Pengantar
Tulisan ini merupakan sebuah pembaruan sekaligus
analisis kritis yang dikembangkan dari artikel saya sebelumnya berjudul “Peran
Lembaga Peradilan Internasional Dalam Situasi Palestina“, yang
dipublikasikan pada 24 Juni 2022 di lawyerpontianak.com. Artikel tahun
2022 tersebut telah menguraikan dasar yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court/ICC) serta proses
pemeriksaan awal yang tengah berlangsung dalam konteks Palestina, dengan
menekankan kewenangan ICC berdasarkan Statuta
Roma dan kerangka historis mengenai status Palestina di PBB.
Namun, perkembangan hukum yang terjadi antara akhir
2023 hingga September 2025 telah mengubah secara mendasar lanskap hukum
internasional, sehingga uraian pada artikel tahun 2022 tidak lagi cukup untuk
menangkap urgensi dan signifikansi situasi terkini. Apabilaa artikel sebelumnya
lebih menekankan pertanyaan prosedural yaitu apakah lembaga peradilan
internasional berwenang untuk bertindak? maka, tulisan kali ini
berupaya menjawab pertanyaan substantify aitu bagaimana hukum
internasional kini ditegakkan secara aktif, dan apa konsekuensi radikal yang
ditimbulkannya?
Dalam hal ini, penting dicatat bahwa realitas hukum
internasional bukanlah sesuatu yang statis, melainkan sebuah medan
dinamis yang terus bergerak maju seiring perubahan geopolitik, perkembangan
teknologi, serta tuntutan moral kemanusiaan yang kian mendesak dari hari ke
hari.
Runtuhnya Tabir Impunitas, Lahirnya Era Akuntabilitas Hukum
Situasi di Palestina, yang sekian lama terperangkap dalam labirin diplomasi yang buntu dan diskursus politik yang terpolarisasi, telah secara dramatis memasuki babak baru yang didominasi oleh supremasi hukum. Periode antara tahun 2022 hingga September 2025 menandai sebuah pergeseran seismic yaitu dari perdebatan tak berujung mengenai yurisdiksi (jurisdiction) dan aplicabilitas (applicability) hukum internasional (sebagaimana menjadi fokus utama analisis hingga tahun 2022) menuju proses adjudikasi substantif (substantive adjudication) yang menghasilkan konsekuensi hukum yang konkret dan mengikat melalui serangkaian putusan pengadilan dan surat perintah penangkapan.
Transformasi ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil
dari strategi hukum multi-cabang yang terkoordinasi, di mana berbagai mekanisme
yudisial dimanfaatkan secara simultan untuk membangun sebuah benteng
akuntabilitas yang komprehensif. Tiga pilar utama yang menopang front hukum
baru ini adalah:
1.
Akuntabilitas
Pidana Individual di Mahkamah Pidana Internasional (ICC)
Proses
yang semula berada dalam tahap penyelidikan kini telah berakselerasi secara
signifikan, berpuncak pada penerbitan surat
perintah penangkapan pada November 2024 terhadap para pemimpin kunci dari
Israel dan Hamas. Ini adalah langkah yang mengubah narasi dari kejahatan
abstrak menjadi pertanggungjawaban pidana personal;
2.
Tanggung
Jawab Negara di Mahkamah Internasional (ICJ)
Melalui
dua jalur parallel (kasus sengketa yang diajukan oleh Afrika Selatan terhadap Israel
terkait Konvensi Genosida dan permintaan nasihat hukum (advisory
opinion) dari Majelis Umum PBB), ICJ
telah mengeluarkan putusan-putusan monumental. Putusan-putusan ini secara
fundamental mendefinisikan ulang status hukum pendudukan Israel sebagai ilegal
dan menetapkan kewajiban-kewajiban hukum yang tegas bagi Israel serta seluruh
komunitas internasional;
3.
Legitimasi
Politik-Yuridis di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Di
tengah kelumpuhan Dewan Keamanan yang ditandai oleh penggunaan
hak veto berulang kali, Majelis Umum PBB telah mengambil peran proaktif.
