layananhukum

Apa Sih Bedanya Mekanisme Praperadilan dan Eksepsi dalam Peradilan Pidana?

 

Pengantar

Bayangkan sebuah skenario yang meresahkan, bahwa suatu pagi, Anda menerima surat panggilan resmi dari kepolisian yang menyatakan Anda sebagai tersangka dalam suatu tindak pidana. Seketika, dunia terasa berputar. Kebingungan, ketakutan, dan rentetan pertanyaan berkecamuk di benak Anda: “Apa yang bisa saya lakukan? Apakah proses penetapan saya sebagai tersangka ini sudah benar dan adil? Bagaimana saya bisa membela diri bahkan sebelum persidangan dimulai?

Skenario ini, meskipun hipotetis, merupakan cerminan dari kegelisahan nyata yang dialami banyak orang ketika berhadapan dengan mesin hukum pidana.

Di tengah ketidakpastian tersebut, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) sebagai landasan hukum formil di Indonesia, sesungguhnya telah menyediakan dua instrumen fundamental yang berfungsi sebagai garda pelindung hak-hak Anda.

Keduanya adalah Praperadilan dan Eksepsi (atau Nota Keberatan). Keduanya dapat dipandang sebagai “katup pengaman” yang dirancang oleh negara untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai dengan koridor keadilan prosedural (due process of law).

Praperadilan dapat diibaratkan sebagai perisai di tahap paling awal, yakni selama proses penyidikan, yang memungkinkan Anda untuk menguji keabsahan tindakan aparat penegak hukum. Sementara itu, Eksepsi adalah benteng pertahanan yang berdiri kokoh di gerbang persidangan, yang bertugas menyaring dan menolak dakwaan yang cacat secara hukum.  

Artikel ini bertujuan untuk membedah secara sistematis, komprehensif, dan kritis kedua mekanisme krusial tersebut. Pembaca akan diajak untuk tidak hanya memahami definisi teknisnya, tetapi juga menyelami filosofi di baliknya, menelusuri evolusi ruang lingkupnya yang dinamis, memetakan perbedaan dan persamaannya secara fundamental, hingga merefleksikan dinamika kontemporer yang terus membentuk wajah hukum acara pidana di Indonesia.

Membedah Praperadilan: Pengawal Hak Asasi di Tahap Pra-Yudisial

Secara formal, Praperadilan didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 10 KUHAP sebagai wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya suatu tindakan aparat penegak hukum. Namun, definisi ini perlu diperkaya dengan pemahaman yang lebih mendalam, terkait konseptualisasi Praperadilan sebagai mekanisme “kontrol horizontal”.

Artinya, lembaga ini berfungsi sebagai pengawas sesama penegak hukum, dalam hal ini, kekuasaan yudikatif (Pengadilan Negeri) mengawasi tindakan aparatur dalam lingkup eksekutif (Kepolisian dan Kejaksaan) untuk memastikan kewenangan mereka tidak dijalankan secara sewenang-wenang.  

Akar filosofis dari Praperadilan jauh lebih dalam dari sekadar pengawasan prosedural. keberadannnya adalah manifestasi konkret dari perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi dalam sistem peradilan pidana. Kelahirannya dalam KUHAP tahun 1981 merupakan terjemahan dari prinsip universal habeas corpus, yaitu hak fundamental setiap individu untuk menantang keabsahan penahanan atau perampasan kemerdekaannya di hadapan seorang hakim yang imparsial.

Dengan demikian, tujuan utama Praperadilan adalah untuk melindungi harkat dan martabat manusia dari tindakan upaya paksa yang tidak sah, sekaligus memberikan mekanisme ganti kerugian dan rehabilitasi bagi mereka yang menjadi korban dari kesalahan prosedur atau hukum.  

Evolusi Ruang Lingkup Praperadilan: Dari KUHAP 1981 hingga Era Mahkamah Konstitusi

Saat pertama kali diperkenalkan, ruang lingkup Praperadilan sangat terbatas. Pasal 77 KUHAP secara limitatif hanya menyebutkan empat objek yang dapat diuji antara lain sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan. Tindakan krusial lainnya seperti penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, pada awalnya berada di luar jangkauan pengawasan yudisial ini, menciptakan sebuah area abu-abu di mana potensi pelanggaran hak asasi sangat besar.  

