Sebagai Penasihat Hukum yang pernah terlibat langsung dalam persidangan,
saya, Eka Kurnia Chrislianto, merasa terpanggil untuk menyajikan kembali
sebuah cerita akan kasus yang pernah saya tangani di masa lampau. Ini
bukanlah upaya untuk membuka kembali luka lama, melainkan sebuah panggilan
nurani untuk melakukan refleksi mendalam terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Mempawah Nomor 168/Pid.B/2023/PN Mpw, yang dibacakan pada tanggal 25 Juli 2023.
Ada sebuah adagium Latin kuno dari Cicero yang berbunyi, summum ius summa iniuria, keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang terbesar (Cicero, Marcus Tullius,
De Officiis, 44 SM). Adagium ini terus menggema setiap kali saya merenungkan bagaimana
pertimbangan hakim yang keliru atau penerapan hukum yang terlalu kaku dapat
membawa dampak fundamental bagi kehidupan warga negara.
Tujuan saya menulis ini adalah sebagai refleksi diri. Palu hakim, sekali
diketuk, bukan hanya menentukan nasib mereka yang duduk di kursi pesakitan,
tetapi juga mengukir preseden dan membentuk persepsi masyarakat tentang
makna keadilan itu sendiri. Perkara yang bermula dari sengketa sederhana
antar-tetangga ini bereskalasi menjadi sebuah kasus pidana penganiayaan atau
pengeroyokan yang kompleks, di mana batas antara pelaku utama, pihak yang
membantu, dan orang yang berniat melerai menjadi sangat kabur dalam
pertimbangan akhir.
Tulisan ini adalah upaya objektif untuk menelusuri kembali jejak penalaran
hukum dalam putusan tersebut, sebagai
pengingat betapa dahsyatnya kekuatan sebuah vonis dan betapa krusialnya
kebijaksanaan di balik palu sang pengadil.
Duduk Perkara: Rekonstruksi Fakta dan Posisi Yuridis
Analisis mendalam terhadap suatu putusan pengadilan menuntut pemahaman yang
utuh atas konteks faktual dan yuridis yang melingkupinya.
Putusan Pengadilan Negeri Mempawah Nomor 168/Pid.B/2023/PN Mpw merupakan
sebuah studi kasus yang kompleks,
di mana perbuatan pidana yang tampak sederhana pada dasarnya menyimpan
kerumitan dalam pembuktian niat dan peran masing-masing pelaku. Bagian ini akan merekonstruksi duduk perkara secara sistematis untuk
membangun fondasi bagi analisis yuridis yang lebih tajam.
Kronologi Perkara: Dari Sengketa Talang Air ke Meja Hijau
Peristiwa yang menjadi inti perkara ini bukanlah sebuah tindak kekerasan
yang muncul secara tiba-tiba tanpa sebab. Berdasarkan rangkuman fakta hukum
dalam putusan, insiden ini berakar dari sengketa antar-tetangga yang terjadi
pada pagi hari tanggal 14 Februari 2023. Terdakwa I, Gemilang Caniago,
mempersoalkan talang air milik seorang tetangga bernama Renza yang
menyebabkan genangan air di rumahnya.
Permasalahan ini kemudian melibatkan korban, Firdiansyah, yang berujung
pada pertengkaran mulut antara Terdakwa I dan korban. Keterangan
saksi-saksi, termasuk Ketua RT setempat, mengonfirmasi adanya ketegangan
yang telah terjadi pada pagi hari, di mana korban diduga sempat mengeluarkan
kata-kata kasar dan menantang Terdakwa I.
Eskalasi terjadi pada sore hari sekitar pukul 18.30 WIB, ketika Terdakwa I
mendatangi kediaman korban bersama tiga terdakwa lainnya, yang merupakan
anggota keluarganya (paman dan sepupu). Kedatangan bersama inilah yang
kemudian menjadi titik sentral dalam konstruksi dakwaan “turut serta”.
Pertemuan tersebut dengan cepat berubah menjadi konfrontasi fisik yang
mengakibatkan korban mengalami sejumlah luka. Dengan demikian, tindak pidana
penganiayaan yang terjadi pada sore hari tidak dapat dipisahkan dari konteks
perselisihan yang telah ada sebelumnya.
Rangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa tindakan Terdakwa I, setidaknya,
bukanlah perbuatan impulsif sesaat, melainkan puncak dari akumulasi emosi
yang terbangun sepanjang hari.
Konstruksi Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Untuk menjerat para terdakwa, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyusun surat
dakwaan dalam bentuk alternatif. Struktur ini mencerminkan strategi
penuntutan yang mengantisipasi berbagai kemungkinan interpretasi fakta di
persidangan. Dakwaan yang diajukan adalah sebagai berikut:
1.