Majelis Umum tidak hanya bertindak sebagai forum politik, tetapi juga sebagai
katalisator proses hukum dengan secara resmi meminta advisory opinion
dari ICJ. Selain itu, melalui resolusi-resolusi penting, Majelis Umum telah
memperkuat status Palestina dalam sistem PBB dan secara politik mengesahkan temuan
hukum ICJ.
Dalam artikel ini kami akan berupaya mengurai secara
sistematis dan kritis peran serta perkembangan di masing-masing lembaga
tersebut, menelanjangi sinergi dan interaksi antar lembaga-lembaga tersebut,
yang secara kumulatif telah menciptakan sebuah kerangka akuntabilitas hukum
internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah panjang
konflik Israel-Palestina.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC): Dari Penyelidikan Menuju Penuntutan Individual
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) adalah pengadilan
pidana internasional permanen yang didirikan melalui The Rome Statute of
the International Criminal Court (selanjutnya disebut “Statuta Roma”),
sebuah traktat yang diadopsi pada tahun 1998 dan mulai berlaku pada tahun 2002.
Tujuannya adalah untuk mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan
internasional paling serius (the most serious crimes). Dalam konteks
Palestina, peran ICC telah berevolusi dari pemeriksaan awal menjadi penuntutan
aktif.
Landasan yurisdiksi ICC dalam situasi ini berpijak
pada putusan Kamar Pra-Peradilan I (Pre-Trial
Chamber I) pada 5 Februari 2021, yang mengonfirmasi bahwa
Mahkamah memiliki yurisdiksi teritorial (ratione loci) atas wilayah
Palestina yang diduduki, yaitu Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur) dan Jalur
Gaza. Keputusan ini didasarkan pada fakta bahwa Palestina telah menjadi Negara
Pihak Statuta Roma sejak 1 April 2015. Konsekuensi hukumnya sangat fundamental
yaitu ICC berwenang mengadili kejahatan-kejahatan yang diatur dalam
Statuta Roma yang dilakukan di wilayah Palestina, terlepas dari kewarganegaraan
pelaku.
Kewenangan materiel (ratione materiae) ICC
mencakup empat kejahatan inti sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma,
antara lain:
-
Kejahatan
Genosida (The Crime of Genocide)
(Pasal 6);
-
Kejahatan
terhadap Kemanusiaan (Crimes
Against Humanity) (Pasal 7);
-
Kejahatan
Perang (War Crimes) (Pasal 8);
-
Kejahatan
Agresi (The Crime of Aggression)
(Pasal 8 bis)
Peristiwa 7 Oktober 2023 menjadi katalisator bagi
percepatan investigasi oleh Kantor Kejaksaan Mahkamah Pidan Internasional (Office of the Prosecutor-OTP
ICC). Pada 20 Mei 2024, Jaksa
Karim Khan mengajukan permohonan surat perintah penangkapan, yang kemudian
diterbitkan oleh Kamar
Pra-Peradilan I pada 21 November 2024 terhadap para pemimpin senior Hamas
dan Israel. Langkah simetris ini menegaskan prinsip fundamental equality
before the law (kesetaraan di hadapan hukum), menerapkan standar hukum
tunggal terhadap dua set dugaan perilaku kriminal yang berbeda.
Dakwaan Jaksa
Terhadap Pemimpin Israel (Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant)
Para pemimpin Israel didakwa bertanggung jawab secara
pidana atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan
di Jalur Gaza setidaknya sejak 8 Oktober 2023. Dakwaan utamanya meliputi:
-
Kejahatan
Perang yaitu dengan Menggunakan Kelaparan terhadap Warga Sipil sebagai Metode
Perang. Dakwaan ini didasarkan pada Pasal
8(2)(b)(xxv) Statuta Roma, yang mendefinisikan kejahatan perang
sebagai:
“Intentionally
using starvation of civilians as a method of warfare by depriving them of
objects indispensable to their survival, including wilfully impeding relief
supplies as provided for under the Geneva Conventions.”
