layananhukum

Apa itu Bank Sentral? Peran Bank Indonesia dan Perbedaan Kewenangan dengan Otoritas Jasa Keuangan

 

Pengantar

Dalam kaca mata perekonomian modern, stabilitas moneter dan sistem keuangan merupakan pilar fundamental yang menopang pembangunan ekonomi berkelanjutan serta kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, mandat untuk menjaga stabilitas tersebut diemban oleh dua lembaga utama dengan peran yang saling melengkapi namun berbeda secara fundamental yaitu Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas terintegrasi. Memahami peran, kewenangan, serta delimitasi tugas di antara keduanya adalah esensial untuk mengapresiasi kompleksitas tata kelola sektor keuangan nasional.

Landasan filosofis yang menjiwai pembentukan dan operasionalisasi kedua lembaga ini dapat ditarik dari adagium hukum universal, Salus Populi Suprema Lex Esto, yang berarti “Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi”. Diktum yang pertama kali dikemukakan oleh filsuf dan negarawan Romawi, Marcus Tullius Cicero, dalam karyanya De Legibus, menegaskan bahwa tujuan akhir dari seluruh perangkat hukum dan kebijakan negara adalah untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan kemakmuran rakyatnya

Semangat ini termanifestasi secara luhur dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya pada alinea keempat yang mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum.   

Dalam konteks ekonomi, adagium ini bukanlah sekadar hiasan retoris, melainkan justifikasi fundamental bagi eksistensi dan independensi lembaga otoritas moneter dan pengawas keuangan. Kesejahteraan rakyat secara ekonomi diwujudkan melalui stabilitas harga, keamanan dana masyarakat di lembaga keuangan, dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. 

Untuk mencapai tujuan luhur ini, diperlukan kebijakan ekonomi yang kredibel, konsisten, dan berorientasi jangka panjang, serta terbebas dari intervensi politik sesaat yang berpotensi merusak. Oleh karena itu, mandat untuk menjaga stabilitas moneter (BI) dan kesehatan sektor jasa keuangan (OJK) secara sadar didelegasikan kepada lembaga-lembaga independen. Independensi kelembagaan ini menjadi instrumen yuridis krusial untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil, meskipun terkadang tidak populer, senantiasa berorientasi pada “keselamatan rakyat” dalam jangka panjang, melindungi perekonomian dari ancaman krisis yang lebih besar.   

Tinjauan Historis dan Konseptual Bank Sentral

Sejarah dan Definisi Konseptual Bank Sentral di Dunia

Konsep bank sentral tidak lahir dalam semalam, melainkan berevolusi seiring dengan perkembangan sistem keuangan global. Cikal bakalnya dapat ditelusuri dari bank-bank komersial yang memperoleh hak istimewa (charter) dari kerajaan untuk menerbitkan uang kertas, seperti Bank of England (BoE) yang didirikan pada tahun 1694.

Awalnya, fungsi utama lembaga-lembaga ini adalah sebagai bankir bagi pemerintah, termasuk membiayai perang dan mengelola utang negara. Seiring waktu, peran mereka berkembang menjadi penjaga stabilitas sistem keuangan, terutama setelah serangkaian krisis perbankan pada abad ke-19 yang menyoroti perlunya suatu lembaga yang dapat bertindak sebagai penjamin likuiditas terakhir atau lender of the last resort.   

Secara konseptual, bank sentral dapat didefinisikan sebagai suatu lembaga negara yang diberi mandat dan tanggung jawab utama untuk merumuskan serta melaksanakan kebijakan moneter, dengan tujuan utama mencapai dan memelihara stabilitas harga (mengendalikan inflasi). 

Selain itu, bank sentral juga memiliki fungsi krusial dalam mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta menjaga stabilitas sistem perbankan dan keuangan secara keseluruhan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Beberapa bank sentral terkemuka di dunia yang menjadi rujukan antara lain Federal Reserve System (AS), European Central Bank (ECB) untuk kawasan Euro, Bank of Japan (BOJ), dan Bank of England (BoE).   

Evolusi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Republik Indonesia

Sejarah kelembagaan Bank Indonesia merupakan sebuah narasi panjang yang merefleksikan dinamika politik dan ekonomi bangsa. Perjalanannya dapat ditelusuri melalui empat era utama, yang masing-masing ditandai oleh landasan hukum dan paradigma kebijakan yang berbeda, menggambarkan tarik-menarik antara peran bank sentral sebagai instrumen kebijakan pemerintah dan sebagai lembaga independen penjaga stabilitas moneter.

