Pengantar
Bayangkan sebuah skenario yang meresahkan, bahwa suatu
pagi, Anda menerima surat panggilan resmi dari kepolisian yang menyatakan Anda
sebagai tersangka dalam suatu tindak pidana. Seketika, dunia terasa berputar.
Kebingungan, ketakutan, dan rentetan pertanyaan berkecamuk di benak Anda: “Apa
yang bisa saya lakukan? Apakah proses penetapan saya sebagai tersangka ini
sudah benar dan adil? Bagaimana saya bisa membela diri bahkan sebelum
persidangan dimulai?”
Skenario ini, meskipun hipotetis, merupakan cerminan
dari kegelisahan nyata yang dialami banyak orang ketika berhadapan dengan mesin
hukum pidana.
Di tengah ketidakpastian tersebut, Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) sebagai landasan hukum formil di Indonesia,
sesungguhnya telah menyediakan dua instrumen fundamental yang berfungsi sebagai
garda pelindung hak-hak Anda.
Keduanya adalah Praperadilan dan Eksepsi
(atau Nota Keberatan). Keduanya dapat dipandang sebagai “katup pengaman”
yang dirancang oleh negara untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai
dengan koridor keadilan prosedural (due process of law).
Praperadilan dapat diibaratkan sebagai perisai di
tahap paling awal, yakni selama proses penyidikan, yang memungkinkan Anda untuk
menguji keabsahan tindakan aparat penegak hukum. Sementara itu, Eksepsi adalah
benteng pertahanan yang berdiri kokoh di gerbang persidangan, yang bertugas
menyaring dan menolak dakwaan yang cacat secara hukum.
Artikel ini bertujuan untuk membedah secara
sistematis, komprehensif, dan kritis kedua mekanisme krusial tersebut. Pembaca
akan diajak untuk tidak hanya memahami definisi teknisnya, tetapi juga
menyelami filosofi di baliknya, menelusuri evolusi ruang lingkupnya yang
dinamis, memetakan perbedaan dan persamaannya secara fundamental, hingga
merefleksikan dinamika kontemporer yang terus membentuk wajah hukum acara
pidana di Indonesia.
Membedah Praperadilan: Pengawal Hak Asasi di Tahap Pra-Yudisial
Secara formal, Praperadilan didefinisikan dalam Pasal
1 Angka 10 KUHAP sebagai wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan
memutus sah atau tidaknya suatu tindakan aparat penegak hukum. Namun, definisi
ini perlu diperkaya dengan pemahaman yang lebih mendalam, terkait konseptualisasi
Praperadilan sebagai mekanisme “kontrol horizontal”.
Artinya, lembaga ini berfungsi sebagai pengawas sesama
penegak hukum, dalam hal ini, kekuasaan yudikatif (Pengadilan Negeri) mengawasi
tindakan aparatur dalam lingkup eksekutif (Kepolisian dan Kejaksaan) untuk
memastikan kewenangan mereka tidak dijalankan secara sewenang-wenang.
Akar filosofis dari Praperadilan jauh lebih dalam dari
sekadar pengawasan prosedural. keberadannnya adalah manifestasi konkret dari
perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi dalam sistem
peradilan pidana. Kelahirannya dalam KUHAP tahun 1981 merupakan terjemahan dari
prinsip universal habeas corpus, yaitu hak fundamental setiap
individu untuk menantang keabsahan penahanan atau perampasan kemerdekaannya di
hadapan seorang hakim yang imparsial.
Dengan demikian, tujuan utama Praperadilan adalah
untuk melindungi harkat dan martabat manusia dari tindakan upaya paksa yang
tidak sah, sekaligus memberikan mekanisme ganti kerugian dan rehabilitasi bagi
mereka yang menjadi korban dari kesalahan prosedur atau hukum.
