layananhukum

Memahami Hukum Pertambangan Indonesia Kontemporer

 

Pengantar

Beberapa tahun terakhir, lanskap pertambangan di Kalimantan Barat telah diwarnai oleh berbagai fenomena kompleks yang memantik kegelisahan mendalam. Dinamika ini tidak hanya mencakup spektrum bisnis dan tata kelola usaha, tetapi juga merambah ke isu tindak pidana korupsi serta tantangan dalam penerapan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Kompleksitas tersebut menunjukkan adanya urgensi untuk memperluas pemahaman mengenai hukum pertambangan, yang semestinya tidak lagi menjadi domain eksklusif para praktisi hukum atau pelaku usaha.

Artikel ini lahir dari kesadaran bahwa pemahaman yang komprehensif mengenai aspek hukum dan ekonomi kebijakan pertambangan merupakan fondasi esensial bagi masyarakat umum, dan secara khusus bagi kalangan akademis, terutama mahasiswa Pascasarjana. Dengan membedah kerangka hukum terbaru dan menganalisis implikasinya, tulisan ini bertujuan untuk menyajikan sebuah diskursus yang dapat menjembatani antara teori dan praktik, demi mewujudkan tata kelola pertambangan yang adil, transparan, dan berorientasi pada keberlanjutan.

Landasan Konstitusional dan Doktrin Kedaulatan Negara

Hukum pertambangan Indonesia berakar pada fondasi konstitusional yang kokoh, yakni Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut dengan “UUD NRI 1945”, yang menyatakan:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Pasal ini tidak hanya berfungsi sebagai norma hukum positif, melainkan sebagai grundnorm atau norma dasar yang melegitimasi peran sentral negara dalam pengelolaan seluruh sumber daya alam, termasuk mineral dan batubara.

Penguasaan oleh negara, sebagaimana dipertegas dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, selanjutnya disebut dengan “UU Minerba”, harus dimaknai bukan sebagai kepemilikan (eigendom) dalam konteks hukum perdata, melainkan sebagai mandat publik untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi krusial seperti mengatur (regelen), mengurus (besturen), mengelola (beheren), dan mengawasi (toezicht houden).

Amanat ini selaras dengan doktrin Kedaulatan Permanen atas Sumber Daya Alam (Permanent Sovereignty over Natural Resources - PSONR), sebuah konsep atau prinsip hukum internasional yang memberikan hak kepada setiap negara untuk secara bebas mengelola kekayaan alamnya demi pembangunan nasional.[1] Doktrin tersebut diperkuat pula dengan adagium yang terkenal yaitu Salus Populi Suprema Lex Esto, yang berarti “kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi”. Dengan demikian, setiap kebijakan dan regulasi di sektor pertambangan, termasuk sistem perizinannya, secara teoretis dan etis harus diuji berdasarkan kemampuannya untuk mewujudkan amanat konstitusional tersebut.

Evolusi Rezim Hukum: Dari Kontrak ke Izin

Sejarah hukum pertambangan modern di Indonesia ditandai oleh pergeseran paradigma yang fundamental. Di bawah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, negara menjalin relasi dengan investor melalui instrumen kontrak, dikenal sebagai Kontrak Karya (KK) untuk mineral dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk batubara.

Dalam rezim ini, posisi negara dan investor cenderung setara (gelijkwaardig), di mana hak dan kewajiban dituangkan dalam perjanjian yang tunduk pada adagium suci hukum perdata, pacta sunt servanda, yang berakar pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, selanjutnya disebut dengan “KUHPerdata”, yang menyatakan:

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Titik balik terjadi dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, selanjutnya disebut dengan “UU Minerba”. Undang-undang ini secara radikal mengubah lanskap hukum dengan membongkar rezim kontrak dan menggantikannya dengan sistem Izin Usaha Pertambangan (IUP). Perubahan ini bukan sekadar terminologis, melainkan sebuah penegasan kembali posisi negara sebagai regulator berdaulat dan perusahaan sebagai subjek yang tunduk pada rezim perizinan hukum administrasi negara.

Arah Baru Regulasi: Gelombang Sentralisasi dan Kemudahan Berusaha

Implementasi UU Minerba Lama di era otonomi daerah memunculkan fragmentasi kewenangan yang berujung pada tumpang tindih izin dan ketidakpastian hukum. Menjawab tantangan tersebut, pemerintah melahirkan UU Minerba Tahun 2020 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, selanjutnya disebut dengan “UU Cipta Kerja”.

Kedua regulasi ini menandai gelombang reformasi baru yang didorong oleh dua agenda utama yaitu sentralisasi kewenangan dan penyederhanaan perizinan. Arah kebijakan yang berayun dari desentralisasi ekstrem ke sentralisasi yang kuat ini secara drastis mengubah arsitektur tata kelola pertambangan Indonesia, sekaligus melahirkan dinamika dan permasalahan baru bagi investor, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA).

Sentralisasi Kewenangan sebagai Kebijakan Utama

UU Minerba 2020 secara tegas mengakhiri era desentralisasi perizinan. Pasal 4 ayat (2) UU Minerba 2020 menyatakan:

Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.”

Konsekuensinya, Pasal 35 ayat (1) UU Minerba 2020 menegaskan:

“Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.”

Seluruh proses perizinan kini ditarik ke tingkat pusat dan diintegrasikan melalui sistem Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA), yang dioperasikan oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan rekomendasi teknis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Sejalan dengan semangat UU Cipta Kerja, sistem perizinan di sektor pertambangan kini terintegrasi dalam sistem Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA). Sistem ini mengklasifikasikan kegiatan usaha berdasarkan tingkat risikonya, yang kemudian menentukan jenis perizinan yang diperlukan. Kegiatan pertambangan, karena dampaknya yang signifikan terhadap lingkungan dan sosial, dikategorikan sebagai kegiatan berisiko tinggi yang memerlukan perizinan berusaha penuh sebelum dapat beroperasi.  

