Pengantar
Industri perbankan beroperasi di atas
fondasi yang unik dan esensial, yakni kepercayaan publik (public trust).
Adagium hukum yang menyatakan bahwa perbankan adalah bisnis kepercayaan (fiduciary
principle) menegaskan bahwa kelangsungan hidup suatu bank tidak hanya
bergantung pada kekuatan modal, melainkan pada persepsi dan keyakinan
masyarakat terhadap integritas dan soliditas institusi tersebut.
Dalam konteks ini, kegagalan sebuah bank dan
proses likuidasi yang mengikutinya bukanlah sekadar peristiwa bisnis yang
merugi, melainkan sebuah ujian krusial bagi stabilitas sistem keuangan secara
keseluruhan. Oleh karena itu, likuidasi bank harus dipandang bukan sebagai
akhir yang kacau, melainkan sebagai suatu mekanisme hukum yang terstruktur dan
terkendali (ultimum remedium), yang dirancang untuk memitigasi dampak
negatif, melindungi dana nasabah, dan pada akhirnya, memulihkan kepercayaan
publik.
Untuk mengelola proses yang kompleks dan
berisiko tinggi ini, arsitektur Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) di
Indonesia ditopang oleh tiga pilar institusional dengan demarkasi peran yang
spesifik, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),
dan Bank Indonesia (BI).
OJK berfungsi sebagai otoritas pengawas
mikroprudensial yang bertugas memantau kesehatan dan kepatuhan setiap bank. BI,
sebagai bank sentral, memegang mandat stabilitas makroprudensial dan kelancaran
sistem pembayaran. Sementara itu, LPS berperan sebagai otoritas penjamin
simpanan dan resolusi bank, yang bertindak sebagai eksekutor dalam penanganan
bank gagal.
Kerangka kerja dan sinergi ketiga lembaga
ini mengalami evolusi signifikan dengan diundangkannya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor
Keuangan, yang selanjutnya disebut “UU P2SK”. Regulasi
ini tidak hanya mempertegas pembagian kewenangan, tetapi juga menandai
pergeseran paradigma fundamental dalam penanganan bank bermasalah. Sebelumnya,
kerangka hukum cenderung bersifat reaktif, di mana tindakan signifikan baru
diambil setelah sebuah bank berada pada kondisi gagal yang parah. UU P2SK,
melalui amendemen terhadap berbagai undang-undang sektoral, memperkenalkan dan
memformalkan tahapan intervensi dini yang lebih terstruktur, seperti penetapan
status “Bank dalam Penyehatan” dan “Bank dalam Resolusi”.
Formalisasi tahapan ini memungkinkan
regulator dan otoritas resolusi untuk melakukan intervensi pada stadium yang
lebih awal, sebuah pendekatan proaktif yang dirancang untuk mencegah kegagalan
total atau meminimalkan biaya dan dampak sistemik jika kegagalan tidak
terhindarkan.
Artikel ini akan melakukan analisis
yuridis-normatif secara komprehensif mengenai bagaimana sinergi dan pembagian
peran antara OJK, LPS, dan BI pasca-UU P2SK membentuk suatu kerangka kerja yang
lebih koheren dan responsif dalam proses likuidasi bank di Indonesia, guna
memitigasi risiko sistemik dan melindungi kepentingan publik secara efektif.
Definisi dan Kerangka Yuridis Likuidasi Bank
Untuk memahami proses likuidasi bank secara
utuh, penting untuk terlebih dahulu menguraikan definisi yuridis dan
membedakannya dari konsep lain yang berkaitan dalam kerangka hukum perbankan
Indonesia.
Definisi fundamental mengenai likuidasi bank
diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999
tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran, dan Likuidasi Bank, yang
selanjutnya disebut “PP 25/1999”. Pasal 1 Angka 4 PP
25/1999 menyatakan bahwa:
“Likuidasi Bank adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan
kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum
bank”.
Definisi ini menegaskan bahwa likuidasi
adalah suatu proses pemberesan (winding-up) yang terjadi setelah
eksistensi operasional dan legalitas bank secara resmi diakhiri melalui
pencabutan izin usaha.