Dakwaan Pertama:
Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang
mengatur tentang tindak pidana “dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan
terhadap orang atau barang”. Fokus pasal ini adalah pada aspek kekerasan kolektif di ruang
publik;
2.
Dakwaan Kedua:
Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP, yang merupakan kualifikasi lebih lanjut
dari dakwaan pertama,
yakni kekerasan bersama yang mengakibatkan luka-luka;
3.
Dakwaan Ketiga:
Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan, juncto Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP tentang penyertaan (deelneming), khususnya dalam bentuk
“turut serta melakukan” (medepleger).
Pilihan JPU untuk menggunakan dakwaan alternatif menunjukkan adanya
pertimbangan strategis. Pasal 170 KUHP lebih menekankan pada aspek “tenaga bersama” dan sifat “terang-terangan”, sementara Pasal 351 jo. Pasal
55 KUHP lebih berfokus pada delik penganiayaan itu sendiri dan pembuktian
adanya kerja sama yang disadari di antara para pelaku untuk mewujudkan delik
tersebut (Chazawi, Adami,
Pelajaran Hukum Pidana 3: Percobaan & Penyertaan, RajaGrafindo
Persada, 2021).
Majelis Hakim, dalam pertimbangannya, secara langsung memilih untuk
membuktikan dakwaan alternatif ketiga. Keputusan ini mengarahkan fokus
pemeriksaan dari sekadar kekerasan bersama menjadi pembuktian delik
penganiayaan yang dilakukan dengan kesepakatan batin dan pembagian peran di
antara para terdakwa.
Peta Keterangan di Persidangan: Analisis Kontradiksi dan Konvergensi
Persidangan mengungkapkan dua narasi yang saling bertentangan secara
diametral mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Perbedaan versi ini menjadi
tantangan utama bagi hakim dalam menemukan kebenaran materiil.
-
Narasi Versi Korban dan Saksi Memberatkan:
Korban Firdiansyah memberikan keterangan bahwa ia diserang secara
terkoordinasi. Ia mengklaim bahwa Terdakwa I memukulnya sementara dua
terdakwa lain memegangi tangan kanan dan kirinya, dan satu terdakwa lain
mencekik lehernya dari belakang. Akibatnya, ia tidak dapat melakukan
perlawanan. Keterangan ini didukung oleh Saksi Maman, yang berada di lokasi
kejadian. Saksi Maman secara spesifik menyebut Terdakwa II dan III memegangi
tangan korban, sementara Terdakwa IV “memiting” leher korban, yang
memungkinkan Terdakwa I untuk leluasa melancarkan pukulan. Narasi ini
menggambarkan sebuah skenario penyerangan yang terencana dan melibatkan
pembagian peran yang jelas;
-
Narasi Versi Para Terdakwa:
Keempat terdakwa menyajikan narasi tandingan yang seragam. Mereka mengklaim
bahwa Terdakwa II, III, dan IV tidak berniat ikut menganiaya, melainkan
berusaha melerai perkelahian antara Terdakwa I dan korban. Terdakwa I
mengakui memukul, namun mengklaim tindakan itu bersifat spontan sebagai
respons karena didorong terlebih dahulu oleh korban. Terdakwa IV menyatakan
bahwa tindakannya “memeluk dari belakang” adalah upaya untuk memisahkan
korban dari Terdakwa I. Terdakwa II dan III juga mengklaim tindakan mereka
memegang para pihak yang berkelahi adalah bagian dari upaya de-eskalasi.
Kontradiksi tajam antara kedua narasi ini menempatkan Majelis Hakim pada
posisi untuk melakukan pembobotan alat bukti secara cermat. Hakim pada
akhirnya menyimpulkan bahwa perbuatan para terdakwa merupakan satu rangkaian
penganiayaan bersama. Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa hakim lebih
meyakini keterangan korban dan Saksi Maman.
Namun, putusan tersebut tidak secara eksplisit menguraikan alasan mengapa
narasi “melerai” yang disampaikan secara konsisten oleh keempat terdakwa
dianggap tidak kredibel.
Ketiadaan justifikasi atas pembobotan alat bukti ini merupakan sebuah
celah dalam pertimbangan hukum hakim, yang berpotensi melemahkan
transparansi dan daya persuasi dari putusan itu sendiri, serta menyentuh
aspek kepastian hukum dalam penerapan hukum pembuktian
(Radbruch, Gustav, Legal Philosophy, Harvard University Press, 1950).
Kekuatan Pembuktian Visum et Repertum
Di tengah pertentangan keterangan saksi, alat bukti surat berupa
Visum et Repertum Nomor VER/109/II/2023 menjadi jangkar objektivitas
dalam perkara ini. Hasil visum secara sahih dan meyakinkan membuktikan
beberapa fakta hukum krusial:
1.
Terjadinya Kekerasan Fisik:
Visum mengonfirmasi adanya “luka memar pada dahi, mata, pipi,” “luka lecet
tekan,” dan “resapan darah pada mata akibat rudapaksa tumpul.”;
2.