Struktur perizinan berusaha di sektor Minerba berdasarkan UU Minerba Baru dan peraturan pelaksananya, terutama Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara selanjutnya disebut denganPP 96/2021, mencakup beberapa jenis utama:  

-        Izin Usaha Pertambangan (IUP), merupakan izin utama yang terdiri dari dua tahap yang saling berkelanjutan: tahap Eksplorasi (meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan) dan tahap Operasi Produksi (meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan/pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan);

-        Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), diberikan untuk kegiatan di Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), yang umumnya merupakan wilayah bekas KK/PKP2B atau wilayah pencadangan negara;

-        Izin Pertambangan Rakyat (IPR), diperuntukkan bagi masyarakat setempat atau koperasi di Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dengan skala terbatas;

-        Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB), kategori izin baru yang diperkenalkan dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 untuk jenis batuan tertentu atau untuk keperluan tertentu;

-        Izin Pengangkutan dan Penjualan, izin khusus bagi badan usaha yang tidak memiliki IUP/IUPK untuk membeli, mengangkut, dan menjual komoditas tambang dari pemegang IUP/IUPK.

Mekanisme Perolehan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)

Sebelum dapat mengajukan IUP, badan usaha harus terlebih dahulu memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Mekanisme perolehan WIUP diatur secara ketat dalam PP 96/2021:  

1)        Lelang, menjadi mekanisme utama untuk mendapatkan WIUP Mineral Logam dan WIUP Batubara. Proses ini dirancang untuk meningkatkan transparansi dan penerimaan negara melalui penawaran Kompensasi Data Informasi (KDI);

2)       Permohonan Wilayah (Prioritas), mekanisme ini berlaku untuk WIUP Mineral Bukan Logam, Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu, dan Batuan. Pihak yang pertama mengajukan permohonan yang memenuhi syarat akan mendapatkan prioritas (first come, first served);

3)       Penawaran Prioritas kepada Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan, sebuah kebijakan kontroversial yang diperkenalkan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021, selanjutnya disebut dengan “PP 25/2024”. Sebagiamana ketentuan Pasal 83A ayat (1) PP 25/2024 dalam peraturan ini menyatakan:

“Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.”

Peraturan ini memungkinkan Pemerintah Pusat untuk menawarkan WIUPK yang merupakan wilayah eks-PKP2B secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan. Kebijakan ini menuai perdebatan publik terkait profesionalisme pengelolaan tambang dan potensi konflik kepentingan.  

Meskipun sistem OSS-RBA dirancang untuk menyederhanakan dan mempercepat proses perizinan, dalam praktiknya ia dapat menciptakan apa yang bisa disebut sebagai “ilusi kemudahan”. Investor, baik PMDN maupun PMA, memang dapat memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB) dengan relatif cepat, yang berfungsi sebagai identitas pelaku usaha dan izin dasar untuk memulai beberapa kegiatan persiapan. Namun, untuk sektor pertambangan yang berisiko tinggi, NIB sama sekali tidak cukup.

Izin kunci seperti IUP Operasi Produksi baru dapat efektif setelah pelaku usaha memenuhi serangkaian komitmen dan standar yang sangat ketat, terutama Persetujuan Lingkungan melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), studi kelayakan yang komprehensif, dan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).

Hal ini menciptakan sebuah kerentanan signifikan. Sebagaimana dalam rangkaian putusan hukum yang krusial dalam sengketa antara masyarakat lokal, Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan PT Emas Mineral Murni (EMM) terkait izin tambang di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh. Perkara ini menempuh empat tingkat peradilan, dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) Jakarta, hingga dua tingkat di Mahkamah Agung (MA) pada fase kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).

Secara kronologis, putusan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding menolak gugatan dengan alasan prosedural, yaitu gugatan dianggap salah subjek (error in subjecto) dan Pengadilan tidak berwenang (kompetensi absolut). Namun, Mahkamah Agung pada tingkat kasasi membalikkan total putusan sebelumnya. Majelis Hakim Agung tidak hanya menolak eksepsi prosedural, tetapi juga mengadili pokok perkara dan membatalkan izin tambang PT EMM.

Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan hukum substantif bahwa izin tersebut bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh dan melanggar ketentuan izin lingkungan karena sebagian besar area izin berada di Kawasan Ekosistem Leuser yang dilindungi dan merupakan kawasan rawan bencana. Putusan kasasi ini kemudian diperkuat dan dikunci oleh Mahkamah Agung pada tingkat peninjauan kembali, yang menolak permohonan PK dari pihak tergugat.

Kasus ini menjadi preseden penting dalam hukum lingkungan dan administrasi di Indonesia. Perjalanan peradilan yang berliku-liku ini memperlihatkan ketegangan antara formalitas hukum administratif dan keadilan substantif dalam isu lingkungan hidup. Kemenangan gugatan lingkungan di tingkat MA menegaskan perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser sebagai prioritas hukum yang tidak dapat dikesampingkan.

Sehingga dapat ditarik Kesimpulan bahwa sebuah IUP Operasi Produksi yang bahkan telah diterbitkan oleh otoritas pusat (BKPM) pada akhirnya dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena izin lingkungan yang menjadi dasarnya dinilai cacat hukum. Ini menunjukkan bahwa kemudahan di tahap awal (front-loading) melalui sistem OSS tidak menghilangkan risiko hukum fundamental, melainkan hanya menundanya ke tahap selanjutnya. Investor dapat terjebak dalam situasi di mana mereka telah mengeluarkan investasi yang signifikan berdasarkan izin awal, namun kemudian izin utamanya dibatalkan karena kegagalan memenuhi komitmen teknis atau lingkungan yang menjadi prasyarat mutlak.

Permasalahan Perizinan bagi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

Isu Krusial: Pencabutan dan Penciutan IUP Massal

Pasca-sentralisasi kewenangan, Pemerintah Pusat, melalui Satuan Tugas Penataan Pemanfaatan Lahan dan Penataan Investasi yang dikoordinasikan oleh Kementerian Investasi/BKPM Republik Indonesia, mengambil langkah drastis dengan melakukan evaluasi dan pencabutan ribuan IUP di seluruh Indonesia. Kebijakan ini menargetkan IUP yang dianggap tidak produktif, tidak pernah menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), atau “IUP tidur” yang hanya dijadikan objek spekulasi.  