Namun, seiring dengan perkembangan kerangka
JPSK, terutama pasca-UU P2SK, terminologi dalam penanganan bank
gagal menjadi lebih spesifik. Penting untuk membedakan secara tegas antara
konsep “likuidasi” dan “resolusi”.
Resolusi adalah suatu tindakan penanganan
bank bermasalah yang lebih luas, yang dapat mencakup upaya penyelamatan
(misalnya melalui penyertaan modal sementara atau pengalihan aset dan kewajiban
ke bank lain) ataupun likuidasi. Likuidasi, dengan demikian, adalah salah satu
opsi atau hasil akhir dari proses resolusi.
UU P2SK secara formal
memperkenalkan istilah “Bank Dalam Resolusi” sebagai status hukum
krusial yang mendahului tindakan resolusi oleh LPS. Melalui perubahan terhadap Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan,
yang selanjutnya disebut “UU LPS”, Pasal 1 Angka 7 yang baru
mendefinisikan:
“Bank Dalam Resolusi adalah Bank yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan sebagai Bank yang:
a.
mengalami kesulitan keuangan;
b.
membahayakan kelangsungan usahanya; dan
c.
tidak dapat disehatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai
dengan kewenangannya.”.
Definisi ini memiliki implikasi yuridis yang
sangat penting. Pertama, status “Bank Dalam Resolusi” bukanlah status
yang ditentukan sendiri oleh bank atau LPS, melainkan sebuah penetapan
administratif yang menjadi kewenangan absolut OJK sebagai otoritas pengawas.
Kedua, penetapan ini menjadi pemicu hukum (legal trigger) yang
memberikan landasan bagi LPS untuk mengambil alih kewenangan penanganan bank
tersebut dari OJK.
Dengan demikian, kerangka hukum modern
memandang likuidasi bukan sebagai peristiwa tunggal, melainkan sebagai puncak
dari serangkaian proses pengawasan dan intervensi yang terstruktur, yang
diawali dengan penetapan status “Bank Dalam Resolusi” oleh OJK.
Faktor Pemicu dan Syarat-Syarat Yuridis Likuidasi Bank
Likuidasi sebuah bank tidak terjadi secara
tiba-tiba, melainkan merupakan kulminasi dari serangkaian kegagalan internal
dan proses pengawasan eksternal yang berjenjang.
Faktor pemicu kegagalan bank dapat berasal
dari berbagai sumber, antara lain tata kelola perusahaan yang buruk (poor
corporate governance), praktik pemberian kredit yang tidak prudent yang
mengakibatkan tingginya rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL),
pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), hingga tindakan kecurangan
(fraud) yang dilakukan oleh pengurus atau pihak terafiliasi, sebagaimana
dapat dicermati dalam latar belakang kasus likuidasi PT BPRS Al
Hidayah. Faktor-faktor ini secara akumulatif menggerus permodalan dan
likuiditas bank hingga mencapai titik yang membahayakan kelangsungan usahanya.
Dari perspektif yuridis, proses menuju
likuidasi diinisiasi oleh OJK melalui mekanisme pengawasan yang eskalatif. UU
P2SK, melalui perubahannya terhadap Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan,
yang selanjutnya disebut “UU PPKSK”, memformalkan tahapan-tahapan
ini secara jelas.
Tahap pertama intervensi intensif adalah
penetapan status “Bank dalam Penyehatan”. Berdasarkan Pasal 16C ayat (1)
UU PPKSK sebagaimana telah diubah dengan UU P2SK, OJK
menetapkan status ini apabila suatu bank dinilai tidak memenuhi ketentuan
mengenai tingkat kesehatan, tingkat likuiditas, dan/atau tingkat permodalan
dengan memperhitungkan risiko. Pada tahap ini, bank diberi kesempatan
untuk melakukan upaya pemulihan mandiri melalui implementasi rencana aksi
pemulihan (recovery plan) di bawah pengawasan ketat OJK.
