Pengantar
Akselerasi
adopsi teknologi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence atau AI),
khususnya dalam bentuk Generative AI dan Machine Learning, telah
menjadi pilar fundamental dalam transformasi digital pada berbagai sektor
industri. AI tidak lagi dipandang sebagai inovasi futuristik, melainkan sebagai
instrumen integral yang mendorong efisiensi, mengoptimalkan proses pengambilan
keputusan, dan membuka cakrawala baru dalam pengembangan produk dan jasa.
Namun, di
balik potensinya yang transformatif, kehadiran AI turut serta melahirkan
serangkaian risiko yuridis baru yang belum pernah terpetakan sebelumnya,
terutama bagi rezim perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Di antara
berbagai cabang HKI, rahasia dagang menjadi salah satu yang paling rentan
terdampak oleh disrupsi teknologi ini.
Artikel ini
berargumentasi bahwa kerangka hukum rahasia dagang di Indonesia, yang secara
primer termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2000 tentang Rahasia Dagang, yang selanjutnya disebut dengan “UU
Rahasia Dagang”, menghadapi tantangan fundamental akibat karakteristik
inheren yang dimiliki oleh sistem AI.
Sifat AI
yang otonom, kemampuannya untuk memproses dan menganalisis data dalam skala
masif, serta model operasinya yang seringkali bersifat “kotak hitam” (black
box), secara kolektif menguji elastisitas interpretasi dan efektivitas
penegakan hukum yang ada.
Ancaman
terhadap rahasia dagang secara fundamental telah berevolusi. Model ancaman
tradisional yang berpusat pada “ancaman dari dalam” (insider threat), seperti
seorang karyawan yang dengan niat jahat mencuri dokumen perusahaan sebelum
pindah ke pesaing, sebagaimana tercermin dalam berbagai kasus spionase ekonomi,
kini bergeser. Ancaman baru muncul dari tindakan karyawan yang beritikad baik
namun secara tidak sadar membocorkan informasi rahasia melalui penggunaan alat
produktivitas berbasis AI.
Tindakan
memasukkan data laporan keuangan, kode sumber program, atau strategi pemasaran
ke dalam platform Generative AI publik untuk tujuan efisiensi, secara
efektif mentransfer informasi proprietary tersebut ke luar perimeter keamanan
perusahaan, di mana data tersebut dapat diserap ke dalam korpus data pelatihan
vendor AI.
Dengan
demikian, unsur kesalahan (mens rea atau sikap batin) bergeser dari “niat
untuk mencuri” (dolus malus) menjadi “kelalaian dalam mengelola
informasi” (culpa). Pergeseran paradigma ini menciptakan kategori
risiko baru yang tidak secara efektif diantisipasi oleh kerangka hukum
tradisional yang berfokus pada perbuatan yang disengaja.
Untuk
mengupas permasalahan ini secara komprehensif, pandangan hukum dalam artikel
ini akan ditopang oleh tiga pilar utama. Pertama, dekonstruksi kritis
terhadap kerangka hukum positif Indonesia, dengan fokus pada UU Rahasia Dagang
serta relevansinya dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Kedua,
identifikasi dan analisis mendalam terhadap vektor-vektor ancaman spesifik yang
ditimbulkan oleh AI terhadap kerahasiaan informasi komersial. Ketiga,
studi hukum komparatif terhadap yurisdiksi negara lain, mencakup Amerika
Serikat, Australia, Singapura, Jepang, dan Tiongkok, untuk memetakan berbagai
model regulasi alternatif yang dapat menjadi rujukan bagi pembentukan
rekomendasi kebijakan hukum di Indonesia.
Kerangka Hukum Rahasia Dagang di Indonesia
Perlindungan
hukum terhadap suatu informasi sebagai rahasia dagang di Indonesia tidak
diberikan secara otomatis. UU Rahasia Dagang menetapkan syarat-syarat kumulatif
yang harus dipenuhi. Pasal 3 ayat (1) UU Rahasia Dagang
menyatakan bahwa:
“Rahasia Dagang mendapat perlindungan
apabila informasi tersebut bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan
dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya”.
Terhadap ketiga unsur ini dalam konteks era
digital menjadi krusial.
