layananhukum

Begini Ketentuan Perjanjian Lisensi dalam Penggunaan Rahasia Dagang

 

Pengantar

Dalam konstelasi hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Rahasia Dagang menempati posisi yang unik dan strategis. Berbeda dengan rezim HKI lainnya seperti Paten, yang memberikan hak eksklusif sebagai imbalan atas pengungkapan penuh (disclosure) suatu invensi kepada publik, esensi perlindungan Rahasia Dagang justru terletak pada kerahasiaannya.

Kerangka hukum ini tidak menuntut publisitas, melainkan memberikan proteksi terhadap informasi yang sengaja dijaga dari jangkauan umum karena memiliki nilai komersial yang signifikan. Pembentukan kerangka hukum ini di Indonesia, yang diwujudkan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, yang selanjutnya disebut “UU Rahasia Dagang”, merupakan manifestasi dari komitmen nasional untuk mengadopsi standar internasional, khususnya setelah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization yang mencakup Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.

Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi kreasi dan inovasi, serta memastikan praktik persaingan usaha yang sehat dan adil.  

Secara filosofis dan ekonomis, justifikasi perlindungan Rahasia Dagang berakar pada kebutuhan untuk memberikan insentif bagi investasi dalam penelitian dan pengembangan (research and development). Pelaku usaha akan enggan mengalokasikan sumber daya yang besar untuk mengembangkan metode produksi yang efisien, formula produk yang unggul, atau strategi pemasaran yang inovatif jika informasi tersebut dapat dengan mudah diperoleh dan dieksploitasi oleh pesaing tanpa kompensasi.

Dengan demikian, perlindungan hukum berfungsi sebagai benteng yang memungkinkan inovator untuk memetik buah dari jerih payah intelektual mereka, yang pada gilirannya mendorong kemajuan industri dan pertumbuhan ekonomi secara agregat. Lebih dari itu, perlindungan ini secara inheren bertujuan untuk mencegah praktik persaingan usaha tidak sehat, di mana satu pihak secara tidak etis mengambil keuntungan dari aset intelektual pihak lain.  

Namun, komersialisasi Rahasia Dagang menghadirkan sebuah paradoks fundamental. Di satu sisi, nilai ekonomisnya bersumber mutlak dari kerahasiaan. Di sisi lain, untuk mengeksploitasi nilai tersebut melalui mekanisme seperti lisensi, diperlukan suatu bentuk pengungkapan yang terkontrol kepada pihak ketiga.

Proses ini secara inheren membuka celah risiko, di mana informasi yang seharusnya dijaga ketat justru berpotensi bocor. Menyadari dilema ini, sistem hukum merespons dengan membangun serangkaian mekanisme yuridis yang dirancang untuk menavigasi paradoks tersebut.

Kerangka hukum Indonesia, melalui UU Rahasia Dagang, menciptakan keseimbangan dengan memberlakukan kewajiban kontraktual yang ketat, sanksi hukum yang tegas bagi pelanggar kerahasiaan, serta prosedur administratif seperti pencatatan lisensi yang dirancang untuk memformalkan hubungan hukum tanpa harus mengungkap substansi rahasia itu sendiri.

Dengan demikian, keberhasilan pemanfaatan Rahasia Dagang melalui perjanjian lisensi tidak hanya bergantung pada nilai intrinsik informasi tersebut, tetapi juga pada kekuatan dan ketahanan kerangka kontraktual dan hukum yang melindunginya dari risiko pengungkapan.  

Definisi Yuridis Rahasia Dagang

Fondasi dari seluruh kerangka perlindungan Rahasia Dagang di Indonesia tertuang dalam definisi yuridis yang presisi. Pasal 1 Angka 1 UU Rahasia Dagang mendefinisikan Rahasia Dagang sebagai:

“informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang”.

Definisi ini secara cermat menguraikan tiga unsur konstitutif yang bersifat kumulatif, yang berarti ketiganya harus terpenuhi secara simultan agar suatu informasi dapat dikualifikasikan dan memperoleh perlindungan hukum sebagai Rahasia Dagang.  

Lingkup Perlindungan

Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret mengenai jenis informasi yang dapat dilindungi, Pasal 2 UU Rahasia Dagang menetapkan lingkup perlindungannya. Pasal tersebut menyatakan bahwa:

“Lingkup perlindungan Rahasia Dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum”.