Evolusi Ruang Lingkup Praperadilan: Dari KUHAP 1981 hingga Era Mahkamah Konstitusi
Saat pertama kali diperkenalkan, ruang lingkup
Praperadilan sangat terbatas. Pasal 77 KUHAP secara limitatif
hanya menyebutkan empat objek yang dapat diuji antara lain sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian
penuntutan. Tindakan krusial lainnya seperti penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan, pada awalnya berada di luar jangkauan pengawasan
yudisial ini, menciptakan sebuah area abu-abu di mana potensi pelanggaran hak
asasi sangat besar.
Titik balik yang mengubah lanskap hukum acara pidana
Indonesia secara dramatis terjadi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor 21/PUU-XII/2014. Putusan ini lahir dari kesadaran bahwa
KUHAP yang disusun pada tahun 1981 sudah tidak sepenuhnya relevan dengan
dinamika perlindungan HAM kontemporer. MK berpandangan bahwa penetapan
seseorang sebagai tersangka adalah sebuah tindakan hukum yang secara fundamental
merampas hak asasi dan kehormatan seseorang, namun ironisnya, tindakan ini
tidak dapat diuji keabsahannya melalui mekanisme hukum yang ada. Untuk mengisi
kekosongan hukum ini, MK mengambil peran sebagai positive legislator.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal
77 huruf a KUHAP adalah inkonstitusional bersyarat dan harus dimaknai
mencakup penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai objek
yang dapat diuji melalui Praperadilan.
Putusan ini tidak hanya memperluas objek, tetapi juga
memperkuat syarat formil penetapan tersangka, yakni harus didasarkan pada
minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP,
dan idealnya didahului dengan pemeriksaan calon tersangka untuk menjamin
transparansi dan hak untuk didengar. Perluasan objek Praperadilan oleh MK
ini bukanlah sekadar interpretasi hukum, melainkan sebuah intervensi yudisial
aktif untuk menyeimbangkan kembali relasi kuasa yang timpang antara negara
(aparat penegak hukum) dan individu (tersangka).
Ini adalah manifestasi nyata dari prinsip checks
and balances dalam konteks pra-yudisial, di mana kekuasaan yudikatif
membatasi potensi ekses dari kekuasaan eksekutif demi melindungi hak
fundamental warga negara.
Batas Waktu dan Gugurnya Permohonan: Perlombaan Menuju Kepastian Hukum
Salah satu masalah kronis dalam praktik Praperadilan
adalah multitafsir terhadap Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, yang
menyatakan bahwa permohonan Praperadilan “gugur” ketika “suatu
perkara sudah mulai diperiksa” oleh pengadilan negeri. Frasa ambigu ini
membuka celah bagi aparat penegak hukum (sebagai termohon) untuk “berlomba”
melimpahkan berkas perkara pokok ke pengadilan dengan tujuan menggugurkan
permohonan Praperadilan yang sedang berjalan. Praktik ini menciptakan
ketidakpastian hukum yang serius, karena hakim praperadilan menafsirkan momen “mulai
diperiksa” secara berbeda-beda, ada yang menganggap sejak berkas dilimpahkan,
ada yang sejak diregistrasi, dan ada pula yang sejak sidang pertama
dimulai.
Untuk mengakhiri ketidakpastian ini, Mahkamah
Konstitusi kembali turun tangan melalui Putusan Nomor 102/PUU-XIII/2015.
Putusan ini memberikan penafsiran tunggal yang mengikat. MK menegaskan bahwa
permintaan Praperadilan baru dinyatakan gugur ketika pokok perkara telah
dilimpahkan ke Pengadilan Negeri DAN telah dimulainya sidang pertama
terhadap pokok perkara tersebut, yang lazimnya ditandai dengan
pembacaan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum.
Logika di balik putusan ini sangat jelas yaitu memberikan
kesempatan yang adil dan nyata bagi pemohon Praperadilan untuk mendapatkan
putusan atas permohonannya sebelum masuk ke pemeriksaan substansi perkara.
Putusan ini secara efektif menutup celah strategis yang sering dimanfaatkan
untuk menghindari pengawasan yudisial. Ini menunjukkan bahwa hukum acara tidak
selalu berjalan dalam ruang hampa yang netral; ia bisa menjadi arena
pertarungan taktik prosedural. Putusan MK ini adalah respons yudisial untuk
mengoreksi “permainan strategis” tersebut dan mengembalikan proses hukum ke rel
kepastian dan keadilan.
