Pertanyaan
Mau nanya bang, mengingat bahwa seluruh mekanisme pengecualian pajak bagi
UMKM di bawah PMK 37/2025 bergantung sepenuhnya pada
Surat Pernyataan yang kebenarannya tidak diverifikasi oleh
marketplace, bagaimana pemerintah akan memastikan integritas ambang
batas omzet Rp500 juta dan mencegah penyalahgunaan masif melalui deklarasi
palsu, terutama ketika belum ada sistem agregasi data lintas platform yang
dapat memvalidasi total omzet seorang pedagang secara menyeluruh?
Jawaban
Pengantar
Perkembangan ekonomi digital yang pesat telah mendorong pemerintah untuk
merumuskan kebijakan perpajakan yang adaptif. Satu di antara langkah
signifikan adalah penerbitan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025, sebuah regulasi
yang bertujuan menata ulang mekanisme pemungutan pajak bagi para pedagang
yang bertransaksi melalui sistem elektronik atau e-commerce.
Kebijakan ini hadir dengan klaim untuk menciptakan keadilan dan
kesetaraan antara pelaku usaha daring (online) dan luring
(offline). Namun,
di balik tujuan mulia tersebut, terdapat sejumlah persoalan fundamental
yang patut dikaji secara kritis.
Dalam artikel kami kali ini akan melakukan telaah mendalam terhadap
arsitektur regulasi tersebut, menelaah implementasinya dari berbagai
perspektif, mengidentifikasi celah hukum yang berpotensi merusak asas
keadilan itu sendiri, serta menjabarkan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh
para pihak yang merasa dirugikan.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2025
tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang
Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh
Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik, yang selanjutnya disebut dengan “PMK 37/2025”, menandai langkah signifikan pemerintah Indonesia dalam memformalkan
ekonomi digital yang berkembang pesat. Namun, secara mendalam keberadaan
aturan ini menunjukkan bahwa desain regulasi yang disusun belum sepenuhnya
mencapai keadilan pajak yang substantif.
Meskipun berhasil menyederhanakan mekanisme pemungutan pajak bagi sebagian
penjual, ketergantungannya pada deklarasi mandiri (self-declaration)
dan fokus yang sempit pada marketplace terorganisasi menciptakan
celah signifikan untuk penghindaran pajak.
Hal ini secara fundamental merusak prinsip keadilan horizontal.
Berdasarkan apa yang kami temukan dan pelajar, kami menyimpulkan bahwa
tanpa sistem integrasi data lintas platform yang kokoh dan berbasis Nomor
Induk Kependudukan (NIK), tujuan regulasi untuk menciptakan “lapangan bermain yang setara” (level playing field)
akan tetap bersifat aspiratif. Lebih jauh, kebijakan ini berisiko
mendistorsi pasar dengan memberikan sanksi kepada penjual yang patuh di
marketplace formal, sementara secara tidak sengaja menguntungkan
mereka yang beroperasi di saluran yang kurang teregulasi.
Argumen “Level Playing Field”: Syarat Perlu yang Belum Cukup untuk Keadilan
Pemerintah Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), secara
konsisten membingkai PMK 37/2025 sebagai langkah untuk menciptakan
“keadilan” dengan memastikan “kesetaraan” antara pedagang daring dan luring.
Argumen utamanya adalah bahwa semua pelaku usaha, terlepas dari saluran
penjualannya, harus tunduk pada kewajiban perpajakan. Kebijakan ini merupakan respons langsung terhadap pertumbuhan masif
ekonomi digital, dengan nilai transaksi yang diproyeksikan mencapai
Rp500 triliun pada tahun 2025, sebuah sektor yang sebelumnya beroperasi di “wilayah abu-abu” perpajakan
atau shadow economy.
Namun, definisi keadilan yang diusung pemerintah cenderung bersifat
administratif, bukan substantif. Retorika pemerintah berfokus pada upaya
membawa penjual daring ke dalam jaring pajak agar setara dengan penjual
luring. Ini adalah definisi keadilan yang berpusat pada
paritas inklusi. Akan tetapi, pendekatan ini mengabaikan
pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam dan substantif yaitu
apakah mekanisme yang diterapkan memperlakukan semua penjual daring
secara adil di antara mereka sendiri?
Apakah mekanisme tersebut memperhitungkan perbedaan kemampuan
membayar?
Narasi pemerintah secara sengaja menghindari aspek-aspek keadilan yang
lebih kompleks ini, yang justru menjadi inti dari teori perpajakan klasik.
