layananhukum

Kerangka Hukum Pajak Terbaru bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (PUMK) Pasca UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan


Pengantar

Peraturan perpajakan, sebagai instrumen vital dalam arsitektur fiskal negara, bersifat dinamis dan senantiasa berevolusi mengikuti perkembangan zaman, kondisi ekonomi, serta kebutuhan pembangunan. Bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (PUMK) yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional, pemahaman mendalam terhadap setiap perubahan regulasi bukan hanya soal kepatuhan, melainkan juga strategi untuk keberlangsungan dan pertumbuhan usaha. Perubahan terbaru dalam lanskap perpajakan Indonesia bukanlah sekadar penyesuaian tarif, melainkan sebuah reformasi fundamental dalam cara negara memandang dan mengatur kewajiban pajak bagi segmen usaha ini.

Lahirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menandai sebuah era baru yang bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Dalam konteks PUMK, semangat reformasi ini diterjemahkan ke dalam serangkaian kebijakan yang secara signifikan mengubah kerangka yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. Pergeseran ini mencerminkan perubahan filosofi pemerintah; dari pendekatan yang cenderung seragam (one-size-fits-all), di mana tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5% diterapkan secara merata kepada semua PUMK dengan omzet di bawah Rp4,8 Miliar, menuju sebuah sistem yang lebih berkeadilan dan berjenjang (tiered and equitable system).

Pengenalan fasilitas pembebasan pajak untuk omzet hingga Rp500 juta bagi Wajib Pajak Orang Pribadi adalah manifestasi paling nyata dari pendekatan baru ini, yang secara efektif menciptakan tingkatan perlakuan pajak di dalam kategori PUMK. Kebijakan ini mengakui bahwa tidak semua PUMK memiliki kapasitas ekonomi yang sama, sehingga perlakuan pajak yang diberikan harus proporsional.  

Fondasi Hukum Baru Pengenaan Pajak PUMK

Kerangka hukum yang mengatur pengenaan pajak terhadap PUMK saat ini tersusun secara hierarkis, dimulai dari undang-undang sebagai payung hukum utama hingga peraturan menteri sebagai petunjuk teknis pelaksanaannya. Memahami struktur ini adalah langkah fundamental untuk menafsirkan setiap kewajiban dan hak Wajib Pajak secara tepat.

Hierarki Peraturan Perundang-undangan

  1. Landasan utama reformasi perpajakan bagi PUMK adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang selanjutnya disebut dengan “UU HPP”. Melalui UU HPP, Pemerintah menyisipkan satu ayat krusial, yakni Pasal 7 ayat (2a) dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang berbunyi:

“Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e, yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, tidak dikenai Pajak Penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.”.

Ketentuan inilah yang menjadi cikal bakal fasilitas pembebasan pajak bagi PUMK Orang Pribadi, sebuah perubahan paling signifikan dibandingkan regulasi sebelumnya.  

  1. Amanat UU HPP kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut dengan “PP 55/2022”. Peraturan ini merupakan jantung dari rezim pajak PUMK saat ini. Secara tegas, Pasal 63 PP 55/2022 menyatakan bahwa pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan ini menandai berakhirnya era PP 23/2018 dan dimulainya implementasi penuh kerangka hukum yang baru;
  2. Untuk memberikan panduan implementasi yang lebih detail, diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 164 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Oleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Dan Kewajiban Pelaporan Usaha Untuk Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak, yang selanjutnya disebut dengan “PMK 164/2023”. PMK ini mengatur secara rinci berbagai aspek prosedural, mulai dari tata cara penyetoran, pemotongan, pelaporan, hingga mekanisme pengajuan Surat Keterangan.  

Meskipun bertujuan untuk menciptakan keadilan, suksesi peraturan yang relatif cepat, dari PP 46/2013, beralih ke PP 23/2018 yang berlaku efektif 1 Juli 2018, dan kini digantikan oleh PP 55/2022 yang berlaku sejak 20 Desember 2022, menciptakan tantangan tersendiri terhadap asas kepastian hukum (rechtssicherheit). Bagi pelaku usaha, frekuensi perubahan ini menuntut adaptasi berkelanjutan yang dapat menimbulkan kebingungan dan meningkatkan biaya kepatuhan (compliance cost), yang berpotensi menggerus rasa aman dan prediktabilitas yang esensial bagi perencanaan bisnis jangka panjang.