Akibat dari Kekerasan:
Visum menyimpulkan bahwa luka-luka tersebut menghalangi kegiatan korban
selama beberapa hari.
Dengan demikian, visum ini secara efektif membuktikan terpenuhinya unsur
“penganiayaan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 KUHP, yaitu perbuatan
yang sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka. Namun,
visum memiliki keterbatasan fundamental: ia hanya dapat membuktikan
akibat (luka), bukan perbuatan spesifik dari masing-masing
pelaku. Alat bukti ini tidak dapat mengidentifikasi siapa yang memukul, siapa
yang menendang, atau siapa yang memegang. Oleh karena itu, untuk menentukan
pertanggungjawaban pidana masing-masing terdakwa, hakim tetap harus
bersandar pada interpretasi dan pembobotan keterangan saksi-saksi dan
terdakwa.
Bedah Yuridis: Konsep “Turut Serta” dalam Tindak Pidana Penganiayaan
Setelah fakta-fakta hukum terungkap di persidangan, tantangan yuridis utama
bagi Majelis Hakim adalah menerapkan doktrin hukum pidana yang relevan
secara tepat. Pilihan hakim untuk membuktikan dakwaan
Pasal 351 ayat (1) jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menempatkan konsep penyertaan
(deelneming), khususnya kualifikasi “turut serta melakukan”
(medepleger), sebagai episentrum analisis hukum.
Unsur-Unsur Penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dalam Konteks Kasus
Delik penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, menurut yurisprudensi dan doktrin, memiliki unsur esensial berupa
kesengajaan (opzet) untuk menimbulkan perasaan tidak enak
(penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka pada tubuh orang lain (Marpaung, Leden,
Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh (Pemberantasan Dan
Prevensinya), Sinar Grafika, 2015). Dalam kasus ini, terpenuhinya unsur ini relatif tidak terbantahkan.
Perbuatan Terdakwa I yang secara eksplisit diakuinya (yaitu meninju dan
menendang korban), merupakan manifestasi nyata dari kesengajaan untuk
menimbulkan rasa sakit dan luka. Hasil Visum et Repertum yang
mengonfirmasi adanya berbagai luka akibat kekerasan benda tumpul menjadi
bukti pamungkas yang menguatkan bahwa delik penganiayaan memang telah
terjadi. Oleh karena itu, perdebatan hukum dalam perkara ini tidak lagi
berpusat pada pertanyaan apakah terjadi penganiayaan, melainkan bergeser ke pertanyaan yang lebih kompleks yaitu
siapa saja yang harus bertanggung jawab secara pidana atas
penganiayaan tersebut?
Doktrin Penyertaan (Deelneming): Membedah Kualifikasi Medepleger (Pelaku Turut Serta)
Pasal 55 KUHP
memperluas lingkup pertanggungjawaban pidana kepada pihak-pihak selain
pelaku materiil (pleger) (Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, 2008, hlm. 165). Kualifikasi “turut serta melakukan” (medepleger) adalah salah
satu bentuk penyertaan yang paling intens, yang menempatkan pesertanya
setara dengan pelaku utama. Doktrin hukum pidana telah menggariskan dua
syarat kumulatif yang harus dipenuhi untuk mengkualifikasikan seseorang
sebagai medepleger (Lamintang, P.A.F., dan Franciscus Theojunior Lamintang,
Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, 2022):
1.
Adanya Kerja Sama yang Disadari (Bewuste Samenwerking)
Harus terdapat kesepakatan atau pemahaman bersama di antara para pelaku
untuk melakukan suatu tindak pidana. Kesepakatan ini tidak harus bersifat
formal atau direncanakan jauh-jauh hari; ia bisa saja timbul secara spontan
di lokasi kejadian. Namun, yang esensial adalah adanya hubungan batin atau
meeting of minds antar pelaku yang mengarah pada tujuan delik yang
sama (Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, 2008).
2.
Adanya Pelaksanaan Bersama (Gezamenlijke Uitvoering)
Setiap peserta harus memberikan kontribusi yang signifikan dalam
pelaksanaan delik itu sendiri. Peran mereka harus merupakan bagian dari
perbuatan pelaksanaan, bukan sekadar perbuatan persiapan atau perbuatan yang
hanya mempermudah terjadinya delik (Prodjodikoro, Wirjono,
Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, 2003).
Penting untuk membedakan secara tegas antara medepleger (turut
serta) dengan medeplichtige (pembantuan), yang diatur dalam
Pasal 56 KUHP. Seorang pembantu (medeplichtige) hanya memfasilitasi atau
mempermudah terjadinya kejahatan, namun tidak ikut serta dalam inti
perbuatan pelaksanaan. Niat seorang pembantu adalah untuk “membantu” pelaku
utama, bukan untuk “bersama-sama mewujudkan” delik sebagai tujuan
sendiri. Perbedaan ini krusial karena berimplikasi langsung pada beratnya
pertanggungjawaban pidana, di mana pidana untuk pembantuan pada umumnya
lebih ringan daripada pelaku utama atau pelaku turut serta.