Pencantuman frasa “atau informasi lain” menunjukkan bahwa daftar yang disebutkan bersifat non-exhaustive atau tidak terbatas. Hal ini memberikan fleksibilitas yang luas bagi sistem hukum untuk beradaptasi dengan perkembangan dunia usaha, memungkinkan perlindungan terhadap berbagai jenis informasi bisnis strategis yang mungkin belum teridentifikasi saat undang-undang ini dibentuk, seperti data pelanggan, analisis pasar, model bisnis, hingga algoritma perangkat lunak.  

Syarat Kumulatif Perlindungan

Pasal 3 UU Rahasia Dagang mengelaborasi lebih lanjut ketiga unsur konstitutif yang menjadi syarat mutlak bagi lahirnya perlindungan hukum.

Bersifat Rahasia

Menurut Pasal 3 ayat (2) UU Rahasia Dagang, suatu informasi dianggap bersifat rahasia apabila “informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat”. Interpretasi dari ketentuan ini mengarah pada standar kerahasiaan yang relatif, bukan absolut.

Artinya, informasi tidak harus sepenuhnya terisolasi dari dunia luar. Cukup jika informasi tersebut tidak dapat diakses secara mudah oleh publik atau para pesaing dalam lingkaran industri yang relevan. Selama akses terhadap informasi tersebut terbatas pada lingkup internal perusahaan atau pihak-pihak yang terikat perjanjian kerahasiaan, maka unsur ini dianggap terpenuhi.  

Memiliki Nilai Ekonomi

Unsur kedua, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) UU Rahasia Dagang, adalah bahwa informasi tersebut harus memiliki nilai ekonomi. Suatu informasi dianggap memiliki nilai ekonomi “apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi”. Ketentuan ini secara tegas mengikat perlindungan hukum pada fungsi komersial informasi. Nilai ekonomi tersebut dapat berupa keunggulan kompetitif, efisiensi operasional, peningkatan pangsa pasar, atau kemampuan untuk menghasilkan produk atau jasa yang lebih baik atau lebih murah dibandingkan pesaing.  

Dijaga Kerahasiaannya

Unsur ketiga ini seringkali menjadi titik paling krusial dan menentukan dalam sengketa Rahasia Dagang. Pasal 3 ayat (1) dan ayat (4) UU Rahasia Dagang mensyaratkan bahwa informasi tersebut harus “dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya”. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) menafsirkan “upaya-upaya sebagaimana mestinya” sebagai “semua langkah yang memuat ukuran kewajaran, kelayakan, dan kepatutan yang harus dilakukan”. Ini adalah standar objektif yang menuntut pemilik Rahasia Dagang untuk dapat membuktikan bahwa ia telah bertindak secara proaktif dan wajar untuk melindungi asetnya. Contoh konkret dari upaya-upaya ini mencakup, namun tidak terbatas pada:  

1.        Kebijakan Internal

Menetapkan prosedur baku dan kebijakan internal perusahaan yang mengatur secara jelas bagaimana Rahasia Dagang harus diperlakukan, siapa yang bertanggung jawab atas penjagaannya, dan siapa saja yang berhak mengaksesnya.  

2.       Perjanjian Kontraktual

Menggunakan instrumen hukum seperti Perjanjian Kerahasiaan (Non-Disclosure Agreement atau NDA) dengan karyawan, konsultan, pemasok, dan mitra bisnis lainnya yang memiliki akses terhadap informasi rahasia.  

3.      Pengamanan Fisik dan Digital

Menerapkan langkah-langkah pengamanan teknis, seperti membatasi akses ke area kerja tertentu, menggunakan brankas untuk dokumen fisik, serta menerapkan sistem keamanan siber seperti enkripsi, kata sandi, dan firewall untuk data digital.  

4.       Pelabelan Dokumen

Memberikan tanda atau label yang jelas seperti “Rahasia,” “Konfidensial,” atau “Terbatas” pada dokumen fisik maupun digital yang memuat informasi rahasia.

Sistem perlindungan Rahasia Dagang di Indonesia menganut prinsip deklaratif atau otomatis. Berbeda dengan Paten atau Merek yang perlindungannya baru timbul setelah melalui proses pendaftaran dan persetujuan dari negara (first-to-file system), perlindungan Rahasia Dagang timbul secara otomatis dan seketika pada saat ketiga syarat kumulatif dalam Pasal 3 UU Rahasia Dagang terpenuhi.

Hal ini memberikan keuntungan dari segi efisiensi dan biaya karena tidak memerlukan formalitas pendaftaran awal. Namun, di sisi lain, sistem ini membebankan tanggung jawab pembuktian yang lebih berat kepada pemilik Rahasia Dagang ketika terjadi sengketa.

