Pengantar
Dalam Hukum
Acara Pidana Indonesia, proses peradilan tidak serta-merta memasuki ranah
pembuktian materiil. Terdapat sebuah mekanisme fundamental yang berfungsi
sebagai gerbang penyaring pertama, yakni eksepsi atau keberatan.
Secara
esensial, eksepsi dapat didefinisikan sebagai tangkisan (plead) atau
pembelaan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya, yang tidak
ditujukan secara langsung terhadap substansi atau materi pokok surat dakwaan,
melainkan menyasar cacat formal yang melekat padanya. Keberatan ini
merupakan instrumen yuridis yang disediakan oleh negara untuk memastikan bahwa
penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum telah memenuhi standar
kelayakan prosedural sebelum melangkah lebih jauh.
Signifikansi
eksepsi berakar pada prinsip-prinsip universal peradilan yang adil (due
process of law). Sebagaimana diuraikan dalam literatur, keberatan terdakwa,
atau yang juga dikenal sebagai eksepsi, merujuk pada upaya hukum yang diajukan
oleh terdakwa dalam proses peradilan pidana untuk menentang atau membantah
keabsahan tuntutan atau dakwaan yang diajukan terhadapnya. Maksud dari
keberatan terdakwa adalah untuk menunjukkan bahwa ada kecacatan atau kesalahan
dalam dakwaan yang merugikan hak-hak terdakwa atau melanggar prinsip-prinsip
hukum yang berlaku.[1]
Dengan
demikian, eksepsi bukanlah sekadar formalitas, melainkan sebuah hak
fundamental yang menegaskan posisi terdakwa sebagai subjek hukum yang setara di
hadapan pengadilan, bukan objek semata.
Secara
filosofis, hak untuk mengajukan keberatan merupakan manifestasi dari adagium
hukum kuno, Audi et Alteram Partem atau Audiatur et Altera Pars,
yang bermakna “dengarkan juga pihak yang lain”. Adagium ini
mengamanatkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan putusan sebelum memberikan
kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak untuk mengemukakan
argumentasinya. Dalam konteks ini, eksepsi adalah kesempatan pertama bagi
terdakwa untuk didengar, untuk mempertanyakan validitas formal dari tuduhan/dakwaan
yang menjadi dasar seluruh proses peradilan terhadap dirinya. Hak ini juga berkaitan
erat dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), di
mana beban untuk menyajikan dakwaan yang sah dan benar secara formal berada di
pundak negara, yang diwakili oleh Penuntut Umum.
Penting
untuk menarik garis demarkasi yang tegas antara eksepsi dan pleidoi
(pembelaan). Keduanya merupakan instrumen pembelaan, namun beroperasi pada
ranah dan tahapan yang berbeda secara diametral. Eksepsi diajukan pada
permulaan sidang, sesaat setelah surat dakwaan dibacakan, dan fokus
serangannya adalah pada aspek prosedural atau formalitas surat dakwaan itu
sendiri. Sebaliknya, pleidoi diajukan pada akhir persidangan, setelah
selesainya tahap pembuktian, dan substansinya menyerang materi pokok perkara
dengan tujuan membuktikan bahwa unsur-unsur delik yang didakwakan tidak
terbukti.
Pembedaan
ini memiliki implikasi strategis yang krusial. Mengajukan argumentasi yang
menyangkut materi pokok perkara, seperti alibi atau penyangkalan perbuatan, di
dalam nota eksepsi merupakan sebuah kekeliruan prosedural. Hakim akan menolak
eksepsi semacam itu dengan pertimbangan bahwa dalil tersebut prematur dan
seharusnya dibuktikan dalam agenda pemeriksaan pokok perkara. Kegagalan
memahami distingsi ini dapat berakibat pada hilangnya kesempatan emas untuk
menghentikan proses peradilan lebih dini atas dasar cacat formal yang fatal.