Kebijakan ini mungkin mencapai “penyetaraan” yang dangkal, tetapi
berpotensi menciptakan ketidaksetaraan baru yang lebih halus di dalam
ranah digital itu sendiri.
Tinjauan Ulang Asas Perpajakan Adam Smith: Sebuah Rapor untuk PMK 37/2025
Regulasi ini akan dievaluasi berdasarkan empat prinsip klasik yang
diartikulasikan oleh Adam Smith, yang tetap menjadi landasan kebijakan
perpajakan yang sehat.
1)
Asas Equality (Keadilan/Daya Pikul)
Prinsip ini menyatakan bahwa beban pajak harus selaras dengan kemampuan
membayar Wajib Pajak. PMK 37/2025 mencoba menjawab prinsip ini melalui
pengecualian pemungutan bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang
memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah), yang secara eksplisit dirancang untuk melindungi usaha mikro.
Namun, bagi mereka yang berada di atas ambang batas, tarif tunggal 0,5% dari
omzet bruto pada dasarnya bersifat regresif. Seorang penjual dengan omzet
Rp600 juta dan biaya operasional tinggi membayar tarif yang sama dengan
penjual beromzet Rp4,8 miliar dengan biaya rendah, meskipun kemampuan
membayar mereka sangat berbeda;
2)
Asas Certainty (Kepastian Hukum)
Aturan pajak harus jelas dan tidak sewenang-wenang. Tarif 0,5% memang
memberikan kepastian. Akan tetapi, penerapan pajak itu sendiri sangat
tidak pasti. Kepastian pemungutan bergantung pada surat pernyataan yang
dideklarasikan sendiri oleh penjual (Surat Pernyataan), yang
menciptakan ambiguitas dan potensi tinggi untuk penerapan yang keliru,
sehingga melanggar semangat prinsip ini;
3)
Asas Convenience of Payment (Kenyamanan Pembayaran)
Pajak harus dipungut pada waktu dan dengan cara yang paling nyaman bagi
Wajib Pajak. Bagi penjual yang omzetnya di atas ambang batas,
pemotongan otomatis oleh marketplace sangatlah nyaman, karena
menghilangkan beban penghitungan dan pembayaran mandiri;
4)
Asas Efficiency (Efisiensi/Ekonomi)
Biaya pemungutan pajak harus minimal dibandingkan dengan pendapatan yang
dihasilkan. Dari perspektif pemerintah, kebijakan ini sangat efisien karena
mengalihdayakan beban pemungutan kepada marketplace. Namun, ini
mengabaikan biaya kepatuhan signifikan yang dibebankan pada platform itu
sendiri, sebuah poin yang berulang kali diangkat oleh Asosiasi E-Commerce
Indonesia (idEA), yang meminta masa transisi satu tahun untuk membangun
sistem yang diperlukan.
Keadilan Horizontal dan Vertikal di Pasar Digital
Prinsip Keadilan Horizontal menuntut agar Wajib Pajak dalam situasi ekonomi
yang serupa menanggung beban pajak yang serupa. Dalam praktiknya,
PMK 37/2025 secara fundamental gagal dalam uji keadilan
horizontal. Ruang lingkup regulasi ini terbatas pada penjual di
marketplace yang ditunjuk. Sementara itu, segmen
e-commerce yang besar dan terus berkembang terjadi di platform media
sosial (social commerce) dan aplikasi pesan instan (conversational commerce). Saluran-saluran ini saat ini tidak ditunjuk sebagai pemungut pajak di
bawah PMK.
Akibatnya, dua penjual dengan omzet identik sebesar Rp1 miliar diperlakukan
secara berbeda yaitu penjual di marketplace secara otomatis dipajaki,
sementara penjual di media sosial tidak. Ini adalah pelanggaran yang jelas
dan signifikan terhadap keadilan horizontal, yang menciptakan distorsi pasar
yang diinduksi oleh pemerintah dan mendorong perpindahan aktivitas ekonomi
ke saluran yang kurang teregulasi.
Kemudian, apabila berdasarkan prinsip keadilan vertikal, prinsip ini
menyarankan bahwa Wajib Pajak dengan kemampuan membayar yang lebih besar
harus memberikan kontribusi pajak yang lebih besar secara proporsional.