Meskipun bertujuan untuk menertibkan tata kelola dan mengoptimalkan lahan untuk investasi yang lebih serius, kebijakan pencabutan massal ini memicu gelombang protes dan gugatan hukum dari para pelaku usaha PMDN. Banyak perusahaan merasa pencabutan dilakukan secara sepihak tanpa proses verifikasi yang adil dan transparan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang baru dan masif.

Fenomena ini mencerminkan kerentanan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) terhadap tindakan pemerintah yang berpotensi merugikan, sebuah masalah yang sejatinya telah mengakar bahkan sejak era otonomi daerah. Salah satu contoh konkret yang merefleksikan hal ini adalah kasus penciutan atau pengurangan wilayah IUP milik PT Citra Silika Mallawa oleh Bupati Kolaka Utara, yang berujung pada sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara Kendari, sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kendari Nomor 7/G/2019/PTUN.Kdi., tertanggal 5 September 2019.

Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim dalam amar putusannya mengadili dan menyatakan batal Keputusan Bupati Kolaka Utara Nomor: 540/32 Tahun 2019, tanggal 21 Januari 2019, tentang Penciutan/Pengurangan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT Citra Silika Mallawa. Majelis Hakim juga mewajibkan Tergugat (Bupati Kolaka Utara) untuk mencabut keputusan tersebut dan merehabilitasi hak-hak Penggugat.

Adapun pada pokoknya, gugatan ini diajukan karena Penggugat (PT Citra Silika Mallawa) merasa dirugikan oleh penerbitan Surat Keputusan Bupati yang secara sepihak mengurangi luas wilayah IUP Operasi Produksi milik Penggugat dari semula 1.944 Ha menjadi hanya 498,9 Ha. Dalil-dalil utama yang diajukan oleh Penggugat antara lain sebagai berikut:

-         Bahwa penerbitan objek sengketa oleh Bupati Kolaka Utara (Tergugat) dilakukan tanpa adanya permohonan dari Penggugat dan tanpa didahului proses verifikasi atau evaluasi yang patut. Tindakan ini dianggap sewenang-wenang karena luas wilayah IUP yang telah ditetapkan sebelumnya dan masih berlaku, diubah secara sepihak oleh Tergugat;

-         Bahwa tindakan Tergugat telah melanggar Pasal 118 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menyatakan bahwa IUP dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila pemegang IUP tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan. Menurut Penggugat, pihaknya tidak pernah melakukan pelanggaran kewajiban apa pun yang dapat menjadi dasar penciutan wilayah;

-         Bahwa tindakan Tergugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), khususnya Asas Kepastian Hukum, Asas Keterbukaan, Asas Profesionalitas, dan Asas Akuntabilitas, karena menimbulkan kerugian dan ketidakpastian bagi iklim investasi dan kegiatan usaha Penggugat. (vide Halaman 8-15, Putusan PTUN Kendari Nomor 7/G/2019/PTUN.Kdi., tertanggal 5 September 2019).

Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa tindakan Tergugat memang mengandung cacat yuridis. Pertimbangan Hukum Hakim yang paling fundamental adalah sebagai berikut:

-         Bahwa berdasarkan fakta persidangan, terbukti bahwa penerbitan objek sengketa tidak didasari oleh adanya permohonan dari Penggugat. Tergugat juga tidak dapat membuktikan adanya pelanggaran kewajiban oleh Penggugat yang dapat dijadikan alasan sah untuk melakukan penciutan wilayah IUP;

-         Bahwa tindakan Tergugat yang melakukan penciutan wilayah IUP secara sepihak telah melanggar Asas Kepastian Hukum. Pemegang IUP yang telah menjalankan kewajibannya berhak mendapatkan jaminan dan kepastian hukum atas wilayah yang telah diberikan kepadanya. Tindakan sepihak ini menciptakan preseden buruk bagi kepastian berusaha;

-         Bahwa Majelis Hakim menilai tindakan Tergugat telah melanggar kewenangan (detournement de pouvoir) karena alasan yang digunakan untuk menciutkan wilayah IUP tidak sesuai dengan tujuan diberikannya kewenangan tersebut menurut peraturan perundang-undangan. (vide Halaman 71-77, Putusan PTUN Kendari Nomor 7/G/2019/PTUN.Kdi., tertanggal 5 September 2019).

Kasus ini menjadi yurisprudensi penting yang menunjukkan bahwa meskipun pemerintah memiliki kewenangan dalam administrasi pertambangan, kewenangan tersebut tidak bersifat absolut dan harus dijalankan sesuai dengan koridor hukum serta Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Sengketa Tumpang Tindih (Overlapping) yang Berkelanjutan: Yurisprudensi dari Kasus IUP vs. HGU

Salah satu masalah kronis dalam pertambangan Indonesia yang menjadi warisan dari era otonomi daerah adalah tumpang tindih perizinan (overlapping). Buruknya koordinasi antar-instansi dan lemahnya sistem data spasial menyebabkan penerbitan beberapa izin di lokasi yang sama, baik sesama IUP (IUP dengan IUP) maupun dengan izin sektor lain, seperti Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan. Sengketa semacam ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan investor, tetapi juga memicu konflik sosial di lapangan.

Sebuah yurisprudensi penting dalam penyelesaian sengketa tumpang tindih datang dari sengketa hukum antara PT Brian Anjat Sentosa (pemegang IUP) melawan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Kartanegara (penerbit HGU) dan PT Sasana Yudha Bhakti (pemegang HGU). Sengketa ini berjalan melalui tiga tingkatan peradilan dan menegaskan sebuah prinsip hukum fundamental.