Landasan Yuridis Eksepsi dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Fondasi
hukum utama yang mengatur mengenai eksepsi dalam sistem peradilan pidana
Indonesia tertuang secara eksplisit dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang
selanjutnya disebut dengan “KUHAP”. Norma induk yang menjadi
rujukan adalah Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan:
“Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum
mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau
dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah
diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan
keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”
Ketentuan
ini secara imperatif memberikan landasan bagi terdakwa atau penasihat hukumnya
untuk mengajukan keberatan dan, pada saat yang sama, membatasi ruang lingkup
keberatan tersebut ke dalam tiga kategori yang bersifat limitatif:
(1) keberatan
mengenai kewenangan mengadili;
(2) keberatan
bahwa dakwaan tidak dapat diterima;
(3) keberatan
bahwa surat dakwaan harus dibatalkan.
Pasal ini
menjadi jantung dari mekanisme eksepsi, yang menggariskan baik hak terdakwa
maupun prosedur yang harus ditempuh oleh hakim dalam menanganinya.
Keberadaan Pasal
156 KUHAP tidak hanya berfungsi sebagai instrumen perlindungan hak-hak
terdakwa. Lebih dari itu, pasal ini mengemban fungsi sistemik sebagai mekanisme
penjaminan efisiensi peradilan. Proses peradilan pidana, khususnya tahap
pembuktian, merupakan aktivitas yang menyerap sumber daya negara secara
signifikan, meliputi waktu majelis hakim, aparatur kejaksaan, kepolisian, dan
biaya operasional persidangan.
Surat
dakwaan yang disusun secara cacat secara fundamental (misalnya, diajukan ke
pengadilan yang salah atau uraiannya kabur sehingga tidak dapat dipahami) akan
menjadikan seluruh proses pembuktian yang panjang dan rumit menjadi sia-sia.
Putusan yang lahir dari dakwaan yang cacat sangat rentan untuk dibatalkan pada
tingkat pemeriksaan hukum yang lebih tinggi.
Dengan
menyediakan “gerbang filter” di awal melalui mekanisme eksepsi, Pasal 156
KUHAP memungkinkan sistem peradilan untuk menyaring dan menghentikan
perkara yang tidak layak lanjut sebelum memasuki tahap yang paling memakan
sumber daya.
Dengan
demikian, eksepsi berfungsi sebagai katup pengaman efisiensi, memastikan bahwa
hanya surat dakwaan yang sehat secara formal yang akan diperiksa materi
pokoknya, sejalan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Klasifikasi dan Ruang Lingkup Eksepsi dalam Praktik Peradilan
Berdasarkan
rumusan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, eksepsi dapat diklasifikasikan
ke dalam tiga kategori utama. Masing-masing kategori memiliki dasar dan alasan
pengajuan yang spesifik, yang telah berkembang baik melalui ketentuan
undang-undang maupun praktik peradilan.
Eksepsi Kewenangan Mengadili (Exception of Incompetency)
Keberatan
jenis ini mempersoalkan yurisdiksi atau kewenangan pengadilan yang memeriksa
perkara. Eksepsi ini terbagi lebih lanjut menjadi dua bentuk, yaitu:
(1) Eksepsi
Kewenangan Absolut
Eksepsi ini diajukan apabila
Pengadilan Negeri yang sedang memeriksa perkara secara absolut tidak memiliki
kewenangan untuk mengadili jenis perkara tersebut. Hal ini terjadi karena
perkara itu seharusnya menjadi yurisdiksi lingkungan peradilan lain. Contoh
paling umum adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer aktif,
yang seharusnya diadili oleh Peradilan Militer, bukan Peradilan Umum.
Demikian pula, untuk tindak pidana
yang dilakukan bersama-sama oleh subjek hukum sipil dan militer, pemeriksaannya
dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum melalui mekanisme
koneksitas, kecuali ada penetapan lain.