Ambang batas pengecualian Rp500 juta adalah alat utama regulasi ini untuk
mencapai keadilan vertikal, sejalan dengan konsep Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) dalam PPh orang pribadi. Kebijakan ini secara tepat
mengidentifikasi bahwa penjual mikro memiliki kemampuan membayar yang lebih
rendah. Namun, tarif pajak tunggal 0,5% untuk semua penjual dengan omzet
antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar merupakan sistem yang proporsional,
bukan progresif. Sistem ini gagal membedakan beban pajak berdasarkan skala
keberhasilan dalam rentang omzet yang besar tersebut, sehingga hanya
menawarkan bentuk keadilan vertikal yang sangat mendasar.
Secara keseluruhan, penilaian terhadap
PMK 37/2025 menunjukkan gambaran yang kontradiktif. Dari sisi
daya pikul, kebijakan ini sebagian terpenuhi karena melindungi usaha mikro,
namun tarif tunggalnya bersifat regresif bagi skala usaha yang lebih besar.
Kepastian hukum juga menjadi ambigu; tarifnya memang pasti, tetapi
penerapannya bergantung pada Surat Pernyataan yang tidak
diverifikasi. Aspek kenyamanan terpenuhi bagi penjual yang dipajaki secara
otomatis, namun menjadi beban baru bagi mereka yang harus mengurus
pengecualian. Dari sisi efisiensi, kebijakan ini sangat efisien bagi
pemerintah tetapi membebani platform e-commerce.
Yang paling krusial, kebijakan ini gagal total dalam menegakkan keadilan
horizontal karena menciptakan perlakuan yang tidak setara antara pedagang di
marketplace dan media sosial. Sementara itu, keadilan vertikal hanya
terpenuhi pada tingkat paling dasar melalui ambang batas Rp500 juta, tanpa
adanya progresivitas tarif di tingkat pendapatan yang lebih tinggi.
Mekanisme dan Ruang Lingkup: Menggeser Titik Pemungutan
Inovasi inti dari PMK 37/2025, yang berlaku efektif sejak 14 Juli 2025, adalah
penunjukan “Pihak Lain”, khususnya Penyelenggara Perdagangan Melalui
Sistem Elektronik (PPMSE) atau marketplace, sebagai pemungut pajak. Ketentuan ini berlaku untuk platform yang berbasis di dalam maupun di
luar negeri yang memenuhi ambang batas transaksi atau lalu lintas
tertentu.
Pajak yang dipungut adalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22,
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) PMK 37/2025 yang
menyatakan:
“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam Negeri
sehubungan dengan transaksi yang dilakukan melalui Penyelenggara Perdagangan
Melalui Sistem Elektronik dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22.”
Tarifnya adalah 0,5% dari nilai transaksi bruto (omzet bruto), tidak
termasuk PPN. Regulasi ini secara eksplisit menyatakan bahwa ini
bukan pajak baru, melainkan mekanisme pemungutan baru untuk kewajiban
yang sudah ada berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2022 tentang
Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut dengan “PP 55/2022”. Mekanisme ini bergeser dari “penghitungan sendiri”
(self-assessment) menjadi “pemotongan di sumber” (withholding at source). PPh Pasal 22 yang dipungut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan atau menjadi bagian dari pelunasan Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
Kewajiban Administratif dan Sentralitas Surat Pernyataan
Bagi penjual, semua diwajibkan memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) mereka kepada marketplace. Ini
adalah langkah krusial untuk pelacakan data. Bagi penjual yang dikecualikan
(UMKM < Rp500 juta), untuk terbebas dari pemotongan otomatis 0,5%, mereka
wajib secara proaktif menyerahkan surat pernyataan resmi yang
ditandatangani dan bermeterai yang menyatakan omzet tahunan mereka di bawah
ambang batas Rp500 juta.
Surat Pernyataan
ini berfungsi sebagai perisai bagi UMKM sekaligus menjadi titik lemah utama
regulasi ini. Di satu sisi, pemerintah merancang
Surat Pernyataan sebagai mekanisme perlindungan untuk memastikan
penjual mikro tidak dipajaki. Namun, di sisi lain, hal ini menciptakan beban
administratif yang signifikan, terutama bagi penjual dengan literasi digital
dan keuangan yang rendah.
