang memiliki dampak fiskal dan moneter yang
signifikan, serta memastikan bahwa setiap kebijakan diskresioner eksekutif yang
berdampak luas tetap berada dalam koridor akuntabilitas dan pengawasan
legislatif yang efektif untuk menjaga keseimbangan kekuasaan.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.