Pengantar
Dalam
anatomi sebuah negara, sistem perbankan dapat dianalogikan sebagai sistem
peredaran darah (circulatory system) yang esensial. Ia berfungsi
mengalirkan modal (darah kehidupan ekonomi) dari unit-unit surplus ke unit-unit
defisit, memastikan setiap sel-sel produktif dalam tubuh perekonomian
mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang. Tanpa sistem
perbankan yang sehat dan efisien, denyut nadi perekonomian akan melemah,
menghambat pembangunan dan kesejahteraan.
Artikel kami
ini bertujuan untuk melakukan dekonstruksi yuridis dan historis terhadap subjek
hukum yang disebut dengan “perbankan” di Indonesia. Tulisan kami kali ini, akan
disajikan melampaui sekadar pemaparan deskriptif; kami juga berupaya menelusuri
jejak kausalitas di balik setiap evolusi regulasi dan dampaknya terhadap
arsitektur keuangan nasional. Dengan demikian, tulisan ini menyajikan sebuah
peta jalan komprehensif yang akan memandu pembaca melintasi lanskap perbankan
Indonesia, mulai dari landasan konseptual dan yuridisnya, menapaki
lorong-lorong sejarah yang membentuknya, membedah arsitektur kelembagaan yang
menopangnya, hingga memahami mekanisme operasional yang menjadi jantung
aktivitasnya sehari-hari.
Landasan Konseptual dan Yuridis Perbankan Indonesia
Untuk
memahami konsep perbankan secara utuh, pembedahan harus dimulai dari fondasi
hukumnya. Kerangka regulasi tidak hanya memberikan definisi, tetapi juga
mengamanatkan fungsi dan tujuan yang harus diemban oleh sektor ini. Landasan
ini secara primer termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan selanjutnya disebut “UU
Perbankan”.
Sebagaimana
ketentuan Pasal 1 UU Perbankan berfungsi sebagai kamus yuridis
yang mendefinisikan pilar-pilar konseptual dalam sektor ini.
Istilah “Perbankan”
sendiri didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya”.[1]
Definisi ini sengaja dirumuskan secara luas, menegaskan bahwa hukum perbankan
tidak hanya mengatur aktivitas bank secara terisolasi, melainkan seluruh
ekosistem yang melingkupinya, termasuk regulasi, praktik operasional, dan
hubungan kelembagaan.
Kemudian,
istilah “Bank” itu sendiri, merupakan inti dari ekosistem tersebut,
didefinisikan sebagai “badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak”.[2]
Definisi
ini secara eksplisit menggarisbawahi dua kegiatan utama yang menjadi esensi fungsi
intermediasi keuangan.
Selanjutnya,
ada “Bank Umum” dan “Bank Perkreditan Rakyat (BPR)”, dalam
UU Perbankan menciptakan sebuah diferensiasi fungsional yang
fundamental. Bank Umum adalah bank yang dalam kegiatannya “memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran”, sedangkan Bank Perkreditan Rakyat
adalah bank yang dalam kegiatannya “tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran”.[3]
Implikasi
dari pembedaan ini sangat signifikan; Bank Umum dapat menerbitkan produk
seperti giro dan terlibat dalam kliring, sementara BPR memiliki fokus yang
lebih sempit pada penghimpunan simpanan (non-giro) dan penyaluran kredit,
umumnya untuk melayani segmen usaha mikro, kecil, dan menengah.
Ada juga
istilah “Simpanan” dan “Kredit”, sebagai dua pilar kegiatan utama
bank, Simpanan sendiri didefinisikan sebagai dana yang dipercayakan
masyarakat kepada bank dalam berbagai bentuk seperti Giro, Deposito, dan
Tabungan.[4]
Ini merepresentasikan sisi liabilitas dalam neraca bank.
Sebaliknya,
Kredit didefinisikan sebagai penyediaan uang atau tagihan berdasarkan
kesepakatan pinjam-meminjam yang mewajibkan pelunasan setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.[5]
Ini merupakan sisi aset utama dan sumber pendapatan bank.
Perubahan
definisi yang diintroduksi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1998, khususnya dengan penambahan frasa “...dan atau
berdasarkan Prinsip Syariah” pada definisi Bank Umum dan BPR, bukanlah
sekadar penyesuaian redaksional. Sebelum amandemen ini, UU RI Nomor 7 Tahun
1992 menyajikan kerangka hukum yang monistik dan berorientasi konvensional.