Tingkat Pertama: Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda

Sengketa ini bermula di Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda Nomor 41/G/2018/PTUN.SMD., tertanggal 8 Mei 2019. Dalam putusan ini, Majelis Hakim mengadili sengketa penerbitan Sertipikat Hak Guna Usaha (HGU) yang tumpang tindih dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Pada pokoknya, gugatan ini diajukan oleh PT Brian Anjat Sentosa (Penggugat) yang merasa haknya dilanggar karena Kepala Kantor Pertanahan Kutai Kartanegara (Tergugat) menerbitkan dua Sertipikat HGU atas nama PT Sasana Yudha Bhakti (Tergugat II Intervensi) di atas wilayah IUP milik Penggugat. Adapun dalil-dalil utama dari Penggugat adalah sebagai berikut:

-         Bahwa Penggugat merupakan pemegang IUP Eksplorasi Batubara yang sah berdasarkan Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 540/017/IUP-Eks/DPE-IV/III/2008 tanggal 12 Maret 2008, jauh sebelum objek sengketa (Sertipikat HGU) diterbitkan oleh Tergugat pada tahun 2009 dan 2010;

-         Bahwa penerbitan Sertipikat HGU oleh Tergugat telah melanggar asas kecermatan dan kehati-hatian, karena Tergugat tidak melakukan verifikasi lapangan yang memadai untuk memastikan bahwa tanah yang dimohonkan HGU tidak tumpang tindih dengan izin lain yang telah ada sebelumnya;

-         Bahwa tindakan Tergugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), khususnya Asas Kepastian Hukum, karena menimbulkan kerugian dan ketidakpastian bagi Penggugat dalam menjalankan kegiatan pertambangannya. (vide Halaman 16-24, Putusan PTUN Samarinda Nomor 41/G/2018/PTUN.SMD., tertanggal 8 Mei 2019).

Setelah memeriksa bukti-bukti dan mendengarkan para pihak, Majelis Hakim PTUN Samarinda memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

-         Bahwa secara kronologis, IUP milik Penggugat terbit pada tahun 2008, sedangkan Sertipikat HGU Nomor 116 dan Nomor 147 milik Tergugat II Intervensi terbit pada tahun 2009 dan 2010. Dengan demikian, hak Penggugat atas wilayah tersebut telah lahir terlebih dahulu;

-         Bahwa berdasarkan prinsip hukum prior in tempore, potior in iure (yang lebih dahulu dalam waktu, lebih kuat haknya), maka izin yang terbit lebih awal memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat dan harus dilindungi. Penerbitan izin yang lebih baru di lokasi yang sama merupakan bentuk maladministrasi;

-         Bahwa tindakan Tergugat dalam menerbitkan Sertipikat HGU tanpa memperhatikan adanya IUP yang telah ada sebelumnya terbukti melanggar peraturan perundang-undangan dan AUPB, khususnya Asas Kecermatan dan Asas Kepastian Hukum. (vide Halaman 129-135, Putusan PTUN Samarinda Nomor 41/G/2018/PTUN.SMD., tertanggal 8 Mei 2019).

Atas dasar pertimbangan tersebut, PTUN Samarinda dalam amar putusannya mengabulkan gugatan Penggugat, menyatakan batal Sertipikat HGU Nomor 116 dan Nomor 147, serta mewajibkan Tergugat untuk mencabut kedua sertipikat tersebut.

Tingkat Banding: Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta

Tidak puas dengan putusan tingkat pertama, para Tergugat mengajukan banding. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Melalui Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 215/B/2019/PT.TUN.JKT., tertanggal 22 Agustus 2019, Majelis Hakim tingkat banding memutuskan:

MENGADILI

-         Menerima permohonan banding dari Tergugat II Intervensi /Pembanding I/Terbanding, Tergugat /Pembanding II/Terbanding, dan Penggugat/Terbanding/ Pembanding III;

-         Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda Nomor : 41/G/2018/PTUN.SMD, tanggal 8 Mei 2019 dengan perbaikan pertimbangan hukum dan amar yang selengkapnya menjadi sebagai berikut:

MENGADILI SENDIRI

DALAM EKSEPSI;

-         Menyatakan eksepsi dari Tergugat/Pembanding II /Terbanding dan Tergugat II Intervensi/Pembanding I/Terbanding tidak diterima untuk seluruhnya;

DALAM POKOK PERKARA

1.        Mengabulkan gugatan Penggugat/Terbanding/Pembanding III seluruhnya;

2.       Menyatakan batal Keputusan Tata usaha Negara yang diterbitkan oleh Tergugat/Pembanding II/Terbanding berupa:

-         Sertipikat Hak Guna Usaha Nomor 116/Desa Gunung Sari dan Ritan Baru Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur tanggal 29 Oktober 2009 Luas 941,17 Ha, berdasarkan Surat Ukur Nomor 2115/HGU/2009 tanggal 21 Oktober 2009 atas nama PT Sasana Yudha Bhakti;

-         Sertipikat Hak Guna Usaha Nomor 147/Desa Buluqsen, Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur tanggal 29 September 2010, luas 4.659.100 m2 berdasarkan Surat Ukur Nomor 00001/2010 tanggal 28 September 2010,atas nama PT. Sasana Yudha Bhakti;

3.      Mewajibkan kepada Tergugat/Pembanding II/Terbanding untuk mencabut Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang telah diterbitkan berupa:

a.       Sertipikat Hak Guna Usaha Nomor 116/Desa Gunung Sari dan Ritan Baru Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur tanggal 29 Oktober 2009 Luas 941,17 Ha, berdasarkan Surat Ukur Nomor 2115/HGU/2009 tanggal 21 Oktober 2009 atas nama PT Sasana Yudha Bhakti;

b.       Sertipikat Hak Guna Usaha Nomor 147/Desa Buluqsen, Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur tanggal 29 September 2010, luas 4.659.100 m2 berdasarkan Surat Ukur Nomor 00001/2010 tanggal 28 September 2010,atas nama PT. Sasana Yudha Bhakti;

4.       Menghukum Tergugat II Intervensi/ Pembanding I/Terbanding dan Tergugat/Pembanding II/Terbanding untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat pengadilan yang untuk tingkat banding ditetapkan sejumlah Rp250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Putusan ini pada intinya menegaskan kembali kemenangan PT Brian Anjat Sentosa dan keabsahan pertimbangan hukum hakim di tingkat pertama.