(2)
Eksepsi Kewenangan Relatif
Eksepsi ini tidak mempersoalkan
lingkungan peradilan, melainkan wilayah hukum (locus delicti) dari suatu
pengadilan negeri. Dasar utamanya adalah Pasal 84 KUHAP, yang
pada pokoknya menyatakan bahwa Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala
perkara tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Apabila suatu
tindak pidana terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri A, namun dilimpahkan
oleh Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri B, maka terdakwa dapat mengajukan
eksepsi kewenangan relatif dengan dalil bahwa Pengadilan Negeri B tidak
berwenang mengadili perkara tersebut.
Eksepsi Dakwaan Tidak Dapat Diterima (Niet-Ontvankelijke Verklaring)
Eksepsi
jenis ini diajukan bukan karena dakwaan cacat secara redaksional, melainkan
karena terdapat halangan-halangan yuridis yang menyebabkan hak negara untuk
melakukan penuntutan menjadi gugur atau belum dapat dilaksanakan. Beberapa
alasan utama yang masuk dalam kategori ini adalah:
(1) Ne Bis in
Idem
Berdasarkan Pasal 76 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yang selanjutnya disebut “KUHP”,
seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya atas perbuatan yang sama (idem
delictum) yang terhadapnya telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde);
(2) Daluwarsa
Penuntutan
Hak untuk menuntut pidana dapat hapus
karena lampaunya waktu. Pasal 78 KUHP mengatur secara rinci
tenggang waktu daluwarsa yang bervariasi, bergantung pada klasifikasi tindak
pidana dan beratnya ancaman hukuman;
(3) Terdakwa
Meninggal Dunia
Sesuai dengan Pasal 77 KUHP,
kewenangan menuntut pidana hapus dengan meninggalnya terdakwa, karena
pertanggungjawaban pidana bersifat personal (person-gebonden);
(4) Ketiadaan
Pengaduan pada Delik Aduan (Klachtendelict)
Untuk tindak pidana tertentu yang
oleh undang-undang diklasifikasikan sebagai delik aduan (misalnya, perzinaan,
pencemaran nama baik, atau penggelapan dalam keluarga), penuntutan hanya dapat
dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Ketiadaan pengaduan
yang sah menjadikan penuntutan tidak dapat diterima. Pasal 72 hingga
Pasal 75 KUHP mengatur lebih lanjut mengenai tata cara dan tenggat
waktu pengaduan;
(5) Dakwaan
Prematur (Prejudicieel Geschil)
Meskipun tidak diatur secara
eksplisit dalam KUHAP, praktik peradilan telah mengakui dan mengembangkan
konsep dakwaan prematur sebagai bagian dari eksepsi dakwaan tidak dapat
diterima. Hal ini terjadi ketika penuntutan pidana bergantung pada penyelesaian
sengketa hukum lain yang bersifat pra-yudisial, yang harus diputus terlebih
dahulu. Sebagai contoh, dalam kasus dugaan penggelapan atas tanah warisan, jika
status kepemilikan tanah tersebut masih menjadi sengketa di pengadilan perdata,
maka penuntutan pidana dianggap prematur sebelum adanya putusan perdata yang
final mengenai siapa pemilik sah tanah tersebut. Perkembangan ini menunjukkan
bahwa hukum acara pidana bersifat dinamis dan mampu beradaptasi melalui
yurisprudensi untuk menjawab kompleksitas persoalan hukum yang tidak diatur
secara literal oleh undang-undang.
Eksepsi Surat Dakwaan Batal Demi Hukum (Null and Void/nietigheid van rechtswege)
Eksepsi ini
merupakan senjata utama untuk menyerang kualitas redaksional dari surat
dakwaan. Dasar pengajuannya adalah pelanggaran terhadap syarat
materiil surat dakwaan yang diatur secara tegas dalam Pasal 143 ayat (2)
huruf b KUHAP, yang menghendaki adanya:
“...uraian secara cermat, jelas dan lengkap
mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat
tindak pidana itu dilakukan.”
Pelanggaran
terhadap ketentuan ini dikenai konsekuensi yuridis yang sangat berat, sebagaimana
diatur dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP, yang menyatakan:
“Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”.