Ambil contoh, Sebagai contoh, kasus Nyonya NLG dalam lampiran
PMK, yang dipajaki meskipun omzetnya di bawah ambang batas hanya karena
gagal menyerahkan formulir, menggambarkan risiko ini dengan sempurna. Pada
saat yang sama, bagi penjual yang tidak jujur, surat ini menjadi alat untuk
penghindaran pajak. Karena marketplace tidak diwajibkan untuk
memverifikasi keakuratan pernyataan ini, seorang penjual dengan omzet Rp1
miliar dapat dengan mudah menyerahkan deklarasi palsu dengan risiko deteksi
langsung yang kecil. Dengan demikian, instrumen administratif tunggal ini
mewujudkan ketegangan utama kebijakan antara melindungi yang rentan dan
memungkinkan penghindaran.
Rasional Kebijakan yang Dinyatakan: Simplifikasi, Perluasan Basis, dan Transparansi
Tujuan yang dinyatakan oleh DJP adalah untuk menyederhanakan administrasi
pajak bagi penjual, meningkatkan transparansi dalam ekonomi digital,
memperluas basis pajak dengan membawa penjual yang sebelumnya tidak tercatat
ke dalam sistem formal, dan pada akhirnya menekan shadow economy.
Potensi dampak pendapatan cukup signifikan, dengan satu estimasi menunjukkan
potensi penerimaan sebesar Rp2,4 triliun per tahun hanya dari 10% total
transaksi e-commerce, dengan potensi penambahan hingga 800.000 Wajib
Pajak baru ke dalam sistem.
Bagian ini memetakan reaksi yang kompleks dan seringkali bertentangan
terhadap PMK 37/2025,
menunjukkan bahwa konsep “keadilan” dipersepsikan sangat berbeda
tergantung pada posisi seseorang dalam ekosistem.
Dari sisi pemerintah (DJP), kebijakan ini dipandang sebagai langkah
esensial untuk menciptakan keadilan melalui level playing field,
menyederhanakan administrasi, dan memperluas basis pajak. Sebaliknya,
industri marketplace (idEA), meskipun mendukung secara prinsip,
menyuarakan kekhawatiran serius mengenai ketidaksiapan teknis dan beban
administratif yang tinggi dalam mengelola Surat Pernyataan, sehingga
mereka membutuhkan masa transisi minimal satu tahun.
Bagi penjual UMKM, kebijakan ini bersifat ambivalen. Di satu sisi, ia
memudahkan bagi penjual dengan omzet di atas ambang batas yang pajaknya kini
dipungut otomatis. Namun, di sisi lain, ia menjadi beban administratif baru
bagi mayoritas penjual yang dikecualikan, yang kini berisiko dipajaki secara
keliru jika gagal memenuhi prosedur.
Komunitas bisnis yang lebih luas, seperti KADIN dan HIPMI, melihatnya dari
perspektif makro. Mereka mendukung formalisasi ekonomi digital, namun HIPMI
menilai dampak penerimaan jangka pendeknya tidak akan signifikan. KADIN
bahkan lebih memilih agar kebijakan fiskal difokuskan pada pemberian
insentif untuk mendorong penjualan produk lokal, bukan sekadar
pemungutan.
Kritik paling tajam datang dari para pengamat dan lembaga pemikir seperti
Celios. Mereka menyoroti bahwa regulasi ini justru menciptakan celah besar
untuk penghindaran pajak melalui migrasi ke social commerce dan
praktik fragmentasi toko, yang pada akhirnya dapat membuat kebijakan ini
menjadi kontraproduktif.
Titik Buta Social Commerce: Pasar Paralel yang Tidak Teregulasi
Definisi pemungut pajak dalam regulasi ini terbatas pada
marketplace terorganisir (PPMSE). Ini secara eksplisit mengecualikan
bidang social commerce yang sedang berkembang pesat (transaksi di
Instagram, TikTok, Facebook) dan conversational commerce (transaksi
melalui WhatsApp).
Regulasi ini tidak hanya akan gagal memajaki social commerce, tetapi
juga akan secara aktif mendorong aktivitas ekonomi ke arah sana,
sehingga memperbesar shadow economy yang seharusnya diperkecil.
Pelaku ekonomi yang rasional (penjual) akan berusaha meminimalkan biaya,
termasuk pajak dan beban kepatuhan. PMK 37/2025 memberlakukan beban pajak
dan/atau kepatuhan baru yang tidak dapat dihindari pada penjual di
marketplace.