(Sengaja
menggunakan kelaparan terhadap penduduk sipil sebagai metode peperangan dengan
merampas benda-benda yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka,
termasuk dengan sengaja menghalangi pasokan bantuan sebagaimana diatur dalam
Konvensi-Konvensi Jenewa.)
Jaksa berargumen ini dilakukan melalui pengepungan
total terhadap Gaza. Pandangan hukum atas kejahatan ini mensyaratkan pembuktian
niat (mens rea) untuk menggunakan kelaparan sebagai cara mencapai tujuan
militer, bukan sekadar sebagai dampak insidental.
-
Kejahatan
terhadap Kemanusiaan (crime against humanity), termasuk pemusnahan (extermination),
pembunuhan (murder), dan penganiayaan (persecution), yang
merupakan bagian dari:
“a
widespread and systematic attack against the Palestinian civilian population
pursuant to State policy” (serangan
yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil Palestina sesuai dengan
kebijakan Negara).
Terhadap Pemimpin Hamas (Yahya Sinwar, Mohammed Deif, dan Ismail Haniyeh)
Para pemimpin Hamas didakwa bertanggung jawab secara
pidana atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan
di Israel dan Palestina setidaknya sejak 7 Oktober 2023. Dakwaan utamanya
meliputi:
-
Kejahatan
terhadap Kemanusiaan
Termasuk pemusnahan (extermination), pembunuhan
(murder), pemerkosaan dan tindakan kekerasan seksual lainnya (rape
and other acts of sexual violence), dan penyiksaan (torture);
-
Kejahatan
Perang
Termasuk penyanderaan (taking hostages) dan
perlakuan kejam (cruel treatment).
Jaksa menyatakan kejahatan-kejahatan ini adalah bagian
dari:
“a
widespread and systematic attack against the civilian population of Israel by
Hamas and other armed groups pursuant to organisational policies”
(serangan
yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil Israel oleh Hamas dan
kelompok bersenjata lainnya sesuai dengan kebijakan organisasi).
Tantangan Implementasi dan Implikasi Global
Penerbitan surat perintah penangkapan ini memicu
reaksi politik yang tajam. Amerika Serikat mengancam sanksi terhadap pejabat
ICC, sementara Israel mengesahkan undang-undang yang melarang kerja sama dengan
Mahkamah. Namun, lebih
dari 70 negara, termasuk sekutu Israel seperti Prancis dan Jerman,
menegaskan dukungan mereka terhadap independensi ICC. Secara hukum, 124 Negara
Pihak Statuta Roma memiliki kewajiban untuk menangkap dan menyerahkan individu
yang ditargetkan jika mereka memasuki yurisdiksi negara tersebut.
Mahkamah Internasional (ICJ): Menafsirkan Tanggung Jawab Negara
Berbeda dengan ICC, Mahkamah Internasional (ICJ) adalah organ yudisial utama PBB yang menyelesaikan sengketa antar negara. Dalam periode 2023-2025, ICJ menjadi arena sentral untuk adjudikasi tanggung jawab Negara Israel.
Kasus Genosida (Afrika Selatan v. Israel)
Pada 29 Desember 2023, Afrika Selatan mengajukan
gugatan terhadap Israel di ICJ, dengan tuduhan pelanggaran terhadap Convention
on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (1948)
(Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida 1948).
Analisis Perintah Tindakan Sementara (Provisional Measures)
ICJ telah mengeluarkan serangkaian perintah yang
bersifat mengikat secara hukum :
Mahkamah
menemukan adanya yurisdiksi prima facie dan bahwa hak-hak yang diklaim
Afrika Selatan bersifat “masuk akal” (plausible). Mahkamah memerintahkan
Israel untuk mengambil semua tindakan untuk mencegah tindakan genosida,
mencegah hasutan genosida, dan memungkinkan bantuan kemanusiaan;
Menanggapi
memburuknya situasi, ICJ memerintahkan Israel untuk:
“Immediately halt its military offensive, and any
other action in the Rafah Governorate, which may inflict on the Palestinian
group in Gaza conditions of life that could bring about its physical
destruction in whole or in part.”