Dalam
praktik, eksepsi ini sering kali didasarkan pada dalil bahwa surat dakwaan
bersifat obscuur libel atau kabur. Suatu dakwaan dianggap kabur apabila
gagal memenuhi tiga kriteria kumulatif tersebut:
-
Tidak Cermat yaitu uraian fakta kejadian
tidak teliti, atau tidak sinkron dengan unsur-unsur pasal pidana yang
didakwakan;
-
Tidak Jelas yaitu formulasi kalimatnya
menimbulkan ambiguitas atau multitafsir, sehingga terdakwa tidak dapat memahami
secara pasti perbuatan apa yang dituduhkan kepadanya untuk mempersiapkan
pembelaan;
-
Tidak Lengkap yaitu terdapat unsur delik
esensial dari pasal yang didakwakan yang tidak diuraikan atau tidak disebutkan
dalam narasi perbuatan terdakwa.
Ketidakjelasan
juga dapat menyangkut waktu (tempus delicti) atau tempat kejadian
perkara (locus delicti). Kegagalan Penuntut Umum dalam menyusun surat
dakwaan yang memenuhi standar ini memberikan dasar yang kuat bagi terdakwa
untuk mengajukan eksepsi agar dakwaan tersebut dinyatakan batal demi hukum.
Prosedur Pengajuan Eksepsi dan Mekanisme Pemeriksaannya di Persidangan
KUHAP
mengatur secara ketat mengenai momentum pengajuan eksepsi. Pada prinsipnya,
eksepsi harus diajukan pada kesempatan pertama, yakni pada sidang pertama
sesaat setelah Penuntut Umum selesai membacakan surat dakwaannya. Hakim ketua
sidang akan menanyakan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya apakah mereka
memahami dakwaan dan akan mengajukan keberatan.
Apabila
jawaban atas pertanyaan kedua adalah “ya”, maka hakim akan memberikan
kesempatan untuk menyampaikannya. Keterlambatan dalam mengajukan eksepsi
(selain eksepsi mengenai kewenangan absolut yang dapat diajukan kapan saja
selama pemeriksaan) dapat berakibat pada gugurnya hak terdakwa untuk
melakukannya.
Setelah
nota keberatan atau eksepsi dibacakan atau diserahkan oleh pihak terdakwa,
proses persidangan akan memasuki tahap dialektika hukum. Alur pemeriksaannya
adalah sebagai berikut:
1.
Pembacaan Eksepsi
Terdakwa atau Penasihat Hukum
membacakan nota keberatannya di hadapan sidang;
2. Tanggapan
Penuntut Umum (Replik)
Sesuai amanat Pasal 156 ayat
(1) KUHAP, hakim memberikan kesempatan kepada Penuntut Umum untuk
menyatakan pendapatnya atas eksepsi tersebut. Tanggapan ini dapat disampaikan
secara lisan maupun tertulis;
3. Musyawarah
dan Keputusan Hakim
Setelah mendengar argumentasi dari
kedua belah pihak, Majelis Hakim akan menunda sidang untuk melakukan musyawarah
dan menyusun putusan atas eksepsi tersebut.
Putusan Sela: Konsekuensi Yuridis atas Diterima atau Ditolaknya Eksepsi
Keputusan
hakim atas eksepsi dituangkan dalam bentuk putusan sela (interlocutory
judgment). Disebut putusan sela karena ia belum menyentuh dan memutus pokok
perkara, melainkan hanya memutuskan isu-isu prosedural yang diajukan dalam
eksepsi. Konsekuensi yuridis dari putusan sela ini sangat signifikan dan
menentukan arah kelanjutan persidangan.
