layananhukum

Apa itu Eksepsi Dalam Peradilan Pidana?

 

Pengantar

Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, proses peradilan tidak serta-merta memasuki ranah pembuktian materiil. Terdapat sebuah mekanisme fundamental yang berfungsi sebagai gerbang penyaring pertama, yakni eksepsi atau keberatan.

Secara esensial, eksepsi dapat didefinisikan sebagai tangkisan (plead) atau pembelaan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya, yang tidak ditujukan secara langsung terhadap substansi atau materi pokok surat dakwaan, melainkan menyasar cacat formal yang melekat padanya. Keberatan ini merupakan instrumen yuridis yang disediakan oleh negara untuk memastikan bahwa penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum telah memenuhi standar kelayakan prosedural sebelum melangkah lebih jauh.  

Signifikansi eksepsi berakar pada prinsip-prinsip universal peradilan yang adil (due process of law). Sebagaimana diuraikan dalam literatur, keberatan terdakwa, atau yang juga dikenal sebagai eksepsi, merujuk pada upaya hukum yang diajukan oleh terdakwa dalam proses peradilan pidana untuk menentang atau membantah keabsahan tuntutan atau dakwaan yang diajukan terhadapnya. Maksud dari keberatan terdakwa adalah untuk menunjukkan bahwa ada kecacatan atau kesalahan dalam dakwaan yang merugikan hak-hak terdakwa atau melanggar prinsip-prinsip hukum yang berlaku.[1]

Dengan demikian, eksepsi bukanlah sekadar formalitas, melainkan sebuah hak fundamental yang menegaskan posisi terdakwa sebagai subjek hukum yang setara di hadapan pengadilan, bukan objek semata.

Secara filosofis, hak untuk mengajukan keberatan merupakan manifestasi dari adagium hukum kuno, Audi et Alteram Partem atau Audiatur et Altera Pars, yang bermakna “dengarkan juga pihak yang lain”. Adagium ini mengamanatkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan putusan sebelum memberikan kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak untuk mengemukakan argumentasinya. Dalam konteks ini, eksepsi adalah kesempatan pertama bagi terdakwa untuk didengar, untuk mempertanyakan validitas formal dari tuduhan/dakwaan yang menjadi dasar seluruh proses peradilan terhadap dirinya. Hak ini juga berkaitan erat dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), di mana beban untuk menyajikan dakwaan yang sah dan benar secara formal berada di pundak negara, yang diwakili oleh Penuntut Umum.

Penting untuk menarik garis demarkasi yang tegas antara eksepsi dan pleidoi (pembelaan). Keduanya merupakan instrumen pembelaan, namun beroperasi pada ranah dan tahapan yang berbeda secara diametral. Eksepsi diajukan pada permulaan sidang, sesaat setelah surat dakwaan dibacakan, dan fokus serangannya adalah pada aspek prosedural atau formalitas surat dakwaan itu sendiri. Sebaliknya, pleidoi diajukan pada akhir persidangan, setelah selesainya tahap pembuktian, dan substansinya menyerang materi pokok perkara dengan tujuan membuktikan bahwa unsur-unsur delik yang didakwakan tidak terbukti.

Pembedaan ini memiliki implikasi strategis yang krusial. Mengajukan argumentasi yang menyangkut materi pokok perkara, seperti alibi atau penyangkalan perbuatan, di dalam nota eksepsi merupakan sebuah kekeliruan prosedural. Hakim akan menolak eksepsi semacam itu dengan pertimbangan bahwa dalil tersebut prematur dan seharusnya dibuktikan dalam agenda pemeriksaan pokok perkara. Kegagalan memahami distingsi ini dapat berakibat pada hilangnya kesempatan emas untuk menghentikan proses peradilan lebih dini atas dasar cacat formal yang fatal.  

Landasan Yuridis Eksepsi dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Fondasi hukum utama yang mengatur mengenai eksepsi dalam sistem peradilan pidana Indonesia tertuang secara eksplisit dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang selanjutnya disebut dengan “KUHAP”. Norma induk yang menjadi rujukan adalah Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan:

“Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”  

Ketentuan ini secara imperatif memberikan landasan bagi terdakwa atau penasihat hukumnya untuk mengajukan keberatan dan, pada saat yang sama, membatasi ruang lingkup keberatan tersebut ke dalam tiga kategori yang bersifat limitatif:

(1)      keberatan mengenai kewenangan mengadili;

(2)     keberatan bahwa dakwaan tidak dapat diterima;

(3)    keberatan bahwa surat dakwaan harus dibatalkan.