Pertama, unsur “bersifat
rahasia”, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU Rahasia Dagang,
mensyaratkan bahwa informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau
tidak diketahui secara umum oleh masyarakat. Konsep ini menghadapi tantangan
signifikan di hadapan AI yang memiliki kemampuan untuk mengagregasi,
menganalisis, dan mensintesis informasi publik yang terfragmentasi dari
berbagai sumber. Sebuah sistem AI berpotensi mampu merekonstruksi suatu
informasi yang dianggap rahasia dengan menghubungkan titik-titik data yang
tersebar di domain publik, sehingga mengaburkan batas antara informasi yang
benar-benar rahasia dan informasi yang dapat disimpulkan.
Kedua, unsur “memiliki
nilai ekonomi”, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (3) UU
Rahasia Dagang, terpenuhi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut
dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha yang bersifat komersial atau
meningkatkan keuntungan. Dalam konteks AI, unsur ini secara inheren terpenuhi.
Data pelatihan (training data) yang telah dikurasi, bobot model (model
weights) yang dihasilkan dari proses pelatihan yang mahal, serta algoritma
proprietary merupakan aset inti yang menjadi sumber keunggulan kompetitif bagi
perusahaan teknologi, sehingga tidak diragukan lagi memiliki nilai ekonomi yang
substansial.
Ketiga, unsur “dijaga
kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya”, yang diatur dalam Pasal
3 ayat (4) UU Rahasia Dagang, merupakan titik paling kritis dalam
analisis ini. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU Rahasia Dagang menginterpretasikan
frasa ini sebagai “semua langkah yang memuat ukuran kewajaran, kelayakan,
dan kepatutan yang harus dilakukan”. Di era pra-digital, upaya ini
seringkali diterjemahkan sebagai implementasi perjanjian kerahasiaan (Non-Disclosure
Agreement - NDA) dengan karyawan dan mitra bisnis, serta pembatasan akses
fisik ke lokasi atau dokumen sensitif. Namun, standar “upaya yang layak dan
patut” tersebut telah berevolusi secara drastis. Di era AI, upaya perlindungan
yang hanya mengandalkan instrumen tradisional tidak lagi dapat dianggap
memadai. Standar modern harus mencakup, namun tidak terbatas pada:
1.
Penyusunan dan implementasi kebijakan
internal perusahaan (Standard Operating Procedure) yang secara eksplisit
melarang atau mengatur secara ketat penggunaan platform AI generatif publik
untuk pekerjaan yang melibatkan informasi sensitif Perusahaan;
2. Implementasi
solusi teknis seperti perangkat lunak Data Loss Prevention (DLP) yang
mampu memonitor dan memblokir transfer data rahasia ke layanan AI eksternal
yang tidak sah;
3. Penyelenggaraan
pelatihan dan sosialisasi secara berkala kepada seluruh karyawan mengenai
risiko keamanan siber yang spesifik terkait AI, termasuk fenomena “Shadow AI”,
yaitu penggunaan aplikasi AI oleh karyawan tanpa persetujuan dan pengawasan
resmi dari departemen teknologi informasi perusahaan.
Ruang Lingkup Pelanggaran dan Tantangan Atribusi
UU Rahasia
Dagang mengidentifikasi dua bentuk utama pelanggaran. Pasal 13 UU Rahasia
Dagang berfokus pada pelanggaran yang timbul dari hubungan kontraktual
atau fidusia, yang menyatakan bahwa:
“Pelanggaran Rahasia Dagang juga terjadi
apabila seseorang dengan sengaja mengungkapkan Rahasia Dagang, mengingkari
kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk
menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan”.
Di sisi
lain, Pasal 14 UU Rahasia Dagang mengatur tentang perolehan
informasi secara tidak sah, yang menyatakan bahwa:
“Seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang
pihak lain apabila ia memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan
cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Kedua pasal
ini menunjukkan keterbatasan fundamental dari kerangka hukum yang ada, yakni
sifatnya yang antroposentris, dirancang untuk mengatur tindakan yang dilakukan
oleh “orang” (person) dengan “niat” (intent). Hal ini
menciptakan kekosongan hukum (legal vacuum) ketika agen penyebab
kerugian adalah sistem AI non-manusia yang beroperasi berdasarkan probabilitas
dan korelasi data, bukan berdasarkan niat sadar.