Ketentuan Pokok Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi PUMK

PP 55/2022 merumuskan kembali beberapa ketentuan fundamental terkait PPh Final bagi PUMK, mulai dari subjek yang berhak, tarif, hingga batasan waktu pemanfaatannya.

Subjek dan Kriteria Wajib Pajak

Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) PP 55/2022, Wajib Pajak dalam negeri yang dapat dikenai PPh Final adalah yang memiliki peredaran bruto atas penghasilan dari usaha tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Subjek pajak ini meliputi:  

a.       Wajib Pajak orang pribadi; dan

b.      Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), firma, perseroan terbatas (PT) termasuk perseroan perorangan, atau badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama (BUMDes/BUMDESma).

Penting untuk dicatat bahwa batasan peredaran bruto tersebut merupakan jumlah kumulatif dari seluruh gerai, cabang, atau unit usaha yang dimiliki Wajib Pajak, baik di pusat maupun di daerah.  

Tarif 0,5% dan Fasilitas Pembebasan Pajak

Tarif PPh Final bagi PUMK tetap dipertahankan sebesar 0,5% dari peredaran bruto. Namun, terobosan utama hadir dalam Pasal 60 PP 55/2022, yang secara spesifik memberikan fasilitas bagi Wajib Pajak orang pribadi. Pasal 60 ayat (1) menyatakan:

“Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), atas bagian peredaran bruto dari usaha sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan.”

Selanjutnya, Pasal 60 ayat (2) menegaskan:

“Bagian peredaran bruto dari usaha yang tidak dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sejak Masa Pajak pertama dalam suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.”

Ini berarti, kewajiban membayar PPh Final 0,5% bagi Wajib Pajak orang pribadi baru timbul setelah akumulasi omzet dalam satu tahun pajak melampaui Rp500.000.000,00.

Ilustrasi Perhitungan:

Seorang pedagang (WP Orang Pribadi) memiliki omzet bulanan Rp60.000.000,00.

-        Januari - Agustus: Omzet kumulatif mencapai Rp480.000.000,00. Atas omzet ini, tidak ada PPh Final yang terutang;

-        September: Omzet Rp60.000.000,00. Omzet kumulatif menjadi Rp540.000.000,00. PPh Final yang harus dibayar untuk bulan September dihitung atas bagian omzet yang sudah melebihi batas Rp500.000.000,00, yaitu: 0,5%×(Rp540.000.000,00−Rp500.000.000,00)=0,5%×Rp40.000.000,00=Rp200.000,00;

-        Oktober: Omzet Rp60.000.000,00. PPh Final yang harus dibayar adalah: 0,5%×Rp60.000.000,00=Rp300.000,00. Perhitungan ini berlaku seterusnya hingga akhir tahun pajak.

Jangka Waktu Pemanfaatan Fasilitas yang Terbatas

Fasilitas PPh Final tidak berlaku selamanya. Pasal 59 PP 55/2022 menetapkan batasan waktu (sunset clause) yang bertujuan mendorong PUMK untuk “naik kelas” dan beralih ke rezim PPh umum yang berbasis pembukuan. Jangka waktu tersebut adalah :  

-         Paling lama 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi.

-         Paling lama 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, CV, atau firma.

-         Paling lama 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk PT.

Jangka waktu ini dihitung sejak:

a.       Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang terdaftar sejak berlakunya PP 23/2018 (1 Juli 2018); atau

b.      Tahun Pajak 2018, bagi Wajib Pajak yang telah terdaftar sebelum berlakunya PP 23/2018.  

Kebijakan ini menciptakan apa yang dapat disebut sebagai “efek kelulusan” (graduation effect), di mana PUMK secara bertahap didorong untuk mengadopsi administrasi perpajakan yang lebih matang. Namun, di sisi lain, bagi PUMK yang tidak siap, terutama Wajib Pajak orang pribadi yang terdaftar sebelum 2018 dan masa fasilitasnya berakhir pada akhir tahun 2024, kebijakan ini dapat menciptakan “jurang kepatuhan” (compliance cliff). Mereka akan dihadapkan pada kewajiban pembukuan yang kompleks dan tarif pajak yang berpotensi lebih tinggi secara tiba-tiba, yang dapat memicu ketidakpatuhan.  

