Pengantar
Beberapa tahun terakhir, lanskap pertambangan di
Kalimantan Barat telah diwarnai oleh berbagai fenomena kompleks yang memantik
kegelisahan mendalam. Dinamika ini tidak hanya mencakup spektrum bisnis dan
tata kelola usaha, tetapi juga merambah ke isu tindak pidana korupsi serta
tantangan dalam penerapan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.
Kompleksitas tersebut menunjukkan adanya urgensi untuk memperluas pemahaman
mengenai hukum pertambangan, yang semestinya tidak lagi menjadi domain
eksklusif para praktisi hukum atau pelaku usaha.
Artikel ini lahir dari kesadaran bahwa pemahaman yang
komprehensif mengenai aspek hukum dan ekonomi kebijakan pertambangan merupakan fondasi
esensial bagi masyarakat umum, dan secara khusus bagi kalangan akademis,
terutama mahasiswa Pascasarjana. Dengan membedah kerangka hukum terbaru dan
menganalisis implikasinya, tulisan ini bertujuan untuk menyajikan sebuah
diskursus yang dapat menjembatani antara teori dan praktik, demi mewujudkan
tata kelola pertambangan yang adil, transparan, dan berorientasi pada keberlanjutan.
Landasan Konstitusional dan Doktrin Kedaulatan Negara
Hukum pertambangan Indonesia berakar pada fondasi
konstitusional yang kokoh, yakni Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut dengan “UUD
NRI 1945”, yang menyatakan:
“Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Pasal ini tidak hanya berfungsi sebagai norma hukum
positif, melainkan sebagai grundnorm atau norma dasar yang
melegitimasi peran sentral negara dalam pengelolaan seluruh sumber daya alam,
termasuk mineral dan batubara.
Penguasaan oleh negara, sebagaimana dipertegas dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
selanjutnya disebut dengan “UU Minerba”, harus dimaknai bukan
sebagai kepemilikan (eigendom) dalam konteks hukum perdata, melainkan
sebagai mandat publik untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi krusial seperti
mengatur (regelen), mengurus (besturen), mengelola (beheren),
dan mengawasi (toezicht houden).
Amanat ini selaras dengan doktrin Kedaulatan Permanen
atas Sumber Daya Alam (Permanent Sovereignty over Natural Resources -
PSONR), sebuah konsep atau prinsip hukum internasional yang memberikan hak
kepada setiap negara untuk secara bebas mengelola kekayaan alamnya demi
pembangunan nasional.[1]
Doktrin tersebut diperkuat pula dengan adagium yang terkenal yaitu Salus
Populi Suprema Lex Esto, yang berarti “kesejahteraan rakyat
adalah hukum tertinggi”. Dengan demikian, setiap kebijakan dan regulasi
di sektor pertambangan, termasuk sistem perizinannya, secara teoretis dan
etis harus diuji berdasarkan kemampuannya untuk mewujudkan amanat
konstitusional tersebut.
Evolusi Rezim Hukum: Dari Kontrak ke Izin
Sejarah hukum pertambangan modern di Indonesia
ditandai oleh pergeseran paradigma yang fundamental. Di bawah Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan, negara menjalin relasi dengan investor melalui instrumen
kontrak, dikenal sebagai Kontrak Karya (KK) untuk mineral dan Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk batubara.
Dalam rezim ini, posisi negara dan investor cenderung setara
(gelijkwaardig), di mana hak dan kewajiban dituangkan dalam
perjanjian yang tunduk pada adagium suci hukum perdata, pacta sunt servanda,
yang berakar pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
selanjutnya disebut dengan “KUHPerdata”, yang menyatakan:
“Semua
persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Titik balik terjadi dengan lahirnya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
selanjutnya disebut dengan “UU Minerba”. Undang-undang ini secara
radikal mengubah lanskap hukum dengan membongkar rezim kontrak dan
menggantikannya dengan sistem Izin Usaha Pertambangan (IUP). Perubahan ini
bukan sekadar terminologis, melainkan sebuah penegasan kembali posisi negara
sebagai regulator berdaulat dan perusahaan sebagai subjek yang tunduk pada
rezim perizinan hukum administrasi negara.
Arah Baru Regulasi: Gelombang Sentralisasi dan Kemudahan Berusaha
Implementasi UU Minerba Lama di era otonomi daerah memunculkan
fragmentasi kewenangan yang berujung pada tumpang tindih izin dan ketidakpastian
hukum. Menjawab tantangan tersebut, pemerintah melahirkan UU Minerba Tahun
2020 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022
tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, selanjutnya disebut dengan “UU
Cipta Kerja”.
Kedua regulasi ini menandai gelombang reformasi baru
yang didorong oleh dua agenda utama yaitu sentralisasi kewenangan dan penyederhanaan
perizinan. Arah kebijakan yang berayun dari desentralisasi ekstrem ke
sentralisasi yang kuat ini secara drastis mengubah arsitektur tata kelola
pertambangan Indonesia, sekaligus melahirkan dinamika dan permasalahan baru
bagi investor, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal
Asing (PMA).
Sentralisasi Kewenangan sebagai Kebijakan Utama
UU Minerba 2020 secara tegas mengakhiri era
desentralisasi perizinan. Pasal 4 ayat (2) UU Minerba 2020
menyatakan:
“Penguasaan
Mineral dan Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.”
Konsekuensinya, Pasal 35 ayat (1) UU Minerba 2020
menegaskan:
“Usaha
Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.”
Seluruh proses perizinan kini ditarik ke tingkat pusat
dan diintegrasikan melalui sistem Online Single Submission Risk-Based
Approach (OSS-RBA), yang dioperasikan oleh Kementerian Investasi/Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan rekomendasi teknis dari Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sejalan dengan semangat UU Cipta Kerja, sistem
perizinan di sektor pertambangan kini terintegrasi dalam sistem Online
Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA). Sistem ini
mengklasifikasikan kegiatan usaha berdasarkan tingkat risikonya, yang kemudian
menentukan jenis perizinan yang diperlukan. Kegiatan pertambangan, karena
dampaknya yang signifikan terhadap lingkungan dan sosial, dikategorikan sebagai
kegiatan berisiko tinggi yang memerlukan perizinan berusaha penuh sebelum dapat
beroperasi.