(Segera menghentikan serangan militernya, dan tindakan lain apa pun di
Kegubernuran Rafah, yang dapat menimbulkan kondisi kehidupan bagi kelompok
Palestina di Gaza yang dapat menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan
atau sebagian.)
Advisory Opinion (19 Juli 2024): Putusan Bersejarah atas Status
Pendudukan
Atas permintaan Majelis Umum PBB , ICJ pada 19 Juli
2024 mengeluarkan Advisory Opinion yang monumental, menyatakan bahwa
pendudukan Israel itu sendiri telah menjadi ilegal.
Temuan Hukum Utama
1.
Pendudukan
Ilegal: Mahkamah menyimpulkan
kehadiran Israel ilegal karena melanggar hak rakyat Palestina untuk menentukan
nasib sendiri (self-determination) dan larangan akuisisi wilayah dengan
kekuatan, yang merupakan norma jus cogens;
2.
Pelanggaran
Hukum Lainnya: Mahkamah menemukan
kebijakan Israel melanggar Konvensi Jenewa Keempat terkait pembangunan
permukiman dan merupakan aneksasi de facto. Selain itu, Mahkamah
menyimpulkan adanya pelanggaran terhadap larangan segregasi rasial dan
apartheid.
Konsekuensi Hukum
-
Bagi Israel: Kewajiban untuk “bring to an end its unlawful
presence... as rapidly as possible” (mengakhiri kehadiran ilegalnya...
secepat mungkin) dan memberikan reparasi penuh (make full
reparation);
-
Bagi Semua
Negara Lain: Kewajiban untuk tidak
mengakui (obligation of non-recognition) dan tidak memberikan bantuan (obligation
of non-assistance) kepada situasi ilegal tersebut.
Kasus Keterlibatan (Nikaragua v. Jerman)
Pada 1 Maret 2024, Nikaragua menggugat Jerman di ICJ,
dengan tuduhan keterlibatan dalam pelanggaran Konvensi Genosida. Meskipun pada 30 April 2024 ICJ menolak
permintaan tindakan sementara, kasus ini tetap berlanjut. Kasus ini menguji
batas-batas tanggung jawab negara ketiga atas keterlibatan dalam kejahatan
internasional.
Kasus yang diajukan oleh Nikaragua terhadap Jerman
pada 1 Maret 2024 merupakan salah satu perkembangan hukum internasional yang
paling signifikan karena tidak menargetkan pelaku utama dalam konflik,
melainkan negara ketiga yang dituduh memberikan dukungan. Ini adalah sebuah
ujian fundamental terhadap prinsip-prinsip hukum internasional mengenai
keterlibatan dan kewajiban negara.
Mengapa Permintaan Tindakan Sementara Ditolak?
Pada 30 April 2024, ICJ memutuskan untuk tidak
mengabulkan permintaan Nikaragua untuk tindakan sementara (provisional
measures). Penting untuk dipahami bahwa penolakan ini bukanlah putusan
atas pokok perkara (merito), melainkan hanya keputusan pada tahap
awal yang bersifat mendesak.
Alasan utama penolakan tersebut didasarkan pada fakta
dan argumen yang disajikan oleh Jerman selama persidangan, yang berhasil
meyakinkan Mahkamah bahwa situasi pada saat itu tidak menciptakan “risiko
nyata dan mendesak atas kerugian yang tidak dapat diperbaiki” (real and
imminent risk of irreparable prejudice) yang memerlukan intervensi darurat
dari pengadilan.