Memahami Eksepsi: Benteng Formalitas di Pintu Gerbang Persidangan
Ketika proses penyidikan selesai dan perkara
dilimpahkan ke pengadilan, seorang tersangka berubah status menjadi terdakwa.
Pada titik inilah mekanisme Eksepsi atau Nota Keberatan menjadi relevan.
Eksepsi adalah tangkisan atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau
penasihat hukumnya terhadap surat dakwaan yang disusun dan dibacakan oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU).
Perbedaan krusial yang harus dipahami adalah sifat
Eksepsi yang murni formal. Berbeda dengan pembelaan (pleidoi)
yang akan disampaikan di akhir persidangan, Eksepsi sama sekali tidak
menyentuh pokok perkara atau substansi materiil. Artinya, Eksepsi
tidak mempersoalkan benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan. Fokusnya secara eksklusif tertuju pada aspek-aspek formal dan
prosedural dari surat dakwaan itu sendiri. Tujuannya adalah untuk memastikan
bahwa proses peradilan tidak dilanjutkan berdasarkan sebuah dakwaan yang cacat
secara hukum, sehingga melindungi hak-hak terdakwa dari proses penuntutan yang
tidak sah, tidak jelas, atau tidak layak untuk diperiksa lebih lanjut.
Alasan-Alasan Fundamental Pengajuan Eksepsi
KUHAP, khususnya dalam Pasal 156 ayat (1),
menggariskan tiga kategori utama alasan yang dapat dijadikan dasar pengajuan
Eksepsi.
1.
Kewenangan
Mengadili (Kompetensi)
Keberatan
ini mempersoalkan apakah pengadilan yang sedang menyidangkan perkara memiliki
yurisdiksi yang sah. Ini terbagi menjadi dua:
-
Kompetensi
Absolut: Pengadilan tidak berwenang secara mutlak karena perkara tersebut
seharusnya diadili oleh lingkungan peradilan lain. Contoh paling umum adalah
perkara yang melibatkan anggota militer aktif seharusnya diadili di Pengadilan
Militer, bukan Pengadilan Negeri;
-
Kompetensi
Relatif: Pengadilan Negeri yang bersangkutan tidak berwenang karena tempat
kejadian perkara (locus delicti) berada di luar wilayah hukumnya.
2.
Dakwaan Tidak
Dapat Diterima
Kategori
ini mencakup halangan-halangan yuridis yang membuat penuntutan tidak dapat
dilanjutkan, antara lain:
-
Ne Bis In Idem: Asas yang melarang seseorang diadili dua kali untuk
perbuatan yang sama yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde);
-
Terdakwa
Meninggal Dunia: Penuntutan pidana gugur demi hukum;
-
Dalawarsa
(Kadaluwarsa): Hak negara untuk menuntut telah gugur karena lampaunya batas
waktu yang ditentukan undang-undang.
3.
Surat Dakwaan
Harus Dibatalkan
Alasan
ini menyoroti cacat pada surat dakwaan itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat
formil dan materiil sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
-
Cacat Syarat
Formil: Misalnya, tidak mencantumkan identitas lengkap terdakwa, tanggal
pembuatan surat dakwaan, atau tanda tangan JPU;
-
Cacat Syarat
Materiil (Obscuur Libel): Ini adalah alasan yang paling sering diajukan.
Dakwaan dianggap batal demi hukum karena uraiannya tidak cermat, tidak jelas,
atau tidak lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan, termasuk mengenai
waktu (tempus delicti) dan tempat (locus delicti) perbuatan
dilakukan.