Dalam proses litigasi, pemilik (penggugat) harus mampu membuktikan di hadapan pengadilan bahwa informasi yang disengketakan benar-benar memenuhi ketiga kriteria tersebut. Kegagalan dalam membuktikan salah satu unsur saja, terutama unsur “upaya penjagaan kerahasiaan,” akan menggugurkan seluruh klaim perlindungan hukum, tidak peduli seberapa bernilai atau rahasianya informasi tersebut.

Oleh karena itu, dokumentasi yang sistematis atas setiap langkah perlindungan yang diambil, seperti salinan NDA yang ditandatangani, catatan log akses digital, atau buku pedoman kebijakan kerahasiaan perusahaan, menjadi alat bukti yang sangat krusial dan menentukan dalam mempertahankan hak di pengadilan.  

Hak Eksklusif Pemilik Rahasia Dagang

Apabila ketiga syarat perlindungan telah terpenuhi, maka hukum memberikan serangkaian hak eksklusif kepada pemiliknya. Pasal 4 UU Rahasia Dagang merumuskan hak-hak ini, yang menyatakan bahwa Pemilik Rahasia Dagang memiliki hak untuk:

a.       menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya;

b.      memberikan Lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.  

Hak-hak ini merupakan inti dari nilai properti Rahasia Dagang, yang memberikan kontrol penuh kepada pemiliknya untuk mengeksploitasi aset intelektualnya secara komersial atau untuk menjaganya tetap eksklusif demi mempertahankan keunggulan kompetitif.

Perjanjian Lisensi sebagai Mekanisme Pemanfaatan Rahasia Dagang

Setelah suatu informasi memenuhi kualifikasi sebagai Rahasia Dagang yang dilindungi, pemiliknya dapat memilih untuk memanfaatkannya secara komersial melalui berbagai cara. Salah satu mekanisme yuridis yang paling umum dan efektif adalah melalui perjanjian lisensi.

UU Rahasia Dagang secara spesifik mendefinisikan lisensi dalam Pasal 1 Angka 5 UU Rahasia Dagang sebagai:

“izin yang diberikan oleh pemegang Hak Rahasia Dagang kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Rahasia Dagang yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu”.  

Penting untuk membedakan secara tegas antara lisensi dengan pengalihan hak. Pengalihan hak, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Rahasia Dagang, menyebabkan beralihnya kepemilikan Hak Rahasia Dagang dari pemilik lama kepada pihak baru. Sebaliknya, dalam perjanjian lisensi, kepemilikan atas Rahasia Dagang tetap berada pada pemberi lisensi (licensor); penerima lisensi (licensee) hanya diberikan hak terbatas untuk menggunakan atau memanfaatkan Rahasia Dagang tersebut sesuai dengan lingkup yang diperjanjikan.  

Sebagai suatu bentuk perjanjian, perjanjian lisensi Rahasia Dagang tunduk pada ketentuan umum hukum perikatan yang diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Secara fundamental, keabsahannya harus memenuhi empat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

(1)      adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

(2)     kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

(3)    suatu hal tertentu; dan

(4)     suatu sebab yang halal.

Kekuatan mengikat dari perjanjian ini ditegaskan oleh adagium hukum fundamental Pacta Sunt Servanda (perjanjian harus ditepati), yang tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa “semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.  

Konstruksi hukum perjanjian lisensi Rahasia Dagang merupakan perpaduan unik antara rezim hukum HKI yang bersifat sui generis dan rezim hukum perikatan umum. Keduanya harus terpenuhi secara simultan. Sebuah perjanjian lisensi harus terlebih dahulu sah menurut syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata; jika tidak, perjanjian tersebut berisiko dapat dibatalkan atau bahkan batal demi hukum.

Selanjutnya, objek perjanjiannya (“suatu hal tertentu”) adalah informasi yang harus memenuhi kriteria sebagai Rahasia Dagang yang sah menurut Pasal 3 UU Rahasia Dagang. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa informasi tersebut telah menjadi domain publik, maka objek perjanjian menjadi tidak ada, yang dapat berakibat pada batalnya perjanjian.

Demikian pula, syarat “suatu sebab yang halal” tidak hanya merujuk pada batasan umum dalam KUHPerdata, tetapi juga harus selaras dengan larangan-larangan spesifik dalam Pasal 9 UU Rahasia Dagang, seperti tidak merugikan perekonomian negara atau menciptakan persaingan usaha tidak sehat. Hal ini menunjukkan bahwa penyusunan perjanjian lisensi Rahasia Dagang menuntut keahlian ganda: pemahaman mendalam tentang hukum kontrak umum sekaligus pemahaman spesifik tentang rezim HKI Rahasia Dagang.  