Tingkat Kasasi: Mahkamah Agung Republik Indonesia

Upaya hukum terakhir dilakukan oleh para Tergugat dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, Mahkamah Agung pun sependapat dengan putusan di dua tingkat peradilan sebelumnya. Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 47 K/TUN/2020, tertanggal 10 Maret 2020, Majelis Hakim Agung menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi.

Pertimbangan hukum utama Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:

-         Bahwa judex facti (hakim di tingkat PTUN dan PTTUN) tidak salah dalam menerapkan hukum dan telah memberikan pertimbangan yang tepat dan benar;

-         Bahwa Mahkamah Agung kembali menegaskan penerapan asas prior in tempore, potior in iure sebagai kaidah hukum yang fundamental dalam menyelesaikan sengketa tumpang tindih izin. Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diterbitkan secara sah oleh pejabat yang berwenang harus dihormati dan tidak dapat dianulir oleh izin lain yang terbit di kemudian hari di atas wilayah yang sama. (vide Halaman 9-10, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 47 K/TUN/2020, tertanggal 10 Maret 2020).

Rangkaian putusan dari PTUN Samarinda hingga Mahkamah Agung ini memberikan yurisprudensi yang sangat kuat dan menjadi pedoman penting bagi penyelesaian sengketa serupa. Putusan ini menegaskan bahwa maladministrasi dalam bentuk penerbitan izin yang tumpang tindih dapat dibatalkan melalui pengadilan dan memberikan perlindungan hukum bagi pemegang izin yang lebih awal.

Upaya Hukum bagi Pelaku Usaha PMDN

Pelaku usaha Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang merasa dirugikan oleh keputusan pejabat tata usaha negara, seperti pencabutan atau justru penerbitan IUP yang merugikan pihak lain, memiliki jalur hukum untuk mencari keadilan melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sebuah preseden penting yang menggambarkan hal ini adalah Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 45/G/2023/PTUN.JKT., tertanggal 27 Juni 2023. Dalam putusan ini, Majelis Hakim mengadili sengketa penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dianggap cacat hukum. Sesuai dengan amar putusan tersebut, Majelis Hakim memutuskan:

MENGADILI

DALAM EKSEPSI;

Menolak eksepsi Tergugat seluruhnya;

DALAM POKOK PERKARA:

1.        Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2.       Menyatakan Tidak Sah Keputusan Menteri Investasi / Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 635/1/IUP/PMDN/2022 tentang Persetujuan Pemberian Izin Usaha Pertambangan untuk komoditas batuan kepada PT. Adara Jala Samudera tanggal 11 April 2022;

3.      Mewajibkan kepada Tergugat untuk Mencabut Keputusan Menteri Investasi / Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 635/1/IUP/PMDN/2022 tersebut;

4.       Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 326.000 (tiga ratus dua puluh enam ribu rupiah).

Sehingga dapat dikatakan bahwa terhadap berbagai putusan PTUN, seperti Putusan PTUN Jakarta Nomor 45/G/2023/PTUN.JKT yang membatalkan SK Menteri Investasi/Kepala BKPM terkait pencabutan IUP, menunjukkan bahwa pengadilan memiliki peran krusial sebagai mekanisme kontrol terhadap kekuasaan eksekutif. Pengadilan dapat membatalkan keputusan pencabutan IUP jika terbukti bahwa keputusan tersebut diterbitkan dengan melanggar prosedur (cacat prosedur), melampaui wewenang, atau menyalahgunakan wewenang (détournement de pouvoir).

Kebijakan sentralisasi yang bertujuan untuk memberantas tumpang tindih dan menertibkan izin justru melahirkan sebuah ironi. Bagi investor PMDN, kebijakan pencabutan massal telah menciptakan gelombang baru ketidakpastian hukum yang fundamental. Kelangsungan usaha mereka yang telah dirintis kini bergantung pada hasil evaluasi yang seringkali dianggap subjektif dan tidak transparan oleh Pemerintah Pusat.

Meskipun pemerintah berdalih bahwa langkah ini diperlukan untuk membersihkan “IUP tidur”, proses evaluasi yang cepat dan kurangnya ruang klarifikasi yang memadai membuat banyak perusahaan PMDN yang sah merasa menjadi korban.

Hal ini memunculkan risiko bahwa IUP yang dicabut dapat dialokasikan kembali kepada pihak-pihak dengan koneksi politik, sebuah kekhawatiran yang sering disuarakan. Akibatnya, kepastian hukum bagi investor PMDN tidak kunjung membaik; sumber ketidakpastian hanya bergeser dari pejabat daerah ke menteri di Jakarta.  

Permasalahan Perizinan bagi Penanaman Modal Asing (PMA)

Kewajiban Utama Investor Asing

Investor asing (PMA) di sektor pertambangan Indonesia dihadapkan pada serangkaian kewajiban spesifik yang mencerminkan kebijakan resource nationalism negara. Dua kewajiban paling fundamental adalah:

1.        Divestasi Saham

Perusahaan PMA wajib mendivestasikan sahamnya secara bertahap kepada partisipan Indonesia setelah 5 tahun berproduksi, hingga 51% kepemilikan Indonesia. Hal ini sepenuhnya sesuai dengan ketentuan UU Minerba Tahun 2009, perusahaan PMA tersebut yang memegang IUP atau IUPK yang diwajibkan untuk mendivestasikan sebagian sahamnya secara bertahap kepada partisipan Indonesia antara lain kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD, atau badan usaha swasta nasional setelah memasuki tahap produksi selama periode tertentu. Kewajiban ini bertujuan untuk meningkatkan kepemilikan nasional dalam pengelolaan sumber daya alam strategis;[2]

2.       Peningkatan Nilai Tambah (Hilirisasi)

UU Minerba 2020 secara tegas mewajibkan pemegang IUP dan IUPK untuk melakukan kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri. Kewajiban ini diperkuat dengan sanksi larangan ekspor bijih mineral mentah yang belum diolah atau dimurnikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 170A UU Nomor 3 Tahun 2020. Kebijakan hilirisasi ini menuntut investasi modal yang sangat besar dari perusahaan PMA untuk membangun fasilitas smelter dan menjadi salah satu isu paling kompleks dalam negosiasi antara pemerintah dan investor.  