Analisis Kritis Peran Individual Para Terdakwa: Kerjasama Sadar atau Kehadiran Pasif?
Penerapan doktrin deelneming oleh Majelis Hakim yang
mengkualifikasikan keempat terdakwa sebagai medepleger memerlukan
analisis kritis terhadap peran individual masing-masing. Dengan menggunakan
kerangka doktrin di atas, kontribusi setiap terdakwa dapat dipetakan sebagai
berikut:
Bahwa Putusan hakim yang menyeragamkan kualifikasi keempat terdakwa sebagai
pelaku turut serta (medepleger) berpotensi menjadi sebuah
penyederhanaan berlebihan (oversimplification) terhadap doktrin
deelneming (Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana
Prenada Media Group, 2008). Hakim tampaknya mengasumsikan bahwa setiap bentuk kontak fisik dengan
korban dalam konteks perkelahian tersebut secara otomatis memenuhi syarat
“pelaksanaan bersama”. Pendekatan ini kurang cermat dalam membuktikan unsur
esensial kedua, yaitu “kerja sama yang disadari” untuk setiap individu
terdakwa.
Secara khusus, pertimbangan hakim terhadap Terdakwa IV sangat problematik.
Hakim menyatakan,
“...terus memeluk Saksi Firdiansyah sehingga membuat Terdakwa I... sempat
beberapa kali memukul dan menendang Saksi Firdiansyah”.
Penalaran ini berfokus pada efek perbuatan Terdakwa IV, bukan pada
niat atau sikap batinnya. Ini adalah sebuah lompatan logika yang
mengabaikan kemungkinan bahwa sebuah perbuatan dengan niat baik (melerai)
dapat secara tidak sengaja menghasilkan akibat yang buruk. Jika pendekatan
ini dijadikan preseden, maka setiap orang yang mencoba melerai perkelahian
dan gagal (bahkan jika intervensinya secara tidak sengaja menguntungkan
salah satu pihak), berisiko dikriminalisasi sebagai pelaku turut serta. Hal
ini secara fundamental mengaburkan batas antara medepleger dan
medeplichtige, yang memiliki konsekuensi pidana yang berbeda, dan
pada akhirnya merusak kepastian hukum dalam penerapan
Pasal 55 KUHP.
Analisis Radikal Terhadap Ratio Decidendi Majelis Hakim
Ratio decidendi, atau pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan, adalah jantung dari
setiap vonis pengadilan. Di sinilah hakim mengartikulasikan alur
penalarannya dalam menerapkan hukum pada fakta. Analisis yang radikal (dalam
arti mendasar dan sampai ke akar), terhadap ratio decidendi Putusan
Nomor 168/Pid.B/2023/PN Mpw mengungkap adanya potensi kerancuan logika dan
penerapan prinsip pemidanaan yang kurang proporsional.
Alur Penalaran Hakim dalam Memenuhi Unsur Pasal 351 jo. Pasal 55 KUHP
Majelis Hakim membangun argumentasinya secara bertahap. Pertama, hakim
menetapkan bahwa unsur “penganiayaan” dalam Pasal 351 KUHP telah
terpenuhi. Hal ini didasarkan pada kesesuaian antara keterangan saksi-saksi
dan terdakwa yang mengakui adanya kekerasan fisik dengan bukti objektif
berupa Visum et Repertum yang merinci luka-luka korban. Tahap ini
dalam penalaran hakim cukup kuat dan berdasar.
Tantangan muncul pada tahap kedua, yaitu pembuktian unsur “turut serta
melakukan” dari Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hakim menguraikan peran masing-masing terdakwa: Terdakwa I memukul dan
menendang; Terdakwa II mendorong dada; Terdakwa III menarik tangan; dan
Terdakwa IV terus memeluk korban dari belakang. Dari rangkaian perbuatan
ini, hakim kemudian menarik kesimpulan akhir yang menjadi kunci dari
ratio decidendi-nya:
“...seluruh rangkaian perbuatan Para Terdakwa tersebut adalah perbuatan
yang disadari oleh Para Terdakwa dengan maksud untuk menimbulkan akibat yang
sama yakni rasa sakit pada Saksi Firdiansyah”.
Kesimpulan inilah yang menjadi titik kritis. Hakim menyimpulkan adanya “maksud yang sama” (common intent) hanya dari observasi terhadap “rangkaian
perbuatan” fisik, tanpa menguraikan bukti spesifik yang menunjukkan adanya
kesepakatan batin atau kerja sama yang disadari di antara Terdakwa II, III,
dan IV dengan Terdakwa I.