Hak dan Kewajiban Para Pihak

Dari struktur perjanjian lisensi, lahir serangkaian hak dan kewajiban yang timbal balik bagi para pihak.

-        Pemberi Lisensi (Licensor)

Pihak ini memiliki hak utama untuk menerima pembayaran royalti atau bentuk imbalan ekonomis lainnya yang telah disepakati. Sebagai kewajibannya, licensor harus memberikan akses terhadap Rahasia Dagang kepada licensee sesuai dengan lingkup dan cara yang diperjanjikan, serta memastikan bahwa informasi yang diberikan adalah akurat dan dapat dimanfaatkan;

-        Penerima Lisensi (Licensee)

Pihak ini memperoleh hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari Rahasia Dagang dalam jangka waktu dan syarat tertentu, sebagaimana didefinisikan dalam perjanjian. Kewajiban utamanya adalah membayar royalti tepat waktu, menggunakan Rahasia Dagang hanya dalam batas-batas yang diizinkan (misalnya, untuk wilayah geografis atau jenis produk tertentu), dan yang paling fundamental, memikul kewajiban untuk menjaga kerahasiaan informasi yang diterimanya dengan standar yang setara atau lebih tinggi dari licensor.  

Prinsip Non-Eksklusivitas Lisensi

UU Rahasia Dagang menganut prinsip default bahwa lisensi bersifat non-eksklusif. Pasal 7 UU Rahasia Dagang menyatakan,

“pemegang Hak Rahasia Dagang tetap dapat melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, kecuali jika diperjanjikan lain”.

Artinya, tanpa adanya ketentuan yang secara eksplisit menyatakan sebaliknya di dalam perjanjian, licensor bebas untuk terus menggunakan Rahasia Dagang tersebut untuk kepentingannya sendiri dan bahkan memberikan lisensi serupa kepada pihak lain.

Namun, berdasarkan asas kebebasan berkontrak, para pihak dapat menyepakati suatu lisensi eksklusif, di mana licensor berkomitmen untuk tidak memberikan lisensi kepada pihak lain selain licensee tersebut. Klausul eksklusivitas ini harus dirumuskan secara tegas dan jelas dalam naskah perjanjian.  

Prinsip dan Penerapan Kewajiban Kerahasiaan

Kewajiban untuk menjaga kerahasiaan (duty of confidentiality) merupakan esensi dan pilar utama yang menopang seluruh struktur perjanjian lisensi Rahasia Dagang. Tanpa kewajiban ini, mekanisme lisensi akan kehilangan signifikansinya dan justru menjadi sarana penghancuran nilai aset intelektual itu sendiri.

Pentingnya kewajiban ini ditegaskan secara langsung oleh UU Rahasia Dagang. Pasal 13 UU Rahasia Dagang menyatakan bahwa:

“Pelanggaran Rahasia Dagang juga terjadi apabila seseorang dengan sengaja mengungkapkan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan”.  

Ketentuan ini secara eksplisit mengkriminalisasi pelanggaran terhadap perjanjian kerahasiaan, mengangkatnya dari sekadar wanprestasi kontraktual menjadi pelanggaran HKI. Dalam praktik, klausul kerahasiaan dalam perjanjian lisensi menjadi instrumen yuridis utama untuk mengoperasionalkan dan menegakkan kewajiban ini. Klausul tersebut biasanya akan memuat beberapa elemen penting, antara lain:

1.        Definisi Informasi Rahasia

Mendefinisikan secara spesifik dan terperinci informasi apa saja yang dilisensikan dan dianggap sebagai Rahasia Dagang yang harus dilindungi;

2.       Lingkup Kewajiban

Menjelaskan tindakan-tindakan yang dilarang, seperti larangan mengungkapkan kepada pihak ketiga, larangan menggunakan untuk tujuan di luar perjanjian, dan kewajiban untuk menerapkan langkah-langkah pengamanan yang memadai;

3.      Durasi Kewajiban

Menetapkan jangka waktu kewajiban menjaga kerahasiaan. Sangat umum bagi klausul ini untuk menetapkan bahwa kewajiban tersebut tetap berlaku bahkan setelah perjanjian lisensi berakhir (surviving clause), seringkali untuk periode waktu tertentu atau selama informasi tersebut masih bersifat rahasia;

4.       Konsekuensi Pelanggaran

Merinci sanksi atau konsekuensi yang akan timbul jika terjadi pelanggaran, seperti denda, pengakhiran perjanjian, dan hak untuk menempuh jalur hukum.