Apabila upaya penyehatan tersebut tidak
membuahkan hasil, atau kondisi bank justru semakin memburuk, maka OJK akan
mengambil langkah yuridis berikutnya yang bersifat menentukan, yaitu menetapkan
bank tersebut sebagai “Bank dalam Resolusi”. Ini adalah titik kritis yang
secara hukum menjadi prasyarat untuk penyerahan bank kepada LPS.
Syarat-syarat yuridis bagi OJK untuk
menetapkan status ini diatur secara limitatif dalam Pasal 16E ayat (1) UU
PPKSK sebagaimana telah diubah dengan UU P2SK, yang
menyatakan:
“Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank sebagai Bank dalam
resolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A ayat (2) huruf c apabila:
a.
sebelum jangka waktu Bank dalam penyehatan... berakhir, Bank
mengalami pemburukan dan tidak memenuhi ketentuan permodalan minimum dan/atau
giro wajib minimum;
b.
sampai dengan jangka waktu Bank dalam penyehatan... berakhir,
Bank belum dapat memenuhi ketentuan tingkat permodalan dengan memperhitungkan
risiko dan/atau belum dapat menyelesaikan permasalahan likuiditas mendasar;
atau
c.
Bank tidak dapat mengembalikan penempatan dana Lembaga
Penjamin Simpanan.”.
Ketentuan ini secara tegas menetapkan tiga
kondisi alternatif yang menjadi dasar hukum bagi OJK untuk menyatakan bahwa
suatu bank tidak dapat lagi disehatkan melalui mekanisme pengawasan normal dan
harus diserahkan kepada otoritas resolusi. Penetapan status “Bank dalam
Resolusi” oleh OJK inilah yang menjadi gerbang yuridis menuju proses resolusi
oleh LPS, yang salah satu opsinya adalah likuidasi.
Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK): Pengawas dan Inisiator Proses Resolusi
Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam
proses yang berujung pada likuidasi bank adalah sebagai pengawas di garda
terdepan (front-line supervisor) dan inisiator yuridis. Kewenangan
pengawasan mikroprudensial OJK yang komprehensif bersumber dari Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
yang selanjutnya disebut “UU OJK”. Pasal 7 UU OJK
memberikan wewenang kepada OJK untuk melakukan pengaturan dan pengawasan yang
mencakup tiga area vital yaitu:
(1)
kelembagaan bank (termasuk pemberian dan pencabutan izin
usaha);
(2)
kesehatan bank (meliputi permodalan, kualitas aset,
likuiditas, dan solvabilitas); serta
(3)
aspek kehati-hatian (termasuk manajemen risiko dan tata
kelola).
Kewenangan untuk mengakhiri eksistensi
sebuah bank secara eksplisit ditegaskan dalam Pasal 9 huruf h angka 1 UU
OJK, yang memberikan hak kepada OJK untuk “memberikan dan/atau
mencabut: 1. izin usaha”.
Dalam praktik, peran OJK terwujud dalam
serangkaian tindakan pengawasan yang berjenjang dan eskalatif. Ketika OJK
mendeteksi adanya permasalahan yang signifikan pada suatu bank, OJK tidak
serta-merta melakukan pencabutan izin usaha. Sebaliknya, OJK akan terlebih
dahulu menempatkan bank tersebut dalam status “Bank dalam Penyehatan” dan
mewajibkannya untuk melaksanakan rencana aksi pemulihan. Selama periode
ini, OJK melakukan pengawasan intensif untuk memantau efektivitas upaya
perbaikan yang dilakukan oleh manajemen bank.
Apabila upaya penyehatan tersebut dinilai
gagal dan kondisi bank memenuhi salah satu kriteria yuridis sebagaimana diatur
dalam Pasal 16E UU PPKSK yang telah diubah, OJK akan menggunakan
kewenangannya untuk menetapkan status bank menjadi “Bank dalam Resolusi”. Penetapan
ini merupakan sebuah keputusan administratif yang bersifat final dan menjadi
titik peralihan kewenangan penanganan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 16A
ayat (5) UU PPKSK yang baru, OJK wajib memberitahukan penetapan status
tersebut secara tertulis kepada LPS dan BI. Pemberitahuan inilah yang
secara efektif merupakan “penyerahan” bank bermasalah dari otoritas pengawas
kepada otoritas resolusi.