Mekanisme Eksepsi ini secara inheren berfungsi sebagai
“filter yudisial” atau “penjaga gerbang” kualitas penuntutan. Ia memaksa JPU
untuk menyusun surat dakwaan (yang merupakan fondasi dari seluruh proses
persidangan) dengan cermat, jelas, dan lengkap. Jika JPU gagal memenuhi standar
minimum yang ditetapkan undang-undang, sistem peradilan, melalui hakim, akan
menolak untuk melanjutkan sebuah proses yang telah cacat sejak awal. Dengan
demikian, Eksepsi secara tidak langsung mendorong profesionalisme aparat
penuntut dan meningkatkan kualitas sistem peradilan secara keseluruhan.
Proses dan Konsekuensi Hukum Eksepsi
Eksepsi diajukan pada momen yang sangat spesifik,
yaitu pada tahap awal persidangan, tepat setelah JPU selesai membacakan surat
dakwaan dan sebelum agenda pemeriksaan saksi-saksi dimulai. Setelah Eksepsi
diajukan, hakim akan memberikan kesempatan kepada JPU untuk memberikan
tanggapan. Selanjutnya, hakim akan mempertimbangkan kedua argumen tersebut dan
menjatuhkan putusan dalam bentuk putusan sela (interlocutory verdict),
yaitu putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir mengenai pokok perkara.
Konsekuensi hukum jika Eksepsi diterima sangat
bergantung pada alasan yang dikabulkan. Jika Eksepsi diterima karena alasan
kompetensi (absolut atau relatif), maka hakim akan menyatakan tidak berwenang
mengadili dan perkara akan dilimpahkan ke pengadilan yang dianggap berwenang.
Jika diterima karena dakwaan batal demi hukum (obscuur libel), maka
pemeriksaan perkara dihentikan. Namun, ini tidak serta merta membebaskan
terdakwa selamanya; JPU masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki surat
dakwaannya dan melimpahkan kembali perkara tersebut untuk disidangkan dari
awal.
Titik Temu dan Garis Pemisah: Praperadilan dan Eksepsi
Meskipun sama-sama berfungsi sebagai instrumen
perlindungan hukum, Praperadilan dan Eksepsi memiliki perbedaan fundamental
yang memisahkan keduanya secara tegas dalam alur sistem peradilan pidana.
(1)
Pertama, dari dimensi waktu (timing), Praperadilan
berlangsung di tahap pra-ajudikasi, yaitu sebelum perkara pokok dilimpahkan dan
disidangkan di pengadilan. Ia menguji tindakan-tindakan yang terjadi selama
proses penyidikan dan penuntutan. Sebaliknya, Eksepsi terjadi di tahap ajudikasi,
yakni di awal persidangan pokok perkara, setelah dakwaan dibacakan oleh JPU;
(2)
Kedua, dari dimensi objek (object of scrutiny),
sasaran pengujian keduanya berbeda total. Objek Praperadilan adalah tindakan
atau kewenangan aparat penegak hukum (Penyidik atau Penuntut Umum), seperti sah
tidaknya penangkapan, penahanan, penetapan tersangka, atau penyitaan. Ia
menguji proses penggunaan upaya paksa. Di sisi lain, objek Eksepsi
adalah produk hukum dari JPU, yaitu Surat Dakwaan itu sendiri. Ia menguji dokumen
yang menjadi dasar formal penuntutan;
(3)
Ketiga, dari dimensi fokus pengujian (focus of
examination), kedalaman pemeriksaannya berbeda. Praperadilan berfokus pada keabsahan
prosedural dan formal dari tindakan upaya paksa yang dilakukan. Pertanyaannya
adalah: apakah penetapan tersangka sudah didukung minimal dua alat bukti?
Apakah penangkapan disertai surat perintah yang sah?. Sementara itu,
Eksepsi berfokus pada pemenuhan syarat formil dan materiil dari surat dakwaan
sesuai amanat Pasal 143 KUHAP. Pertanyaannya adalah: apakah dakwaan sudah
jelas, cermat, dan lengkap?;
(4)
Keempat, dari dimensi aktor dan lembaga (actors and
institution), pihak yang terlibat dan mekanisme putusannya pun berbeda.