Struktur perizinan berusaha di sektor Minerba
berdasarkan UU Minerba Baru dan peraturan pelaksananya, terutama Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara selanjutnya disebut dengan “PP
96/2021”, mencakup beberapa jenis utama:
-
Izin Usaha
Pertambangan (IUP), merupakan izin
utama yang terdiri dari dua tahap yang saling berkelanjutan: tahap Eksplorasi
(meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan) dan tahap Operasi
Produksi (meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan/pemurnian, serta
pengangkutan dan penjualan);
-
Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK), diberikan
untuk kegiatan di Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), yang umumnya
merupakan wilayah bekas KK/PKP2B atau wilayah pencadangan negara;
-
Izin
Pertambangan Rakyat (IPR), diperuntukkan
bagi masyarakat setempat atau koperasi di Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)
dengan skala terbatas;
-
Surat Izin
Penambangan Batuan (SIPB), kategori
izin baru yang diperkenalkan dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 untuk jenis batuan
tertentu atau untuk keperluan tertentu;
-
Izin
Pengangkutan dan Penjualan, izin
khusus bagi badan usaha yang tidak memiliki IUP/IUPK untuk membeli, mengangkut,
dan menjual komoditas tambang dari pemegang IUP/IUPK.
Mekanisme Perolehan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)
Sebelum dapat mengajukan IUP, badan usaha harus
terlebih dahulu memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Mekanisme
perolehan WIUP diatur secara ketat dalam PP 96/2021:
1)
Lelang, menjadi
mekanisme utama untuk mendapatkan WIUP Mineral Logam dan WIUP Batubara. Proses
ini dirancang untuk meningkatkan transparansi dan penerimaan negara melalui
penawaran Kompensasi Data Informasi (KDI);
2)
Permohonan
Wilayah (Prioritas), mekanisme ini berlaku untuk WIUP Mineral Bukan Logam,
Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu, dan Batuan. Pihak yang pertama mengajukan
permohonan yang memenuhi syarat akan mendapatkan prioritas (first come,
first served);
3)
Penawaran
Prioritas kepada Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan, sebuah kebijakan
kontroversial yang diperkenalkan melalui Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor
96 Tahun 2021, selanjutnya disebut dengan “PP 25/2024”. Sebagiamana
ketentuan Pasal 83A ayat (1) PP 25/2024 dalam peraturan ini
menyatakan:
“Dalam
rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran
secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi
kemasyarakatan keagamaan.”
Peraturan
ini memungkinkan Pemerintah Pusat untuk menawarkan WIUPK yang merupakan wilayah
eks-PKP2B secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi
kemasyarakatan keagamaan. Kebijakan ini menuai perdebatan publik terkait
profesionalisme pengelolaan tambang dan potensi konflik kepentingan.
Meskipun sistem OSS-RBA dirancang untuk
menyederhanakan dan mempercepat proses perizinan, dalam praktiknya ia dapat
menciptakan apa yang bisa disebut sebagai “ilusi kemudahan”. Investor,
baik PMDN maupun PMA, memang dapat memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB) dengan
relatif cepat, yang berfungsi sebagai identitas pelaku usaha dan izin
dasar untuk memulai beberapa kegiatan persiapan. Namun, untuk sektor
pertambangan yang berisiko tinggi, NIB sama sekali tidak cukup.
Izin kunci seperti IUP Operasi Produksi baru
dapat efektif setelah pelaku usaha memenuhi serangkaian komitmen dan standar
yang sangat ketat, terutama Persetujuan Lingkungan melalui Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL), studi kelayakan yang komprehensif, dan persetujuan
Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
Hal ini menciptakan sebuah kerentanan signifikan.
Sebagaimana dalam rangkaian putusan hukum yang krusial dalam sengketa antara
masyarakat lokal, Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan PT
Emas Mineral Murni (EMM) terkait izin tambang di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)
Aceh. Perkara ini menempuh empat tingkat peradilan, dari Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Jakarta, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) Jakarta,
hingga dua tingkat di Mahkamah Agung (MA) pada fase kasasi dan Peninjauan
Kembali (PK).
Secara kronologis, putusan Pengadilan Tingkat Pertama
dan Tingkat Banding menolak gugatan dengan alasan prosedural, yaitu gugatan
dianggap salah subjek (error in subjecto) dan Pengadilan tidak berwenang
(kompetensi absolut). Namun, Mahkamah Agung pada tingkat kasasi membalikkan
total putusan sebelumnya. Majelis Hakim Agung tidak hanya menolak eksepsi
prosedural, tetapi juga mengadili pokok perkara dan membatalkan izin tambang PT
EMM.
Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan hukum
substantif bahwa izin tersebut bertentangan dengan Undang-Undang tentang
Pemerintahan Aceh dan melanggar ketentuan izin lingkungan karena sebagian besar
area izin berada di Kawasan Ekosistem Leuser yang dilindungi dan merupakan
kawasan rawan bencana. Putusan kasasi ini kemudian diperkuat dan dikunci oleh
Mahkamah Agung pada tingkat peninjauan kembali, yang menolak permohonan PK dari
pihak tergugat.
Kasus ini menjadi preseden penting dalam hukum lingkungan dan administrasi di Indonesia. Perjalanan peradilan yang berliku-liku ini memperlihatkan ketegangan antara formalitas hukum administratif dan keadilan substantif dalam isu lingkungan hidup. Kemenangan gugatan lingkungan di tingkat MA menegaskan perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser sebagai prioritas hukum yang tidak dapat dikesampingkan.
Sehingga dapat ditarik Kesimpulan bahwa sebuah IUP
Operasi Produksi yang bahkan telah diterbitkan oleh otoritas pusat (BKPM) pada
akhirnya dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena izin lingkungan yang
menjadi dasarnya dinilai cacat hukum. Ini menunjukkan bahwa kemudahan di
tahap awal (front-loading) melalui sistem OSS tidak menghilangkan risiko
hukum fundamental, melainkan hanya menundanya ke tahap selanjutnya.
Investor dapat terjebak dalam situasi di mana mereka telah mengeluarkan
investasi yang signifikan berdasarkan izin awal, namun kemudian izin utamanya
dibatalkan karena kegagalan memenuhi komitmen teknis atau lingkungan yang
menjadi prasyarat mutlak.