Pengecualian Objek Pajak: Jasa Terkait Pekerjaan Bebas

Sebuah pengecualian penting diatur dalam Pasal 56 ayat (4) huruf a PP 55/2022, yang menyatakan bahwa ketentuan PPh Final ini tidak berlaku atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Penjelasan peraturan tersebut merinci jenis-jenis pekerjaan bebas yang dimaksud, antara lain:  

-         Tenaga ahli seperti pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

-         Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, sutradara, kru film, dan sejenisnya;

-         Olahragawan;

-         Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;

-         Pengarang, peneliti, dan penerjemah;

-         Agen iklan, perantara, dan agen asuransi.

Pengecualian ini menegaskan bahwa penghasilan yang bersumber dari keahlian atau talenta personal, meskipun dijalankan secara mandiri, harus dikenai PPh dengan mekanisme umum (tarif progresif Pasal 17 UU PPh), bukan PPh Final 0,5%.

Tabel Perbandingan PP 23/2018 vs PP 55/2022

Aspek Ketentuan

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022

Status Hukum

Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

Berlaku sejak 20 Desember 2022

Tarif PPh Final

0,5% dari seluruh peredaran bruto

0,5% dari peredaran bruto

Fasilitas WP OP

Tidak ada. Pajak dikenakan sejak rupiah pertama omzet.

Bagian peredaran bruto s.d. Rp500 juta dalam setahun tidak dikenai pajak.

Subjek WP Badan

PT, Koperasi, CV, Firma

PT (termasuk PT Perorangan), Koperasi, CV, Firma, BUMDes/BUMDESma

Jangka Waktu

Sama untuk semua bentuk Wajib Pajak

Berbeda: WP OP (7 tahun), Koperasi/CV/Firma (4 tahun), PT (3 tahun)

Pengecualian

Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas

Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas (dipertegas dan dirinci)

Mekanisme Administratif dan Kewajiban Prosedural

Implementasi kebijakan PPh Final PUMK yang baru sangat bergantung pada serangkaian prosedur administratif yang harus dipahami baik oleh Wajib Pajak maupun lawan transaksinya. Kegagalan dalam memenuhi aspek prosedural ini sering kali menjadi sumber utama sengketa perpajakan.

Peran Sentral Surat Keterangan (SKet)

Surat Keterangan (SKet) berfungsi sebagai instrumen komunikasi formal antara PUMK dengan sistem perpajakan yang lebih besar, khususnya dengan pihak yang berstatus sebagai pemotong atau pemungut pajak. SKet ini menjadi bukti otentik bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan memenuhi kriteria untuk dikenai PPh Final 0,5% berdasarkan PP 55/2022. Tanpa SKet, pemotong/pemungut pajak tidak memiliki dasar hukum untuk menerapkan tarif khusus 0,5% dan secara default akan menerapkan tarif PPh normal (misalnya PPh Pasal 23).  

Sesuai dengan PMK 164/2023, pengajuan permohonan SKet kini dapat dilakukan secara elektronik melalui saluran yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), seperti aplikasi M-Pajak, yang mempermudah dan mempercepat prosesnya. Meskipun dasar hukumnya telah beralih ke PP 55/2022, dalam praktik sistem DJP, nomenklatur “Surat Keterangan PP 23/2018” masih digunakan hingga adanya penyesuaian teknis lebih lanjut.  

Kewajiban Pemotongan oleh Pihak Ketiga

Ketika PUMK bertransaksi dengan pemotong atau pemungut pajak (misalnya, instansi pemerintah, BUMN, atau Wajib Pajak badan tertentu), pelunasan PPh Final dapat dilakukan melalui mekanisme pemotongan. Pasal 8 ayat (1) PMK 164/2023 mengatur bahwa pemotong/pemungut wajib melakukan pemotongan PPh Final sebesar 0,5% dari jumlah bruto, dengan syarat Wajib Pajak PUMK menyerahkan fotokopi SKet yang telah terkonfirmasi kebenarannya. Kegagalan PUMK dalam menyerahkan SKet akan berakibat pada penerapan tarif pemotongan normal, yang dapat memicu isu pajak berganda, di mana PUMK telah menyetor sendiri PPh Final 0,5% dan pada saat yang sama juga dipotong PPh Pasal 23 oleh lawan transaksi.