Pasal ini menjadi jantung dari mekanisme eksepsi, yang menggariskan baik hak terdakwa maupun prosedur yang harus ditempuh oleh hakim dalam menanganinya.

Keberadaan Pasal 156 KUHAP tidak hanya berfungsi sebagai instrumen perlindungan hak-hak terdakwa. Lebih dari itu, pasal ini mengemban fungsi sistemik sebagai mekanisme penjaminan efisiensi peradilan. Proses peradilan pidana, khususnya tahap pembuktian, merupakan aktivitas yang menyerap sumber daya negara secara signifikan, meliputi waktu majelis hakim, aparatur kejaksaan, kepolisian, dan biaya operasional persidangan.

Surat dakwaan yang disusun secara cacat secara fundamental (misalnya, diajukan ke pengadilan yang salah atau uraiannya kabur sehingga tidak dapat dipahami) akan menjadikan seluruh proses pembuktian yang panjang dan rumit menjadi sia-sia. Putusan yang lahir dari dakwaan yang cacat sangat rentan untuk dibatalkan pada tingkat pemeriksaan hukum yang lebih tinggi.

Dengan menyediakan “gerbang filter” di awal melalui mekanisme eksepsi, Pasal 156 KUHAP memungkinkan sistem peradilan untuk menyaring dan menghentikan perkara yang tidak layak lanjut sebelum memasuki tahap yang paling memakan sumber daya.

Dengan demikian, eksepsi berfungsi sebagai katup pengaman efisiensi, memastikan bahwa hanya surat dakwaan yang sehat secara formal yang akan diperiksa materi pokoknya, sejalan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Klasifikasi dan Ruang Lingkup Eksepsi dalam Praktik Peradilan

Berdasarkan rumusan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, eksepsi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama. Masing-masing kategori memiliki dasar dan alasan pengajuan yang spesifik, yang telah berkembang baik melalui ketentuan undang-undang maupun praktik peradilan.

Eksepsi Kewenangan Mengadili (Exception of Incompetency)

Keberatan jenis ini mempersoalkan yurisdiksi atau kewenangan pengadilan yang memeriksa perkara. Eksepsi ini terbagi lebih lanjut menjadi dua bentuk, yaitu:

(1)      Eksepsi Kewenangan Absolut

Eksepsi ini diajukan apabila Pengadilan Negeri yang sedang memeriksa perkara secara absolut tidak memiliki kewenangan untuk mengadili jenis perkara tersebut. Hal ini terjadi karena perkara itu seharusnya menjadi yurisdiksi lingkungan peradilan lain. Contoh paling umum adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer aktif, yang seharusnya diadili oleh Peradilan Militer, bukan Peradilan Umum.

Demikian pula, untuk tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh subjek hukum sipil dan militer, pemeriksaannya dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum melalui mekanisme koneksitas, kecuali ada penetapan lain.  

(2)     Eksepsi Kewenangan Relatif

Eksepsi ini tidak mempersoalkan lingkungan peradilan, melainkan wilayah hukum (locus delicti) dari suatu pengadilan negeri. Dasar utamanya adalah Pasal 84 KUHAP, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Apabila suatu tindak pidana terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri A, namun dilimpahkan oleh Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri B, maka terdakwa dapat mengajukan eksepsi kewenangan relatif dengan dalil bahwa Pengadilan Negeri B tidak berwenang mengadili perkara tersebut.

Eksepsi Dakwaan Tidak Dapat Diterima (Niet-Ontvankelijke Verklaring)

Eksepsi jenis ini diajukan bukan karena dakwaan cacat secara redaksional, melainkan karena terdapat halangan-halangan yuridis yang menyebabkan hak negara untuk melakukan penuntutan menjadi gugur atau belum dapat dilaksanakan. Beberapa alasan utama yang masuk dalam kategori ini adalah:

(1)      Ne Bis in Idem

Berdasarkan Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang selanjutnya disebut “KUHP”, seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya atas perbuatan yang sama (idem delictum) yang terhadapnya telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde);

(2)     Daluwarsa Penuntutan

Hak untuk menuntut pidana dapat hapus karena lampaunya waktu. Pasal 78 KUHP mengatur secara rinci tenggang waktu daluwarsa yang bervariasi, bergantung pada klasifikasi tindak pidana dan beratnya ancaman hukuman;