Permasalahan Perizinan bagi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
Isu Krusial: Pencabutan dan Penciutan IUP Massal
Pasca-sentralisasi kewenangan, Pemerintah Pusat,
melalui Satuan Tugas Penataan Pemanfaatan Lahan dan Penataan Investasi yang
dikoordinasikan oleh Kementerian Investasi/BKPM Republik Indonesia, mengambil
langkah drastis dengan melakukan
evaluasi dan pencabutan ribuan IUP di seluruh Indonesia. Kebijakan ini
menargetkan IUP yang dianggap tidak produktif, tidak pernah menyampaikan
Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), atau “IUP tidur” yang hanya dijadikan
objek spekulasi.
Meskipun bertujuan untuk menertibkan tata kelola dan
mengoptimalkan lahan untuk investasi yang lebih serius, kebijakan pencabutan
massal ini memicu gelombang protes dan gugatan hukum dari para pelaku usaha
PMDN. Banyak perusahaan merasa pencabutan dilakukan secara sepihak tanpa proses
verifikasi yang adil dan transparan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum
yang baru dan masif.
Fenomena ini mencerminkan kerentanan pemegang Izin
Usaha Pertambangan (IUP) terhadap tindakan pemerintah yang berpotensi
merugikan, sebuah masalah yang sejatinya telah mengakar bahkan sejak era
otonomi daerah. Salah satu contoh konkret yang merefleksikan hal ini adalah
kasus penciutan atau pengurangan wilayah IUP milik PT Citra Silika Mallawa oleh
Bupati Kolaka Utara, yang berujung pada sengketa di Pengadilan Tata Usaha
Negara Kendari, sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Kendari Nomor 7/G/2019/PTUN.Kdi., tertanggal 5 September 2019.
Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim dalam amar
putusannya mengadili dan menyatakan batal Keputusan Bupati Kolaka Utara Nomor:
540/32 Tahun 2019, tanggal 21 Januari 2019, tentang
Penciutan/Pengurangan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT Citra
Silika Mallawa. Majelis Hakim juga mewajibkan Tergugat (Bupati Kolaka Utara)
untuk mencabut keputusan tersebut dan merehabilitasi hak-hak Penggugat.
Adapun pada pokoknya, gugatan ini diajukan karena
Penggugat (PT Citra Silika Mallawa) merasa dirugikan oleh penerbitan Surat
Keputusan Bupati yang secara sepihak mengurangi luas wilayah IUP Operasi
Produksi milik Penggugat dari semula 1.944 Ha menjadi hanya 498,9 Ha.
Dalil-dalil utama yang diajukan oleh Penggugat antara lain sebagai berikut:
-
Bahwa penerbitan
objek sengketa oleh Bupati Kolaka Utara (Tergugat) dilakukan tanpa adanya
permohonan dari Penggugat dan tanpa didahului proses verifikasi atau evaluasi
yang patut. Tindakan ini dianggap sewenang-wenang karena luas wilayah IUP yang
telah ditetapkan sebelumnya dan masih berlaku, diubah secara sepihak oleh
Tergugat;
-
Bahwa tindakan
Tergugat telah melanggar Pasal 118 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang
menyatakan bahwa IUP dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya apabila pemegang IUP tidak memenuhi kewajiban yang
ditetapkan. Menurut Penggugat, pihaknya tidak pernah melakukan pelanggaran
kewajiban apa pun yang dapat menjadi dasar penciutan wilayah;
-
Bahwa tindakan
Tergugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB),
khususnya Asas Kepastian Hukum, Asas Keterbukaan, Asas Profesionalitas, dan
Asas Akuntabilitas, karena menimbulkan kerugian dan ketidakpastian bagi iklim
investasi dan kegiatan usaha Penggugat. (vide Halaman 8-15, Putusan
PTUN Kendari Nomor 7/G/2019/PTUN.Kdi., tertanggal 5 September 2019).
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim
menyimpulkan bahwa tindakan Tergugat memang mengandung cacat yuridis.
Pertimbangan Hukum Hakim yang paling fundamental adalah sebagai berikut:
-
Bahwa berdasarkan
fakta persidangan, terbukti bahwa penerbitan objek sengketa tidak didasari oleh
adanya permohonan dari Penggugat. Tergugat juga tidak dapat membuktikan adanya
pelanggaran kewajiban oleh Penggugat yang dapat dijadikan alasan sah untuk melakukan
penciutan wilayah IUP;
-
Bahwa tindakan
Tergugat yang melakukan penciutan wilayah IUP secara sepihak telah melanggar
Asas Kepastian Hukum. Pemegang IUP yang telah menjalankan kewajibannya berhak
mendapatkan jaminan dan kepastian hukum atas wilayah yang telah diberikan
kepadanya. Tindakan sepihak ini menciptakan preseden buruk bagi kepastian
berusaha;
-
Bahwa Majelis
Hakim menilai tindakan Tergugat telah melanggar kewenangan (detournement de
pouvoir) karena alasan yang digunakan untuk menciutkan wilayah IUP tidak
sesuai dengan tujuan diberikannya kewenangan tersebut menurut peraturan
perundang-undangan. (vide Halaman 71-77, Putusan PTUN Kendari Nomor
7/G/2019/PTUN.Kdi., tertanggal 5 September 2019).
Kasus ini menjadi yurisprudensi penting yang
menunjukkan bahwa meskipun pemerintah memiliki kewenangan dalam administrasi
pertambangan, kewenangan tersebut tidak bersifat absolut dan harus dijalankan
sesuai dengan koridor hukum serta Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Sengketa Tumpang Tindih (Overlapping) yang Berkelanjutan: Yurisprudensi dari Kasus IUP vs. HGU
Salah satu masalah kronis dalam pertambangan Indonesia
yang menjadi warisan dari era otonomi daerah adalah tumpang tindih perizinan (overlapping).
Buruknya koordinasi antar-instansi dan lemahnya sistem data spasial menyebabkan
penerbitan beberapa izin di lokasi yang sama, baik sesama IUP (IUP dengan IUP)
maupun dengan izin sektor lain, seperti Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan.
Sengketa semacam ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum yang
merugikan investor, tetapi juga memicu konflik sosial di lapangan.