Pembuktian Upaya Menjaga Kerahasiaan dalam Konteks Lisensi

Kewajiban untuk melakukan “upaya yang layak dan patut” sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Rahasia Dagang tidak hanya berlaku bagi pemilik asli, tetapi juga secara implisit berlaku bagi penerima lisensi. Sebagai pihak yang dipercayakan untuk mengelola informasi rahasia, licensee harus dapat menunjukkan bahwa ia telah menerapkan standar perlindungan yang setidaknya setara dengan yang diterapkan oleh licensor.

Upaya ini dapat dibuktikan melalui penerapan kebijakan internal yang ketat, seperti membatasi akses informasi hanya kepada karyawan yang benar-benar membutuhkan (need-to-know basis), menyelenggarakan pelatihan reguler bagi karyawan mengenai pentingnya kerahasiaan, dan mengimplementasikan sistem keamanan teknologi informasi yang andal untuk mencegah peretasan atau kebocoran data.

Kegagalan licensee dalam melakukan upaya-upaya ini akan memiliki konsekuensi hukum ganda: ia dapat dianggap telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian lisensi, sekaligus dapat dianggap telah melakukan pelanggaran Rahasia Dagang menurut UU Rahasia Dagang.  

Kewajiban menjaga kerahasiaan yang diemban oleh penerima lisensi melahirkan konsekuensi hukum yang bersifat ganda. Ketika penerima lisensi membocorkan informasi rahasia, tindakan tersebut secara simultan merupakan dua bentuk perbuatan melawan hukum yang berbeda.

Pertama, tindakan tersebut adalah pelanggaran terhadap klausul kerahasiaan yang disepakati dalam perjanjian, yang melahirkan hak bagi pemberi lisensi untuk mengajukan gugatan wanprestasi berdasarkan KUHPerdata.

Kedua, tindakan yang sama juga secara langsung memenuhi unsur “mengingkari kesepakatan... untuk menjaga Rahasia Dagang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU Rahasia Dagang, yang merupakan delik HKI tersendiri. Posisi hukum ini memberikan keuntungan strategis yang signifikan bagi pemilik Rahasia Dagang.

Ia dapat memilih jalur hukum yang paling sesuai, apakah akan mengajukan gugatan wanprestasi yang pembuktiannya berfokus pada isi kontrak, atau mengajukan gugatan pelanggaran HKI yang berfokus pada pemenuhan unsur-unsur dalam UU Rahasia Dagang. Fleksibilitas ini memperkuat posisi tawar dan daya paksa hukum yang dimiliki oleh pemberi lisensi dalam melindungi aset intelektualnya.  

Pengecualian dan Batasan Kewajiban Kerahasiaan

Meskipun kewajiban menjaga kerahasiaan bersifat fundamental, hukum mengakui adanya situasi-situasi tertentu di mana kepentingan yang lebih besar harus diutamakan. Pasal 15 UU Rahasia Dagang mengatur dua pengecualian utama di mana suatu pengungkapan atau penggunaan informasi rahasia tidak dianggap sebagai pelanggaran:

a.       Apabila tindakan pengungkapan atau penggunaan Rahasia Dagang tersebut didasarkan pada kepentingan pertahanan keamanan, kesehatan, atau keselamatan masyarakat. Klausul ini merupakan manifestasi dari prinsip bahwa kepentingan publik dapat mengesampingkan hak milik pribadi, termasuk HKI;

b.      Apabila tindakan tersebut merupakan rekayasa ulang (reverse engineering) atas produk yang dihasilkan dari penggunaan Rahasia Dagang milik orang lain, yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan. Pengecualian ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan terhadap inovasi yang sudah ada dengan dorongan untuk lahirnya inovasi-inovasi baru. Ia memastikan bahwa perlindungan Rahasia Dagang tidak menjadi alat untuk memonopoli teknologi secara absolut dan menghambat kemajuan.  

Kewajiban Pencatatan Perjanjian Lisensi

Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan, khususnya terhadap pihak ketiga, UU Rahasia Dagang menetapkan suatu formalitas penting. Pasal 8 ayat (1) UU Rahasia Dagang secara tegas menyatakan:

“Perjanjian Lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal...”.