Akar Sejarah: De Javasche Bank (1828-1953)

Cikal bakal Bank Indonesia adalah De Javasche Bank (DJB), yang didirikan pada tanggal 24 Januari 1828 berdasarkan hak istimewa (octrooi) dari Raja William I dari Belanda. Berstatus sebagai bank swasta, DJB diberi wewenang untuk bertindak sebagai bank sirkulasi (bank of issue), yaitu mencetak dan mengedarkan mata uang Gulden Hindia Belanda. 

Meskipun beroperasi sebagai badan hukum swasta, kegiatan DJB sangat erat kaitannya dengan kepentingan ekonomi dan fiskal pemerintah kolonial, yang menunjukkan bahwa fungsi kebanksentralan pada masa itu belum terlepas dari kepentingan penguasa.   

Era Orde Lama (1953-1967): Nasionalisasi dan Kedaulatan Moneter

Sebagai wujud kedaulatan ekonomi negara yang baru merdeka, Pemerintah Republik Indonesia menasionalisasi DJB. Proses ini diawali dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V.. Selanjutnya, pada tanggal 1 Juli 1953, Bank Indonesia secara resmi berdiri sebagai bank sentral Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia.

Berdasarkan undang-undang ini, Bank Indonesia ditetapkan sebagai badan hukum milik negara dengan tugas ganda yaitu menjaga stabilitas nilai Rupiah dan memajukan urusan kredit, yang mencakup pula fungsi-fungsi komersialPada era ini, kebijakan moneter Bank Indonesia tidak independen, melainkan berada di bawah kendali pemerintah melalui sebuah Dewan Moneter. Struktur ini merefleksikan paradigma ekonomi terpimpin yang dianut pada masa itu, di mana bank sentral diposisikan sebagai subordinat dari kekuasaan eksekutif.   

Era Orde Baru (1968-1998): Agen Pembangunan dan Pemegang Kas Negara

Memasuki era Orde Baru, kedudukan Bank Indonesia diatur kembali melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, yang selanjutnya disebut dengan “UU Bank Sentral 1968”. Undang-undang ini menegaskan kembali status BI sebagai bank sentral tunggal, dan secara signifikan menghapuskan fungsi komersial yang dimilikinya. Namun, penghapusan ini diiringi dengan penegasan peran baru yang menempatkan BI dalam posisi yang tetap subordinat terhadap pemerintah.

Sebagaimana ketentuan Pasal 7 UU Bank Sentral 1968 secara eksplisit menyatakan bahwa tugas pokok Bank Indonesia adalah:

“membantu Pemerintah dalam:

a.       mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah;

b.       mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna peningkatan taraf hidup masyarakat”. 

Peran sebagai “agen pembangunan” ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang inheren, di mana BI harus menyeimbangkan antara mandat menjaga stabilitas harga dengan tuntutan untuk mendukung program-program pembangunan pemerintah yang seringkali bersifat ekspansif dan berisiko inflasioner.

Selain itu, Pasal 34 UU Bank Sentral 1968 juga menegaskan peran BI sebagai “Pemegang Kas Pemerintah”. Model ini menempatkan bank sentral sebagai instrumen dominasi kebijakan fiskal (fiscal dominance).

Kerangka hukum perbankan pada masa ini juga diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang selanjutnya disebut “UU Perbankan”, yang menjadi landasan operasional perbankan di bawah pengawasan BI sebelum era reformasi.

Era Reformasi (1999-Sekarang): Titik Balik Menuju Independensi

Krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998 menjadi titik balik yang fundamental bagi kelembagaan Bank Indonesia. Krisis tersebut membuktikan secara empiris kegagalan model bank sentral yang subordinat. Ketidakmampuan BI untuk menolak tekanan politik dan mengawasi sektor perbankan secara efektif dipandang sebagai salah satu akar masalah yang memperdalam krisis.   

Sebagai respons langsung, lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan “UU BI 1999”. Undang-undang ini secara radikal mengubah kedudukan BI menjadi sebuah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain. 

Perannya sebagai “agen pembangunan” secara tegas dihapuskan, dan digantikan dengan penetapan tujuan tunggal yang jelas. Perubahan status hukum ini bukan sekadar amandemen teknis, melainkan cerminan dari pergeseran paradigma tata kelola ekonomi negara secara fundamental, dari model yang didominasi fiskal menjadi model yang memprioritaskan stabilitas moneter.   