Platform social commerce menawarkan saluran penjualan alternatif
yang layak tanpa mekanisme pemotongan pajak yang setara. Oleh karena itu,
sebagian penjual yang dapat diprediksi, terutama mereka yang beroperasi di
dekat atau sedikit di atas ambang batas Rp500 juta, akan terdorong untuk
memindahkan transaksi mereka dari marketplace yang kena pajak ke
saluran social commerce yang tidak kena pajak. Migrasi ini akan
meningkatkan volume transaksi yang tidak tercatat dan tidak dipajaki, yang
secara langsung bertentangan dengan tujuan utama kebijakan untuk mengurangi
shadow economy.
Celah Fragmentasi: Mengalahkan Ambang Batas Melalui Pembagian
Sebagai contoh, seorang penjual dengan omzet riil sebesar Rp1,2 miliar
dapat mengoperasikan tiga toko terpisah, masing-masing melaporkan omzet
sebesar Rp400 juta. Dengan menyerahkan Surat Pernyataan untuk setiap
toko, mereka dapat secara legal (di bawah aturan saat ini) menghindari pajak
sepenuhnya. Strategi ini secara langsung mengeksploitasi tidak adanya sistem
terpadu untuk mengagregasi total omzet seorang individu (yang diidentifikasi
oleh NIK/NPWP) di semua aktivitas komersial digital mereka.
Seluruh mekanisme pengecualian bergantung pada Surat Pernyataan.
Marketplace ditugaskan untuk mengumpulkan dokumen-dokumen ini tetapi
tidak memiliki mandat atau kapasitas untuk memverifikasi keasliannya atau
keakuratan klaim omzet. Hal ini menciptakan masalah asimetri informasi
klasik. Penjual memiliki informasi sempurna tentang omzet mereka, sementara
marketplace dan DJP tidak memilikinya. Sistem ini hampir sepenuhnya
bergantung pada kejujuran penjual, sebuah fondasi yang terkenal lemah untuk
sistem perpajakan, terutama ketika insentif untuk memberikan informasi yang
salah sangat tinggi.
Mata Rantai yang Hilang: Pentingnya Integrasi Data Lintas Platform
Arsitektur kebijakan ini memperlakukan setiap marketplace sebagai
silo data yang terisolasi, padahal perdagangan modern beroperasi sebagai
ekosistem yang saling terhubung. Ketidaksesuaian ini adalah akar penyebab
kerentanan utama regulasi. Celah fragmentasi dan dilema deklarasi mandiri
bukanlah masalah yang independen; keduanya adalah gejala dari satu kegagalan
yang lebih dalam, yaitu tidak adanya mekanisme terpusat yang memungkinkan
DJP untuk melihat total aktivitas ekonomi seorang penjual.
Solusi logis, yang diusulkan oleh para kritikus, adalah sistem di
mana setiap transaksi, terlepas dari platformnya, terhubung ke pengenal
penjual yang unik (NIK untuk individu, NIB untuk badan usaha). Hanya dengan
pusat agregasi data seperti itu, ambang batas Rp500 juta dapat ditegakkan
secara bermakna. Tanpa itu, ambang batas tersebut bukanlah alat kebijakan
yang kuat, melainkan fiksi administratif yang mudah dihindari. Oleh karena
itu, regulasi ini menempatkan kereta (pemungutan) di depan kuda
(infrastruktur data).
Insiden Pajak dan Harga Konsumen: Siapa yang Pada Akhirnya Membayar?
Teori ekonomi standar menunjukkan bahwa sebagian dari setiap pajak bisnis
baru akan dialihkan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi.
Para pemangku kepentingan mengakui kemungkinan ini. Penelitian tentang
dampak PPN (pajak yang berbeda tetapi analog) menunjukkan bahwa PPN
meningkatkan harga akhir bagi konsumen dan dapat memengaruhi pilihan
konsumsi. Meskipun tarif PPh 0,5% tergolong kecil, bagi bisnis dengan volume
tinggi dan margin rendah, tekanan untuk meneruskan biaya ini akan
signifikan. Hal ini dapat menyebabkan kenaikan harga yang kecil namun meluas
di seluruh marketplace.
Meskipun dimaksudkan untuk melindungi UMKM, hambatan administratif dari
Surat Pernyataan dapat bertindak sebagai penghalang masuk atau
formalisasi bagi pengusaha yang paling tidak canggih. Ketakutan untuk
berurusan dengan sistem perpajakan, betapapun disederhanakan, dapat
menghalangi beberapa individu untuk menggunakan marketplace formal,
mendorong mereka ke arah shadow economy berupa transaksi tunai atau
social commerce yang tidak teregulasi, yang justru ingin dikurangi
oleh kebijakan ini.