Berikut adalah poin-poin kunci dari argumen Jerman
yang menjadi dasar keputusan ICJ:
-
Penurunan
Drastis Ekspor Militer
Jerman
menunjukkan bukti bahwa volume ekspor peralatan militer ke Israel telah menurun
secara signifikan sejak Oktober 2023;
-
Sifat
Peralatan yang Diekspor
Jerman
mengklarifikasi bahwa sebagian besar lisensi ekspor yang disetujui bukanlah
untuk “senjata perang” (war weapons) yang digunakan dalam pertempuran,
melainkan untuk “peralatan militer lainnya” atau item seperti amunisi latihan
dan komponen untuk tujuan uji coba;
-
Kerangka Hukum
Domestik yang Ketat
Jerman
berargumen bahwa mereka memiliki sistem hukum internal yang sangat ketat untuk
perizinan ekspor senjata. Setiap permohonan lisensi dievaluasi secara
individual melalui proses antar-kementerian untuk memastikan tidak ada risiko
nyata bahwa peralatan tersebut akan digunakan untuk melakukan pelanggaran
serius terhadap hukum humaniter internasional atau genosida;
-
Pendanaan
untuk UNRWA
Terkait
penghentian dana untuk UNRWA, Jerman menyatakan bahwa kontribusi tersebut
bersifat sukarela dan pada saat keputusan itu dibuat, tidak ada pembayaran baru
yang jatuh tempo. Selain itu, Jerman tetap menyalurkan bantuan kemanusiaan
dalam jumlah besar ke Palestina melalui organisasi lain seperti UNICEF dan
Program Pangan Dunia (WFP). Berdasarkan jaminan dan data faktual ini, Mahkamah
menyimpulkan bahwa “keadaan, sebagaimana yang tampak saat ini di hadapan
Mahkamah, tidak mengharuskan pelaksanaan wewenangnya... untuk menunjukkan
tindakan sementara”.
Kelanjutan Kasus dan Status Terkini
Penolakan tindakan sementara sama sekali tidak
mengakhiri kasus ini. Justru sebaliknya, Mahkamah secara eksplisit menolak
permintaan Jerman untuk menghapus kasus ini dari daftar perkaranya, dengan
menyatakan bahwa “tidak ada kekurangan yurisdiksi yang nyata” (no
manifest lack of jurisdiction).
Artinya, kasus ini berlanjut ke tahap berikutnya,
yaitu tahap merito, di mana argumen hukum dan bukti akan diperiksa
secara mendalam. Status terkini per Juli 2024 adalah Mahkamah telah menetapkan
batas waktu bagi kedua negara untuk menyerahkan dokumen pembelaan tertulis
mereka: Memorial dari Nikaragua dan Counter-Memorial dari Jerman.
Proses ini akan memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun sebelum
putusan akhir dijatuhkan.
Makna “Menguji Batas-Batas Tanggung Jawab Negara Ketiga”
Inilah inti dari signifikansi historis kasus ini.
Gugatan Nikaragua memaksa hukum internasional untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan fundamental yang sebelumnya lebih banyak berada di ranah
teori:
1)
Apa itu
Keterlibatan (Complicity) dalam Genosida?
Konvensi
Genosida 1948 dalam Pasal III(e) secara eksplisit menyatakan bahwa “keterlibatan
dalam genosida” (complicity in genocide) adalah tindakan yang dapat
dihukum. Namun, standar untuk membuktikan keterlibatan sebuah negara sangat
tinggi. Berdasarkan kasus Bosnia v. Serbia, harus dibuktikan bahwa
negara pembantu (dalam hal ini Jerman) mengetahui bahwa genosida sedang
atau akan terjadi, dan bantuan yang diberikannya secara signifikan
memfasilitasi atau memungkinkan terjadinya kejahatan tersebut. Kasus ini
akan menguji bagaimana standar tersebut diterapkan pada bantuan militer dan
keuangan;
2)
Kapan
Kewajiban untuk Mencegah (Duty to Prevent) Dimulai?
Pasal
I Konvensi Genosida mewajibkan semua negara pihak untuk “mencegah” genosida.
Kewajiban ini muncul “pada saat suatu Negara mengetahui, atau seharusnya
mengetahui, adanya risiko serius bahwa genosida akan dilakukan”. Nikaragua
berargumen bahwa putusan sela ICJ dalam kasus Afrika Selatan v. Israel
yang menyatakan adanya “risiko genosida yang masuk akal” sudah cukup untuk
memicu kewajiban Jerman untuk bertindak, termasuk dengan menghentikan bantuan
militer.