Pasal 17 UU
Rahasia Dagang, yang merupakan norma sanksi pidana, secara eksplisit
menggunakan frasa “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak...”,
yang mensyaratkan adanya unsur kesengajaan (dolus/opzet). Dalam kasus
kebocoran data melalui platform AI, pembuktian unsur “sengaja” pada karyawan
yang berinteraksi dengan AI menjadi sangat sulit, karena tindakan mereka
seringkali didasari oleh kelalaian atau ketidaktahuan, bukan niat jahat.
Lebih
lanjut, tantangan atribusi menjadi penghalang utama. Sistem AI, sebagai subjek non-hukum,
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana maupun perdata. Akibatnya,
pertanggungjawaban harus dialihkan kepada subjek hukum yang terkait, yaitu
pengembang, penyedia layanan, atau pengguna AI.
Hal ini
menimbulkan kerumitan dalam menentukan siapa yang harus menanggung akibat
hukum: apakah karyawan yang memasukkan data, perusahaan yang dianggap lalai
dalam melakukan pengawasan, atau vendor AI yang kebijakannya memungkinkan data
input diserap untuk tujuan pelatihan model. Kerangka hukum pidana yang ada
menjadi tumpul, sehingga fokus penegakan hukum harus bergeser dari penghukuman
atas niat jahat (malicious intent) ke arah penetapan pertanggungjawaban
atas kelalaian (negligence) dan kegagalan dalam manajemen risiko, yang
lebih sesuai untuk diselesaikan melalui mekanisme hukum perdata atau sanksi
administratif.
Irisan dengan Rezim Hukum Lainnya
Ancaman AI
terhadap rahasia dagang tidak berdiri dalam ruang hampa hukum, melainkan
beririsan dengan beberapa rezim hukum lainnya yang relevan.
Pertama, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2016, yang selanjutnya disebut dengan “UU
ITE”. Pasal 30 UU ITE, yang mengatur tentang akses ilegal
(illegal access), dan Pasal 32 UU ITE, yang mengatur
tentang gangguan terhadap data (data interference), memiliki relevansi
langsung. Tindakan vendor AI yang secara otomatis “menyerap” atau “menggunakan”
data input dari pengguna untuk melatih modelnya, tanpa persetujuan eksplisit
untuk tujuan tersebut, dapat diinterpretasikan sebagai bentuk akses atau interferensi
terhadap data tanpa hak, terutama jika syarat dan ketentuan layanan tidak
transparan mengenai praktik ini.
Kedua, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi,
yang selanjutnya disebut dengan “UU PDP”. Keterkaitan ini muncul
ketika informasi yang menjadi rahasia dagang juga mengandung data pribadi,
seperti daftar pelanggan yang memuat nama, alamat, dan riwayat transaksi.
Kebocoran rahasia dagang semacam ini ke platform AI secara simultan dapat merupakan
pelanggaran terhadap UU PDP.
Secara
spesifik, hal ini dapat melanggar kewajiban Pengendali Data untuk memastikan
keamanan pemrosesan data dan mencegah akses yang tidak sah, sebagaimana
diamanatkan oleh prinsip-prinsip pelindungan data pribadi. Dengan demikian,
perusahaan yang mengalami kebocoran rahasia dagang yang mengandung data pribadi
dapat menghadapi risiko hukum ganda, baik dari gugatan berdasarkan UU Rahasia
Dagang maupun sanksi administratif dan pidana berdasarkan UU PDP.
Identifikasi Vektor Ancaman AI terhadap Rahasia Dagang
Ancaman
yang ditimbulkan oleh AI terhadap rahasia dagang dapat diidentifikasi melalui
beberapa vektor spesifik, yang masing-masing memiliki modus operandi dan dampak
yuridis yang berbeda.
Kebocoran Data Melalui Interaksi Pengguna (User Interaction Data Leakage)
Ini
merupakan vektor ancaman yang paling langsung dan umum terjadi. Modus
operandinya adalah penggunaan platform AI generatif yang tersedia untuk publik
oleh karyawan untuk menyelesaikan tugas sehari-hari. Sebagai contoh konkret,
seorang insinyur perangkat lunak yang mengalami kesulitan dapat memasukkan
potongan kode sumber (source code) yang bersifat proprietary ke
dalam ChatGPT untuk tujuan debugging. Demikian pula, seorang manajer
pemasaran dapat mengunggah dokumen strategi bisnis internal yang rahasia untuk
meminta AI membuatkan ringkasan eksekutif.