Identifikasi Potensi Kerancuan Logika: Argumentum ad Consequentiam dan Generalisasi yang Tergesa-gesa
Penalaran hakim dalam menyimpulkan adanya niat bersama tersebut rentan
terhadap dua jenis kesesatan berpikir (logical fallacy) (Prakoso,
Abintoro, Hukum, Filsafat Logika dan Argumentasi Hukum, Laksbang
Justitia, 2015).
-
Kerancuan 1: Argumentum ad Consequentiam (Argumen berdasarkan
Akibat)
Penalaran hakim, khususnya terhadap Terdakwa IV, menunjukkan ciri-ciri
argumentum ad consequentiam. Logikanya berjalan sebagai berikut yaitu
karena tindakan Terdakwa IV (memeluk) ber-akibat pada imobilisasi
korban, yang kemudian mempermudah pemukulan oleh Terdakwa I, maka
niat dari tindakan memeluk itu pastilah untuk membantu penganiayaan.
Ini adalah penalaran yang keliru karena menyamakan akibat sebuah perbuatan
dengan niat pelakunya (Huda, Chairul,
Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, 2006). Dalam hukum pidana,
pembuktian kesengajaan (mens rea) tidak dapat digantikan hanya
dengan pembuktian hubungan sebab-akibat (actus reus). Niat harus dibuktikan secara tersendiri, terlepas dari apa pun akibat
yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Hakim gagal mempertimbangkan
hipotesis alternatif yang masuk akal, yaitu bahwa
Terdakwa IV berniat melerai namun caranya yang keliru justru menghasilkan
akibat yang tidak diinginkan;
-
Kerancuan 2: Generalisasi yang Tergesa-gesa (Hasty Generalization)
Hakim tampaknya melakukan generalisasi niat jahat Terdakwa I kepada tiga
terdakwa lainnya. Asumsi yang mendasarinya adalah karena mereka datang
bersama dan memiliki hubungan keluarga, maka mereka pasti memiliki tujuan
kriminal yang sama. Ini adalah sebuah generalisasi yang tergesa-gesa.
Putusan ini tidak menyajikan bukti (baik langsung maupun tidak langsung)
yang menunjukkan adanya percakapan, isyarat, atau tindakan lain sebelum atau
selama kejadian yang membuktikan adanya kesepakatan untuk bersama-sama
menganiaya korban. Hakim menyimpulkan adanya “niat bersama” dari “serangkaian tindakan” secara kolektif, padahal hukum menuntut pembuktian niat untuk setiap
individu pelaku. Dengan kata lain, hakim melompat dari premis “mereka semua melakukan kontak fisik dengan korban” ke kesimpulan “mereka semua berniat sama untuk menganiaya korban,”
tanpa jembatan argumentasi yang kokoh.
Pertimbangan Pemidanaan: Proporsionalitas Human vs. Kesetaraan Peran
Konsekuensi paling nyata dari kerancuan dalam mengkualifikasikan peran para
terdakwa adalah penjatuhan pidana yang seragam. Majelis Hakim menjatuhkan
pidana penjara selama 5 (lima) bulan 15 (lima belas) hari kepada
masing-masing dari keempat terdakwa. Keputusan ini secara langsung
bertentangan dengan asas proporsionalitas dalam pemidanaan (Rugian, Irene Angelita, “Prinsip Proporsionalitas Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi (Studi Perbandingan Di Indonesia Dan Jerman),” Jurnal Konstitusi, vol. 18, no. 2, 2021, hlm. 461).
Asas proporsionalitas menuntut agar hukuman yang dijatuhkan seimbang dengan
beratnya tindak pidana, tingkat kesalahan pelaku, dan dampak yang
ditimbulkan (Arief, Barda Nawawi,
Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada Media Group,
2008). Penerapan asas ini mengharuskan adanya individualisasi pidana, di
mana hakim mempertimbangkan secara cermat peran dan kontribusi spesifik
setiap pelaku. Dalam kasus ini, peran para terdakwa secara objektif sangat
berbeda:
-
Terdakwa I:
Adalah agresor utama yang melakukan kekerasan paling signifikan (memukul dan
menendang). Tingkat kesalahannya adalah yang tertinggi;
-
Terdakwa II dan III:
Melakukan kontak fisik (mendorong, menarik tangan) yang tingkat kekerasannya
jauh di bawah Terdakwa I;
-
Terdakwa IV:
Melakukan tindakan “memeluk” yang paling ambigu dan tingkat kesalahannya,
jika ada, adalah yang paling rendah.