(3)    Terdakwa Meninggal Dunia

Sesuai dengan Pasal 77 KUHP, kewenangan menuntut pidana hapus dengan meninggalnya terdakwa, karena pertanggungjawaban pidana bersifat personal (person-gebonden);

(4)     Ketiadaan Pengaduan pada Delik Aduan (Klachtendelict)

Untuk tindak pidana tertentu yang oleh undang-undang diklasifikasikan sebagai delik aduan (misalnya, perzinaan, pencemaran nama baik, atau penggelapan dalam keluarga), penuntutan hanya dapat dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Ketiadaan pengaduan yang sah menjadikan penuntutan tidak dapat diterima. Pasal 72 hingga Pasal 75 KUHP mengatur lebih lanjut mengenai tata cara dan tenggat waktu pengaduan;  

(5)     Dakwaan Prematur (Prejudicieel Geschil)

Meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam KUHAP, praktik peradilan telah mengakui dan mengembangkan konsep dakwaan prematur sebagai bagian dari eksepsi dakwaan tidak dapat diterima. Hal ini terjadi ketika penuntutan pidana bergantung pada penyelesaian sengketa hukum lain yang bersifat pra-yudisial, yang harus diputus terlebih dahulu. Sebagai contoh, dalam kasus dugaan penggelapan atas tanah warisan, jika status kepemilikan tanah tersebut masih menjadi sengketa di pengadilan perdata, maka penuntutan pidana dianggap prematur sebelum adanya putusan perdata yang final mengenai siapa pemilik sah tanah tersebut. Perkembangan ini menunjukkan bahwa hukum acara pidana bersifat dinamis dan mampu beradaptasi melalui yurisprudensi untuk menjawab kompleksitas persoalan hukum yang tidak diatur secara literal oleh undang-undang.  

Eksepsi Surat Dakwaan Batal Demi Hukum (Null and Void/nietigheid van rechtswege)

Eksepsi ini merupakan senjata utama untuk menyerang kualitas redaksional dari surat dakwaan. Dasar pengajuannya adalah pelanggaran terhadap syarat materiil surat dakwaan yang diatur secara tegas dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, yang menghendaki adanya:

“...uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.”  

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dikenai konsekuensi yuridis yang sangat berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP, yang menyatakan:

“Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”.

Dalam praktik, eksepsi ini sering kali didasarkan pada dalil bahwa surat dakwaan bersifat obscuur libel atau kabur. Suatu dakwaan dianggap kabur apabila gagal memenuhi tiga kriteria kumulatif tersebut:  

-        Tidak Cermat yaitu uraian fakta kejadian tidak teliti, atau tidak sinkron dengan unsur-unsur pasal pidana yang didakwakan;

-        Tidak Jelas yaitu formulasi kalimatnya menimbulkan ambiguitas atau multitafsir, sehingga terdakwa tidak dapat memahami secara pasti perbuatan apa yang dituduhkan kepadanya untuk mempersiapkan pembelaan;

-        Tidak Lengkap yaitu terdapat unsur delik esensial dari pasal yang didakwakan yang tidak diuraikan atau tidak disebutkan dalam narasi perbuatan terdakwa.

Ketidakjelasan juga dapat menyangkut waktu (tempus delicti) atau tempat kejadian perkara (locus delicti). Kegagalan Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan yang memenuhi standar ini memberikan dasar yang kuat bagi terdakwa untuk mengajukan eksepsi agar dakwaan tersebut dinyatakan batal demi hukum.

Prosedur Pengajuan Eksepsi dan Mekanisme Pemeriksaannya di Persidangan

KUHAP mengatur secara ketat mengenai momentum pengajuan eksepsi. Pada prinsipnya, eksepsi harus diajukan pada kesempatan pertama, yakni pada sidang pertama sesaat setelah Penuntut Umum selesai membacakan surat dakwaannya. Hakim ketua sidang akan menanyakan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya apakah mereka memahami dakwaan dan akan mengajukan keberatan.

Apabila jawaban atas pertanyaan kedua adalah “ya”, maka hakim akan memberikan kesempatan untuk menyampaikannya. Keterlambatan dalam mengajukan eksepsi (selain eksepsi mengenai kewenangan absolut yang dapat diajukan kapan saja selama pemeriksaan) dapat berakibat pada gugurnya hak terdakwa untuk melakukannya.  