Dampak
yuridis dari tindakan ini sangat fatal. Ketika data tersebut dimasukkan, ia
keluar dari perimeter keamanan siber perusahaan dan berpotensi menjadi bagian
dari korpus data pelatihan masif yang dimiliki oleh vendor AI. Informasi
yang sebelumnya rahasia tersebut dapat direproduksi, baik secara utuh maupun
dalam bentuk derivatif, sebagai jawaban atas pertanyaan dari pengguna lain di
masa depan. Tindakan ini secara efektif menghancurkan unsur “kerahasiaan”
yang menjadi syarat mutlak perlindungan rahasia dagang. Begitu suatu
informasi menjadi pengetahuan umum atau dapat diakses publik, ia kehilangan
statusnya sebagai rahasia dagang dan perlindungan hukum berdasarkan UU Rahasia
Dagang secara otomatis gugur.
Risiko Rantai Pasokan AI (AI Supply Chain Risks)
Vektor
ancaman ini muncul ketika perusahaan mengintegrasikan layanan AI dari pihak
ketiga ke dalam alur kerja internal mereka. Contohnya adalah penggunaan
platform AI untuk analisis data pelanggan, manajemen inventaris, atau deteksi
penipuan. Dalam skenario ini, perusahaan mempercayakan data operasionalnya,
yang seringkali mencakup rahasia dagang, kepada vendor AI.
Apabila vendor
tersebut mengalami insiden peretasan siber atau memiliki kerentanan keamanan,
maka seluruh data rahasia dagang dari perusahaan klien yang tersimpan atau
diproses dalam sistemnya dapat terekspos.
Dampak
yuridisnya menyoroti pentingnya pelaksanaan uji tuntas (due diligence)
yang ketat terhadap keamanan siber dan praktik tata kelola data vendor AI
sebelum menjalin kerja sama. Selain itu, klausul kontraktual dalam perjanjian
layanan (Service Level Agreement) harus dirancang secara cermat untuk
mengatur alokasi tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi jika terjadi kebocoran
data. Dalam konteks ini, AI dalam rantai pasokan berfungsi sebagai titik
tunggal kegagalan (single point of failure) yang terkonsentrasi, di mana
satu insiden keamanan pada vendor dapat berdampak katastropik bagi banyak
perusahaan kliennya.
Rekayasa Ulang dan Inferensi Berbasis AI (AI-Powered Reverse Engineering and Inference)
Ancaman ini
bersifat lebih canggih dan sulit dideteksi. Sistem AI modern mampu menganalisis
sejumlah besar data yang tersedia untuk umum (seperti dokumen paten, publikasi
ilmiah, deskripsi produk, dan data pasar) untuk kemudian menyimpulkan (to
infer) atau merekonstruksi rahasia dagang yang mendasarinya.
Sebagai
contoh, AI dapat menganalisis ratusan paten terkait formula kimia untuk
menyimpulkan kombinasi optimal yang belum dipatenkan namun digunakan sebagai
rahasia dagang oleh sebuah perusahaan.
Ancaman ini
secara langsung menantang interpretasi Pasal 15 huruf b UU Rahasia Dagang, yang
mengecualikan tindakan rekayasa ulang (reverse engineering) dari
kategori pelanggaran, dengan syarat tindakan tersebut “dilakukan semata-mata
untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan”.
AI dapat
melakukan rekayasa ulang pada skala, kecepatan, dan kompleksitas yang jauh
melampaui kemampuan manusia. Hal ini berpotensi mengaburkan batas antara
rekayasa ulang yang sah untuk tujuan inovasi dan spionase industri yang
dilakukan secara tidak sah. Lebih jauh lagi, AI tidak hanya mengancam data yang
secara eksplisit rahasia, tetapi juga “data buangan” (data exhaust), yaitu
metadata, pola penggunaan, dan data insidental lainnya.
Dengan
menganalisis pola pertanyaan dari para insinyur sebuah perusahaan ke platform
AI, misalnya, sistem AI dapat menyimpulkan arah riset dan pengembangan
perusahaan tersebut, yang mana informasi itu sendiri merupakan rahasia dagang
strategis. Kerangka hukum saat ini belum dirancang untuk melindungi dari bentuk
spionase industri yang bersifat inferensial semacam ini.
Perspektif Hukum Komparatif – Regulasi dan Praktik di Berbagai Yurisdiksi
Untuk
memahami bagaimana tantangan ini ditangani secara global, analisis komparatif
terhadap pendekatan hukum di yurisdiksi lain menjadi esensial. Setiap negara
menunjukkan filosofi regulasi yang berbeda, membentuk sebuah spektrum dari yang
bersifat reaktif hingga proaktif.