Surat Pernyataan untuk Omzet di Bawah Rp500 Juta

Untuk mengimplementasikan fasilitas pembebasan pajak bagi WP Orang Pribadi dengan omzet kumulatif belum melebihi Rp500 juta, Pasal 8 ayat (3) PMK 164/2023 memperkenalkan instrumen baru, yaitu “Surat Pernyataan”. Wajib Pajak orang pribadi dapat menyerahkan surat ini kepada pemotong/pemungut sebagai dasar agar tidak dilakukan pemotongan atau pemungutan PPh sama sekali. Namun, terdapat konsekuensi hukum yang serius apabila surat pernyataan tersebut terbukti tidak benar, misalnya karena omzet sebenarnya telah melampaui batas Rp500 juta. DJP dapat menerbitkan surat ketetapan pajak beserta sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku.  

Memilih Skema PPh Umum (Opting Out)

Wajib Pajak yang memenuhi kriteria PPh Final namun merasa lebih diuntungkan jika menggunakan skema PPh umum (misalnya karena usahanya sedang merugi atau memiliki banyak biaya yang dapat dikurangkan) diberikan opsi untuk memilih. Berdasarkan Pasal 5 PMK 164/2023, Wajib Pajak tersebut harus menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat pada akhir Tahun Pajak. Pilihan tersebut akan mengikat dan mulai berlaku untuk Tahun Pajak berikutnya. Sekali memilih untuk dikenai PPh umum, Wajib Pajak tidak dapat kembali menggunakan skema PPh Final pada tahun-tahun pajak berikutnya.  

Analisis Kritis dan Perspektif Adagium Hukum

Setiap perubahan kebijakan hukum membawa implikasi yang dapat dianalisis melalui lensa teori dan adagium hukum untuk memahami filosofi dan potensi tantangan dalam implementasinya.

Lex Posterior Derogat Legi Priori

Adagium ini, yang berarti “hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama,” berlaku secara textbook dalam transisi dari PP 23/2018 ke PP 55/2022. Pencabutan secara eksplisit memberikan kepastian hukum (rechtssicherheit) mengenai peraturan mana yang menjadi rujukan utama. Ini adalah fondasi dari tertib hukum, memastikan tidak ada dualisme atau ambiguitas dalam penerapan norma.

Keseimbangan Antara Keadilan (Gerechtigkeit) dan Kepastian Hukum (Rechtssicherheit)

Reformasi pajak PUMK ini merupakan manifestasi dari upaya pemerintah untuk mencapai keadilan substantif (gerechtigkeit). Fasilitas pembebasan omzet Rp500 juta adalah langkah konkret untuk meringankan beban pajak bagi pelaku usaha di level paling mikro, yang sejalan dengan prinsip kemampuan membayar (ability to pay). Namun, upaya mencapai keadilan ini datang dengan konsekuensi. Penambahan lapisan aturan, seperti batasan omzet, jangka waktu yang berbeda untuk setiap bentuk badan, dan pengecualian spesifik untuk pekerjaan bebas, secara inheren meningkatkan kompleksitas. Hal ini berpotensi mengurangi kesederhanaan administrasi yang menjadi keunggulan utama rezim PPh Final sebelumnya, sehingga dapat sedikit menggerus aspek kepastian dan kemudahan bagi Wajib Pajak.

Asas Fiksi Hukum (Presumptio Iures de Iure)

Asas fiksi hukum menyatakan bahwa ketika suatu peraturan telah diundangkan, setiap orang dianggap mengetahuinya. Meskipun asas ini menjadi pilar dalam sistem hukum modern, penerapannya pada segmen PUMK menghadirkan tantangan nyata. Tingkat literasi hukum dan pajak di kalangan PUMK yang umumnya masih terbatas membuat asumsi “dianggap tahu” menjadi problematis. Kompleksitas aturan yang baru menuntut upaya sosialisasi yang masif dan berkelanjutan dari otoritas pajak agar tujuan kebijakan dapat tercapai dan Wajib Pajak tidak terjerat dalam ketidakpatuhan karena ketidaktahuan. Tanpa sosialisasi yang efektif, kebijakan yang baik di atas kertas dapat gagal dalam implementasinya.  