Setelah nota keberatan atau eksepsi dibacakan atau diserahkan oleh pihak terdakwa, proses persidangan akan memasuki tahap dialektika hukum. Alur pemeriksaannya adalah sebagai berikut:

1.        Pembacaan Eksepsi

Terdakwa atau Penasihat Hukum membacakan nota keberatannya di hadapan sidang;

2.       Tanggapan Penuntut Umum (Replik)

Sesuai amanat Pasal 156 ayat (1) KUHAP, hakim memberikan kesempatan kepada Penuntut Umum untuk menyatakan pendapatnya atas eksepsi tersebut. Tanggapan ini dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis;

3.      Musyawarah dan Keputusan Hakim

Setelah mendengar argumentasi dari kedua belah pihak, Majelis Hakim akan menunda sidang untuk melakukan musyawarah dan menyusun putusan atas eksepsi tersebut.

Putusan Sela: Konsekuensi Yuridis atas Diterima atau Ditolaknya Eksepsi

Keputusan hakim atas eksepsi dituangkan dalam bentuk putusan sela (interlocutory judgment). Disebut putusan sela karena ia belum menyentuh dan memutus pokok perkara, melainkan hanya memutuskan isu-isu prosedural yang diajukan dalam eksepsi. Konsekuensi yuridis dari putusan sela ini sangat signifikan dan menentukan arah kelanjutan persidangan.  

a)      Apabila Eksepsi Diterima, maka pemeriksaan terhadap pokok perkara dihentikan. Amar putusan sela akan disesuaikan dengan jenis eksepsi yang diterima, misalnya: “Menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum batal demi hukum” atau “Menyatakan dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima”. Konsekuensinya, terdakwa dapat dibebaskan dari tahanan (jika ditahan), dan berkas perkara dikembalikan kepada Penuntut Umum;

b)      Sebaliknya, apabila hakim berpendapat bahwa eksepsi yang diajukan tidak beralasan, maka eksepsi tersebut akan ditolak. Amar putusan sela akan menyatakan, antara lain: “Menyatakan keberatan dari Penasihat Hukum Terdakwa tidak dapat diterima” dan “Memerintahkan Penuntut Umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara...”. Dengan demikian, persidangan akan dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu pemeriksaan materi pokok perkara melalui agenda pembuktian.  

Mekanisme upaya hukum terhadap putusan sela ini menunjukkan adanya sebuah asimetri. Jika eksepsi diterima (yang berarti perkara berhenti), Penuntut Umum diberikan hak untuk menempuh upaya hukum khusus yang disebut perlawanan ke Pengadilan Tinggi. Dalam konteks Hukum Acara Pidana di Indonesia, istilah perlawanan (yang seringkali disinonimkan dengan verzet dalam literatur hukum) memang merupakan upaya hukum khusus yang secara eksplisit diatur dan tersedia bagi Penuntut Umum terhadap putusan sela yang mengabulkan eksepsi dari pihak terdakwa. Dasar hukum utama untuk mekanisme ini adalah Pasal 156 ayat (3) KUHAP, yang menyatakan:  

“Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan tersebut, maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan.”

Mekanisme ini memungkinkan peninjauan yang cepat atas putusan yang menghentikan penuntutan.

Di sisi lain, jika eksepsi ditolak (yang berarti perkara berlanjut), terdakwa tidak dapat langsung mengajukan banding atas putusan sela tersebut. Keberatan atas penolakan eksepsi tersebut harus dicatat dan baru dapat diajukan sebagai salah satu materi dalam memori banding bersamaan dengan upaya hukum banding terhadap putusan akhir (vonis) atas pokok perkara.

Asimetri ini merefleksikan keseimbangan antara kepentingan negara dalam penuntutan dengan hak terdakwa, di mana sistem memprioritaskan penyelesaian cepat jika perkara dihentikan di awal, namun menuntut kesabaran dari pihak terdakwa jika perkara diputuskan untuk terus berjalan.  

Putusan Sela yang Mengabulkan Eksepsi

Untuk memberikan gambaran konkret mengenai penerapan eksepsi dalam praktik peradilan, dapat dilihat dari sebuah putusan sela yang relevan. Salah satu contohnya adalah Putusan Pengadilan Negeri Indramayu Nomor 71/Pid.B/2021/PN Idm, tertanggal 19 April 2021.