Sebuah yurisprudensi penting dalam penyelesaian
sengketa tumpang tindih datang dari sengketa hukum antara PT Brian Anjat
Sentosa (pemegang IUP) melawan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai
Kartanegara (penerbit HGU) dan PT Sasana Yudha Bhakti (pemegang HGU). Sengketa
ini berjalan melalui tiga tingkatan peradilan dan menegaskan sebuah prinsip
hukum fundamental.
Tingkat Pertama: Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda
Sengketa ini bermula di Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Samarinda Nomor 41/G/2018/PTUN.SMD., tertanggal 8 Mei 2019.
Dalam putusan ini, Majelis Hakim mengadili sengketa penerbitan Sertipikat Hak
Guna Usaha (HGU) yang tumpang tindih dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Pada pokoknya, gugatan ini diajukan oleh PT Brian
Anjat Sentosa (Penggugat) yang merasa haknya dilanggar karena Kepala Kantor
Pertanahan Kutai Kartanegara (Tergugat) menerbitkan dua Sertipikat HGU atas
nama PT Sasana Yudha Bhakti (Tergugat II Intervensi) di atas wilayah IUP milik
Penggugat. Adapun dalil-dalil utama dari Penggugat adalah sebagai berikut:
-
Bahwa Penggugat
merupakan pemegang IUP Eksplorasi Batubara yang sah berdasarkan Keputusan
Bupati Kutai Kartanegara Nomor 540/017/IUP-Eks/DPE-IV/III/2008 tanggal 12 Maret
2008, jauh sebelum objek sengketa (Sertipikat HGU) diterbitkan oleh Tergugat
pada tahun 2009 dan 2010;
-
Bahwa penerbitan
Sertipikat HGU oleh Tergugat telah melanggar asas kecermatan dan kehati-hatian,
karena Tergugat tidak melakukan verifikasi lapangan yang memadai untuk
memastikan bahwa tanah yang dimohonkan HGU tidak tumpang tindih dengan izin
lain yang telah ada sebelumnya;
-
Bahwa tindakan
Tergugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB),
khususnya Asas Kepastian Hukum, karena menimbulkan kerugian dan ketidakpastian
bagi Penggugat dalam menjalankan kegiatan pertambangannya. (vide
Halaman 16-24, Putusan PTUN Samarinda Nomor 41/G/2018/PTUN.SMD., tertanggal 8
Mei 2019).
Setelah memeriksa bukti-bukti dan mendengarkan para
pihak, Majelis Hakim PTUN Samarinda memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:
-
Bahwa secara
kronologis, IUP milik Penggugat terbit pada tahun 2008, sedangkan Sertipikat
HGU Nomor 116 dan Nomor 147 milik Tergugat II Intervensi terbit pada tahun 2009
dan 2010. Dengan demikian, hak Penggugat atas wilayah tersebut telah lahir
terlebih dahulu;
-
Bahwa berdasarkan
prinsip hukum prior in tempore, potior in iure (yang lebih dahulu dalam
waktu, lebih kuat haknya), maka izin yang terbit lebih awal memiliki kedudukan
hukum yang lebih kuat dan harus dilindungi. Penerbitan izin yang lebih baru di
lokasi yang sama merupakan bentuk maladministrasi;
-
Bahwa tindakan
Tergugat dalam menerbitkan Sertipikat HGU tanpa memperhatikan adanya IUP yang
telah ada sebelumnya terbukti melanggar peraturan perundang-undangan dan AUPB,
khususnya Asas Kecermatan dan Asas Kepastian Hukum. (vide Halaman
129-135, Putusan PTUN Samarinda Nomor 41/G/2018/PTUN.SMD., tertanggal 8 Mei
2019).
Atas dasar pertimbangan tersebut, PTUN Samarinda
dalam amar putusannya mengabulkan gugatan Penggugat, menyatakan batal
Sertipikat HGU Nomor 116 dan Nomor 147, serta mewajibkan Tergugat untuk
mencabut kedua sertipikat tersebut.
Tingkat Banding: Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta
Tidak puas dengan putusan tingkat pertama, para
Tergugat mengajukan banding. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil.
Melalui Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
215/B/2019/PT.TUN.JKT., tertanggal 22 Agustus 2019, Majelis Hakim
tingkat banding memutuskan:
MENGADILI
-
Menerima
permohonan banding dari Tergugat II Intervensi /Pembanding I/Terbanding,
Tergugat /Pembanding II/Terbanding, dan Penggugat/Terbanding/ Pembanding III;
-
Menguatkan
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda Nomor : 41/G/2018/PTUN.SMD,
tanggal 8 Mei 2019 dengan perbaikan pertimbangan hukum dan amar yang
selengkapnya menjadi sebagai berikut:
MENGADILI SENDIRI
DALAM
EKSEPSI;
-
Menyatakan
eksepsi dari Tergugat/Pembanding II /Terbanding dan Tergugat II
Intervensi/Pembanding I/Terbanding tidak diterima untuk seluruhnya;
DALAM
POKOK PERKARA
1.
Mengabulkan
gugatan Penggugat/Terbanding/Pembanding III seluruhnya;
2.
Menyatakan batal
Keputusan Tata usaha Negara yang diterbitkan oleh Tergugat/Pembanding
II/Terbanding berupa:
-
Sertipikat Hak
Guna Usaha Nomor 116/Desa Gunung Sari dan Ritan Baru Kecamatan Tabang,
Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur tanggal 29 Oktober 2009
Luas 941,17 Ha, berdasarkan Surat Ukur Nomor 2115/HGU/2009 tanggal 21 Oktober
2009 atas nama PT Sasana Yudha Bhakti;
-
Sertipikat Hak
Guna Usaha Nomor 147/Desa Buluqsen, Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai
Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur tanggal 29 September 2010, luas
4.659.100 m2 berdasarkan Surat Ukur Nomor 00001/2010 tanggal 28 September
2010,atas nama PT. Sasana Yudha Bhakti;
3.
Mewajibkan kepada
Tergugat/Pembanding II/Terbanding untuk mencabut Surat Keputusan Tata Usaha
Negara yang telah diterbitkan berupa:
a.
Sertipikat Hak
Guna Usaha Nomor 116/Desa Gunung Sari dan Ritan Baru Kecamatan Tabang,
Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur tanggal 29 Oktober 2009
Luas 941,17 Ha, berdasarkan Surat Ukur Nomor 2115/HGU/2009 tanggal 21 Oktober
2009 atas nama PT Sasana Yudha Bhakti;
b.