Peran OJK sebagai inisiator proses ini
menciptakan alur kerja yang jelas dan mencegah tindakan sepihak. LPS tidak
dapat melakukan intervensi resolusi atau likuidasi tanpa adanya pemicu hukum (legal
trigger) dari OJK. Mekanisme ini memastikan bahwa keputusan untuk menangani
sebuah bank gagal didasarkan pada penilaian kesehatan dan kelayakan usaha yang
komprehensif oleh lembaga yang memang memiliki mandat dan kapabilitas untuk
melakukan pengawasan mikroprudensial sehari-hari. Hubungan sebab-akibat yang
linear ini (di mana OJK mendiagnosis kondisi kritis dan LPS mengambil alih
penanganannya) memperkuat akuntabilitas dan mencegah tumpang tindih kewenangan
yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Setelah bank diserahkan kepada LPS dan LPS
memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan (artinya memilih opsi likuidasi),
peran OJK kembali diperlukan. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU LPS
sebagaimana telah diubah dengan UU P2SK, LPS akan “meminta
pencabutan izin usaha Bank... kepada Otoritas Jasa Keuangan”.
Berdasarkan permintaan tersebut, OJK
kemudian secara formal menerbitkan keputusan pencabutan izin usaha, yang
menjadi landasan hukum bagi dimulainya proses likuidasi oleh LPS. Dengan
demikian, OJK bertindak sebagai pembuka (inisiator) sekaligus penutup (terminator)
dari siklus hidup legal sebuah bank.
Peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS): Otoritas Resolusi dan Likuidator
Dengan berlakunya UU P2SK,
peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengalami transformasi fundamental. Dari
yang semula berfokus sebagai lembaga penjamin simpanan, kini LPS dikukuhkan
sebagai otoritas resolusi (resolution authority) tunggal dengan mandat
sebagai peminimalisasi risiko (risk minimizer). Perubahan ini
tercermin jelas dalam amendemen terhadap UU LPS, yang secara signifikan
memperluas fungsi, tugas, dan wewenang LPS dalam menangani bank gagal.
Pasal 4 UU LPS yang baru kini secara
eksplisit menyatakan bahwa fungsi LPS adalah, antara lain: “d. melakukan
resolusi Bank”. Untuk menjalankan fungsi tersebut, Pasal 5
merinci tugas LPS, yaitu:
a.
merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan persiapan tindakan
resolusi Bank...; dan
b.
merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan resolusi
Bank yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi.
Kewenangan eksekutorial LPS menjadi aktif
seketika setelah menerima pemberitahuan tertulis dari OJK mengenai penetapan “Bank
Dalam Resolusi”. Pasal 6 ayat (2) UU LPS yang baru memberikan
kekuasaan yang sangat luas kepada LPS, antara lain:
a.
mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang
pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
b.
menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Dalam
Resolusi...;
c.
meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah
setiap kontrak...; dan
d.
menjual dan/atau mengalihkan aset Bank Dalam Resolusi...
tanpa persetujuan debitur dan/atau mengalihkan kewajiban... tanpa persetujuan
kreditur.”.
Setelah menerima penyerahan bank, LPS akan
melakukan evaluasi untuk menentukan metode penanganan yang paling efisien,
berdasarkan prinsip biaya terendah (least cost test), yaitu
membandingkan antara perkiraan biaya penyelamatan dengan perkiraan biaya jika
bank tidak diselamatkan (dilikuidasi). Jika opsi likuidasi yang dipilih,
LPS akan memulai serangkaian proses hukum dan operasional yang terstruktur:
1.
Pembentukan Tim Likuidasi
LPS membentuk Tim Likuidasi yang mengambil alih seluruh
fungsi dan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris bank. Tim ini bertugas
untuk melakukan pemberesan seluruh aset dan kewajiban bank.