Titik balik yang mengubah lanskap hukum acara pidana Indonesia secara dramatis terjadi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014. Putusan ini lahir dari kesadaran bahwa KUHAP yang disusun pada tahun 1981 sudah tidak sepenuhnya relevan dengan dinamika perlindungan HAM kontemporer. MK berpandangan bahwa penetapan seseorang sebagai tersangka adalah sebuah tindakan hukum yang secara fundamental merampas hak asasi dan kehormatan seseorang, namun ironisnya, tindakan ini tidak dapat diuji keabsahannya melalui mekanisme hukum yang ada. Untuk mengisi kekosongan hukum ini, MK mengambil peran sebagai positive legislator.  

Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP adalah inkonstitusional bersyarat dan harus dimaknai mencakup penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai objek yang dapat diuji melalui Praperadilan.

Putusan ini tidak hanya memperluas objek, tetapi juga memperkuat syarat formil penetapan tersangka, yakni harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, dan idealnya didahului dengan pemeriksaan calon tersangka untuk menjamin transparansi dan hak untuk didengar. Perluasan objek Praperadilan oleh MK ini bukanlah sekadar interpretasi hukum, melainkan sebuah intervensi yudisial aktif untuk menyeimbangkan kembali relasi kuasa yang timpang antara negara (aparat penegak hukum) dan individu (tersangka).

Ini adalah manifestasi nyata dari prinsip checks and balances dalam konteks pra-yudisial, di mana kekuasaan yudikatif membatasi potensi ekses dari kekuasaan eksekutif demi melindungi hak fundamental warga negara.  

Batas Waktu dan Gugurnya Permohonan: Perlombaan Menuju Kepastian Hukum

Salah satu masalah kronis dalam praktik Praperadilan adalah multitafsir terhadap Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, yang menyatakan bahwa permohonan Praperadilan “gugur” ketika “suatu perkara sudah mulai diperiksa” oleh pengadilan negeri. Frasa ambigu ini membuka celah bagi aparat penegak hukum (sebagai termohon) untuk “berlomba” melimpahkan berkas perkara pokok ke pengadilan dengan tujuan menggugurkan permohonan Praperadilan yang sedang berjalan. Praktik ini menciptakan ketidakpastian hukum yang serius, karena hakim praperadilan menafsirkan momen “mulai diperiksa” secara berbeda-beda, ada yang menganggap sejak berkas dilimpahkan, ada yang sejak diregistrasi, dan ada pula yang sejak sidang pertama dimulai.

Untuk mengakhiri ketidakpastian ini, Mahkamah Konstitusi kembali turun tangan melalui Putusan Nomor 102/PUU-XIII/2015. Putusan ini memberikan penafsiran tunggal yang mengikat. MK menegaskan bahwa permintaan Praperadilan baru dinyatakan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri DAN telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara tersebut, yang lazimnya ditandai dengan pembacaan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum.  

Logika di balik putusan ini sangat jelas yaitu memberikan kesempatan yang adil dan nyata bagi pemohon Praperadilan untuk mendapatkan putusan atas permohonannya sebelum masuk ke pemeriksaan substansi perkara. Putusan ini secara efektif menutup celah strategis yang sering dimanfaatkan untuk menghindari pengawasan yudisial. Ini menunjukkan bahwa hukum acara tidak selalu berjalan dalam ruang hampa yang netral; ia bisa menjadi arena pertarungan taktik prosedural. Putusan MK ini adalah respons yudisial untuk mengoreksi “permainan strategis” tersebut dan mengembalikan proses hukum ke rel kepastian dan keadilan.  

Memahami Eksepsi: Benteng Formalitas di Pintu Gerbang Persidangan

Ketika proses penyidikan selesai dan perkara dilimpahkan ke pengadilan, seorang tersangka berubah status menjadi terdakwa. Pada titik inilah mekanisme Eksepsi atau Nota Keberatan menjadi relevan. Eksepsi adalah tangkisan atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya terhadap surat dakwaan yang disusun dan dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).  

Perbedaan krusial yang harus dipahami adalah sifat Eksepsi yang murni formal. Berbeda dengan pembelaan (pleidoi) yang akan disampaikan di akhir persidangan, Eksepsi sama sekali tidak menyentuh pokok perkara atau substansi materiil. Artinya, Eksepsi tidak mempersoalkan benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan. Fokusnya secara eksklusif tertuju pada aspek-aspek formal dan prosedural dari surat dakwaan itu sendiri. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa proses peradilan tidak dilanjutkan berdasarkan sebuah dakwaan yang cacat secara hukum, sehingga melindungi hak-hak terdakwa dari proses penuntutan yang tidak sah, tidak jelas, atau tidak layak untuk diperiksa lebih lanjut.  

Alasan-Alasan Fundamental Pengajuan Eksepsi

KUHAP, khususnya dalam Pasal 156 ayat (1), menggariskan tiga kategori utama alasan yang dapat dijadikan dasar pengajuan Eksepsi.