Sertipikat Hak
Guna Usaha Nomor 147/Desa Buluqsen, Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai
Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur tanggal 29 September 2010, luas
4.659.100 m2 berdasarkan Surat Ukur Nomor 00001/2010 tanggal 28 September
2010,atas nama PT. Sasana Yudha Bhakti;
4.
Menghukum
Tergugat II Intervensi/ Pembanding I/Terbanding dan Tergugat/Pembanding
II/Terbanding untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat pengadilan yang
untuk tingkat banding ditetapkan sejumlah Rp250.000,- (dua ratus lima puluh
ribu rupiah).
Putusan ini pada intinya menegaskan kembali kemenangan
PT Brian Anjat Sentosa dan keabsahan pertimbangan hukum hakim di tingkat
pertama.
Tingkat Kasasi: Mahkamah Agung Republik Indonesia
Upaya hukum terakhir dilakukan oleh para Tergugat
dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, Mahkamah Agung pun
sependapat dengan putusan di dua tingkat peradilan sebelumnya. Dalam Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 47 K/TUN/2020, tertanggal 10 Maret 2020,
Majelis Hakim Agung menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi.
Pertimbangan hukum utama Mahkamah Agung adalah sebagai
berikut:
-
Bahwa judex
facti (hakim di tingkat PTUN dan PTTUN) tidak salah dalam menerapkan hukum
dan telah memberikan pertimbangan yang tepat dan benar;
-
Bahwa Mahkamah
Agung kembali menegaskan penerapan asas prior in tempore, potior in iure
sebagai kaidah hukum yang fundamental dalam menyelesaikan sengketa tumpang
tindih izin. Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diterbitkan secara
sah oleh pejabat yang berwenang harus dihormati dan tidak dapat dianulir oleh
izin lain yang terbit di kemudian hari di atas wilayah yang sama. (vide Halaman
9-10, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 47 K/TUN/2020, tertanggal
10 Maret 2020).
Rangkaian putusan dari PTUN Samarinda hingga Mahkamah
Agung ini memberikan yurisprudensi yang sangat kuat dan menjadi pedoman penting
bagi penyelesaian sengketa serupa. Putusan ini menegaskan bahwa maladministrasi
dalam bentuk penerbitan izin yang tumpang tindih dapat dibatalkan melalui
pengadilan dan memberikan perlindungan hukum bagi pemegang izin yang lebih
awal.
Upaya Hukum bagi Pelaku Usaha PMDN
Pelaku usaha Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang
merasa dirugikan oleh keputusan pejabat tata usaha negara, seperti pencabutan
atau justru penerbitan IUP yang merugikan pihak lain, memiliki jalur hukum
untuk mencari keadilan melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sebuah preseden penting yang menggambarkan hal ini
adalah Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
45/G/2023/PTUN.JKT., tertanggal 27 Juni 2023. Dalam putusan ini,
Majelis Hakim mengadili sengketa penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang
dianggap cacat hukum. Sesuai dengan amar putusan tersebut, Majelis Hakim
memutuskan:
MENGADILI
DALAM EKSEPSI;
Menolak eksepsi Tergugat seluruhnya;
DALAM POKOK PERKARA:
1.
Mengabulkan
gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2.
Menyatakan
Tidak Sah Keputusan Menteri Investasi / Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor: 635/1/IUP/PMDN/2022 tentang
Persetujuan Pemberian Izin Usaha Pertambangan untuk komoditas batuan kepada PT.
Adara Jala Samudera tanggal 11 April 2022;
3.
Mewajibkan
kepada Tergugat untuk Mencabut Keputusan Menteri Investasi / Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 635/1/IUP/PMDN/2022 tersebut;
4.
Menghukum
Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 326.000
(tiga ratus dua puluh enam ribu rupiah).
Sehingga dapat dikatakan bahwa terhadap berbagai
putusan PTUN, seperti Putusan PTUN Jakarta Nomor 45/G/2023/PTUN.JKT yang
membatalkan SK Menteri Investasi/Kepala BKPM terkait pencabutan IUP, menunjukkan
bahwa pengadilan memiliki peran krusial sebagai mekanisme kontrol terhadap
kekuasaan eksekutif. Pengadilan dapat membatalkan keputusan pencabutan IUP
jika terbukti bahwa keputusan tersebut diterbitkan dengan melanggar prosedur
(cacat prosedur), melampaui wewenang, atau menyalahgunakan wewenang (détournement
de pouvoir).
Kebijakan sentralisasi yang bertujuan untuk
memberantas tumpang tindih dan menertibkan izin justru melahirkan sebuah ironi.
Bagi investor PMDN, kebijakan pencabutan massal telah menciptakan gelombang
baru ketidakpastian hukum yang fundamental. Kelangsungan usaha mereka yang
telah dirintis kini bergantung pada hasil evaluasi yang seringkali dianggap
subjektif dan tidak transparan oleh Pemerintah Pusat.
Meskipun pemerintah berdalih bahwa langkah ini
diperlukan untuk membersihkan “IUP tidur”, proses evaluasi yang cepat dan
kurangnya ruang klarifikasi yang memadai membuat banyak perusahaan PMDN yang
sah merasa menjadi korban.
Hal ini memunculkan risiko bahwa IUP yang dicabut
dapat dialokasikan kembali kepada pihak-pihak dengan koneksi politik, sebuah
kekhawatiran yang sering disuarakan. Akibatnya, kepastian hukum bagi investor
PMDN tidak kunjung membaik; sumber ketidakpastian hanya bergeser dari pejabat
daerah ke menteri di Jakarta.
Permasalahan Perizinan bagi Penanaman Modal Asing (PMA)
Kewajiban Utama Investor Asing
Investor asing (PMA) di sektor pertambangan Indonesia
dihadapkan pada serangkaian kewajiban spesifik yang mencerminkan kebijakan resource
nationalism negara. Dua kewajiban paling fundamental adalah:
1.
Divestasi
Saham
Perusahaan
PMA wajib mendivestasikan sahamnya secara bertahap kepada partisipan Indonesia
setelah 5 tahun berproduksi, hingga 51% kepemilikan Indonesia. Hal ini
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan UU Minerba Tahun 2009, perusahaan PMA
tersebut yang memegang IUP atau IUPK yang diwajibkan untuk mendivestasikan
sebagian sahamnya secara bertahap kepada partisipan Indonesia antara lain
kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD, atau badan usaha swasta
nasional setelah memasuki tahap produksi selama periode tertentu. Kewajiban ini
bertujuan untuk meningkatkan kepemilikan nasional dalam pengelolaan sumber daya
alam strategis;[2]
2.