2. Pembayaran Klaim
Penjaminan
Salah satu tugas prioritas LPS adalah melakukan verifikasi
data simpanan dan membayar klaim penjaminan kepada nasabah penyimpan yang
memenuhi syarat (layak bayar) hingga batas nilai yang dijamin. Proses ini
bertujuan untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan mencegah kepanikan yang
lebih luas.
3. Pemberesan Harta dan
Kewajiban (Boedel)
Tim Likuidasi akan melakukan inventarisasi, mengamankan, dan
mencairkan seluruh aset bank (misalnya, melalui penagihan kredit atau penjualan
aset). Hasil dari pencairan aset tersebut kemudian digunakan untuk
membayar kewajiban bank kepada para kreditur.
4. Pembayaran kepada
Kreditur
Pembayaran kepada kreditur dilakukan berdasarkan urutan
prioritas (waterfall) yang telah ditetapkan secara tegas dalam Pasal
54 UU LPS yang baru. Dalam urutan ini, tagihan LPS (sebagai akibat dari
pembayaran klaim penjaminan kepada nasabah) dan tagihan pajak memiliki
prioritas yang lebih tinggi dibandingkan tagihan dari kreditur lainnya,
termasuk nasabah dengan simpanan di atas nilai penjaminan.
Implementasi kewenangan LPS ini dapat
dilihat dalam praktik penanganan bank gagal. Misalnya, dalam kasus likuidasi PT
BPRS Al Hidayah, LPS tidak hanya melakukan pemberesan aset, tetapi juga secara
aktif menempuh jalur hukum untuk menuntut ganti rugi dari mantan direksi yang
terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian pada bank.
Sebagaimana tercermin dalam Putusan
Pengadilan Agama Bengkulu Nomor 283/Pdt.G/2021/PA.Bgl, tertanggal 15
Desember 2021, yang mana dalam amar putusan sebagai berikut:
MENGADILI
1.
Mengabulkan gugatan Penggugat Sebagian;
2.
Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan
oleh jurusita terhadap harta kekayaan berupa:
a.
Tanah dan bangunan berdasarkan Sertipikat Hak Milik No.
918/Gayungan atas nama Tergugat I dan Luthfiyah, luas tanah 200 M2, berlokasi
di Jl. Gayungsari Barat XII/GB-6, RT 04 RW 07, Kel. Gayungan, Kecamatan
Gayungan, Kota Surabaya;
b.
Tanah dan bangunan berdasarkan Sertipikat Hak Milik No.
866/Kebonwaris atas nama Tergugat II, luas tanah 49 M2, berlokasi di Jl.
Pahlawan Sunaryo, Kel/Desa Kebonwaris, Kec. Pandaan, Kab. Pasuruan;
3.
Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama telah melakukan perbuatan melawan hukum;
4.
Menghukum Tergugat I untuk membayar ganti rugi kepada
Penggugat dengan prosentasi sebesar 30% dikurangi dengan kewajiban yang telah
dibayar sebesar Rp. 1.239.631.244,00 (satu milyar seratus tiga puluh sembilan
juta enam ratus tiga puluh satu ribu dua ratus empat puluh empat rupiah) dari
seluruh total kerugian yang dialami Penggugat sebesar Rp. 11.000.939.710,00
(sebelas miliar sembilan ratus tiga puluh sembilan ribu tujuh ratus sepuluh
rupiah) menjadi Rp. 2.060.650.669,00 (Dua milyar enam puluh juta enam ratus
lima puluh ribu enam ratus enam puluh Sembilan rupiah);
5.
Menghukum Tergugat II untuk membayar ganti rugi kepada
Penggugat dengan prosentasi sebesar 70% dari seluruh total kerugian yang
diderita Penggugat sebesar Rp. 11.000.939.710,00 (sebelas miliar sembilan ratus
tiga puluh sembilan ribu tujuh ratus sepuluh rupiah) menjadi Rp.