UU BI 1999 kemudian mengalami beberapa kali perubahan untuk menyesuaikan dengan dinamika dan tantangan zaman. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia diterbitkan untuk menyempurnakan beberapa aspek, termasuk memperpanjang tenggat waktu pembentukan lembaga pengawas sektor jasa keuangan. Selanjutnya, sebagai respons terhadap krisis keuangan global 2008, diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009. Perubahan ini mempertegas peran BI sebagai lender of the last resort dengan menyesuaikan ketentuan agunan untuk fasilitas pembiayaan jangka pendek guna menjaga kepercayaan terhadap sistem perbankan.

Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Bank Indonesia Pasca-Reformasi

Pasca-reformasi, kerangka hukum yang diatur dalam UU BI 1999 beserta perubahannya memberikan landasan yang kokoh bagi Bank Indonesia untuk menjalankan perannya sebagai otoritas moneter yang kredibel.

Tujuan Tunggal Bank Indonesia

Sebagiamana ketentuan Pasal 7 UU BI 1999 menyatakan secara tegas: 

”Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah”. 

Kestabilan nilai Rupiah ini mengandung dua dimensi utama. Pertama, kestabilan terhadap harga barang dan jasa, yang tecermin pada laju inflasi yang rendah dan stabil. Kedua, kestabilan terhadap mata uang negara lain, yang tecermin pada pergerakan nilai tukar Rupiah yang terkendali.   

Tiga Pilar Tugas Utama

Untuk mencapai tujuan tunggal tersebut, Pasal 8 UU BI 1999 mengamanatkan Bank Indonesia untuk melaksanakan tiga pilar tugas utama:   

1.        Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan Moneter

Kewenangan ini mencakup penetapan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi, serta melakukan pengendalian moneter melalui berbagai instrumen, antara lain: operasi pasar terbuka di pasar uang, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.   

2.       Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran

Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengatur dan menyelenggarakan sistem pembayaran, baik tunai maupun non-tunai. Dalam sistem pembayaran tunai, BI memiliki hak tunggal untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah. Dalam sistem non-tunai, BI menyelenggarakan mekanisme seperti kliring dan Real Time Gross Settlement (RTGS) untuk memastikan transaksi antarbank berjalan aman, efisien, dan andal.   

3.      Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

Awalnya, UU BI 1999 memberikan tugas mengatur dan mengawasi bank secara langsung kepada BI. Namun, pasca-pembentukan OJK, tugas ini bertransformasi menjadi menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui penerapan kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial bertujuan untuk membatasi risiko sistemik yang dapat mengancam kestabilan sistem keuangan secara keseluruhan.   

Hubungan dengan Pemerintah

Meskipun independen, Bank Indonesia tetap menjalin hubungan kemitraan strategis dengan Pemerintah. Berdasarkan undang-undang, BI bertindak sebagai pemegang kas Pemerintah, memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), serta Pemerintah wajib berkonsultasi dengan BI sebelum menerbitkan Surat Utang Negara. 

Namun, untuk menjaga independensi dan kredibilitas kebijakan moneter, UU BI 1999 secara tegas melarang Bank Indonesia memberikan kredit kepada Pemerintah untuk membiayai defisit anggaran. Keseimbangan ini krusial untuk memastikan adanya koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter tanpa mengorbankan mandat utama BI dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah.   

Kelahiran Otoritas Jasa Keuangan: Reformasi Arsitektur Pengawasan Keuangan

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan merupakan salah satu reformasi kelembagaan paling signifikan dalam sejarah sektor keuangan Indonesia, yang lahir dari pelajaran pahit krisis ekonomi 1997-1998.

Latar Belakang Krisis 1997-1998: Kegagalan Pengawasan Mikroprudensial

Krisis 1997-1998 secara telanjang mengungkap berbagai kelemahan fundamental dalam sistem pengawasan perbankan yang saat itu sepenuhnya berada di bawah Bank Indonesia. Kegagalan ini bersifat multidimensional, mencakup sistem pengawasan yang masih tradisional dan kurang responsif terhadap dinamika industri, lemahnya mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran, serta kegagalan dalam mendeteksi praktik tata kelola perbankan yang buruk, seperti pemberian kredit berlebihan kepada grup usaha sendiri (connected lending).   