a) Apabila
Eksepsi Diterima, maka pemeriksaan terhadap pokok perkara dihentikan. Amar
putusan sela akan disesuaikan dengan jenis eksepsi yang diterima, misalnya: “Menyatakan
surat dakwaan Penuntut Umum batal demi hukum” atau “Menyatakan dakwaan
Penuntut Umum tidak dapat diterima”. Konsekuensinya, terdakwa dapat
dibebaskan dari tahanan (jika ditahan), dan berkas perkara dikembalikan kepada
Penuntut Umum;
b) Sebaliknya,
apabila hakim berpendapat bahwa eksepsi yang diajukan tidak beralasan, maka
eksepsi tersebut akan ditolak. Amar putusan sela akan menyatakan, antara
lain: “Menyatakan keberatan dari Penasihat Hukum Terdakwa tidak dapat
diterima” dan “Memerintahkan Penuntut Umum untuk melanjutkan pemeriksaan
perkara...”. Dengan demikian, persidangan akan dilanjutkan ke tahap
berikutnya, yaitu pemeriksaan materi pokok perkara melalui agenda pembuktian.
Mekanisme
upaya hukum terhadap putusan sela ini menunjukkan adanya sebuah asimetri. Jika
eksepsi diterima (yang berarti perkara berhenti), Penuntut Umum diberikan hak
untuk menempuh upaya hukum khusus yang disebut perlawanan ke Pengadilan Tinggi.
Dalam konteks Hukum Acara Pidana di Indonesia, istilah perlawanan (yang
seringkali disinonimkan dengan verzet dalam literatur hukum) memang
merupakan upaya hukum khusus yang secara eksplisit diatur dan tersedia bagi
Penuntut Umum terhadap putusan sela yang mengabulkan eksepsi dari pihak
terdakwa. Dasar hukum utama untuk mekanisme ini adalah Pasal 156 ayat (3)
KUHAP, yang menyatakan:
“Dalam hal penuntut umum berkeberatan
terhadap keputusan tersebut, maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada
pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan.”
Mekanisme
ini memungkinkan peninjauan yang cepat atas putusan yang menghentikan
penuntutan.
Di sisi
lain, jika eksepsi ditolak (yang berarti perkara berlanjut), terdakwa tidak
dapat langsung mengajukan banding atas putusan sela tersebut. Keberatan atas
penolakan eksepsi tersebut harus dicatat dan baru dapat diajukan sebagai salah
satu materi dalam memori banding bersamaan dengan upaya hukum banding terhadap
putusan akhir (vonis) atas pokok perkara.
Asimetri
ini merefleksikan keseimbangan antara kepentingan negara dalam penuntutan
dengan hak terdakwa, di mana sistem memprioritaskan penyelesaian cepat jika
perkara dihentikan di awal, namun menuntut kesabaran dari pihak terdakwa jika
perkara diputuskan untuk terus berjalan.
Putusan Sela yang Mengabulkan Eksepsi
Untuk
memberikan gambaran konkret mengenai penerapan eksepsi dalam praktik peradilan,
dapat dilihat dari sebuah putusan sela yang relevan. Salah satu contohnya adalah
Putusan Pengadilan Negeri Indramayu Nomor 71/Pid.B/2021/PN Idm, tertanggal
19 April 2021.
Dalam
perkara ini, Terdakwa atas nama Santana Alias Nana Ciko Bin Alm Suryadi,
melalui penasihat hukumnya, mengajukan eksepsi terhadap surat dakwaan yang
disusun oleh Penuntut Umum. Setelah melalui proses pemeriksaan sesuai hukum
acara, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Indramayu menjatuhkan putusan sela
dengan amar sebagai berikut:
1.
Menyatakan keberatan dari Penasihat Hukum
Terdakwa SANTANA alias NANA CIKO bin (alm) SURYADI tersebut diterima;
2. Menyatakan
surat dakwaan Penuntut Umum Nomor PDM-26/M.2.21/Eoh.2/03/2021 atas nama SANTANA
alias NANA CIKO bin (alm) SURYADI batal demi hukum;
3. Memerintahkan
mengembalikan berkas perkara ini kepada Penuntut Umum;
4. Memerintahkan
Terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan;
5. Membebankan
biaya perkara kepada Negara;
Dari amar
putusan tersebut, dapat dianalisis beberapa poin krusial. Pertama,
Majelis Hakim secara tegas mengabulkan eksepsi yang diajukan oleh pihak
terdakwa. Kedua, konsekuensi dari diterimanya eksepsi tersebut adalah
pernyataan bahwa surat dakwaan “batal demi hukum”. Berdasarkan
klasifikasi eksepsi yang telah diuraikan, amar ini secara langsung merujuk pada
eksepsi jenis ketiga, yakni keberatan yang didasarkan pada pelanggaran syarat
materiil surat dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf
b jo. Pasal 143 ayat (3) KUHAP.