Dengan menjatuhkan pidana yang sama rata, hakim secara efektif menyamakan
kesalahan seorang agresor utama dengan orang yang perannya jauh lebih kecil
dan bahkan mungkin berniat melerai. Ini adalah pendekatan pemidanaan yang
mekanistis: jika semua dinyatakan bersalah atas pasal yang sama, maka semua
menerima hukuman yang sama. Pendekatan ini mengabaikan kewajiban hakim untuk
menggali dan menilai kadar kesalahan (culpability) masing-masing
individu. Seandainya hakim menerapkan doktrin penyertaan secara lebih cermat
dan membedakan antara pelaku utama (pleger), pelaku turut serta
(medepleger), dan pembantu (medeplichtige), maka penjatuhan
pidana yang berjenjang dan proporsional akan menjadi konsekuensi logisnya.
Kegagalan untuk melakukan individualisasi pidana ini secara fundamental
mencederai rasa keadilan substantif.
Putusan dalam Timbangan Tiga Pilar Hukum Gustav Radbruch
Setiap putusan hakim idealnya merupakan manifestasi dari tiga tujuan
fundamental hukum yang digagas oleh Gustav Radbruch: keadilan
(gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmäßigkeit), dan kepastian
hukum (rechtssicherheit). Putusan No. 168/Pid.B/2023/PN Mpw, ketika
dianalisis melalui kerangka ini, menunjukkan adanya ketegangan dan
disharmoni yang signifikan di antara ketiga pilar tersebut (Muslih, M., “NEGARA HUKUM INDONESIA DALAM PERSPEKTIF TEORI HUKUM GUSTAV
RADBRUCH (Tiga Nilai Dasar Hukum),” Legalitas: Jurnal Hukum).
Dimensi Keadilan (gerechtigkeit): Keadilan Proporsional dan Restoratif
Pilar keadilan adalah nilai tertinggi yang menjadi jiwa dari hukum. Dalam
konteks putusan ini, dimensi keadilan dapat ditinjau dari dua sudut pandang:
keadilan proporsional dan keadilan restoratif.
-
Keadilan Proporsional:
Aspek inilah yang paling tercederai dalam putusan ini. Keadilan, dalam
esensinya, menuntut perlakuan yang sama terhadap hal-hal yang sama, dan
perlakuan yang berbeda terhadap hal-hal yang berbeda. Dengan menjatuhkan
hukuman yang identik kepada keempat terdakwa yang memiliki peran,
kontribusi, dan tingkat kesalahan yang jelas-jelas berbeda, Majelis Hakim
telah mengabaikan prinsip keadilan proporsional. Terdakwa IV, yang perannya
paling ambigu dan berpotensi tidak memiliki niat jahat, dihukum sama
beratnya dengan Terdakwa I yang merupakan pelaku utama. Putusan ini mungkin
mencapai keadilan formal (semua terbukti melanggar pasal yang sama), tetapi
gagal total dalam mewujudkan keadilan substantif yang mempertimbangkan
nuansa dan kadar kesalahan individual;
-
Keadilan Restoratif:
Di sisi lain, hakim menunjukkan apresiasi terhadap nilai keadilan
restoratif. Pertimbangan hakim secara eksplisit memasukkan fakta bahwa
“telah ada perdamaian diantara Para Terdakwa dengan Saksi Firdiansyah”
sebagai salah satu keadaan yang meringankan. Pendekatan ini sejalan dengan
semangat keadilan restoratif yang berfokus pada pemulihan hubungan antara
pelaku dan korban, serta perbaikan atas kerugian yang ditimbulkan, bukan
semata-mata pembalasan (Zulfa, Eva Achjani, Keadilan Restoratif, Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2009). Pengakuan terhadap upaya damai ini kemungkinan besar menjadi faktor
utama yang membuat vonis akhir (5 bulan 15 hari) lebih ringan dari tuntutan
JPU (6 bulan). Dengan demikian, putusan ini berhasil mengakomodasi salah
satu aspek keadilan, meskipun mengorbankan aspek lainnya yang lebih
fundamental (Zaidun, Z., & Setiyono, J., “Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan
Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif,”
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, vol. 6, no. 1, 2024, hlm.
49-60).
Dimensi Kemanfaatan (zweckmäßigkeit): Efek Jera dan Harmoni Sosial
Pilar kemanfaatan menilai hukum dari dampaknya bagi masyarakat. Sebuah
putusan dianggap bermanfaat jika ia mampu menciptakan ketertiban, mencegah
kejahatan di masa depan (efek jera), dan mempromosikan harmoni sosial. Dari
perspektif ini, putusan tersebut menghasilkan dampak yang ambivalen.
-
Aspek Positif:
Secara umum, putusan ini mengirimkan pesan yang bermanfaat bagi masyarakat
bahwa penyelesaian sengketa antar-tetangga melalui kekerasan tidak dapat
dibenarkan dan akan berujung pada konsekuensi hukum. Hal ini dapat
memberikan efek jera. Selain itu, dengan mempertimbangkan adanya perdamaian,
putusan ini juga mendukung pemulihan harmoni sosial di lingkungan tempat
tinggal para pihak, yang merupakan tujuan penting dari penyelesaian konflik
komunal (Marpaung, Leden,
Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh (Pemberantasan Dan
Prevensinya), Sinar Grafika, 2015).