Peningkatan
Nilai Tambah (Hilirisasi)
UU
Minerba 2020 secara tegas mewajibkan pemegang IUP dan IUPK untuk melakukan
kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri. Kewajiban ini diperkuat
dengan sanksi larangan ekspor bijih mineral mentah yang belum diolah atau
dimurnikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 170A UU Nomor 3 Tahun 2020.
Kebijakan hilirisasi ini menuntut investasi modal yang sangat besar dari
perusahaan PMA untuk membangun fasilitas smelter dan menjadi salah satu isu
paling kompleks dalam negosiasi antara pemerintah dan investor.
Perspektif Kritis dan Perbandingan Internasional
Kedaulatan Negara vs. Stabilitas Regulasi
Kebijakan-kebijakan kunci dalam hukum pertambangan
Indonesia saat ini, seperti sentralisasi kewenangan, kewajiban
divestasi saham bagi PMA, dan program hilirisasi paksa, dapat
dianalisis melalui lensa resource nationalism. Konsep ini, sebagaimana
dinyatakan dalam literatur:
“There
is an inherent tension between the state’s right to regulate in the public
interest and the protection of investors from arbitrary action.”[3]
(Terjemahan:
“Terdapat ketegangan yang melekat antara hak negara untuk mengatur demi
kepentingan publik dan perlindungan investor dari tindakan
sewenang-wenang.”)
Sehingga, bahkan dalam perspektif ini kita dibawa pada
pemahaman, adanya upaya negara untuk menegaskan kontrol untuk memaksimalkan
manfaat ekonomi dari sumber daya alam yang dimilikinya. Sehingga di satu sisi, langkah-langkah
ini dapat dipandang sebagai upaya sah negara berdaulat untuk mencapai amanat
konstitusional demi kemakmuran rakyat.
Namun, di sisi lain, penegasan kedaulatan yang
sering kali diimplementasikan melalui perubahan kebijakan yang mendadak dan
terkadang retroaktif ini berbenturan langsung dengan kebutuhan fundamental
investor akan stabilitas, prediktabilitas, dan kepastian hukum (legal
certainty). Kebutuhan akan stabilitas regulasi ini merupakan salah
satu pilar utama dalam hukum investasi internasional, yang dirancang untuk
melindungi investor dari tindakan sewenang-wenang negara tuan rumah tempat
investasi dilakukan. Ketegangan antara kedaulatan negara dan stabilitas
regulasi inilah yang menjadi inti dari banyak sengketa pertambangan di
Indonesia.
Komparasi Sistem Perizinan: Indonesia vs. Australia
Untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas, sistem
perizinan Indonesia dapat dibandingkan dengan model di negara kaya sumber daya
lain seperti Australia. Berbeda dengan
Indonesia, sistem di Australia memiliki pemisahan tegas antara izin
eksplorasi dan izin produksi. Selain itu, Australia mengakui native
title dan menyediakan mekanisme hukum formal yang disebut “Right
to Negotiate”, yang memberikan hak kepada masyarakat adat untuk
bernegosiasi sebelum izin produksi diberikan.
“The
removal of minerals and resources from the control of Indigenous peoples has
been supported by international law, provided governments maintain appropriate
consultative procedures with Indigenous communities before undertaking or
permitting any programs for the exploration or exploitation of resources on
Indigenous lands. In Australia, consultative rights with Indigenous communities
will only exist where native title rights or cultural heritage protection
operates. The alternative to public resource ownership is an allodial
framework, where private owners retain rights to subsurface resources and the
state has no overriding power to remove or diminish those rights.”[4]
(Terjemahan:
“Pengambilan mineral dan sumber daya dari kendali masyarakat adat telah
didukung oleh hukum internasional, asalkan pemerintah mempertahankan prosedur
konsultasi yang layak dengan komunitas adat sebelum melakukan atau mengizinkan
program eksplorasi atau eksploitasi sumber daya di tanah adat. Di Australia,
hak konsultatif dengan komunitas adat hanya akan ada jika hak adat (native
title) atau perlindungan warisan budaya berlaku. Alternatif dari
kepemilikan sumber daya oleh publik adalah kerangka kerja alodial, di mana
pemilik pribadi mempertahankan hak atas sumber daya di bawah permukaan tanah
dan negara tidak memiliki kekuasaan yang lebih tinggi untuk menghilangkan atau
mengurangi hak-hak tersebut.”)
Sehingga, terdapat beberapa perbedaan kunci dapat
diidentifikasi:
1)
Pemisahan
Tahapan Izin
Australia memiliki pemisahan yang sangat tegas antara exploration
permit (izin eksplorasi) dan mining lease (izin/sewa pertambangan).
Pemegang exploration permit yang berhasil menemukan cadangan komersial
dan memenuhi semua persyaratan memiliki hak prioritas yang dijamin oleh hukum
untuk mendapatkan mining lease atas wilayah tersebut. Sistem di
Indonesia juga mengenal pemisahan tahap eksplorasi dan operasi produksi, namun
proses peningkatan dari IUP Eksplorasi ke IUP Operasi Produksi sering kali
menjadi subjek evaluasi ulang yang ketat oleh pemerintah, yang dapat membuka
ruang untuk ketidakpastian;
2)
Hak Masyarakat
Adat
Sistem hukum Australia mengakui native title
dan menyediakan mekanisme hukum formal yang disebut “Right to Negotiate”.
Mekanisme ini memberikan hak kepada masyarakat adat pemegang native title
untuk bernegosiasi secara langsung dengan perusahaan tambang sebelum mining
lease dapat diberikan. Di Indonesia, meskipun UU Minerba Baru mewajibkan
perusahaan untuk memiliki program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat,
proses konsultasi dengan masyarakat adat sering kali tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat dan cenderung menjadi formalitas dalam kerangka penyusunan
AMDAL.