3)
Prinsip “Pihak
Ketiga yang Tak Terpisahkan” (Indispensable Third Party)
Jerman
mengajukan argumen prosedural yang kuat berdasarkan doktrin Monetary Gold.
Mereka berpendapat bahwa ICJ tidak dapat memutuskan tanggung jawab Jerman tanpa
terlebih dahulu memutuskan secara hukum bahwa Israel telah melakukan
pelanggaran. Karena Israel bukan pihak dalam kasus ini, Jerman berargumen bahwa
Mahkamah tidak memiliki yurisdiksi. Putusan akhir dalam kasus ini akan
memberikan klarifikasi penting mengenai penerapan doktrin ini dalam kasus-kasus
yang menyangkut kewajiban erga omnes (kewajiban terhadap seluruh
komunitas internasional). Singkatnya, kasus Nikaragua v. Jerman adalah
sebuah terobosan hukum. Jika Nikaragua berhasil, ini akan menciptakan preseden
yang sangat kuat bahwa negara-negara tidak dapat lagi memberikan dukungan
militer, finansial, atau politik tanpa batas kepada sekutu mereka yang dituduh
melakukan kejahatan internasional. Putusan akhirnya, apa pun itu, akan
membentuk ulang lanskap hukum internasional mengenai akuntabilitas dan tanggung
jawab negara dewasa ini.
Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Dinamika Hukum Terkini
Dewan Keamanan dan Dilema Veto
Sepanjang akhir 2023 dan 2024, Dewan Keamanan PBB
berulang kali gagal mengadopsi resolusi gencatan senjata karena veto Amerika
Serikat. Kegagalan ini menyoroti konsep “keadilan pemenang” (victor's
justice), di mana hukum internasional tampak tidak berdaya ketika
berhadapan dengan kepentingan politik negara kuat.
Terobosan terjadi pada 25 Maret 2024, dengan adopsi Resolusi
2728. Resolusi ini lolos setelah AS abstain. Teks resolusi tersebut
secara eksplisit:
“Demands
an immediate ceasefire for the month of Ramadan respected by all parties
leading to a lasting sustainable ceasefire, and also demands the immediate and
unconditional release of all hostages...”
(Menuntut
gencatan senjata segera selama bulan Ramadan yang dihormati oleh semua pihak
yang mengarah pada gencatan senjata berkelanjutan yang langgeng, dan juga
menuntut pembebasan segera dan tanpa syarat semua sandera...)
Berdasarkan Pasal 25 Piagam PBB,
resolusi Dewan Keamanan bersifat mengikat secara hukum bagi semua negara
anggota PBB.
Langkah Majelis Umum: Mengisi Kekosongan Hukum dan Politik
Di tengah kebuntuan Dewan Keamanan, Majelis Umum PBB
(UNGA) secara strategis menggunakan kewenangannya:
-
Resolusi ES-10/23 (10 Mei 2024)
Sebagai tanggapan terhadap veto AS, Majelis Umum
mengadopsi resolusi ini dengan mayoritas telak. Resolusi ini:
1.
Menentukan bahwa:
“the State of Palestine is qualified for membership in the United Nations in
accordance with Article 4 of the Charter” (Negara Palestina memenuhi syarat
untuk keanggotaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan Pasal 4 Piagam);
2.
Merekomendasikan
agar Dewan Keamanan “reconsider the matter favourably” (mempertimbangkan
kembali masalah ini secara positif);
3.
Memberikan
Palestina hak dan keistimewaan tambahan yang signifikan dalam partisipasinya di
Majelis Umum.
-
Resolusi ES-10/24 (18 September 2024):
Resolusi ini merupakan tindak lanjut politik dari Advisory Opinion ICJ.
Dengan 124 suara mendukung, Majelis Umum menuntut agar Israel mengakhiri
kehadiran ilegalnya selambat-lambatnya dalam waktu 12 bulan.