1.        Kewenangan Mengadili (Kompetensi)

Keberatan ini mempersoalkan apakah pengadilan yang sedang menyidangkan perkara memiliki yurisdiksi yang sah. Ini terbagi menjadi dua:

-         Kompetensi Absolut: Pengadilan tidak berwenang secara mutlak karena perkara tersebut seharusnya diadili oleh lingkungan peradilan lain. Contoh paling umum adalah perkara yang melibatkan anggota militer aktif seharusnya diadili di Pengadilan Militer, bukan Pengadilan Negeri;

-         Kompetensi Relatif: Pengadilan Negeri yang bersangkutan tidak berwenang karena tempat kejadian perkara (locus delicti) berada di luar wilayah hukumnya.  

2.       Dakwaan Tidak Dapat Diterima

Kategori ini mencakup halangan-halangan yuridis yang membuat penuntutan tidak dapat dilanjutkan, antara lain:

-         Ne Bis In Idem: Asas yang melarang seseorang diadili dua kali untuk perbuatan yang sama yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde);

-         Terdakwa Meninggal Dunia: Penuntutan pidana gugur demi hukum;

-         Dalawarsa (Kadaluwarsa): Hak negara untuk menuntut telah gugur karena lampaunya batas waktu yang ditentukan undang-undang.

3.      Surat Dakwaan Harus Dibatalkan

Alasan ini menyoroti cacat pada surat dakwaan itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 143 ayat (2) KUHAP.

-         Cacat Syarat Formil: Misalnya, tidak mencantumkan identitas lengkap terdakwa, tanggal pembuatan surat dakwaan, atau tanda tangan JPU;

-         Cacat Syarat Materiil (Obscuur Libel): Ini adalah alasan yang paling sering diajukan. Dakwaan dianggap batal demi hukum karena uraiannya tidak cermat, tidak jelas, atau tidak lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan, termasuk mengenai waktu (tempus delicti) dan tempat (locus delicti) perbuatan dilakukan.  

Mekanisme Eksepsi ini secara inheren berfungsi sebagai “filter yudisial” atau “penjaga gerbang” kualitas penuntutan. Ia memaksa JPU untuk menyusun surat dakwaan (yang merupakan fondasi dari seluruh proses persidangan) dengan cermat, jelas, dan lengkap. Jika JPU gagal memenuhi standar minimum yang ditetapkan undang-undang, sistem peradilan, melalui hakim, akan menolak untuk melanjutkan sebuah proses yang telah cacat sejak awal. Dengan demikian, Eksepsi secara tidak langsung mendorong profesionalisme aparat penuntut dan meningkatkan kualitas sistem peradilan secara keseluruhan.

Proses dan Konsekuensi Hukum Eksepsi

Eksepsi diajukan pada momen yang sangat spesifik, yaitu pada tahap awal persidangan, tepat setelah JPU selesai membacakan surat dakwaan dan sebelum agenda pemeriksaan saksi-saksi dimulai. Setelah Eksepsi diajukan, hakim akan memberikan kesempatan kepada JPU untuk memberikan tanggapan. Selanjutnya, hakim akan mempertimbangkan kedua argumen tersebut dan menjatuhkan putusan dalam bentuk putusan sela (interlocutory verdict), yaitu putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir mengenai pokok perkara.  

Konsekuensi hukum jika Eksepsi diterima sangat bergantung pada alasan yang dikabulkan. Jika Eksepsi diterima karena alasan kompetensi (absolut atau relatif), maka hakim akan menyatakan tidak berwenang mengadili dan perkara akan dilimpahkan ke pengadilan yang dianggap berwenang. Jika diterima karena dakwaan batal demi hukum (obscuur libel), maka pemeriksaan perkara dihentikan. Namun, ini tidak serta merta membebaskan terdakwa selamanya; JPU masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki surat dakwaannya dan melimpahkan kembali perkara tersebut untuk disidangkan dari awal.

Titik Temu dan Garis Pemisah: Praperadilan dan Eksepsi

Meskipun sama-sama berfungsi sebagai instrumen perlindungan hukum, Praperadilan dan Eksepsi memiliki perbedaan fundamental yang memisahkan keduanya secara tegas dalam alur sistem peradilan pidana.