Amerika Serikat – Pendekatan Berbasis Litigasi dan Kekuatan Federal
Amerika
Serikat mengandalkan kerangka hukum yang kuat dan pendekatan yang berorientasi
pada litigasi. Instrumen hukum utamanya adalah Defend
Trade Secrets Act (DTSA) tahun 2016,
sebuah undang-undang federal yang menciptakan landasan gugatan perdata di
pengadilan federal untuk kasus penyalahgunaan rahasia dagang. DTSA memberikan
definisi yang luas mengenai “rahasia dagang” dan “penyalahgunaan” (misappropriation),
yang mencakup perolehan, pengungkapan, atau penggunaan
informasi rahasia secara tidak patut.
Dalam
praktik yudisial, pengadilan AS telah menegaskan pandangan antroposentris dalam
HKI, seperti dalam kasus Thaler v. Vidal, di mana pengadilan menolak
kemungkinan AI menjadi “penemu” (inventor) dalam sebuah paten. Namun,
menariknya, DTSA tidak mensyaratkan adanya pencipta manusia; ia hanya
mensyaratkan adanya “pemilik” (owner), yang secara teoretis membuka
kemungkinan perlindungan bagi inovasi yang dihasilkan oleh AI.
Litigasi
menjadi arena utama dalam sengketa HKI terkait AI, seperti yang terlihat dalam
gugatan antara perusahaan AI, misalnya xAI
melawan OpenAI, atas tuduhan perburuan karyawan untuk mencuri rahasia
dagang. Pendekatan AS yang terpusat dan kuat di tingkat federal ini kontras
dengan kondisi di Indonesia, yang hanya memiliki UU
Rahasia Dagang tanpa peraturan pelaksana yang spesifik untuk menghadapi
tantangan teknologi baru.
Australia – Adaptasi Kerangka Hukum yang Ada
Australia
tidak memiliki legislasi khusus yang mengatur AI. Perlindungan rahasia dagang
bergantung pada adaptasi kerangka hukum yang sudah ada, terutama doktrin common
law mengenai pelanggaran kerahasiaan (breach of confidence) dan
ketentuan dalam Privacy Act
1988. Pendekatan ini bersifat pragmatis namun menyisakan area abu-abu
yang signifikan. Salah satu tantangan utama adalah Copyright Act 1968 Australia yang tidak memiliki
pengecualian fair dealing yang jelas untuk tujuan pelatihan AI, sehingga
menciptakan ketidakpastian
hukum bagi para pengembang AI.
Sebagai
respons, regulator seperti Office of the Australian Information Commissioner
(OAIC) dan berbagai badan profesi hukum telah mengeluarkan panduan (guidance)
yang menekankan pentingnya uji tuntas, transparansi, dan pemenuhan
kewajiban profesional dalam penggunaan AI, terutama dalam menjaga
kerahasiaan informasi klien. Pendekatan Australia ini menunjukkan bagaimana
prinsip-prinsip hukum yang fleksibel dapat diterapkan, meskipun tanpa
memberikan kepastian hukum setingkat legislasi.
Singapura – Regulasi Proaktif dan Berbasis Prinsip
Singapura
menjadi contoh utama pendekatan regulasi yang proaktif melalui soft law.
Kerangka hukum utamanya adalah Personal
Data Protection Act (PDPA), yang
dilengkapi dengan panduan spesifik dari Personal
Data Protection Commission (PDPC)
melalui Advisory
Guidelines on the Use of Personal Data in AI Systems. Pendekatan ini
berfokus pada akuntabilitas, transparansi, dan manajemen risiko.
Panduan
PDPC memberikan kejelasan yang sangat dibutuhkan oleh industri, misalnya
dengan menguraikan kondisi di mana data pribadi dapat digunakan untuk pelatihan
AI di bawah pengecualian seperti “peningkatan bisnis” (business improvement)
atau “penelitian” (research), tanpa memerlukan persetujuan eksplisit,
asalkan terdapat mekanisme perlindungan data yang memadai.