Namun, seiring tumbuhnya permintaan pasar terhadap layanan keuangan syariah,
legislasi merespons dengan memberikan pengakuan formal.
Perubahan
definisi ini menjadi batu penjuru (cornerstone) yang melegitimasi
eksistensi perbankan syariah dalam sistem hukum nasional, yang kemudian membuka
jalan bagi lahirnya kodifikasi hukum yang lebih komprehensif melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Ini
adalah cerminan bagaimana hukum perbankan di Indonesia berevolusi secara
adaptif terhadap dinamika sosial-ekonomi.
Fungsi Esensial dan Tujuan Luhur Perbankan
Kerangka
hukum perbankan Indonesia tidak hanya mendefinisikan “apa itu bank”, tetapi
juga secara tegas menetapkan “untuk apa bank itu ada”.
-
Fungsi Utama Bank
Sebagaimana
ketentuan Pasal 3 UU Perbankan secara lugas menyatakan bahwa “Fungsi
utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat”. Amanat ini meneguhkan peran intermediasi keuangan sebagai raison
d'être atau alasan keberadaan fundamental sektor perbankan di Indonesia;
-
Tujuan Bank
Lebih jauh,
sebagaimana ketentuan Pasal 4 UU Perbankan menggariskan tujuan
yang lebih luhur, yakni “menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam
rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke
arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”. Pasal ini memberikan
mandat sosial-ekonomi yang jelas kepada sektor perbankan. Ia tidak dipandang
sebagai suatu kegiatan yang murni komersial yang hanya berorientasi pada laba,
melainkan juga sebagai agen pembangunan (agent of development) yang
memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi pada pencapaian tujuan nasional
utamanya dalam Pembangunan ekonomi dan sosial itu tadi.
Lintas Sejarah Regulasi Perbankan di Indonesia
Hukum perbankan
Indonesia saat ini adalah produk dari evolusi panjang yang dibentuk oleh
berbagai peristiwa historis, krisis ekonomi, dan perubahan paradigma kebijakan.
Akar
perbankan modern di Nusantara dapat ditelusuri kembali ke era kolonial Belanda.
Institusi yang menjadi cikal bakal bank sentral di Indonesia adalah De
Javasche Bank (DJB), yang didirikan pada 24 Januari 1828 berdasarkan
perintah Raja Willem I.[6]
Pendirian DJB dilatarbelakangi oleh kebutuhan pemerintah kolonial untuk
mengatasi krisis keuangan dan ekonomi pasca-kebangkrutan Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC).[7]
Sejak awal, DJB diberikan hak istimewa (octrooi) untuk berfungsi sebagai
bank sirkulasi, yang memberinya wewenang monopoli untuk mencetak dan
mengedarkan mata uang Gulden Hindia Belanda.
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan, terjadi periode dualisme dalam otoritas moneter.
Pemerintah Republik Indonesia mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai
bank sirkulasi, sementara Netherlands Indies Civil Administration (NICA)
menghidupkan kembali DJB untuk tujuan yang sama.[8]
Peperangan mata uang ini berakhir pasca Konferensi Meja Bundar (KMB). Puncak
peneguhan kedaulatan moneter terjadi ketika Pemerintah Republik Indonesia
menasionalisasi DJB melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. Proses ini secara resmi mengubah DJB menjadi Bank Indonesia
(BI) pada 1 Juli 1953, menandai lahirnya bank sentral yang berdaulat bagi
Republik Indonesia.
Periode
awal Orde Baru diwarnai oleh upaya penataan kembali struktur perbankan
nasional. Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967
tentang Pokok-pokok Perbankan dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, peran Bank
Indonesia dikembalikan sebagai bank sentral murni, terpisah dari fungsi bank
komersial.
Momen
paling transformatif pada era ini adalah penerbitan Paket Kebijakan 27
Oktober 1988 (Pakto 88). Kebijakan deregulasi ini secara radikal
meliberalisasi sektor perbankan dengan mempermudah syarat pendirian bank baru (modal
disetor minimum diturunkan menjadi hanya Rp 10 miliar untuk bank swasta
nasional) dan membuka keran persaingan seluas-luasnya.[9]
Dampaknya sangat dramatis yaitu jumlah bank swasta melonjak dari 64 bank pada
1988 menjadi 161 bank pada 1993.[10]
Namun, liberalisasi kuantitas ini tidak diimbangi dengan penguatan kerangka
pengawasan kualitatif. Pertumbuhan yang eksplosif tanpa supervisi yang memadai
menanam benih kerapuhan sistemik yang kelak akan terekspos oleh krisis.