Praperadilan diajukan oleh Tersangka/Keluarganya/Kuasanya (Pemohon) untuk
melawan Penyidik/Penuntut Umum (Termohon). Perkaranya diperiksa dan diputus
oleh seorang Hakim Tunggal dalam jangka waktu yang sangat singkat, yakni paling
lambat 7 hari. Sebaliknya, Eksepsi diajukan oleh Terdakwa/Penasihat Hukumnya
dan diputus oleh Majelis Hakim yang memeriksa pokok perkara melalui sebuah
putusan sela;
Persamaan Mendasar: Satu Jiwa dalam Dua Raga
Di balik perbedaan-perbedaan teknis tersebut,
Praperadilan dan Eksepsi berbagi jiwa dan tujuan yang sama. Keduanya merupakan
instrumen esensial untuk menegakkan prinsip procedural justice atau due
process of law. Filosofi yang mendasarinya adalah bahwa negara tidak dapat
menghukum seseorang melalui sebuah proses yang cacat, sewenang-wenang, atau
melanggar aturan main yang telah ditetapkan bersama.
Keduanya juga memiliki kesamaan dalam hal fokus yang
non-materiil. Pada prinsipnya, baik Praperadilan maupun Eksepsi tidak memasuki
ranah pembuktian materiil, yaitu benar atau tidaknya perbuatan pidana yang
dituduhkan telah terjadi. Keduanya adalah “penjaga gerbang formalitas” yang
memastikan bahwa fondasi prosedural dari sebuah proses pidana telah kokoh
sebelum melangkah lebih jauh ke pemeriksaan substansi.
Pada akhirnya, kedua mekanisme ini bermuara pada satu
tujuan mulia: melindungi hak-hak hukum dan hak asasi individu
(tersangka/terdakwa) dari potensi kesewenang-wenangan kekuasaan negara dalam
sistem peradilan pidana. Keduanya tidak tumpang tindih, melainkan saling
melengkapi (komplementer) dalam sebuah alur sistemik. Praperadilan menjaga “hulu”
proses, yaitu tahap penyidikan, sementara Eksepsi menjaga “muara” sebelum arus
pemeriksaan pokok perkara dimulai.
Jika seorang tersangka lolos dari uji Praperadilan, ia
masih memiliki lapisan pertahanan kedua melalui Eksepsi untuk memastikan
dakwaan yang dihadapinya tidak cacat. Ini menunjukkan sebuah desain sistem
kontrol berlapis yang cerdas untuk meminimalisir kesalahan prosedural di
sepanjang proses peradilan.
Dinamika Kontemporer dan Wajah Hukum Acara Pidana Masa Depan: Sebuah Tinjauan Kritis
Tidak dapat dipungkiri, perluasan objek Praperadilan
oleh Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah kemajuan signifikan dalam sejarah
perlindungan HAM di Indonesia. Ia memberikan ruang bagi warga negara untuk
menguji keabsahan tindakan penegak hukum yang sebelumnya dianggap final dan
tidak dapat dikoreksi. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini ibarat pedang
bermata dua.
Di satu sisi, ia menjadi benteng perlindungan yang
kokoh. Di sisi lain, muncul kritik dan kekhawatiran. Salah satu yang paling
sering mengemuka adalah potensi Praperadilan, khususnya terkait penetapan
tersangka, digunakan sebagai strategi oleh tersangka kasus-kasus besar
(terutama korupsi) untuk menghindari atau setidaknya menunda proses hukum. Hal
ini seringkali menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa Praperadilan dapat
menjadi sarana untuk “melepaskan” koruptor dari jerat hukum.
Selain itu, meskipun MK telah memperluas objeknya,
penafsiran hakim praperadilan di berbagai pengadilan terkait standar “kecukupan
bukti permulaan” masih kerap bervariasi, yang dapat menimbulkan disparitas
putusan dan menciptakan ketidakpastian hukum baru. Ada pula kekhawatiran akan
terjadinya yudikalisasi yang berlebihan pada tahap penyidikan, di mana hakim
praperadilan dianggap terlalu jauh memasuki ranah teknis penyidikan yang
seharusnya menjadi domain independen penyidik.