Inisiatif
seperti peluncuran Global
AI Assurance Sandbox dan panduan adopsi Privacy Enhancing
Technologies (PETs) menunjukkan komitmen pemerintah Singapura untuk
menciptakan ekosistem AI yang terpercaya dan inovatif. Model Singapura ini
dapat menjadi rujukan yang sangat relevan bagi Indonesia untuk memberikan
kepastian hukum secara cepat tanpa harus melalui proses legislasi yang panjang
dan kaku.
Jepang - Perlindungan Melalui Hukum Persaingan Usaha
Di Jepang,
perlindungan utama terhadap rahasia dagang tidak berasal dari undang-undang HKI
yang terpisah, melainkan terintegrasi dalam Unfair
Competition Prevention Act (UCPA).
UCPA secara eksplisit mendefinisikan “rahasia dagang” dan melarang berbagai
tindakan persaingan tidak sehat, termasuk akuisisi, penggunaan, atau
pengungkapan informasi rahasia secara tidak sah.
Undang-undang
ini menyediakan sanksi perdata (perintah penghentian dan ganti rugi) dan sanksi
pidana, serta telah terbukti efektif dalam penegakan hukum kasus-kasus
pencurian teknologi, terutama yang melibatkan mantan karyawan. Pendekatan
Jepang ini menunjukkan paralel dengan keberadaan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat di Indonesia, meskipun UCPA
Jepang jauh lebih eksplisit dan detail dalam mengatur perlindungan rahasia
dagang.
Tiongkok – Kontrol Negara dan Regulasi Preskriptif
Tiongkok
mengadopsi pendekatan yang paling intervensionis
dan dikendalikan oleh negara. Negara ini telah menerbitkan peraturan yang
sangat spesifik dan preskriptif untuk mengatur generative
AI dan deepfakes. Perlindungan
rahasia dagang ditegakkan secara agresif melalui Anti-Unfair
Competition Law (AUCL).
Praktik
yudisial di Tiongkok menunjukkan perkembangan yang progresif, di mana
pengadilan telah mengakui elemen-elemen AI, seperti struktur model dan
parameternya, sebagai objek rahasia dagang yang dapat dilindungi di bawah AUCL.
Penegakan hukum dilakukan secara kuat, termasuk dalam kasus-kasus spionase
industri yang melibatkan pencurian teknologi AI oleh perusahaan asing maupun
domestik. Pendekatan Tiongkok memandang data dan teknologi AI sebagai aset
strategis nasional yang harus dikontrol secara ketat, sebuah filosofi yang
kontras tajam dengan pendekatan Indonesia yang cenderung lebih laissez-faire.
Analisis
komparatif ini menempatkan Indonesia pada posisi “kelambanan legislatif” (legislative
inertia). Sementara yurisdiksi lain bergerak aktif, baik melalui litigasi, soft
law, maupun regulasi preskriptif, Indonesia masih bergantung pada
undang-undang berusia lebih dari dua dekade yang belum diadaptasi untuk era
digital. Ketidakpastian hukum ini dapat menjadi disinsentif bagi inovasi dan
investasi, karena perlindungan terhadap aset HKI paling krusial di era digital,
yaitu data dan algoritma, masih belum terjamin secara eksplisit.
Arah Kebijakan Hukum Rahasia Dagang Indonesia di Era AI
Berdasarkan
analisis yang telah diuraikan, kapasitas kerangka hukum Indonesia saat ini
dalam menghadapi ancaman AI terhadap rahasia dagang memiliki beberapa kelemahan
fundamental.
Pertama,
sifat antroposentris UU Rahasia Dagang dan UU ITE menyulitkan penanganan
pelanggaran yang dilakukan oleh atau melalui agen non-manusia seperti AI,
terutama dalam pembuktian unsur kesengajaan.
Kedua,
standar “upaya sebagaimana mestinya” dalam Pasal 3 UU Rahasia Dagang bersifat
ambigu dan belum diinterpretasikan secara resmi untuk mencakup risiko digital
modern, meninggalkan pelaku usaha dalam ketidakpastian mengenai tingkat
perlindungan yang dianggap memadai.
Ketiga,
hingga saat ini, belum ada peraturan pelaksana, panduan resmi, ataupun surat
edaran dari lembaga pemerintah atau yudikatif yang secara spesifik membahas
persinggungan antara HKI dan AI, memperparah kekosongan hukum yang ada.
Meskipun UU ITE dan UU PDP memberikan lapisan perlindungan tambahan, sifatnya
parsial dan tidak secara langsung mengatasi esensi dari penyalahgunaan rahasia
dagang dalam konteks AI.