Krisis
moneter 1997-1998 menjadi katalisator bagi reformasi fundamental dalam
arsitektur perbankan dan keuangan Indonesia. Serangkaian undang-undang lahir
sebagai respons terhadap krisis dan untuk membangun fondasi yang lebih kokoh,
antara lain:
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1998, yang mana UU ini merupakan respons legislatif cepat untuk
mengatasi krisis, memberikan landasan hukum bagi program penyehatan perbankan
nasional yang saat itu berada di ambang keruntuhan;
2. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang mana
UU ini memberikan status independen kepada Bank Indonesia, membebaskannya dari
intervensi pemerintah dan pihak lain dalam menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter. Ini adalah pelajaran penting dari krisis, di mana
independensi bank sentral dipandang krusial untuk menjaga stabilitas
makroekonomi;
3. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dengan mengkodifikasi
dan memberikan payung hukum yang komprehensif bagi industri perbankan syariah,
yang sebelumnya hanya diatur secara parsial. UU ini menjadi akselerator bagi
pertumbuhan perbankan syariah di tanah air;
4. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sebagai
amanat dari UU Bank Indonesia, UU ini mendirikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dan secara resmi mengalihkan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan
(mikroprudensial) dari Bank Indonesia ke lembaga independen yang baru ini.
Sejarah
regulasi perbankan Indonesia memperlihatkan sebuah pola siklus yang reaktif.
Periode deregulasi yang agresif seperti Pakto 88, yang dirancang untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi dan mobilisasi dana, ternyata menciptakan
konsekuensi tak terduga berupa akumulasi risiko sistemik akibat lemahnya
pengawasan. Ketika kerapuhan ini terekspos oleh guncangan eksternal pada
1997-1998, terjadilah krisis yang memicu fase re-regulasi dan konsolidasi
kelembagaan.
Lahirnya
serangkaian undang-undang di era reformasi merupakan upaya sadar untuk
membangun kembali fondasi yang lebih kuat, dengan penekanan pada independensi
bank sentral, pengawasan terintegrasi, dan prinsip kehati-hatian. Pola ini
menunjukkan adanya proses “pembelajaran institusional” dalam sistem hukum
Indonesia, di mana krisis menjadi guru yang paling berharga.
Arsitektur Kelembagaan Perbankan Nasional
Struktur
kelembagaan perbankan Indonesia saat ini ditopang oleh dua pilar utama otoritas
yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan yang mengawasi sistem perbankan
yang bersifat dualistik dan ganda.
Bank Sentral (Bank Indonesia): Sang Penjaga Stabilitas
Pasca-reformasi,
peran Bank Indonesia dipertegas dan difokuskan. Berdasarkan Pasal 7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
yang selanjutnya disebut “UU BI”, tujuan tunggal Bank Indonesia adalah “mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah”. Kestabilan ini memiliki dua
dimensi yaitu kestabilan terhadap harga barang dan jasa (diukur dari laju
inflasi) dan kestabilan terhadap mata uang negara lain (diukur dari
nilai tukar).
Untuk
mencapai tujuan tersebut, Pasal 8 UU BI mengamanatkan tiga pilar
tugas utama:
1.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter;
2. Mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
3. Mengatur
dan mengawasi bank (tugas ini kemudian dialihkan ke OJK, dan peran BI bergeser
ke pengawasan makroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara
keseluruhan).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK): Garda Pengawasan Mikroprudensial
Pendirian
OJK melalui Undang-Undang Republik Indonesia 21 Tahun 2011 tentang
Otortias Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut “UU OJK”
menandai pergeseran fundamental dalam arsitektur pengawasan keuangan Indonesia.
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan
terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, serta mampu
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Berdasarkan
Pasal 6 UU OJK, tugas utama OJK adalah melakukan pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan, Pasar Modal, dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB). Wewenang
spesifik OJK terhadap perbankan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU OJK,
sangatlah komprehensif, mencakup:
-
Pengaturan dan pengawasan kelembagaan: Meliputi
perizinan pendirian bank, pembukaan kantor, kepemilikan, kepengurusan, merger,
konsolidasi, hingga pencabutan izin usaha;
-
Pengaturan dan pengawasan kesehatan bank: Mencakup
aspek-aspek krusial seperti rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio
- CAR), kualitas aset, batas maksimum pemberian kredit, likuiditas, dan
rentabilitas;
-
Pengaturan dan pengawasan aspek
kehati-hatian: Meliputi penerapan manajemen risiko, tata kelola bank
yang baik (Good Corporate Governance - GCG), serta prinsip mengenal
nasabah dan anti pencucian uang; serta
-
Pemeriksaan bank: Melakukan
pemeriksaan langsung terhadap bank untuk memastikan kepatuhan terhadap
regulasi.