Perspektif Kritis dan Perbandingan Internasional

Kedaulatan Negara vs. Stabilitas Regulasi

Kebijakan-kebijakan kunci dalam hukum pertambangan Indonesia saat ini, seperti sentralisasi kewenangan, kewajiban divestasi saham bagi PMA, dan program hilirisasi paksa, dapat dianalisis melalui lensa resource nationalism. Konsep ini, sebagaimana dinyatakan dalam literatur:

“There is an inherent tension between the state’s right to regulate in the public interest and the protection of investors from arbitrary action.”[3]

(Terjemahan: “Terdapat ketegangan yang melekat antara hak negara untuk mengatur demi kepentingan publik dan perlindungan investor dari tindakan sewenang-wenang.”)

Sehingga, bahkan dalam perspektif ini kita dibawa pada pemahaman, adanya upaya negara untuk menegaskan kontrol untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dari sumber daya alam yang dimilikinya. Sehingga di satu sisi, langkah-langkah ini dapat dipandang sebagai upaya sah negara berdaulat untuk mencapai amanat konstitusional demi kemakmuran rakyat.  

Namun, di sisi lain, penegasan kedaulatan yang sering kali diimplementasikan melalui perubahan kebijakan yang mendadak dan terkadang retroaktif ini berbenturan langsung dengan kebutuhan fundamental investor akan stabilitas, prediktabilitas, dan kepastian hukum (legal certainty). Kebutuhan akan stabilitas regulasi ini merupakan salah satu pilar utama dalam hukum investasi internasional, yang dirancang untuk melindungi investor dari tindakan sewenang-wenang negara tuan rumah tempat investasi dilakukan. Ketegangan antara kedaulatan negara dan stabilitas regulasi inilah yang menjadi inti dari banyak sengketa pertambangan di Indonesia.

Komparasi Sistem Perizinan: Indonesia vs. Australia

Untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas, sistem perizinan Indonesia dapat dibandingkan dengan model di negara kaya sumber daya lain seperti Australia.  Berbeda dengan Indonesia, sistem di Australia memiliki pemisahan tegas antara izin eksplorasi dan izin produksi. Selain itu, Australia mengakui native title dan menyediakan mekanisme hukum formal yang disebut “Right to Negotiate”, yang memberikan hak kepada masyarakat adat untuk bernegosiasi sebelum izin produksi diberikan.

“The removal of minerals and resources from the control of Indigenous peoples has been supported by international law, provided governments maintain appropriate consultative procedures with Indigenous communities before undertaking or permitting any programs for the exploration or exploitation of resources on Indigenous lands. In Australia, consultative rights with Indigenous communities will only exist where native title rights or cultural heritage protection operates. The alternative to public resource ownership is an allodial framework, where private owners retain rights to subsurface resources and the state has no overriding power to remove or diminish those rights.”[4]

(Terjemahan: “Pengambilan mineral dan sumber daya dari kendali masyarakat adat telah didukung oleh hukum internasional, asalkan pemerintah mempertahankan prosedur konsultasi yang layak dengan komunitas adat sebelum melakukan atau mengizinkan program eksplorasi atau eksploitasi sumber daya di tanah adat. Di Australia, hak konsultatif dengan komunitas adat hanya akan ada jika hak adat (native title) atau perlindungan warisan budaya berlaku. Alternatif dari kepemilikan sumber daya oleh publik adalah kerangka kerja alodial, di mana pemilik pribadi mempertahankan hak atas sumber daya di bawah permukaan tanah dan negara tidak memiliki kekuasaan yang lebih tinggi untuk menghilangkan atau mengurangi hak-hak tersebut.”)

Sehingga, terdapat beberapa perbedaan kunci dapat diidentifikasi:  

1)        Pemisahan Tahapan Izin

Australia memiliki pemisahan yang sangat tegas antara exploration permit (izin eksplorasi) dan mining lease (izin/sewa pertambangan). Pemegang exploration permit yang berhasil menemukan cadangan komersial dan memenuhi semua persyaratan memiliki hak prioritas yang dijamin oleh hukum untuk mendapatkan mining lease atas wilayah tersebut. Sistem di Indonesia juga mengenal pemisahan tahap eksplorasi dan operasi produksi, namun proses peningkatan dari IUP Eksplorasi ke IUP Operasi Produksi sering kali menjadi subjek evaluasi ulang yang ketat oleh pemerintah, yang dapat membuka ruang untuk ketidakpastian;

2)       Hak Masyarakat Adat

Sistem hukum Australia mengakui native title dan menyediakan mekanisme hukum formal yang disebut “Right to Negotiate”. Mekanisme ini memberikan hak kepada masyarakat adat pemegang native title untuk bernegosiasi secara langsung dengan perusahaan tambang sebelum mining lease dapat diberikan. Di Indonesia, meskipun UU Minerba Baru mewajibkan perusahaan untuk memiliki program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, proses konsultasi dengan masyarakat adat sering kali tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan cenderung menjadi formalitas dalam kerangka penyusunan AMDAL.  

Social License to Operate (SLO) dalam Konteks Indonesia

Konsep Social License to Operate (SLO) atau Izin Sosial untuk Beroperasi merujuk pada tingkat penerimaan dan persetujuan yang berkelanjutan dari masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya terhadap sebuah proyek pertambangan. SLO bukanlah izin formal yang dikeluarkan pemerintah, melainkan sebuah aset tidak berwujud yang krusial untuk kelancaran dan keberlanjutan operasi. Tanpa SLO, proyek dapat menghadapi penolakan, protes, dan gangguan operasional yang merugikan.