Social License to Operate (SLO) dalam Konteks Indonesia
Konsep Social License to Operate (SLO) atau
Izin Sosial untuk Beroperasi merujuk pada tingkat penerimaan dan persetujuan
yang berkelanjutan dari masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya
terhadap sebuah proyek pertambangan. SLO bukanlah izin formal yang dikeluarkan
pemerintah, melainkan sebuah aset tidak berwujud yang krusial untuk kelancaran
dan keberlanjutan operasi. Tanpa SLO, proyek dapat menghadapi penolakan,
protes, dan gangguan operasional yang merugikan.
“SLO
is an ongoing reaching of a community development agreement for ensuring that
local communities benefit from investment projects, and the company could
continue operation. To get the approval of a project, the company has to use
the 4Ps of SLO which refers to the set of actions, or tactics, that a company
uses to achieve community development. The 4Ps are participation, process,
partnership, and permanent change. Community development is the
process of increasing the strength and effectiveness of communities, for the
betterment people's quality of life and their participation in the
decision-making that will achieve greater long-term control over their lives.
It goes community viability. It essentially works towards creating local
benefits for people that beyond the lifetime of the mining operation. The
purpose of SLO is to encourage multi-stakeholder development-focused
partnerships. It makes explicit companies' commitment to actively support or
help develop such partnerships at global, national and community levels.
Helping to ensure that the companies' investments enhance social and economic
development locally and nationally is an important part of accomplishing this
purpose.”[5]
(Terjemahan:
SLO merupakan kesepakatan pengembangan masyarakat yang berkelanjutan untuk
memastikan bahwa masyarakat setempat mendapatkan manfaat dari proyek-proyek
investasi, sementara perusahaan dapat terus beroperasi. Untuk mendapatkan
persetujuan proyek, perusahaan perlu menggunakan 4P SLO, yaitu
serangkaian tindakan atau strategi yang digunakan perusahaan untuk mencapai
pengembangan masyarakat. Keempat P tersebut adalah partisipasi, proses,
kemitraan, dan perubahan permanen.
Tujuan
SLO adalah untuk mendorong kemitraan yang berfokus pada pembangunan dengan
melibatkan berbagai pihak. Ini merupakan komitmen nyata dari perusahaan untuk
secara aktif mendukung atau membantu mengembangkan kemitraan semacam itu di
tingkat global, nasional, maupun masyarakat.
Membantu
memastikan bahwa investasi perusahaan meningkatkan pembangunan sosial dan
ekonomi di tingkat lokal maupun nasional adalah bagian penting dari pencapaian
tujuan ini. Secara esensial, SLO bekerja untuk menciptakan manfaat lokal bagi
masyarakat yang bertahan melampaui masa hidup operasi pertambangan itu sendiri.)
Sedangkan, kebijakan sentralisasi perizinan di
Indonesia membawa risiko inheren terhadap pencapaian SLO. Ketika
keputusan-keputusan krusial mengenai penerbitan dan evaluasi izin dibuat di
Jakarta, jauh dari lokasi proyek, ruang untuk dialog yang bermakna dan partisipasi
otentik dari masyarakat setempat yang paling terdampak menjadi sangat terbatas.
Hal ini dapat memperlebar jurang antara perusahaan dan komunitas, membuat
pencapaian SLO menjadi lebih sulit dan meningkatkan potensi konflik sosial di
masa depan.
Terdapat sebuah paradoks dalam kebijakan pertambangan
Indonesia. Di satu sisi, pemerintah mengadopsi terminologi dan standar tata
kelola global, seperti kewajiban transparansi dan program Pengembangan dan
Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang diatur secara eksplisit dalam UU Minerba
Baru dan peraturan pelaksananya. Ini adalah bentuk adopsi formal dari
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan global.
Namun, di sisi lain, struktur pengambilan keputusan
yang sangat terpusat justru menghambat implementasi substantif dari
standar-standar tersebut. Kewenangan untuk menyetujui RKAB, yang di dalamnya
mencakup rencana dan anggaran PPM, sepenuhnya berada di tangan Menteri di
Jakarta.
Dinamika ini menciptakan situasi di mana perusahaan
mungkin lebih termotivasi untuk memenuhi persyaratan administratif di tingkat
pusat demi mendapatkan persetujuan RKAB, daripada membangun hubungan yang tulus
dan partisipatif dengan masyarakat di tingkat lokal untuk memperoleh SLO.
Akibatnya, program PPM berisiko menjadi sekadar
pemenuhan kewajiban formal (box-ticking exercise) dan bukan alat untuk
membangun kemitraan sejati. Ini
adalah kesenjangan yang signifikan antara retorika kebijakan dan realitas
implementasi, yang sebagian besar didorong oleh struktur kekuasaan yang
sentralistik.
Adagium Hukum dalam Konteks Perizinan Pertambangan
Presumptio Iustae Causa
Adagium ini menyatakan bahwa setiap keputusan pejabat
tata usaha negara (termasuk SK penerbitan atau pencabutan IUP) harus dianggap
sah menurut hukum (rechtmatig) sampai ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang menyatakan
sebaliknya. Asas ini memberikan dasar hukum bagi perusahaan untuk menjalankan
kegiatan berdasarkan izin yang dimilikinya dan bagi pemerintah untuk menegakkan
keputusannya. Pada saat yang sama, asas ini juga memberikan landasan bagi pihak
yang merasa dirugikan oleh keputusan tersebut untuk mengajukan gugatan ke PTUN
guna membatalkan “keabsahan sementara” itu.
Contrarius Actus
Prinsip ini menyatakan bahwa pejabat atau badan yang
berwenang menerbitkan suatu keputusan pada dasarnya juga merupakan pihak yang
berwenang untuk mencabut atau membatalkannya. Dalam konteks pasca-sentralisasi,
asas ini menegaskan bahwa kewenangan untuk mencabut IUP kini berada di tangan
Menteri (ESDM atau Investasi/BKPM) sebagai pejabat yang menerbitkannya, bukan
lagi di tangan Gubernur atau Bupati/Walikota. Hal ini memperkuat sentralisasi
kekuasaan dalam tata kelola pertambangan.