Rekomendasi Kebijakan Hukum
Untuk
mengatasi kelemahan tersebut, diperlukan langkah-langkah kebijakan hukum yang
terstruktur, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
1.
Jangka Pendek (Langkah Interpretatif dan
Administratif)
Mengambil inspirasi dari model soft
law Singapura, Pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP)
sebagai peraturan pelaksana dari UU Rahasia Dagang, atau Mahkamah Agung dapat
menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Instrumen ini harus memberikan
interpretasi modern dan otoritatif terhadap frasa “upaya sebagaimana mestinya”,
dengan menetapkan bahwa upaya tersebut mencakup kewajiban bagi pelaku usaha
untuk memiliki kebijakan internal yang jelas mengenai penggunaan AI, menerapkan
kontrol teknis yang relevan (seperti enkripsi dan sistem DLP), serta melakukan
pelatihan karyawan secara berkala. Langkah ini dapat memberikan kepastian hukum
dengan cepat tanpa harus menunggu proses legislasi yang panjang;
2. Jangka
Panjang (Langkah Legislatif)
Diperlukan amandemen terhadap UU
Rahasia Dagang untuk mengadaptasinya dengan realitas teknologi. Amandemen
tersebut setidaknya harus mencakup dua hal. Pertama, memperluas definisi
pelanggaran untuk mencakup tindakan yang didasari oleh kelalaian berat (gross
negligence) dalam pengamanan informasi yang menyebabkan kebocoran rahasia
dagang, sehingga tidak lagi terbatas pada tindakan yang “disengaja”. Kedua,
secara eksplisit mengakui bahwa data pelatihan yang terkurasi, model AI, bobot
model, dan algoritma proprietary merupakan objek informasi yang dapat
dilindungi sebagai rahasia dagang, mencontoh preseden yang telah berkembang di
yurisdiksi seperti Tiongkok.
Panduan Praktis bagi Pelaku Usaha
Sambil
menunggu reformasi hukum, pelaku usaha tidak dapat berdiam diri. Ada
langkah-langkah proaktif yang harus segera diambil untuk memitigasi risiko:
1.
Aspek Yuridis
Segera merevisi perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, dan perjanjian kerahasiaan (NDA) untuk secara eksplisit
melarang atau mengatur dengan sangat ketat penggunaan platform AI generatif
publik untuk memproses informasi rahasia perusahaan. Klausul tersebut harus
disertai dengan sanksi yang jelas atas pelanggarannya;
2. Aspek
Teknis dan Organisasional
Mengimplementasikan kebijakan
internal yang komprehensif tentang penggunaan AI yang aman dan bertanggung
jawab. Perusahaan harus melakukan inventarisasi dan klasifikasi aset informasi
untuk mengidentifikasi mana yang merupakan rahasia dagang, serta menerapkan
teknologi untuk memonitor dan mengontrol aliran data keluar dari jaringan
perusahaan.
3. Aspek Uji
Tuntas (Due Diligence)
Melakukan peninjauan yang cermat
terhadap kebijakan privasi dan persyaratan layanan dari setiap vendor AI yang
digunakan. Penting untuk memahami bagaimana vendor menangani data input, apakah
data tersebut digunakan untuk pelatihan model, dan bagaimana mekanisme
perlindungan data yang mereka tawarkan.
Kecerdasan
Buatan adalah teknologi transformatif yang menjanjikan kemajuan luar biasa di
berbagai bidang. Namun, untuk dapat memaksimalkan manfaatnya seraya
meminimalkan risikonya, diperlukan kerangka hukum yang adaptif, responsif, dan
mampu memberikan kepastian. Tantangan yang ditimbulkan AI terhadap rezim
rahasia dagang bukanlah ancaman yang harus dihindari, melainkan katalisator
yang harus mendorong evolusi hukum.
Sebagaimana
adagium hukum menyatakan, Lex semper dabit remedium—hukum akan selalu
memberikan solusi. Adalah tugas bagi para legislator, praktisi hukum, dan
pemangku kepentingan di Indonesia untuk memastikan bahwa sistem hukum nasional
berevolusi untuk memberikan solusi yang efektif, demi melindungi inovasi,
menjaga persaingan usaha yang sehat, dan memastikan Indonesia dapat bersaing
dalam ekonomi global yang didorong oleh teknologi.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila
Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda
dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang
tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau
menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di
sini.