Lebih jauh, kerangka kebijakan PPh Final yang baru ini, dengan segala perangkat administratifnya, secara tidak langsung berfungsi sebagai alat “formalisasi paksa” (forced formalization). Untuk dapat bertransaksi secara efisien dengan entitas yang lebih besar (pemotong pajak), PUMK didorong untuk memiliki NPWP dan mengurus SKet. Di sisi lain, adanya batas waktu pemanfaatan fasilitas memaksa PUMK untuk pada akhirnya mengadopsi sistem pembukuan standar. Kedua mekanisme ini mendorong PUMK untuk masuk ke dalam sistem administrasi formal, yang pada akhirnya memperluas basis data Wajib Pajak dan meningkatkan jejak ekonomi formal di Indonesia.  

Praktik Peradilan Pajak

Sengketa perpajakan yang sampai ke tingkat pengadilan memberikan gambaran nyata mengenai area-area abu-abu dan tantangan implementasi peraturan. Berikut adalah beberapa contoh kasus dan area sengketa yang relevan, yang menggambarkan potensi permasalahan dalam penerapan PPh Final bagi PUMK.

Sengketa Kredit Pajak dan Pajak Berganda

Sebagaimana Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT-002756.15/2018/PP/M.XIIIA Tahun 2019, tertanggal 18 Oktober 2018, dalam kasus ini, yang relevan secara prinsip meskipun terjadi di era PP 46/2013, Wajib Pajak (Pemohon Banding) yang dikenai PPh Final telah mengalami pemotongan PPh Pasal 23 oleh lawan transaksi dan pemungutan PPh Pasal 22 Impor. Direktorat Jenderal Pajak (Terbanding) berargumen bahwa karena PPh-nya bersifat final, maka PPh lain yang telah dipotong/dipungut tersebut tidak dapat dikreditkan atau diperhitungkan dalam SPT Tahunan. Majelis Hakim Pengadilan Pajak, dengan merujuk pada Surat Edaran Dirjen Pajak, mengabulkan seluruhnya permohonan banding Wajib Pajak. Majelis berpendapat bahwa atas PPh yang telah dipotong/dipungut tersebut, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang. Putusan ini menjadi yurisprudensi penting yang menegaskan bahwa PUMK yang mengalami pemotongan ganda (misalnya karena tidak menyerahkan SKet atau kesalahan pemotong) memiliki mekanisme hukum untuk memulihkan haknya, meskipun prosesnya memerlukan upaya administratif (keberatan dan banding)

Kemungkinan Akan Ada Arena Sengketa Lainnya

Area Sengketa 2: Penentuan Peredaran Bruto

Salah satu area sengketa yang paling sering terjadi adalah koreksi atas peredaran bruto yang dilaporkan oleh Wajib Pajak. Dalam praktiknya, DJP seringkali menggunakan metode ekualisasi, yaitu membandingkan data omzet yang dilaporkan dalam SPT PPh dengan data penyerahan dalam SPT PPN. Selain itu, DJP juga dapat menggunakan data dari pihak ketiga, seperti bukti potong PPh Pasal 23 yang diterima PUMK dari para pelanggannya, atau data penjualan dari platform marketplace. Apabila ditemukan selisih di mana omzet yang dilaporkan lebih rendah dari data pembanding, DJP dapat melakukan koreksi. Jika koreksi tersebut menyebabkan total peredaran bruto Wajib Pajak melebihi ambang batas Rp4,8 Miliar, maka Wajib Pajak dapat kehilangan haknya untuk menggunakan tarif PPh Final dan akan dihitung ulang pajaknya menggunakan tarif umum yang berlaku, yang seringkali berujung pada terbitnya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).  

Area Sengketa 3: Interpretasi Jasa Pekerjaan Bebas

Pengecualian penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas menjadi area abu-abu yang berpotensi menimbulkan sengketa. Permasalahan interpretasi dapat muncul ketika jasa tersebut disediakan melalui entitas badan usaha seperti Persekutuan Komanditer (CV) atau Firma. Sebagai contoh, DJP telah memberikan penegasan bahwa sebuah CV yang didirikan oleh para konsultan pajak untuk menyediakan jasa konsultasi, tidak dapat memanfaatkan fasilitas PPh Final 0,5%. Alasannya, meskipun berbentuk badan, jenis jasa yang diberikan identik dengan jasa pekerjaan bebas yang dikecualikan oleh peraturan. Sengketa semacam ini menguji batasan definisi "pekerjaan bebas" dan apakah pengecualian tersebut hanya berlaku bagi orang pribadi atau juga bagi badan usaha yang bergerak di bidang jasa profesi.  