Pemisahan
fungsi pengawasan mikroprudensial dari Bank Indonesia ke OJK merupakan sebuah
pilihan sadar untuk mengadopsi model regulasi twin peaks. Desain
kelembagaan ini dirancang untuk mengatasi potensi konflik kepentingan yang
inheren dalam diri bank sentral.
Sebuah bank
sentral yang juga bertindak sebagai pengawas bank menghadapi dilema sebagai
otoritas moneter, ia mungkin ingin menurunkan suku bunga untuk menstimulasi
perekonomian, namun sebagai pengawas, ia sadar bahwa suku bunga rendah dapat
mendorong bank mengambil risiko kredit yang berlebihan.
Dengan
memisahkan kedua mandat ini, BI dapat fokus pada stabilitas sistem secara
makro, sementara OJK fokus pada kesehatan setiap institusi keuangan secara
mikro dan perlindungan konsumen. Arsitektur ini menciptakan spesialisasi,
meskipun di sisi lain memunculkan tantangan baru berupa kebutuhan koordinasi
yang sangat erat antara kedua lembaga.
Sistem Perbankan Indonesia: Struktur Dualistik dan Ganda
Struktur
industri perbankan di Indonesia dapat dilihat dari dua lensa, antara lain:
1.
Struktur Dualistik, sistem
ini terdiri dari pemisahan antara Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR). Perbedaan fundamental terletak pada kewenangan untuk terlibat
dalam lalu lintas pembayaran, di mana hanya Bank Umum yang memiliki izin
tersebut;
2. Sistem
Ganda, merujuk pada ko-eksistensi antara perbankan konvensional
dan perbankan syariah. Landasan hukum untuk sistem ganda ini pertama
kali ditegaskan dalam amandemen UU Perbankan pada tahun 1998 dan kemudian
dikukuhkan secara komprehensif melalui UU Perbankan Syariah pada tahun 2008.
Mekanisme Operasional dan Peran Intermediasi
Di balik
struktur kelembagaan yang kompleks, terdapat mekanisme operasional yang menjadi
urat nadi kegiatan perbankan sehari-hari, yaitu sistem pembayaran dan fungsi
intermediasi.
Jantung Transaksi: Sistem Pembayaran Nasional
Sistem
pembayaran merupakan seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang digunakan
untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul
dari suatu kegiatan ekonomi. Kelancaran sistem ini diatur dan dijaga oleh Bank
Indonesia. Infrastruktur sistem pembayaran di Indonesia terbagi menjadi dua
segmen utama yaitu sistem untuk transaksi bernilai besar dan sistem
untuk transaksi ritel.
Pertama, untuk
transaksi bernilai besar (High-Value Payment System), Bank Indonesia
menyediakan infrastruktur Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Sistem ini
dirancang khusus untuk memproses transaksi bernilai signifikan, umumnya di
atas Rp 100 juta, yang bersifat penting dan mendesak, seperti
transaksi antarbank atau transaksi di pasar keuangan.
Keunggulan
utama BI-RTGS adalah kemampuannya memproses transaksi secara seketika (real-time),
individual (gross settlement), dan bersifat final (irrevocable),
yang berarti sekali diproses, transaksi tidak dapat dibatalkan.
Tujuan utamanya adalah untuk memitigasi risiko sistemik yang dapat timbul dari
kegagalan penyelesaian transaksi bernilai besar.
Kedua, untuk
melayani transaksi bernilai kecil dengan volume yang sangat tinggi (Retail
Payment System), terdapat dua infrastruktur utama, antara lain melalui Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) memproses transfer dana dan
kliring warkat debit (seperti cek) secara periodik dalam siklus-siklus tertentu
(batch processing), sehingga cocok untuk transaksi ritel yang tidak
memerlukan penyelesaian seketika.