-
Aspek Negatif:
Namun, putusan ini juga membawa kemanfaatan negatif yang signifikan.
Interpretasi yang sangat luas dan longgar terhadap konsep “turut serta”
berpotensi menciptakan “chilling effect” atau efek gentar bagi
masyarakat. Warga biasa mungkin akan menjadi ragu dan takut untuk melerai
atau mengintervensi sebuah perkelahian, khawatir jika tindakan mereka yang
berniat baik justru akan disalahartikan dan menyeret mereka sebagai pelaku
pidana. Jika masyarakat menjadi apatis dan enggan menolong dalam situasi
konflik karena takut akan risiko hukum, maka kemanfaatan sosial dari putusan
ini menjadi sangat kontraproduktif.
Dimensi Kepastian Hukum (rechtssicherheit): Konsistensi Penerapan Doktrin
Kepastian hukum menuntut agar hukum diterapkan secara konsisten, dapat
diprediksi, dan tidak sewenang-wenang. Pilar ini berfungsi sebagai benteng
terhadap penafsiran hukum yang subjektif dan berubah-ubah. Sayangnya,
putusan ini justru melemahkan pilar kepastian hukum.
Penerapan konsep “turut serta melakukan” (medepleger) oleh hakim
dalam kasus ini tidak konsisten dengan standar doktrinal yang ketat, yang
mensyaratkan adanya bukti kerja sama yang disadari dan pelaksanaan bersama
yang signifikan. Dengan menyamakan setiap kontak fisik dengan partisipasi
aktif dalam kejahatan, hakim telah mengaburkan batas yang jelas antara
pelaku turut serta (medepleger), pembantu (medeplichtige), dan
orang yang tidak bersalah yang kebetulan berada di tempat kejadian.
Jika penalaran dalam putusan ini diadopsi sebagai yurisprudensi, maka
penerapan Pasal 55 KUHP akan menjadi sangat tidak dapat diprediksi.
Seseorang yang berniat melerai bisa saja dihukum sebagai pelaku utama,
tergantung pada interpretasi subjektif hakim terhadap akibat dari
tindakannya. Ketidakpastian ini merusak fungsi hukum sebagai panduan
perilaku yang jelas bagi masyarakat dan membuka ruang bagi penegakan hukum
yang sewenang-wenang.
Dengan demikian, demi mencapai sebuah hasil yang dianggap “adil” secara
pragmatis dalam kasus tunggal ini, hakim telah mengorbankan prinsip
kepastian hukum yang memiliki implikasi jauh lebih luas (Rahardjo, Satjipto,
Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Muhammadiyah
University Press, 2004).
Disharmoni Antara Tiga Pilar Hukum
Pada bagian akhir ini say aini menunjukkan bahwa putusan ini mencerminkan
sebuah
disharmoni yang nyata di antara tiga pilar hukum Gustav Radbruch.
Majelis Hakim tampaknya memprioritaskan satu pilar dengan mengorbankan pilar
lainnya, sebuah pilihan yang sering terjadi dalam praktik peradilan namun
dalam kasus ini menghasilkan putusan yang secara fundamental rapuh.
-
Kemanfaatan dan Keadilan Restoratif sebagai Prioritas: Hakim terlihat
sangat dipengaruhi oleh adanya perdamaian antara para pihak. Dengan mengakui
perdamaian ini sebagai hal yang meringankan, hakim mengedepankan pilar
kemanfaatan (memulihkan harmoni sosial) dan aspek keadilan restoratif.
Putusan yang lebih ringan dari tuntutan dapat dilihat sebagai upaya
pragmatis untuk menutup konflik dan tidak memperpanjang permusuhan;
-
Pengorbanan Keadilan Proporsional dan Kepastian Hukum: Namun, pencapaian
kemanfaatan ini harus dibayar mahal dengan pengorbanan pilar keadilan dan
kepastian hukum. Keadilan proporsional dilanggar secara terang-terangan
melalui penjatuhan hukuman yang seragam untuk peran-peran yang sangat
berbeda. Sementara itu, kepastian hukum dilemahkan oleh interpretasi doktrin
“turut serta” yang terlalu luas dan tidak konsisten, yang berisiko
menciptakan preseden yang membingungkan dan berbahaya.
Dapat disimpulkan, hakim memilih jalan pintas yudisial. Alih-alih melakukan
analisis yang cermat dan berjenjang terhadap peran setiap terdakwa (yang
mungkin akan lebih rumit namun lebih adil) hakim memilih pendekatan “sapu
jagat” dengan mengkualifikasikan semua sebagai pelaku turut serta. Keputusan
ini mungkin efektif untuk menyelesaikan perkara di hadapannya, tetapi gagal
memenuhi standar pembuktian dan penalaran hukum yang seharusnya dijunjung
tinggi oleh lembaga peradilan.