Potensi Sengketa 4: Batas Waktu Pemanfaatan Fasilitas

Ketentuan batas waktu (sunset clause) merupakan area yang berpotensi besar menimbulkan sengketa di masa mendatang. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang telah terdaftar sebelum tahun 2018, fasilitas PPh Final akan berakhir pada akhir Tahun Pajak 2024. Mulai Tahun Pajak 2025, mereka wajib beralih menggunakan mekanisme PPh umum, baik dengan menyelenggarakan pembukuan maupun menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).

Sengketa dapat timbul apabila Wajib Pajak, karena ketidaktahuan atau kelalaian, tetap menyetorkan PPh Final 0,5% pada tahun 2025. Dalam situasi ini, DJP berwenang menerbitkan SKPKB untuk menagih kekurangan pajak yang dihitung berdasarkan tarif umum, beserta sanksi administrasinya. Kasus semacam ini akan menguji penerapan asas fiksi hukum (presumptio iures de iure), di mana Wajib Pajak dianggap mengetahui hukum yang berlaku, terlepas dari apakah mereka telah menerima sosialisasi yang memadai atau tidak.  

Implikasi Strategis bagi Pelaku Usaha

Transformasi regulasi pajak bagi PUMK melalui UU HPP dan peraturan pelaksananya membawa perubahan yang substansial. Poin-poin krusial yang harus menjadi perhatian utama adalah pengenalan fasilitas pembebasan omzet hingga Rp500 juta bagi Wajib Pajak orang pribadi, pemberlakuan jangka waktu pemanfaatan fasilitas yang terbatas, serta penegasan pengecualian untuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Menghadapi kerangka hukum yang baru ini, PUMK tidak bisa lagi bersikap pasif. Diperlukan langkah-langkah proaktif dan strategis untuk memastikan kepatuhan sekaligus mengoptimalkan posisi perpajakan.

Panggilan untuk Bertindak (Call to Action):

1.        Evaluasi Status Pajak: Pelaku usaha harus segera melakukan evaluasi internal. Identifikasi bentuk usaha (orang pribadi atau badan), tanggal terdaftar di sistem pajak, dan jenis usaha utama. Langkah ini krusial untuk menentukan apakah Anda masih berhak menggunakan fasilitas PPh Final dan berapa lama sisa jangka waktu yang tersedia.

2.       Administrasi Proaktif: Jangan menunda pengurusan Surat Keterangan (SKet). Jadikan SKet sebagai dokumen standar yang dilampirkan dalam setiap penagihan kepada klien yang berstatus pemotong/pemungut pajak. Bagi WP Orang Pribadi, pahami mekanisme penggunaan Surat Pernyataan untuk transaksi saat omzet kumulatif masih di bawah Rp500 juta. Langkah ini adalah benteng pertahanan utama untuk mencegah sengketa pajak berganda.

3.      Perencanaan Transisi: Bagi PUMK yang masa berlaku fasilitas PPh Final-nya akan segera berakhir, perencanaan transisi adalah sebuah keharusan. Mulailah membangun sistem pembukuan yang memadai, yang tidak hanya mencatat omzet tetapi juga seluruh biaya usaha secara terperinci. Konsultasi dengan ahli pajak atau akuntan dapat menjadi investasi yang bijaksana untuk mempersiapkan peralihan ke rezim PPh umum.

Meskipun regulasi baru ini tampak lebih kompleks, ia sejatinya menawarkan instrumen keadilan yang lebih tajam dan mendorong PUMK untuk berevolusi. Dengan beradaptasi terhadap aturan main yang baru, PUMK tidak hanya memenuhi kewajiban sebagai warga negara, tetapi juga membangun fondasi bisnis yang lebih kuat, profesional, dan siap untuk tumbuh ke skala yang lebih besar.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.