Menuju Masa Depan: Praperadilan dan Eksepsi dalam RKUHAP
Dinamika dan perdebatan ini tentu menjadi perhatian
para perumus kebijakan hukum. Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (RKUHAP) yang terus bergulir, terdapat upaya untuk merespons
perkembangan ini. Salah satu langkah penting adalah mengkodifikasi
putusan-putusan MK terkait Praperadilan (seperti perluasan objek dan momen
gugurnya permohonan) ke dalam norma undang-undang. Tujuannya adalah untuk
memberikan kepastian hukum yang lebih solid dan mengakhiri status hukum yang
saat ini masih bersandar pada yurisprudensi konstitusional.
Sempat muncul pula wacana untuk mengganti mekanisme
Praperadilan dengan lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), sebuah konsep
yang diadopsi dari beberapa sistem hukum Eropa. Namun, wacana ini untuk
sementara tidak diadopsi, salah satunya dengan pertimbangan bahwa lembaga
Praperadilan yang kewenangannya telah diperluas secara signifikan oleh MK
dianggap masih relevan dan memadai untuk menjalankan fungsi pengawasan
pra-yudisial di Indonesia.
Refleksi Kritis: Keseimbangan Antara Kekuasaan Negara dan Hak Warga Negara
Perdebatan sengit seputar Praperadilan dan Eksepsi
pada dasarnya adalah cerminan dari tarik-menarik abadi antara dua kepentingan
yang sama-sama sah dalam sebuah negara hukum: kepentingan negara untuk
menegakkan hukum dan memberantas kejahatan secara efektif, dengan kepentingan
individu untuk dilindungi dari penyalahgunaan kekuasaan dan
kesewenang-wenangan.
Perdebatan ini juga menunjukkan bahwa hukum acara
pidana bukanlah sekadar seperangkat aturan teknis yang netral. Ia adalah sebuah
medan pertarungan ideologis antara dua mazhab pemikiran: crime control model
yang menekankan efisiensi penindakan kejahatan, dan due process model
yang mengutamakan perlindungan hak-hak individu. Pihak yang melihat
Praperadilan yang kuat sebagai penghambat pemberantasan korupsi adalah cerminan
dari crime control model.
Sebaliknya, pihak yang memandangnya sebagai benteng
HAM yang esensial adalah representasi dari due process model.
Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang memperluas dan memperkuat Praperadilan
dapat dibaca sebagai kemenangan sementara bagi due process model di
Indonesia. Pertanyaan reflektif yang tersisa adalah: sudahkah sistem kita saat
ini menemukan titik keseimbangan yang ideal? Atau apakah pendulum telah berayun
terlalu jauh ke salah satu sisi?
Dua Mekanisme, Satu Tujuan Mulia
Sebagai kesimpulan, perbedaan esensial antara
Praperadilan dan Eksepsi terletak pada waktu, objek, fokus, dan aktor yang
terlibat. Praperadilan adalah pengawas tindakan aparat di hulu proses pidana,
yang memastikan bahwa perampasan kemerdekaan dan penentuan status tersangka
dilakukan sesuai hukum. Sementara itu, Eksepsi adalah filter formalitas dakwaan
di gerbang pengadilan, yang memastikan bahwa persidangan tidak dimulai di atas
fondasi yang cacat.
Meskipun seringkali disalahpahami atau bahkan
dicurigai sebagai “celah hukum” oleh sebagian kalangan, kedua mekanisme ini
sejatinya adalah pilar fundamental dari sebuah negara hukum yang beradab.
Keberadaan Praperadilan dan Eksepsi adalah penegasan bahwa dalam proses
pencarian kebenaran materiil (apakah seseorang bersalah atau tidak), kebenaran
formil (apakah prosesnya telah berjalan sesuai aturan) tidak boleh sekali-kali
diabaikan. Karena justru di dalam penghormatan terhadap prosedur itulah letak
perlindungan sejati terhadap harkat dan martabat kemanusiaan.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin
dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang
tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau
menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di
sini.