Kewajiban ini bersifat imperatif. Ketentuan teknis mengenai pencatatan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual, yang selanjutnya disebut “PP 36/2018”. Peraturan ini berlaku secara umum untuk berbagai jenis HKI, termasuk Rahasia Dagang.  

Prosedur pencatatan, sebagaimana diatur dalam PP 36/2018, meliputi pengajuan permohonan secara tertulis kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), yang dapat dilakukan secara elektronik maupun nonelektronik.

Permohonan tersebut harus dilampiri dengan serangkaian dokumen, antara lain salinan perjanjian lisensi, bukti kepemilikan Rahasia Dagang yang dilisensikan, surat kuasa jika diajukan melalui kuasa, dan bukti pembayaran biaya. Penting untuk dicatat, Penjelasan Pasal 8 UU Rahasia Dagang menegaskan bahwa yang dicatatkan hanyalah data administratif, bukan substansi dari Rahasia Dagang itu sendiri, untuk menjaga kerahasiaan informasinya.

Akibat hukum dari tidak dilaksanakannya kewajiban pencatatan ini diatur secara spesifik dalam Pasal 8 ayat (2) UU Rahasia Dagang, yang menyatakan bahwa perjanjian lisensi yang tidak dicatatkan “tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga”.

Artinya, perjanjian tersebut tetap sah dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya (licensor dan licensee). Namun, perjanjian tersebut tidak dapat ditegakkan atau dipertahankan terhadap pihak ketiga yang beriktikad baik. Sebagai contoh, jika licensor kemudian mengalihkan haknya kepada pihak ketiga, licensee yang perjanjiannya tidak tercatat akan berada dalam posisi hukum yang lemah untuk mempertahankan haknya terhadap pemilik baru tersebut.  

Larangan dalam Perjanjian Lisensi dan Kaitannya dengan Hukum Persaingan Usaha

UU Rahasia Dagang tidak memberikan kebebasan mutlak bagi para pihak dalam merumuskan isi perjanjian lisensi. Pasal 9 UU Rahasia Dagang meletakkan batasan yang jelas dengan melarang ketentuan-ketentuan yang:

(1)      dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia, atau

(2)     mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.  

Ketentuan ini secara langsung menghubungkan rezim HKI dengan rezim hukum persaingan usaha, yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang selanjutnya disebut “UU 5/1999”. Beberapa contoh klausul dalam perjanjian lisensi yang berpotensi melanggar larangan ini antara lain:  

-         Penetapan Harga Jual Kembali (Resale Price Maintenance), suatu klausul yang mewajibkan licensee untuk menjual produk hasil lisensi pada tingkat harga tertentu, yang dapat melanggar Pasal 5 UU 5/1999;

-         Pembagian Wilayah (Market Division), suatu klausul yang secara ketat membagi wilayah pemasaran antar licensee dengan tujuan mengurangi persaingan di antara mereka, yang berpotensi melanggar Pasal 9 UU 5/1999;  

-         Perjanjian Tertutup (Tying Agreement), suatu klausul yang mewajibkan licensee untuk membeli produk atau jasa lain dari licensor sebagai syarat untuk mendapatkan lisensi Rahasia Dagang, yang dapat melanggar Pasal 15 UU 5/1999

Peran negara dalam mengawasi hal ini dipertegas dalam Pasal 9 ayat (2) UU Rahasia Dagang, yang memberikan kewenangan dan kewajiban kepada DJKI untuk “menolak pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”.  

Kombinasi antara kewajiban pencatatan dan skrining substantif berdasarkan Pasal 9 UU Rahasia Dagang menempatkan negara, melalui DJKI, dalam posisi sebagai “penjaga gerbang” (gatekeeper) dalam transaksi lisensi HKI. Ini merupakan sebuah intervensi negara yang signifikan terhadap asas kebebasan berkontrak. Meskipun asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh Pasal 1338 KUHPerdata memberikan keleluasaan bagi para pihak, kebebasan tersebut tidaklah absolut.

Ia dibatasi oleh syarat “suatu sebab yang halal,” yang melarang perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pasal 9 UU Rahasia Dagang adalah manifestasi konkret dari pembatasan tersebut, yang secara eksplisit melarang klausul-klausul yang dianggap bertentangan dengan kepentingan publik yang lebih luas, yaitu kesehatan ekonomi nasional dan iklim persaingan usaha yang sehat.