Pacta Sunt Servanda
Meskipun rezim IUP modern berada dalam ranah hukum
administrasi, adagium hukum perdata ini tetap sangat relevan, terutama dalam
konteks transisi dari KK dan PKP2B menjadi IUPK. Pemerintah berargumen bahwa
perubahan status ini adalah amanat undang-undang yang bersifat wajib. Di sisi
lain, perusahaan pemegang KK/PKP2B sering kali berargumen bahwa hak-hak mereka
yang tertuang dalam “kontrak” awal, yang sering kali lebih menguntungkan dan
stabil, harus tetap dihormati berdasarkan prinsip pacta sunt servanda.
Ketegangan antara kewajiban hukum publik (UU Minerba) dan hak-hak yang timbul
dari perjanjian perdata (KK/PKP2B) ini menjadi inti dari negosiasi perpanjangan
kontrak.
Salus Populi Suprema Lex Esto
Adagium ini, yang sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD
1945, menjadi justifikasi filosofis dan hukum tertinggi bagi tindakan negara
yang memprioritaskan kepentingan publik yang lebih luas di atas kepentingan
komersial individu atau korporasi. Dalam kasus PT EMM, Mahkamah Agung secara
implisit menerapkan prinsip ini ketika membatalkan IUP demi melindungi
kelestarian lingkungan dan keselamatan masyarakat. Adagium ini memberikan
landasan bagi hakim untuk “menerobos” keabsahan formal-prosedural sebuah izin
dan mengujinya berdasarkan dampak substantifnya terhadap kesejahteraan umum.
Rangkuman Peta Jalan Regulasi dan Dampaknya
Hukum pertambangan Indonesia telah melalui
transformasi dramatis dalam dua dekade terakhir. Pergeseran dari rezim kontrak
yang berorientasi pada stabilitas investasi ke rezim izin yang
terdesentralisasi, dan kini menuju rezim izin yang sangat tersentralisasi,
mencerminkan pencarian terus-menerus akan model tata kelola yang ideal.
Gelombang sentralisasi di bawah UU No. 3 Tahun 2020
dan UU Cipta Kerja, yang bertujuan untuk menciptakan efisiensi, standardisasi,
dan kepastian hukum, pada praktiknya telah melahirkan serangkaian tantangan
baru.
Bagi investor PMDN, risiko pencabutan izin secara
massal menjadi ancaman nyata, sementara bagi investor PMA, penegasan kedaulatan
negara melalui kewajiban hilirisasi dan supremasi hukum lingkungan menciptakan
kalkulasi risiko yang lebih kompleks.
Sintesis Titik Tegang Utama
Kami mengidentifikasi ada tiga titik ketegangan utama
yang akan terus mewarnai lanskap hukum pertambangan Indonesia di masa depan:
1.
Sentralisasi
vs. Otonomi Daerah
Pertarungan
antara efisiensi dan standardisasi yang ditawarkan oleh Pemerintah Pusat dengan
kebutuhan akan partisipasi, pengawasan lokal, dan keadilan prosedural bagi
pemerintah daerah dan masyarakat terdampak;
2.
Kepastian
Hukum vs. Kedaulatan Negara
Konflik
inheren antara kebutuhan investor akan stabilitas dan prediktabilitas regulasi
dengan hak negara untuk mengubah kebijakan (resource nationalism) demi
memaksimalkan manfaat bagi negara, seperti yang terlihat pada kebijakan
divestasi dan hilirisasi;
3.
Pembangunan
Ekonomi vs. Perlindungan Lingkungan
Dilema
klasik antara mendorong pertumbuhan ekonomi melalui industri ekstraktif dengan
kewajiban negara untuk melindungi kelestarian lingkungan dan keselamatan
publik. Putusan yudisial, seperti dalam kasus PT EMM, menunjukkan bahwa lembaga
peradilan semakin cenderung memprioritaskan perlindungan lingkungan sebagai
prasyarat fundamental.
Rekomendasi bagi Pemangku Kepentingan
Berdasarkan temuan yang telah dilakukan, beberapa
rekomendasi dapat dirumuskan bagi para pemangku kepentingan utama yaitu:
Bagi Pemerintah
-
Menciptakan
mekanisme evaluasi dan pencabutan izin yang lebih transparan, partisipatif, dan
akuntabel dengan kriteria yang jelas dan ruang yang memadai bagi perusahaan
untuk memberikan klarifikasi;
-
Memperkuat
koordinasi antar-kementerian (ESDM, Investasi/BKPM, Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Agraria dan Tata Ruang) untuk mencegah terbitnya izin yang cacat
hukum sejak awal;
-
Membangun
jembatan komunikasi yang efektif dengan pemerintah daerah untuk memastikan
aspirasi dan pengawasan lokal tetap terakomodasi dalam kerangka kebijakan yang
tersentralisasi.
Bagi Investor (PMDN & PMA)
-
Melakukan uji
tuntas (due diligence) yang jauh lebih mendalam dan komprehensif sebelum
berinvestasi. Uji tuntas tidak boleh lagi terbatas pada aspek teknis dan
finansial pertambangan, tetapi harus mencakup analisis mendalam terhadap
kepatuhan hukum lingkungan (validitas AMDAL), kesesuaian dengan RTRW yang
terbaru, status kawasan hutan, dan potensi konflik sosial dengan masyarakat
lokal dan adat;
-
Mengadopsi
pendekatan proaktif dalam membangun hubungan dengan masyarakat untuk memperoleh
Social License to Operate (SLO) yang otentik, bukan sekadar memenuhi
kewajiban formal program pemberdayaan masyarakat;
-
Memahami bahwa
kepastian hukum di Indonesia bersifat dinamis, dan risiko regulasi serta
pembatalan izin oleh pengadilan adalah bagian inheren dari iklim investasi yang
harus dimitigasi secara cermat.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.
[1] N. Schrijver, Sovereignty over
Natural Resources: Balancing Rights and Duties, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1997), 5.
[2] William A. Sullivan, Mining Law
and Regulatory Practice in Indonesia: A Primary Reference Source, (John
Wiley & Sons, 2013), 16-17.
[3] Ana Elizabeth Bastida, The Law and
Governance of Mining and Minerals: A Global Perspective, (Hart Publishing,
2020), 103.
[4] Samantha J. Hepburn, Mining and
Energy Law, 2nd ed., (Cambridge University Press, 2023), 10.
[5] Cesar Saenz, Creating Shared Value
to Get Social License to Operate in the Extractive Industry: A Framework for
Managing and Achieving the Social License to Operate (Bingley, UK: Emerald
Publishing Limited, 2021), 4–5.