Kegagalan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga institusional. Peran ganda yang diemban Bank Indonesia sebagai otoritas moneter sekaligus pengawas bank menciptakan potensi konflik kepentingan. Di satu sisi, BI harus menjaga stabilitas moneter; di sisi lain, ia harus mengawasi kesehatan bank secara individual. Dalam situasi tertentu, BI mungkin enggan mengambil tindakan pengawasan yang tegas terhadap bank yang bermasalah karena khawatir tindakan tersebut dapat memicu kepanikan pasar dan mengganggu stabilitas moneter secara keseluruhan.   

Amanat Reformasi: Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia

Sebagai solusi atas kegagalan struktural tersebut, UU BI 1999 secara visioner mengamanatkan pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyatakan: 

“Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang”. 

Ini merupakan pengakuan yuridis atas kegagalan model pengawasan tunggal oleh bank sentral dan menjadi landasan hukum bagi pembentukan OJK.

Amanat pembentukan lembaga ini semula ditargetkan paling lambat 31 Desember 2002. Namun, karena kompleksitas persiapan, tenggat waktu tersebut diperpanjang hingga 31 Desember 2010 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Proses yang memakan waktu lebih dari satu dekade ini menunjukkan bahwa reformasi kelembagaan besar, bahkan yang diamanatkan sebagai respons atas krisis, seringkali menghadapi inersia birokrasi dan politik yang signifikan.   

Proses Peralihan Kewenangan ke OJK

Amanat reformasi tersebut akhirnya terwujud dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disebut dengan “UU OJK”. Undang-undang ini menjadi dasar hukum pembentukan OJK sebagai lembaga pengawas terintegrasi untuk seluruh sektor jasa keuangan, mencakup perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank (IKNB).   

Proses peralihan kewenangan diatur secara spesifik dalam ketentuan peralihan UU OJK. Pasal 55 ayat (2) UU OJK menetapkan bahwa sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia kepada OJK. Lebih lanjut, Pasal 69 ayat (1) huruf (a) UU OJK menegaskan bahwa tugas pengaturan dan pengawasan yang dialihkan adalah yang berkaitan dengan pengawasan microprudential, yaitu pengawasan terhadap kesehatan bank secara individual.

Tugas, Fungsi, dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan

Sebagai lembaga pengawas yang independen, OJK memiliki tujuan, fungsi, tugas, dan wewenang yang luas untuk memastikan stabilitas dan integritas sektor jasa keuangan.

Tujuan, Fungsi, dan Tugas OJK

Berdasarkan Pasal 4 UU OJK, tujuan pembentukan OJK dirumuskan, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

(a)     terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

(b)    mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

(c)     mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.   

Untuk mencapai tujuan tersebut, Pasal 5 UU OJK menetapkan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Selanjutnya, Pasal 6 UU OJK merinci bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal, serta Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.   

Wewenang Pengaturan dan Pengawasan OJK

Untuk melaksanakan tugasnya, Pasal 7 dan Pasal 9 UU OJK memberikan wewenang yang komprehensif kepada OJK. Di sektor perbankan, wewenang ini mencakup seluruh siklus kehidupan sebuah bank, mulai dari:

(a)     Perizinan (licensing), yang mana memberikan dan mencabut izin usaha, izin pembukaan kantor, dan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank;

(b)    Pengaturan (regulating), dengan menetapkan peraturan mengenai kesehatan bank, yang meliputi aspek likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal, tata kelola perusahaan (good corporate governance), dan manajemen risiko;

(c)     Pengawasan (supervising), dengan melakukan pengawasan, baik secara langsung (pemeriksaan ke kantor bank) maupun tidak langsung (analisis laporan).

(d)    Penegakan Hukum (enforcing), dengan menetapkan sanksi administratif terhadap bank dan pihak-pihak terkait yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.   

Delimitasi Kewenangan dan Sinergi Antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan

Dengan beroperasinya OJK, arsitektur pengaturan dan pengawasan sektor keuangan Indonesia memasuki babak baru dengan pembagian peran yang jelas antara BI dan OJK, yang menuntut sinergi dan koordinasi yang kuat.

Pembagian Peran: Makroprudensial vs. Mikroprudensial

Pemisahan kewenangan antara BI dan OJK didasarkan pada dua konsep pengawasan yang berbeda namun saling terkait:

1.        Pengawasan Mikroprudensial (Kewenangan OJK)

Fokus pengawasan ini adalah pada kesehatan dan ketahanan lembaga jasa keuangan secara individual. OJK bertanggung jawab untuk memastikan setiap bank, perusahaan asuransi, atau manajer investasi dikelola dengan baik, mematuhi prinsip kehati-hatian, dan mampu memenuhi kewajibannya kepada nasabah dan investor. Analogi yang sering digunakan adalah OJK bertugas memastikan setiap “pohon” dalam “hutan” keuangan tumbuh sehat dan kuat.   