Peran DJKI untuk menolak pencatatan berfungsi sebagai mekanisme penegakan ex-ante (bersifat pencegahan), yang berbeda dengan pendekatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang umumnya bersifat ex-post (penindakan setelah terjadi pelanggaran). Oleh karena itu, para pihak yang hendak membuat perjanjian lisensi harus secara proaktif memastikan bahwa klausul-klausul di dalamnya tidak berpotensi anti-persaingan agar perjanjian tersebut dapat dicatatkan dan memperoleh perlindungan hukum yang penuh.  

Sengketa Rahasia Dagang dalam Yurisprudensi

Analisis terhadap yurisprudensi menjadi krusial untuk memahami bagaimana norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan diinterpretasikan dan diterapkan dalam praktik peradilan. Salah satu putusan yang paling signifikan dan menjadi rujukan penting dalam sengketa Rahasia Dagang di Indonesia adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1713 K/Pdt/2010, tertanggal 6 September 2011.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1713 K/Pdt/2010

Kasus Posisi

Sengketa ini melibatkan PT Basuki Pratama Engineering (PT BPE) sebagai Penggugat, melawan PT Hitachi Construction Machinery Indonesia (PT HCMI) beserta beberapa mantan karyawan PT BPE sebagai para Tergugat. Duduk perkara dari gugatan ini adalah adanya dugaan pelanggaran Rahasia Dagang. PT BPE, sebagai perusahaan pionir produsen mesin boiler di Indonesia, menuduh para mantan karyawannya telah membocorkan dan menggunakan informasi rahasia milik PT BPE (yaitu metode produksi dan metode penjualan mesin boiler) untuk kepentingan PT HCMI, yang merupakan pesaingnya. Informasi rahasia tersebut, menurut PT BPE, terkandung dalam cetak biru (blueprint) dan pengetahuan teknis lainnya yang diperoleh para mantan karyawan tersebut selama mereka bekerja di PT BPE.  

Pertimbangan Hukum (Ratio Decidendi) dan Perjalanan Perkara

Perjalanan kasus ini melalui berbagai tingkat peradilan menyoroti isu fundamental mengenai kompetensi absolut pengadilan. Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Bekasi, dan kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Bandung di tingkat banding, menolak gugatan PT BPE. Alasan utama penolakan tersebut adalah pertimbangan bahwa sengketa HKI, termasuk Rahasia Dagang, merupakan kewenangan absolut dari Pengadilan Niaga, bukan Pengadilan Negeri.  

Namun, Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya mengambil sikap yang berbeda secara diametral. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri sebelumnya. Pertimbangan hukum (ratio decidendi) utama Mahkamah Agung berlandaskan pada interpretasi yang cermat terhadap UU Rahasia Dagang. Mahkamah Agung merujuk pada Pasal 11 ayat (2) UU Rahasia Dagang yang secara eksplisit dan tidak ambigu menyatakan bahwa gugatan pelanggaran Rahasia Dagang “diajukan ke Pengadilan Negeri”.  

Lebih dari sekadar pembacaan literal terhadap pasal tersebut, Mahkamah Agung menggali lebih dalam alasan filosofis di balik penunjukan Pengadilan Negeri. Pertimbangannya terhubung langsung dengan sifat unik dari objek sengketa itu sendiri. Proses pembuktian dalam sengketa Rahasia Dagang menuntut penjagaan kerahasiaan yang sangat ketat, karena pengungkapan bukti-bukti di persidangan yang terbuka justru akan menghancurkan nilai dari Rahasia Dagang yang sedang diperjuangkan. Mahkamah Agung menghubungkan Pasal 11 ayat (2) dengan Pasal 18 UU Rahasia Dagang, yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk memerintahkan agar sidang diselenggarakan secara tertutup.

Kemampuan untuk menggelar sidang tertutup ini menjadi pembeda krusial dengan Pengadilan Niaga, yang asas persidangannya pada umumnya bersifat terbuka untuk umum. Oleh karena itu, Mahkamah Agung menyimpulkan bahwa kehendak pembentuk undang-undang adalah menunjuk Pengadilan Negeri sebagai forum yang lebih tepat dan mampu melindungi substansi dari objek sengketa.  

Amar Putusan dan Implikasinya

Amar putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi adalah mengabulkan permohonan kasasi dari PT BPE dan membatalkan putusan-putusan pengadilan di bawahnya. Putusan ini kemudian diperkuat dan menjadi berkekuatan hukum tetap setelah Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh PT HCMI dan para tergugat lainnya dalam Putusan Nomor 362 PK/Pdt/2013.  