SLO is an ongoing reaching of a community development agreement for ensuring that local communities benefit from investment projects, and the company could continue operation. To get the approval of a project, the company has to use the 4Ps of SLO which refers to the set of actions, or tactics, that a company uses to achieve community development. The 4Ps are participation, process, partnership, and permanent change. Community development is the process of increasing the strength and effectiveness of communities, for the betterment people's quality of life and their participation in the decision-making that will achieve greater long-term control over their lives. It goes community viability. It essentially works towards creating local benefits for people that beyond the lifetime of the mining operation. The purpose of SLO is to encourage multi-stakeholder development-focused partnerships. It makes explicit companies' commitment to actively support or help develop such partnerships at global, national and community levels. Helping to ensure that the companies' investments enhance social and economic development locally and nationally is an important part of accomplishing this purpose.[5]

(Terjemahan: SLO merupakan kesepakatan pengembangan masyarakat yang berkelanjutan untuk memastikan bahwa masyarakat setempat mendapatkan manfaat dari proyek-proyek investasi, sementara perusahaan dapat terus beroperasi. Untuk mendapatkan persetujuan proyek, perusahaan perlu menggunakan 4P SLO, yaitu serangkaian tindakan atau strategi yang digunakan perusahaan untuk mencapai pengembangan masyarakat. Keempat P tersebut adalah partisipasi, proses, kemitraan, dan perubahan permanen.

Tujuan SLO adalah untuk mendorong kemitraan yang berfokus pada pembangunan dengan melibatkan berbagai pihak. Ini merupakan komitmen nyata dari perusahaan untuk secara aktif mendukung atau membantu mengembangkan kemitraan semacam itu di tingkat global, nasional, maupun masyarakat.

Membantu memastikan bahwa investasi perusahaan meningkatkan pembangunan sosial dan ekonomi di tingkat lokal maupun nasional adalah bagian penting dari pencapaian tujuan ini. Secara esensial, SLO bekerja untuk menciptakan manfaat lokal bagi masyarakat yang bertahan melampaui masa hidup operasi pertambangan itu sendiri.)


Sedangkan, kebijakan sentralisasi perizinan di Indonesia membawa risiko inheren terhadap pencapaian SLO. Ketika keputusan-keputusan krusial mengenai penerbitan dan evaluasi izin dibuat di Jakarta, jauh dari lokasi proyek, ruang untuk dialog yang bermakna dan partisipasi otentik dari masyarakat setempat yang paling terdampak menjadi sangat terbatas. Hal ini dapat memperlebar jurang antara perusahaan dan komunitas, membuat pencapaian SLO menjadi lebih sulit dan meningkatkan potensi konflik sosial di masa depan.

Terdapat sebuah paradoks dalam kebijakan pertambangan Indonesia. Di satu sisi, pemerintah mengadopsi terminologi dan standar tata kelola global, seperti kewajiban transparansi dan program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang diatur secara eksplisit dalam UU Minerba Baru dan peraturan pelaksananya. Ini adalah bentuk adopsi formal dari prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan global.

Namun, di sisi lain, struktur pengambilan keputusan yang sangat terpusat justru menghambat implementasi substantif dari standar-standar tersebut. Kewenangan untuk menyetujui RKAB, yang di dalamnya mencakup rencana dan anggaran PPM, sepenuhnya berada di tangan Menteri di Jakarta.  

Dinamika ini menciptakan situasi di mana perusahaan mungkin lebih termotivasi untuk memenuhi persyaratan administratif di tingkat pusat demi mendapatkan persetujuan RKAB, daripada membangun hubungan yang tulus dan partisipatif dengan masyarakat di tingkat lokal untuk memperoleh SLO.

Akibatnya, program PPM berisiko menjadi sekadar pemenuhan kewajiban formal (box-ticking exercise) dan bukan alat untuk membangun kemitraan sejati. Ini adalah kesenjangan yang signifikan antara retorika kebijakan dan realitas implementasi, yang sebagian besar didorong oleh struktur kekuasaan yang sentralistik.

Adagium Hukum dalam Konteks Perizinan Pertambangan

Presumptio Iustae Causa

Adagium ini menyatakan bahwa setiap keputusan pejabat tata usaha negara (termasuk SK penerbitan atau pencabutan IUP) harus dianggap sah menurut hukum (rechtmatig) sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang menyatakan sebaliknya. Asas ini memberikan dasar hukum bagi perusahaan untuk menjalankan kegiatan berdasarkan izin yang dimilikinya dan bagi pemerintah untuk menegakkan keputusannya. Pada saat yang sama, asas ini juga memberikan landasan bagi pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan tersebut untuk mengajukan gugatan ke PTUN guna membatalkan “keabsahan sementara” itu.  

Contrarius Actus

Prinsip ini menyatakan bahwa pejabat atau badan yang berwenang menerbitkan suatu keputusan pada dasarnya juga merupakan pihak yang berwenang untuk mencabut atau membatalkannya. Dalam konteks pasca-sentralisasi, asas ini menegaskan bahwa kewenangan untuk mencabut IUP kini berada di tangan Menteri (ESDM atau Investasi/BKPM) sebagai pejabat yang menerbitkannya, bukan lagi di tangan Gubernur atau Bupati/Walikota. Hal ini memperkuat sentralisasi kekuasaan dalam tata kelola pertambangan.

Pacta Sunt Servanda

Meskipun rezim IUP modern berada dalam ranah hukum administrasi, adagium hukum perdata ini tetap sangat relevan, terutama dalam konteks transisi dari KK dan PKP2B menjadi IUPK. Pemerintah berargumen bahwa perubahan status ini adalah amanat undang-undang yang bersifat wajib. Di sisi lain, perusahaan pemegang KK/PKP2B sering kali berargumen bahwa hak-hak mereka yang tertuang dalam “kontrak” awal, yang sering kali lebih menguntungkan dan stabil, harus tetap dihormati berdasarkan prinsip pacta sunt servanda. Ketegangan antara kewajiban hukum publik (UU Minerba) dan hak-hak yang timbul dari perjanjian perdata (KK/PKP2B) ini menjadi inti dari negosiasi perpanjangan kontrak.  