(1)      Pertama, dari dimensi waktu (timing), Praperadilan berlangsung di tahap pra-ajudikasi, yaitu sebelum perkara pokok dilimpahkan dan disidangkan di pengadilan. Ia menguji tindakan-tindakan yang terjadi selama proses penyidikan dan penuntutan. Sebaliknya, Eksepsi terjadi di tahap ajudikasi, yakni di awal persidangan pokok perkara, setelah dakwaan dibacakan oleh JPU;

(2)     Kedua, dari dimensi objek (object of scrutiny), sasaran pengujian keduanya berbeda total. Objek Praperadilan adalah tindakan atau kewenangan aparat penegak hukum (Penyidik atau Penuntut Umum), seperti sah tidaknya penangkapan, penahanan, penetapan tersangka, atau penyitaan. Ia menguji proses penggunaan upaya paksa. Di sisi lain, objek Eksepsi adalah produk hukum dari JPU, yaitu Surat Dakwaan itu sendiri. Ia menguji dokumen yang menjadi dasar formal penuntutan;

(3)    Ketiga, dari dimensi fokus pengujian (focus of examination), kedalaman pemeriksaannya berbeda. Praperadilan berfokus pada keabsahan prosedural dan formal dari tindakan upaya paksa yang dilakukan. Pertanyaannya adalah: apakah penetapan tersangka sudah didukung minimal dua alat bukti? Apakah penangkapan disertai surat perintah yang sah?. Sementara itu, Eksepsi berfokus pada pemenuhan syarat formil dan materiil dari surat dakwaan sesuai amanat Pasal 143 KUHAP. Pertanyaannya adalah: apakah dakwaan sudah jelas, cermat, dan lengkap?;

(4)     Keempat, dari dimensi aktor dan lembaga (actors and institution), pihak yang terlibat dan mekanisme putusannya pun berbeda. Praperadilan diajukan oleh Tersangka/Keluarganya/Kuasanya (Pemohon) untuk melawan Penyidik/Penuntut Umum (Termohon). Perkaranya diperiksa dan diputus oleh seorang Hakim Tunggal dalam jangka waktu yang sangat singkat, yakni paling lambat 7 hari. Sebaliknya, Eksepsi diajukan oleh Terdakwa/Penasihat Hukumnya dan diputus oleh Majelis Hakim yang memeriksa pokok perkara melalui sebuah putusan sela;

Persamaan Mendasar: Satu Jiwa dalam Dua Raga

Di balik perbedaan-perbedaan teknis tersebut, Praperadilan dan Eksepsi berbagi jiwa dan tujuan yang sama. Keduanya merupakan instrumen esensial untuk menegakkan prinsip procedural justice atau due process of law. Filosofi yang mendasarinya adalah bahwa negara tidak dapat menghukum seseorang melalui sebuah proses yang cacat, sewenang-wenang, atau melanggar aturan main yang telah ditetapkan bersama.  

Keduanya juga memiliki kesamaan dalam hal fokus yang non-materiil. Pada prinsipnya, baik Praperadilan maupun Eksepsi tidak memasuki ranah pembuktian materiil, yaitu benar atau tidaknya perbuatan pidana yang dituduhkan telah terjadi. Keduanya adalah “penjaga gerbang formalitas” yang memastikan bahwa fondasi prosedural dari sebuah proses pidana telah kokoh sebelum melangkah lebih jauh ke pemeriksaan substansi.

Pada akhirnya, kedua mekanisme ini bermuara pada satu tujuan mulia: melindungi hak-hak hukum dan hak asasi individu (tersangka/terdakwa) dari potensi kesewenang-wenangan kekuasaan negara dalam sistem peradilan pidana. Keduanya tidak tumpang tindih, melainkan saling melengkapi (komplementer) dalam sebuah alur sistemik. Praperadilan menjaga “hulu” proses, yaitu tahap penyidikan, sementara Eksepsi menjaga “muara” sebelum arus pemeriksaan pokok perkara dimulai.

Jika seorang tersangka lolos dari uji Praperadilan, ia masih memiliki lapisan pertahanan kedua melalui Eksepsi untuk memastikan dakwaan yang dihadapinya tidak cacat. Ini menunjukkan sebuah desain sistem kontrol berlapis yang cerdas untuk meminimalisir kesalahan prosedural di sepanjang proses peradilan.  

Dinamika Kontemporer dan Wajah Hukum Acara Pidana Masa Depan: Sebuah Tinjauan Kritis

Tidak dapat dipungkiri, perluasan objek Praperadilan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah kemajuan signifikan dalam sejarah perlindungan HAM di Indonesia. Ia memberikan ruang bagi warga negara untuk menguji keabsahan tindakan penegak hukum yang sebelumnya dianggap final dan tidak dapat dikoreksi. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini ibarat pedang bermata dua.  