Implikasi yuridis dari putusan ini sangat signifikan. Putusan ini menjadi yurisprudensi penting yang memberikan kepastian hukum mengenai kompetensi absolut Pengadilan Negeri dalam menangani sengketa perdata Rahasia Dagang. Ia mengakhiri kebingungan dan potensi forum shopping antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Niaga, serta memperkuat kedudukan hukum pemilik Rahasia Dagang untuk menempuh jalur litigasi perdata umum dengan keyakinan bahwa forum yang dituju adalah benar.  

Putusan ini menunjukkan pengakuan yudisial yang mendalam terhadap sifat istimewa Rahasia Dagang. Pilihan forum peradilan bukanlah sekadar persoalan prosedural, melainkan sebuah keputusan substantif yang dirancang untuk melindungi esensi dari objek sengketa itu sendiri.

Berbeda dengan sengketa Merek atau Paten di mana informasi yang disengketakan telah dipublikasikan melalui pendaftaran (sehingga proses peradilan yang cepat dan terbuka di Pengadilan Niaga menjadi relevan) objek sengketa Rahasia Dagang adalah informasi yang nilainya justru akan musnah jika terungkap di ruang sidang yang terbuka. Dengan menafsirkan Pasal 11 dan mempertimbangkan Pasal 18 UU Rahasia Dagang, Mahkamah Agung secara logis menyimpulkan bahwa sistem peradilan harus menyediakan forum yang dapat menjaga kerahasiaan tersebut.

Dengan demikian, putusan ini tidak hanya mengklarifikasi yurisdiksi, tetapi juga menetapkan standar fundamental tentang bagaimana sistem peradilan harus memperlakukan sengketa Rahasia Dagang yaitu dengan kehati-hatian ekstra untuk mencegah ironi di mana kemenangan dalam gugatan justru berujung pada kekalahan karena terungkapnya aset intelektual yang paling berharga.

Proyeksi Perlindungan Rahasia Dagang di Indonesia

Perjanjian lisensi merupakan instrumen yuridis yang kuat dan esensial untuk komersialisasi Rahasia Dagang, memungkinkan inovasi untuk disebarluaskan dan dimanfaatkan secara produktif tanpa harus mengorbankan kepemilikan. Analisis komprehensif terhadap kerangka hukum di Indonesia menunjukkan bahwa efektivitas mekanisme ini bergantung pada keseimbangan yang cermat antara tiga pilar hukum: soliditas klausul kontraktual yang berlandaskan pada KUHPerdata, kepatuhan yang ketat terhadap rezim HKI sebagaimana diatur dalam UU Rahasia Dagang, dan keselarasan dengan prinsip-prinsip hukum persaingan usaha yang termaktub dalam UU 5/1999. Kegagalan dalam salah satu pilar dapat meruntuhkan seluruh bangunan perlindungan hukum yang diharapkan.

Seiring dengan percepatan transformasi menuju ekonomi berbasis pengetahuan dan digital, peran Rahasia Dagang sebagai aset strategis perusahaan akan menjadi semakin sentral. Namun, era digital juga membawa tantangan kontemporer yang signifikan. Kemudahan dalam menyalin dan menyebarkan informasi secara instan melipatgandakan risiko pelanggaran dan kebocoran, sekaligus membuat proses pembuktian dalam litigasi menjadi semakin kompleks. Informasi yang dulu tersimpan dalam brankas fisik kini rentan terhadap peretasan siber dari belahan dunia manapun.

Menghadapi realitas ini, proyeksi ke depan menuntut adanya adaptasi dan penguatan dari berbagai sisi. Pertama, terdapat kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kapasitas dan pemahaman teknis para penegak hukum dan hakim mengenai nuansa sengketa Rahasia Dagang di era digital.

Kedua, dan yang tidak kalah penting, adalah kesadaran dan tindakan proaktif dari para pelaku usaha itu sendiri. Perlindungan hukum yang paling efektif dimulai dari internal perusahaan. Implementasi langkah-langkah perlindungan yang sistematis, wajar, dan terdokumentasi dengan baik bukan lagi sekadar praktik bisnis yang baik, melainkan telah menjadi prasyarat yuridis fundamental. Dokumentasi inilah yang akan menjadi fondasi dan amunisi utama bagi pemilik Rahasia Dagang untuk dapat mempertahankan dan menegakkan hak-haknya secara efektif di hadapan hukum ketika sengketa tidak terhindarkan.

Pada akhirnya, sinergi antara kerangka hukum yang adaptif dan kepatuhan internal yang disiplin akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa Rahasia Dagang tetap menjadi motor penggerak inovasi dan keunggulan kompetitif dalam lanskap ekonomi modern.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.