Meskipun
pertimbangan hukum (ratio decidendi) lengkapnya tidak tersaji, dapat
disimpulkan dengan tingkat kepastian yang tinggi bahwa Majelis Hakim
menemukan surat dakwaan Penuntut Umum bersifat obscuur libel atau kabur.
Hakim menilai bahwa uraian mengenai tindak pidana yang didakwakan, atau
mengenai waktu dan tempat kejadiannya, tidak dirumuskan secara cermat, jelas,
dan lengkap.
Akibatnya,
surat dakwaan tersebut dianggap tidak layak menjadi dasar pemeriksaan pokok
perkara dan harus dinyatakan batal demi hukum. Putusan ini menjadi preseden
nyata bagaimana mekanisme eksepsi berfungsi sebagai instrumen kontrol yudisial
terhadap kualitas kerja penuntutan dan sebagai benteng perlindungan hak
terdakwa untuk tidak diadili berdasarkan dakwaan yang cacat secara fundamental.
Eksepsi adalah Instrumen Keseimbangan dan Penjamin Kepastian Hukum
Eksepsi
dalam peradilan pidana bukanlah sekadar teknis-yuridis yang rumit, melainkan
sebuah pilar esensial yang menopang tegaknya prinsip peradilan yang adil dan
berimbang. Analisis mendalam menunjukkan bahwa eksepsi mengemban fungsi ganda
yang vital.
Di satu
sisi, ia berfungsi sebagai benteng perlindungan hak-hak fundamental terdakwa (due
process rights), memastikan bahwa tidak seorang pun diadili atas dasar
tuduhan yang kabur, tidak berdasar, atau diajukan secara keliru.
Di sisi
lain, ia berperan sebagai mekanisme penjaminan kualitas dan efisiensi sistemik,
menyaring perkara sejak dini dan mencegah pemborosan sumber daya negara untuk
memeriksa dakwaan yang cacat secara prosedural.
Keberhasilan
sebuah eksepsi sering kali merefleksikan kurangnya kecermatan, ketelitian, dan
profesionalisme Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan. Surat dakwaan
sering diibaratkan sebagai mahkota dari proses penuntutan; ia merupakan
kulminasi dari seluruh hasil penyidikan yang dirangkai dalam suatu konstruksi
yuridis.
Apabila
mahkota ini cacat, maka seluruh bangunan perkara yang hendak ditegakkan di
atasnya akan runtuh. Oleh karena itu, pentingnya penyusunan surat dakwaan yang
cermat, jelas, dan lengkap tidak dapat ditawar lagi.
Pada
akhirnya, eksepsi harus dipandang sebagai instrumen penyeimbang yang menjamin
kepastian hukum. Ia mengingatkan kita pada adagium Summum Ius Summa Iniuria,
yang berarti keadilan tertinggi dapat menjadi ketidakadilan tertinggi.
Penerapan
hukum acara yang kaku tanpa memberikan ruang bagi terdakwa untuk mempersoalkan
validitas formal dari proses yang dihadapinya justru dapat mencederai substansi
keadilan itu sendiri. Dengan demikian, eksepsi berdiri sebagai garda terdepan,
memastikan bahwa perjalanan menuju kebenaran materiil dimulai dari landasan
prosedural yang kokoh dan adil.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.
[1] Ecep Nurjamal, Hukum Pidana dan
Penerapan Hukum Acara Pidana (Tasikmalaya: EDU PUBLISHER, 2023), 137.