Dalam perkara ini, Terdakwa atas nama Santana Alias Nana Ciko Bin Alm Suryadi, melalui penasihat hukumnya, mengajukan eksepsi terhadap surat dakwaan yang disusun oleh Penuntut Umum. Setelah melalui proses pemeriksaan sesuai hukum acara, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Indramayu menjatuhkan putusan sela dengan amar sebagai berikut:

1.        Menyatakan keberatan dari Penasihat Hukum Terdakwa SANTANA alias NANA CIKO bin (alm) SURYADI tersebut diterima;

2.       Menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum Nomor PDM-26/M.2.21/Eoh.2/03/2021 atas nama SANTANA alias NANA CIKO bin (alm) SURYADI batal demi hukum;

3.      Memerintahkan mengembalikan berkas perkara ini kepada Penuntut Umum;

4.       Memerintahkan Terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan;

5.       Membebankan biaya perkara kepada Negara;

Dari amar putusan tersebut, dapat dianalisis beberapa poin krusial. Pertama, Majelis Hakim secara tegas mengabulkan eksepsi yang diajukan oleh pihak terdakwa. Kedua, konsekuensi dari diterimanya eksepsi tersebut adalah pernyataan bahwa surat dakwaan “batal demi hukum”. Berdasarkan klasifikasi eksepsi yang telah diuraikan, amar ini secara langsung merujuk pada eksepsi jenis ketiga, yakni keberatan yang didasarkan pada pelanggaran syarat materiil surat dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b jo. Pasal 143 ayat (3) KUHAP.

Meskipun pertimbangan hukum (ratio decidendi) lengkapnya tidak tersaji, dapat disimpulkan dengan tingkat kepastian yang tinggi bahwa Majelis Hakim menemukan surat dakwaan Penuntut Umum bersifat obscuur libel atau kabur. Hakim menilai bahwa uraian mengenai tindak pidana yang didakwakan, atau mengenai waktu dan tempat kejadiannya, tidak dirumuskan secara cermat, jelas, dan lengkap.

Akibatnya, surat dakwaan tersebut dianggap tidak layak menjadi dasar pemeriksaan pokok perkara dan harus dinyatakan batal demi hukum. Putusan ini menjadi preseden nyata bagaimana mekanisme eksepsi berfungsi sebagai instrumen kontrol yudisial terhadap kualitas kerja penuntutan dan sebagai benteng perlindungan hak terdakwa untuk tidak diadili berdasarkan dakwaan yang cacat secara fundamental.

Eksepsi adalah Instrumen Keseimbangan dan Penjamin Kepastian Hukum

Eksepsi dalam peradilan pidana bukanlah sekadar teknis-yuridis yang rumit, melainkan sebuah pilar esensial yang menopang tegaknya prinsip peradilan yang adil dan berimbang. Analisis mendalam menunjukkan bahwa eksepsi mengemban fungsi ganda yang vital.

Di satu sisi, ia berfungsi sebagai benteng perlindungan hak-hak fundamental terdakwa (due process rights), memastikan bahwa tidak seorang pun diadili atas dasar tuduhan yang kabur, tidak berdasar, atau diajukan secara keliru.

Di sisi lain, ia berperan sebagai mekanisme penjaminan kualitas dan efisiensi sistemik, menyaring perkara sejak dini dan mencegah pemborosan sumber daya negara untuk memeriksa dakwaan yang cacat secara prosedural.

Keberhasilan sebuah eksepsi sering kali merefleksikan kurangnya kecermatan, ketelitian, dan profesionalisme Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan. Surat dakwaan sering diibaratkan sebagai mahkota dari proses penuntutan; ia merupakan kulminasi dari seluruh hasil penyidikan yang dirangkai dalam suatu konstruksi yuridis.

Apabila mahkota ini cacat, maka seluruh bangunan perkara yang hendak ditegakkan di atasnya akan runtuh. Oleh karena itu, pentingnya penyusunan surat dakwaan yang cermat, jelas, dan lengkap tidak dapat ditawar lagi.

Pada akhirnya, eksepsi harus dipandang sebagai instrumen penyeimbang yang menjamin kepastian hukum. Ia mengingatkan kita pada adagium Summum Ius Summa Iniuria, yang berarti keadilan tertinggi dapat menjadi ketidakadilan tertinggi.

Penerapan hukum acara yang kaku tanpa memberikan ruang bagi terdakwa untuk mempersoalkan validitas formal dari proses yang dihadapinya justru dapat mencederai substansi keadilan itu sendiri. Dengan demikian, eksepsi berdiri sebagai garda terdepan, memastikan bahwa perjalanan menuju kebenaran materiil dimulai dari landasan prosedural yang kokoh dan adil.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


[1] Ecep Nurjamal, Hukum Pidana dan Penerapan Hukum Acara Pidana (Tasikmalaya: EDU PUBLISHER, 2023), 137.