Sebagai
alternatif yang lebih modern, Bank Indonesia meluncurkan BI-FAST,
sebuah infrastruktur yang beroperasi 24 jam sehari, 7 hari seminggu. BI-FAST
mampu memproses transaksi ritel (hingga batas nominal Rp 250 juta) secara real-time
dengan biaya yang jauh lebih efisien bagi nasabah, yakni sekitar Rp 2.500 per
transaksi. Kehadiran BI-FAST merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat
akan sistem pembayaran ritel yang cepat, murah, dan selalu tersedia.
Peran Intermediasi: Menjembatani Surplus dan Defisit Dana
Fungsi
intermediasi adalah esensi dari kegiatan perbankan. Sebagaimana tercermin dalam
definisinya secara hukum, bank bertindak sebagai jembatan yang menghubungkan
pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus unit) dengan
pihak-pihak yang membutuhkan dana untuk keperluan konsumsi atau investasi (deficit
unit).
Sebagaimana
diungkapkan oleh Muhammad Djumhana, “Lembaga (perbankan) tersebut dimaksudkan
sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of
funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of
funds)”.[11]
Proses
intermediasi ini berjalan melalui dua aktivitas utama:
1.
Penghimpunan Dana (Sisi Liabilitas)
Bank menghimpun Dana Pihak Ketiga
(DPK) dari masyarakat melalui berbagai produk simpanan seperti giro, tabungan,
dan deposito. Dana ini merupakan “bahan baku” utama bagi operasional bank;
2. Penyaluran
Dana (Sisi Aset)
Dana yang berhasil dihimpun kemudian
disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit (untuk bank
konvensional) atau pembiayaan (untuk bank syariah). Aktivitas penyaluran dana
ini tidak hanya menjadi sumber pendapatan utama bagi bank, tetapi juga
berfungsi sebagai motor penggerak investasi, produksi, dan konsumsi dalam
perekonomian.
Refleksi dan Proyeksi Masa Depan Perbankan Indonesia
Perjalanan
hukum dan kelembagaan perbankan Indonesia adalah sebuah narasi evolusi yang
dinamis, yang secara konsisten didorong oleh krisis dan adaptasi. Dari sistem
yang sangat terkontrol di era awal, menuju liberalisasi radikal yang berujung
pada krisis, hingga akhirnya tiba pada arsitektur yang lebih kokoh,
terstruktur, dan diawasi secara independen saat ini. Setiap fase meninggalkan
pelajaran berharga yang terpatri dalam lembaran-lembaran undang-undang yang
membentuk lanskap perbankan modern.
Namun,
evolusi tidak berhenti. Kerangka hukum yang ada kini dihadapkan pada
tantangan-tantangan kontemporer yang menuntut respons cepat dan cerdas.
Disrupsi teknologi finansial (fintech) mengubah peta persaingan, risiko
keamanan siber menjadi ancaman nyata bagi stabilitas dan kepercayaan, sementara
tuntutan untuk percepatan inklusi keuangan digital semakin mendesak.
Ke depan,
regulasi perbankan Indonesia harus terus beradaptasi. Diperlukan kerangka hukum
yang lebih gesit (agile), berbasis teknologi (tech-driven), dan
mampu menavigasi keseimbangan yang rumit antara mendorong inovasi, menjaga
stabilitas sistem keuangan, dan memperkuat perlindungan konsumen di era
digital. Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa kemampuan untuk belajar dan
beradaptasi adalah kunci bagi ketahanan dan relevansi sistem perbankan dalam
menopang perekonomian nasional.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.
[1] vide Pasal
1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
[2] vide Pasal
1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
[3] vide Pasal
1 Angka 3 dan Angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
[4] vide Pasal
1 Angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
[5] vide Pasal
1 Angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
[6] OCBC, “De Javasche Bank Adalah,” OCBC
NISP, 2 Mei 2024, diakses 7 Oktober 2025, https://www.ocbc.id/id/article/2024/05/02/de-javasche-bank-adalah
[7] Bizhare.id, “De Javasche Bank,” Bizhare
Media, diakses 7 Oktober 2025, https://www.bizhare.id/media/keuangan/de-javasche-bank
[8] Ibid.
[9] Winarti dan Haryono Rinardi, “Paket
Kebijakan Deregulasi 27 Oktober 1988 (Pakto 1988): Pengaruhnya Terhadap
Liberalisasi Perbankan Indonesia Periode 1988-1993,” Historiografi 1, no. 1
(2020): 32.
[10] Ibid, 34.
[11] Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di
Indonesia, Cet. 5 (Bandung: Alumni, 2006), abstrak.