Di satu sisi, ia menjadi benteng perlindungan yang kokoh. Di sisi lain, muncul kritik dan kekhawatiran. Salah satu yang paling sering mengemuka adalah potensi Praperadilan, khususnya terkait penetapan tersangka, digunakan sebagai strategi oleh tersangka kasus-kasus besar (terutama korupsi) untuk menghindari atau setidaknya menunda proses hukum. Hal ini seringkali menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa Praperadilan dapat menjadi sarana untuk “melepaskan” koruptor dari jerat hukum.

Selain itu, meskipun MK telah memperluas objeknya, penafsiran hakim praperadilan di berbagai pengadilan terkait standar “kecukupan bukti permulaan” masih kerap bervariasi, yang dapat menimbulkan disparitas putusan dan menciptakan ketidakpastian hukum baru. Ada pula kekhawatiran akan terjadinya yudikalisasi yang berlebihan pada tahap penyidikan, di mana hakim praperadilan dianggap terlalu jauh memasuki ranah teknis penyidikan yang seharusnya menjadi domain independen penyidik.  

Menuju Masa Depan: Praperadilan dan Eksepsi dalam RKUHAP

Dinamika dan perdebatan ini tentu menjadi perhatian para perumus kebijakan hukum. Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang terus bergulir, terdapat upaya untuk merespons perkembangan ini. Salah satu langkah penting adalah mengkodifikasi putusan-putusan MK terkait Praperadilan (seperti perluasan objek dan momen gugurnya permohonan) ke dalam norma undang-undang. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum yang lebih solid dan mengakhiri status hukum yang saat ini masih bersandar pada yurisprudensi konstitusional.  

Sempat muncul pula wacana untuk mengganti mekanisme Praperadilan dengan lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), sebuah konsep yang diadopsi dari beberapa sistem hukum Eropa. Namun, wacana ini untuk sementara tidak diadopsi, salah satunya dengan pertimbangan bahwa lembaga Praperadilan yang kewenangannya telah diperluas secara signifikan oleh MK dianggap masih relevan dan memadai untuk menjalankan fungsi pengawasan pra-yudisial di Indonesia.  

Refleksi Kritis: Keseimbangan Antara Kekuasaan Negara dan Hak Warga Negara

Perdebatan sengit seputar Praperadilan dan Eksepsi pada dasarnya adalah cerminan dari tarik-menarik abadi antara dua kepentingan yang sama-sama sah dalam sebuah negara hukum: kepentingan negara untuk menegakkan hukum dan memberantas kejahatan secara efektif, dengan kepentingan individu untuk dilindungi dari penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan.  

Perdebatan ini juga menunjukkan bahwa hukum acara pidana bukanlah sekadar seperangkat aturan teknis yang netral. Ia adalah sebuah medan pertarungan ideologis antara dua mazhab pemikiran: crime control model yang menekankan efisiensi penindakan kejahatan, dan due process model yang mengutamakan perlindungan hak-hak individu. Pihak yang melihat Praperadilan yang kuat sebagai penghambat pemberantasan korupsi adalah cerminan dari crime control model.

Sebaliknya, pihak yang memandangnya sebagai benteng HAM yang esensial adalah representasi dari due process model. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang memperluas dan memperkuat Praperadilan dapat dibaca sebagai kemenangan sementara bagi due process model di Indonesia. Pertanyaan reflektif yang tersisa adalah: sudahkah sistem kita saat ini menemukan titik keseimbangan yang ideal? Atau apakah pendulum telah berayun terlalu jauh ke salah satu sisi?  

Dua Mekanisme, Satu Tujuan Mulia

Sebagai kesimpulan, perbedaan esensial antara Praperadilan dan Eksepsi terletak pada waktu, objek, fokus, dan aktor yang terlibat. Praperadilan adalah pengawas tindakan aparat di hulu proses pidana, yang memastikan bahwa perampasan kemerdekaan dan penentuan status tersangka dilakukan sesuai hukum. Sementara itu, Eksepsi adalah filter formalitas dakwaan di gerbang pengadilan, yang memastikan bahwa persidangan tidak dimulai di atas fondasi yang cacat.

Meskipun seringkali disalahpahami atau bahkan dicurigai sebagai “celah hukum” oleh sebagian kalangan, kedua mekanisme ini sejatinya adalah pilar fundamental dari sebuah negara hukum yang beradab. Keberadaan Praperadilan dan Eksepsi adalah penegasan bahwa dalam proses pencarian kebenaran materiil (apakah seseorang bersalah atau tidak), kebenaran formil (apakah prosesnya telah berjalan sesuai aturan) tidak boleh sekali-kali diabaikan. Karena justru di dalam penghormatan terhadap prosedur itulah letak perlindungan sejati terhadap harkat dan martabat kemanusiaan.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.