Penilaian Objektif: Apakah Vonis 5 Bulan 15 Hari Penjara Sudah Tepat?
Berdasarkan analisis yang telah diuraikan, vonis penjara selama 5 bulan 15
hari yang dijatuhkan secara seragam kepada keempat terdakwa
tidak dapat dinilai sebagai putusan yang tepat dan layak secara
keseluruhan.
Putusan ini layak dan tepat hanya sejauh menyangkut
Terdakwa I (Gemilang Caniago). Perbuatannya sebagai pelaku utama
terbukti secara sah dan meyakinkan, dan hukuman yang dijatuhkan kepadanya,
dengan mempertimbangkan adanya perdamaian, dapat dianggap wajar.
Namun, putusan ini menjadi tidak layak dan tidak tepat ketika diterapkan
kepada Terdakwa II, III, dan khususnya Terdakwa IV. Kualifikasi
mereka sebagai pelaku turut serta (medepleger) sangat lemah secara
yuridis dan didasarkan pada penalaran yang mengandung cacat logika.
Konsekuensinya, hukuman yang mereka terima menjadi tidak proporsional dengan
tingkat kesalahan mereka yang sesungguhnya.
Sebuah putusan yang lebih mencerminkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian
hukum secara seimbang seharusnya mengambil bentuk sebagai berikut:
1.
Untuk Terdakwa I:
Dinyatakan terbukti bersalah sebagai pelaku utama (pleger)
penganiayaan sesuai Pasal 351 ayat (1) KUHP dan dijatuhi pidana yang
proporsional;
2.
Untuk Terdakwa II dan III:
Dilakukan pemeriksaan lebih mendalam untuk membuktikan ada atau tidaknya
niat (mens rea) untuk mempermudah penganiayaan. Jika terbukti, mereka
seharusnya dikualifikasikan sebagai pembantu (medeplichtige) sesuai
Pasal 56 KUHP, yang membawa konsekuensi pidana lebih ringan (maksimum pidana
pokok dikurangi sepertiga). Jika niat tersebut tidak terbukti, maka
pembebasan adalah putusan yang paling tepat;
3.
Untuk Terdakwa IV:
Mengingat ambiguitas tindakannya dan lemahnya bukti yang menunjukkan niat
jahat, pertimbangan yang paling adil adalah membebaskannya dari segala
dakwaan (vrijspraak). Mengkriminalisasi upaya melerai yang gagal
adalah sebuah kekeliruan fatal;
Pada akhirnya, meskipun putusan ini berhasil mengakhiri sengketa dan
memberikan sanksi kepada pelaku utama, ia gagal dalam tugasnya yang lebih
luhur: menerapkan hukum secara cermat, adil bagi setiap individu, dan
menjaga konsistensi doktrin demi kepastian hukum. Putusan ini menjadi contoh
bagaimana pencarian solusi pragmatis dapat menuntun pada pengabaian
prinsip-prinsip hukum yang paling fundamental.
Daftar Pustaka
-
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Kencana
Prenada Media Group, 2008.
-
Chazawi, Adami.
Pelajaran Hukum Pidana 3: Percobaan & Penyertaan. RajaGrafindo
Persada, 2021.
-
Cicero, Marcus Tullius. De Officiis. 44 SM.
-
Huda, Chairul.
Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban
Pidana Tanpa Kesalahan. Kencana Prenada Media, 2006.
-
Lamintang, P.A.F., dan Franciscus Theojunior Lamintang.
Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Sinar Grafika, 2022.
-
Marpaung, Leden.
Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh (Pemberantasan Dan Prevensinya). Sinar Grafika, 2015.
-
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, 2008.
-
Muslih, M. “NEGARA HUKUM INDONESIA DALAM PERSPEKTIF TEORI HUKUM GUSTAV
RADBRUCH (Tiga Nilai Dasar Hukum).” Legalitas: Jurnal Hukum.
-
Prakoso, Abintoro. Hukum, Filsafat Logika dan Argumentasi Hukum.
Laksbang Justitia, 2015.
-
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika
Aditama, 2003.
-
Radbruch, Gustav. Legal Philosophy. Harvard University Press,
1950.
-
Rahardjo, Satjipto.
Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan. Muhammadiyah
University Press, 2004.
-
Rugian, Irene Angelita. “Prinsip Proporsionalitas Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi (Studi Perbandingan Di Indonesia Dan Jerman).”
Jurnal Konstitusi, vol. 18, no. 2, 2021, hlm. 461.
-
Zaidun, Z., & Setiyono, J. “Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan
Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif.”
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, vol. 6, no. 1, 2024, hlm.
49-60.
-
Zulfa, Eva Achjani. Keadilan Restoratif. Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2009.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.