Dengan menjadikan marketplace sebagai pemungut pajak, pemerintah
secara fundamental mengubah peran mereka dari platform netral menjadi agen
negara. Tanggung jawab baru ini datang dengan biaya (pengembangan sistem,
administrasi) dan risiko (sanksi atas ketidakpatuhan).
Marketplace dapat merespons dengan menaikkan biaya penjual untuk
menutupi biaya-biaya baru ini. Mereka juga mungkin menerapkan proses
verifikasi dan pendaftaran penjual yang lebih ketat untuk mengurangi risiko
mereka sendiri, yang dapat mempersulit penjual baru dan kecil untuk
bergabung dengan platform.
Meskipun PMK 37/2025 berhasil membangun mekanisme yang nyaman untuk
pemungutan pajak di marketplace, ruang lingkupnya yang sempit dan
ketergantungannya pada deklarasi mandiri yang tidak diverifikasi menciptakan
pelanggaran mendalam terhadap keadilan horizontal, sehingga gagal mencapai
sistem pajak yang benar-benar adil bagi ekonomi digital.
Desain regulasi ini secara tidak sengaja menciptakan struktur insentif yang
salah, yang menghukum penjual yang patuh di marketplace formal sambil
memberi penghargaan pada penghindaran dan penggelapan pajak melalui migrasi
ke saluran yang tidak teregulasi seperti social commerce.
Beban administratif dari Surat Pernyataan, yang dimaksudkan sebagai
tindakan perlindungan, berfungsi sebagai penghalang kepatuhan yang regresif
yang secara tidak proporsional memengaruhi pengusaha mikro yang paling
rentan dan memiliki literasi digital terendah.
Pertanyaan Mendesak untuk Masa Depan
-
Apa strategi konkret dan berjangka waktu dari pemerintah untuk memperluas
“lapangan bermain yang setara” ke sektor social dan
conversational commerce, yang saat ini mewakili celah terbesar dalam
kerangka kerja pajak digital?;
-
Mengakui kegagalan sistemik dari deklarasi mandiri tanpa verifikasi, apa
jadwal yang layak dan rencana alokasi sumber daya untuk mengembangkan dan
mengimplementasikan sistem agregasi data lintas platform berbasis NIK agar
ambang batas omzet benar-benar dapat ditegakkan?;
-
Bagaimana DJP akan mengukur konsekuensi yang tidak diinginkan dari
kebijakan ini, seperti tingkat migrasi penjual dari marketplace ke
social commerce, dan penyesuaian kebijakan apa yang sedang disiapkan
untuk melawan tren ini?
Peta Jalan Menuju Sistem yang Lebih Adil dan Kokoh
Untuk mengatasi celah-celah yang teridentifikasi, diperlukan pendekatan
kebijakan yang berjenjang. Dalam jangka pendek (0-12 bulan), pemerintah
harus segera meluncurkan studi komprehensif untuk memetakan skala
social commerce dan memulai dialog dengan platform media sosial.
Selain itu, proses pengajuan Surat Pernyataan harus disederhanakan
menjadi sepenuhnya digital, disertai kampanye sosialisasi masif kepada
penjual mikro.
Dalam jangka menengah (1-3 tahun), fokus harus beralih ke pembangunan
infrastruktur data. Ini mencakup pengembangan kerangka hukum untuk menunjuk
platform media sosial sebagai pemungut pajak dan mewajibkan semua PPMSE
untuk mengembangkan API berbagi data omzet penjual yang terhubung ke
NIK/NIB. Pada tahap ini, sistem Surat Pernyataan yang proaktif dapat
digantikan dengan sistem pengecualian otomatis berbasis data yang dilaporkan
platform.
Untuk jangka panjang (3+ tahun), tujuannya adalah implementasi penuh sistem
pemungutan pajak pada platform social commerce dan pusat data
berbasis NIK yang terintegrasi. Dengan sistem ini, agregasi omzet dapat
dilakukan secara otomatis dan akurat, membuat ambang batas Rp500 juta
menjadi efektif dan menghilangkan kebutuhan akan deklarasi mandiri. Pada
tahap ini pula, pemerintah dapat mengevaluasi kembali tarif tunggal 0,5% dan
mempertimbangkan struktur yang lebih progresif berdasarkan data omzet yang
telah terverifikasi.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.