2.       Pengawasan Makroprudensial (Kewenangan BI)

Fokus pengawasan ini adalah pada sistem keuangan sebagai satu kesatuan. BI bertanggung jawab untuk mengidentifikasi, memantau, dan memitigasi risiko sistemik, yaitu risiko kegagalan yang dapat menular dan meruntuhkan seluruh sistem keuangan. BI tidak lagi mengawasi kesehatan satu per satu bank, melainkan menganalisis bagaimana interaksi antarlembaga keuangan dan kondisi ekonomi makro dapat menciptakan kerentanan sistemik. Dengan analogi yang sama, BI bertugas mencegah agar “hutan” keuangan tidak terbakar akibat masalah yang menyebar dari satu atau beberapa pohon.   

Pemisahan ini menciptakan suatu ketergantungan informasi yang kritis. OJK, melalui pengawasan mikroprudensialnya, merupakan “mata” di lapangan yang memiliki data granular mengenai kondisi setiap lembaga keuangan. Sementara itu, BI, sebagai “otak” analisis sistemik, sangat membutuhkan data-data mikro tersebut untuk dapat menjalankan fungsi makroprudensialnya secara efektif. Tanpa akses data yang lancar dari OJK, BI tidak akan mampu mengidentifikasi potensi risiko sistemik yang bersumber dari masalah di tingkat institusi.

Mekanisme Koordinasi dan Penguatan Kerangka Regulasi

Menyadari adanya ketergantungan tersebut, kerangka hukum secara eksplisit mengatur mekanisme koordinasi. Pasal 39 UU OJK mengamanatkan OJK untuk berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan. Koordinasi ini dilembagakan secara formal dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Forum ini menjadi urat nadi yang menghubungkan pengawasan mikro dan makro, memastikan tidak ada celah atau tumpang tindih regulasi yang dapat menciptakan “titik buta” pengawasan.   

Kerangka regulasi dan koordinasi ini terus disempurnakan untuk merespons dinamika industri yang cepat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, yang selanjutnya disebut dengan “UU P2SK”, memberikan mandat baru kepada BI di bidang makroprudensial dan memperkuat peran OJK dalam pengawasan terintegrasi, termasuk di sektor inovasi teknologi keuangan, aset keuangan digital, dan aset kripto. UU P2SK tidak mengubah pembagian fundamental makro-mikro, namun memperluas dan memperjelas cakupan kewenangan masing-masing lembaga untuk menghadapi tantangan zaman.   

Penutup

Perjalanan kelembagaan otoritas moneter dan pengawas keuangan di Indonesia adalah sebuah evolusi yang dibentuk oleh sejarah, krisis, dan kebutuhan untuk beradaptasi. Dari satu otoritas tunggal di bawah Bank Indonesia yang sarat dengan potensi konflik kepentingan, arsitektur sektor keuangan nasional telah bertransformasi menjadi model dengan pembagian tugas yang lebih jelas: Bank Indonesia sebagai penjaga stabilitas moneter dan makroprudensial, dan Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengawas mikroprudensial yang terintegrasi dan pelindung konsumen.

Pembagian kewenangan ini, yang didasarkan pada prinsip spesialisasi antara pengawasan makroprudensial dan mikroprudensial, menciptakan sebuah sistem yang secara teoritis lebih tangguh. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada sinergi dan koordinasi yang mulus di antara kedua lembaga, terutama melalui mekanisme pertukaran informasi dan harmonisasi kebijakan dalam wadah FKSSK. Tantangan ke depan, seperti pesatnya inovasi teknologi keuangan, meningkatnya risiko siber, dan ketidakpastian ekonomi global, akan terus menguji ketahanan kerangka regulasi ini.

Pada akhirnya, kolaborasi yang efektif antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan bukan hanya sebuah keharusan teknis, melainkan sebuah imperatif hukum dan ekonomi. Hal ini merupakan perwujudan dari adagium Salus Populi Suprema Lex Esto, di mana sinergi kedua lembaga negara ini menjadi garda terdepan dalam melindungi kesejahteraan dan keselamatan ekonomi rakyat Indonesia dari gejolak keuangan di masa depan.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.