Salus Populi Suprema Lex Esto

Adagium ini, yang sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945, menjadi justifikasi filosofis dan hukum tertinggi bagi tindakan negara yang memprioritaskan kepentingan publik yang lebih luas di atas kepentingan komersial individu atau korporasi. Dalam kasus PT EMM, Mahkamah Agung secara implisit menerapkan prinsip ini ketika membatalkan IUP demi melindungi kelestarian lingkungan dan keselamatan masyarakat. Adagium ini memberikan landasan bagi hakim untuk “menerobos” keabsahan formal-prosedural sebuah izin dan mengujinya berdasarkan dampak substantifnya terhadap kesejahteraan umum.  

Rangkuman Peta Jalan Regulasi dan Dampaknya

Hukum pertambangan Indonesia telah melalui transformasi dramatis dalam dua dekade terakhir. Pergeseran dari rezim kontrak yang berorientasi pada stabilitas investasi ke rezim izin yang terdesentralisasi, dan kini menuju rezim izin yang sangat tersentralisasi, mencerminkan pencarian terus-menerus akan model tata kelola yang ideal.

Gelombang sentralisasi di bawah UU No. 3 Tahun 2020 dan UU Cipta Kerja, yang bertujuan untuk menciptakan efisiensi, standardisasi, dan kepastian hukum, pada praktiknya telah melahirkan serangkaian tantangan baru.

Bagi investor PMDN, risiko pencabutan izin secara massal menjadi ancaman nyata, sementara bagi investor PMA, penegasan kedaulatan negara melalui kewajiban hilirisasi dan supremasi hukum lingkungan menciptakan kalkulasi risiko yang lebih kompleks.

Sintesis Titik Tegang Utama

Kami mengidentifikasi ada tiga titik ketegangan utama yang akan terus mewarnai lanskap hukum pertambangan Indonesia di masa depan:

1.       Sentralisasi vs. Otonomi Daerah

Pertarungan antara efisiensi dan standardisasi yang ditawarkan oleh Pemerintah Pusat dengan kebutuhan akan partisipasi, pengawasan lokal, dan keadilan prosedural bagi pemerintah daerah dan masyarakat terdampak;

2.       Kepastian Hukum vs. Kedaulatan Negara

Konflik inheren antara kebutuhan investor akan stabilitas dan prediktabilitas regulasi dengan hak negara untuk mengubah kebijakan (resource nationalism) demi memaksimalkan manfaat bagi negara, seperti yang terlihat pada kebijakan divestasi dan hilirisasi;

3.       Pembangunan Ekonomi vs. Perlindungan Lingkungan

Dilema klasik antara mendorong pertumbuhan ekonomi melalui industri ekstraktif dengan kewajiban negara untuk melindungi kelestarian lingkungan dan keselamatan publik. Putusan yudisial, seperti dalam kasus PT EMM, menunjukkan bahwa lembaga peradilan semakin cenderung memprioritaskan perlindungan lingkungan sebagai prasyarat fundamental.

Rekomendasi bagi Pemangku Kepentingan

Berdasarkan temuan yang telah dilakukan, beberapa rekomendasi dapat dirumuskan bagi para pemangku kepentingan utama yaitu:

Bagi Pemerintah

-         Menciptakan mekanisme evaluasi dan pencabutan izin yang lebih transparan, partisipatif, dan akuntabel dengan kriteria yang jelas dan ruang yang memadai bagi perusahaan untuk memberikan klarifikasi;

-         Memperkuat koordinasi antar-kementerian (ESDM, Investasi/BKPM, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Agraria dan Tata Ruang) untuk mencegah terbitnya izin yang cacat hukum sejak awal;

-         Membangun jembatan komunikasi yang efektif dengan pemerintah daerah untuk memastikan aspirasi dan pengawasan lokal tetap terakomodasi dalam kerangka kebijakan yang tersentralisasi.

Bagi Investor (PMDN & PMA)

-        Melakukan uji tuntas (due diligence) yang jauh lebih mendalam dan komprehensif sebelum berinvestasi. Uji tuntas tidak boleh lagi terbatas pada aspek teknis dan finansial pertambangan, tetapi harus mencakup analisis mendalam terhadap kepatuhan hukum lingkungan (validitas AMDAL), kesesuaian dengan RTRW yang terbaru, status kawasan hutan, dan potensi konflik sosial dengan masyarakat lokal dan adat;

-        Mengadopsi pendekatan proaktif dalam membangun hubungan dengan masyarakat untuk memperoleh Social License to Operate (SLO) yang otentik, bukan sekadar memenuhi kewajiban formal program pemberdayaan masyarakat;

-        Memahami bahwa kepastian hukum di Indonesia bersifat dinamis, dan risiko regulasi serta pembatalan izin oleh pengadilan adalah bagian inheren dari iklim investasi yang harus dimitigasi secara cermat.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


[1] N. Schrijver, Sovereignty over Natural Resources: Balancing Rights and Duties, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 5.

[2] William A. Sullivan, Mining Law and Regulatory Practice in Indonesia: A Primary Reference Source, (John Wiley & Sons, 2013), 16-17.

[3] Ana Elizabeth Bastida, The Law and Governance of Mining and Minerals: A Global Perspective, (Hart Publishing, 2020), 103.

[4] Samantha J. Hepburn, Mining and Energy Law, 2nd ed., (Cambridge University Press, 2023), 10.

[5] Cesar Saenz, Creating Shared Value to Get Social License to Operate in the Extractive Industry: A Framework for Managing and Achieving the Social License to Operate (Bingley, UK: Emerald Publishing Limited, 2021), 4–5.