7.700.657.797,00 (Tujuh Milyar tujuh ratus juta enam ratus lima puluh tujuh
ribu tujuh ratus Sembilan tujuh rupiah);
6.
Memerintahkan kepada Tergugat I dan Tergugat II untuk
membayar ganti rugi kepada Penggugat sebagaimana jumlah yang disebutkan pada
diktum nomor 4 dan 5 secara sendiri-sendiri, apabila tidak dipenuhi secara
nominal maka dapat dilakukan penjualan baik secara langsung maupun lelang
terhadap obyek jaminan yang termaktub pada diktum nomor 2 dan hasil
penjualannya digunakan sebagai bagian dari pelunasan ganti rugi;
7.
Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
8.
Membebankan biaya perkara kepada Tergugat I dan Tergugat II
secara tanggung renteng sebesar Rp. 11.725.000,00 (Sebelas juta tujuh ratus dua
puluh lima ribu rupiah);
LPS di sini berlaku sebagai Penggugat, yang mana
tindakan ini menunjukkan peran LPS dalam memaksimalkan tingkat pengembalian
aset (recovery rate) demi kepentingan seluruh kreditur, termasuk
negara. Demikian pula, pengalaman dalam menangani likuidasi bank-bank di
masa lalu, seperti Bank Harapan Sentosa dan PT Bank IFI (Dalam Likuidasi),
telah menjadi pelajaran berharga yang membentuk kerangka hukum likuidasi yang
lebih kuat dan efisien di bawah kewenangan LPS saat ini.
Peran Bank Indonesia (BI): Penjaga Stabilitas Makroprudensial dan Sistem Pembayaran
Sejak peralihan fungsi pengawasan perbankan
kepada OJK pada akhir tahun 2013, peran Bank Indonesia (BI) dalam konteks
penanganan bank bermasalah telah bertransformasi secara fundamental. BI tidak
lagi terlibat dalam pengawasan mikroprudensial bank secara individual,
melainkan berfokus pada mandat utamanya sebagai penjaga stabilitas
makroprudensial dan sistem pembayaran. Dalam proses yang berujung pada
likuidasi bank, peran BI bersifat tidak langsung namun sangat krusial, yakni
sebagai preventor krisis dan manajer risiko sistemik.
Peran preventif utama BI terwujud melalui
fungsinya sebagai lender of last resort (pemberi pinjaman
darurat terakhir). Kewenangan ini diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang, yang
selanjutnya disebut “UU BI”.
Pasal 11 ayat (1) UU BI menyatakan:
“Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh)
hari kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank yang
bersangkutan.”.
Fasilitas Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek
(PLJP) ini merupakan instrumen vital untuk mencegah bank yang sejatinya
masih solvent (memiliki aset yang cukup) namun mengalami
kesulitan likuiditas temporer agar tidak tergelincir menjadi gagal. Dengan
menyediakan likuiditas darurat, BI berupaya memadamkan potensi krisis pada
tahap awal, sehingga bank tersebut tidak perlu sampai pada status “Bank dalam
Penyehatan” atau “Bank dalam Resolusi” yang harus ditangani oleh OJK dan LPS.
Apabila upaya preventif tidak berhasil dan
sebuah bank, terutama yang dikategorikan sebagai bank berdampak sistemik,
ditetapkan oleh OJK sebagai “Bank dalam Resolusi”, maka peran kedua BI sebagai
manajer risiko sistemik menjadi aktif. Peran ini dijalankan melalui keanggotaan
BI dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), bersama dengan Menteri
Keuangan, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner LPS. Mekanisme
koordinasi ini diatur, antara lain, dalam Pasal 44 UU OJK dan
secara lebih spesifik dalam Pasal 16E ayat (3) UU PPKSK yang
telah diubah oleh UU P2SK.