Refleksi Yuridis - Sinergi dan Interaksi Antar Lembaga Peradilan
Tindakan ICJ dan ICC bukanlah peristiwa yang
terisolasi, melainkan bagian dari sebuah ekosistem akuntabilitas yang saling
menguatkan. Temuan ICJ bahwa ada risiko genosida yang “masuk akal” (plausible)
memberikan landasan kontekstual yang kuat bagi Jaksa ICC. Sebaliknya, tindakan
ICC melengkapi putusan ICJ dengan memberikan wajah manusia pada tanggung jawab
negara yang abstrak. Prinsip-prinsip hukum klasik menemukan relevansi yang
tajam dalam konteks saat ini:
-
Fiat
justitia ruat caelum (Hendaklah
keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh): Adagium ini merangkum
esensi dari tindakan ICJ dan ICC. Di hadapan tekanan politik yang luar biasa,
mereka telah memilih untuk menegakkan hukum, menolak gagasan bahwa konflik
tertentu berada “di luar hukum”;
-
Ubi jus ibi
remedium (Di mana ada hak, di
sana ada pemulihan/obat): Prinsip ini menjadi inti dari konsekuensi hukum
yang digariskan oleh ICJ. Mahkamah tidak hanya menyatakan adanya pelanggaran
hak, tetapi juga secara eksplisit menguraikan pemulihannya (remedy):
penghentian pendudukan ilegal dan pemberian reparasi penuh;
-
Nullum
crimen sine lege (Tidak ada
kejahatan tanpa hukum)
Prinsip
legalitas ini sangat penting dalam konteks penuntutan ICC. Mahkamah tidak
menciptakan hukum baru, melainkan menerapkan hukum yang telah ada dan
dikodifikasikan dalam Statuta Roma, yang telah diratifikasi oleh Palestina.
Kesenjangan Penegakan: Antara De Jure dan De Facto
Tantangan terbesar adalah kesenjangan antara kejelasan
hukum (de jure) dan implementasi di lapangan (de facto). Di
sinilah konsep “Keadilan Pemenang” (Victor's Justice) menjadi
sangat relevan. Konsep ini merujuk pada penerapan hukum yang selektif, di mana
pihak yang kuat dan sekutunya tampak kebal dari standar hukum yang sama. Hak
veto di Dewan Keamanan tetap menjadi penghalang institusional utama yang
mencegah terjemahan putusan hukum menjadi tindakan internasional yang koersif.
Periode 2022 hingga 2025 akan dikenang sebagai titik
balik monumental dalam sejarah hukum internasional terkait situasi di
Palestina. Sistem peradilan internasional telah menunjukkan kapasitasnya untuk
bertindak secara tegas, menggeser perdebatan dari pertanyaan prosedural menjadi
pernyataan normatif yang jelas tentang apa yang harus dilakukan oleh negara dan
individu berdasarkan hukum.
ICJ telah mendeklarasikan pendudukan Israel sebagai
ilegal dan memerintahkan perlindungan bagi warga sipil di Gaza. ICC telah
menerobos tabir impunitas dengan menargetkan para pemimpin kunci dari kedua
belah pihak. Kerangka hukum untuk akuntabilitas telah dibangun dengan kokoh.
Namun, kemenangan hukum ini menghadapi tantangan terbesarnya di arena politik global. Implementasinya terhalang oleh realitas kekuasaan, aliansi strategis, dan kelumpuhan institusional. Pada akhirnya, perkembangan hukum ini telah menempatkan komunitas internasional di persimpangan jalan. Pilihan yang ada bukan lagi tentang ambiguitas hukum, melainkan tentang kemauan politik.
Apakah negara-negara di dunia akan
menegakkan tatanan berbasis aturan yang mereka ciptakan, atau akankah mereka
membiarkan putusan-putusan dari badan peradilan tertinggi di dunia diabaikan?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya akan menentukan masa depan keadilan
bagi Palestina, tetapi juga akan mendefinisikan relevansi dan kredibilitas
hukum internasional di abad ke-21.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.