Dalam forum KSSK, BI memberikan analisis dan
pertimbangan dari perspektif makroekonomi, stabilitas moneter, dan kelancaran
sistem pembayaran. Masukan dari BI menjadi vital bagi KSSK dan LPS dalam
memutuskan metode resolusi yang paling tepat untuk bank sistemik tersebut, guna
memastikan bahwa tindakan yang diambil tidak menimbulkan efek domino (contagion
effect) yang dapat mengguncang stabilitas sistem keuangan secara
keseluruhan. Dengan demikian, BI tidak terlibat langsung dalam eksekusi teknis
likuidasi, namun perannya sebagai “pemadam kebakaran” di garis depan melalui
PLJP dan sebagai “ahli strategi” di ruang komando KSSK adalah inti dari
mandatnya untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional.
Penutup
Analisis terhadap kerangka hukum yang
berlaku menunjukkan bahwa penanganan likuidasi bank di Indonesia pasca-UU P2SK
diatur melalui suatu sistem tripartit yang terstruktur dengan pembagian peran
yang jelas dan saling melengkapi antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS), dan Bank Indonesia (BI). Sinergi ketiga lembaga ini
membentuk Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang dirancang untuk menjadi lebih
proaktif, responsif, dan akuntabel.
Secara sintesis, peran masing-masing lembaga
dapat dirangkum sebagai berikut:
1.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan sebagai detektor
dan inisiator
Melalui fungsi pengawasan mikroprudensialnya, OJK bertugas
mengidentifikasi permasalahan pada bank sejak dini, melakukan tindakan
penyehatan, dan pada akhirnya menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang
secara hukum untuk menetapkan status “Bank dalam Resolusi”. Penetapan ini
menjadi pemicu yuridis yang mengalihkan kewenangan penanganan kepada LPS.
2. Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) berperan sebagai eksekutor dan manajer krisis
Setelah menerima penyerahan bank dalam resolusi dari OJK, LPS
memegang kendali penuh untuk memutuskan dan melaksanakan metode penanganan,
baik melalui penyelamatan (resolusi) maupun likuidasi. Dalam proses likuidasi,
LPS bertugas membayar klaim simpanan nasabah dan melakukan pemberesan aset
untuk membayar kewajiban kepada seluruh kreditur.
3. Bank Indonesia (BI) berperan
sebagai preventor dan stabilisator
Fungsi utamanya adalah mencegah terjadinya krisis likuiditas
melalui fasilitas lender of last resort (PLJP). Apabila
kegagalan bank tidak terhindarkan, terutama pada bank sistemik, BI melalui
perannya di KSSK memberikan analisis dan pertimbangan makroprudensial untuk
memastikan tindakan yang diambil LPS tidak membahayakan stabilitas sistem
keuangan dan perekonomian secara keseluruhan.
Meskipun kerangka hukum ini telah jauh lebih
komprehensif, beberapa tantangan dalam implementasinya tetap perlu
diantisipasi. Efektivitas penanganan krisis sangat bergantung pada kecepatan
dan ketepatan koordinasi antar-lembaga dalam forum KSSK. Selain itu, meskipun
kewenangan LPS telah diperkuat secara signifikan, potensi adanya gugatan hukum
dari pemegang saham atau pihak lain yang merasa dirugikan atas tindakan
resolusi atau likuidasi tetap menjadi risiko yang harus dimitigasi. Tantangan
lainnya adalah kompleksitas dalam melakukan penagihan dan pencairan aset (asset
recovery), terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kecurangan (fraud)
yang rumit.
Sebagai kesimpulan, reformasi hukum melalui
UU P2SK telah berhasil membangun arsitektur penanganan dan likuidasi bank di
Indonesia yang lebih terstruktur, sejalan dengan praktik terbaik internasional
(international best practices). Keberhasilan sistem ini dalam jangka
panjang akan sangat ditentukan oleh implementasi yang konsisten, koordinasi
kelembagaan yang solid, dan profesionalisme dalam setiap tahapan proses, yang
semuanya bermuara pada satu tujuan fundamental: memelihara dan memperkokoh
kepercayaan sebagai pilar utama sistem perbankan dan stabilitas perekonomian
nasional.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang
ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan
melalui tautan yang
tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau
menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di
sini.


